Semiotika Rolland Barthes Semiotika

yang dikutip Sumbu Tinarbuko, makna denotatif adalah hubungan jelas antara tanda dengan referensi atau realitas dalam pertandaan tahap denotatif. Sedangkan makna konotatif meliputi aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dengan emosi serta nilai – nilai kebudayaan dan ideologi. Secara ringkas, denotasi dan konotasi dapat dijelaskan sebagai berikut: 27 1. Denotasi adalah interaksi antara Signifier dan Signified dalam sign, dan antara sign dengan referent object dalam realitas eksternal. 2. Konotasi adalah interaksi yang muncul ketika sign bertemu dengan perasaan atau emosi pembacapengguna dan nilai – nilai budaya mereka. Makna menjadi subjektif atau inter subjektif. Tanda lebih terbuka dalam penafsirannya pada konotasi daripada denotasi. Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum dengan denotasi dan kontasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umumnyanya, denotasi itu biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, akan tetapi di dalam semiologi Roland Barthes denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam kerangka Barthes, konotasi juga identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai „mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai – nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Mitos dalam pandangan Barthes adalah perkembangan dari konotasi, konotasi yang sudah terbentuk lama di masyarakat itu mitos. Barthes juga mengatakan bahwa mitos merupakan sistem semiologis yakni sistem tanda – tanda yang dimaknai manusia. Mitos Barthes berbeda dengan anggapan tentang tahayul, 27 M. Antonius Birowo, Metode penelitian Komunikasi; Teori dan Aplikasi,Yogyakarta: Gitanyali, 2004, h.57 tidak masuk akal, dan lain – lain, tetapi mitos menurut Barthes sebagai type of speech gaya bicara seseorang. Mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Jadi, semiotika adalah tatanan tanda dari petanda dan penanda yang menghasilkan makna langsung maupun tidak langsung untuk menjelaskan hubungan penanda dan petanda dalam makna yang eksplisit maupun tidak eksplisit.

C. Nilai – Nilai dan Kepemimpinan dalam Islam

1. Nilai - Nilai

Dipandang dalam perspektif sejarah filsafat yang sudah panjang, “nilai” merupakan suatu tema filosofis yang berumur agak muda. Baru pada akhir abad ke-19 tema ini mendapat kedudukan mantap dalam uraian – uraian filsafat akademis. Sekurang – kurangnya secara eksplisit. Tapi secara implisit nilai sudah lama memegang peranan dalam pembicaraan filsafat, sudah sejak Plato menempatkan ide “baik” paling atas dalam hierarki ide – ide. 28 Nilai adalah sesuatu yang berharga yang memungkinkan manusia untuk membuat keputusan mengenai apa yang ingin dicapai atau sesuatu yang dibutuhkan untuk sampai ketujuannya agar memenuhi kebutuhan psikologinya. Dalam pengertiannya, nilai tidak terlepas hubungannya dengan manusia. Ada banyak pengertian yang mewakili tentang definisi nilai dari berbagai sudut pandang, nilai merupakan sesuatu yang potensial, dalam arti terdapatnya hubungan yang harmonis dan kreatif, sehingga berfungsi untuk menyempurnakan 28 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta, 1992, h.110 manusia, sedangkan kualitas merupakan atribut atau sifat yang seharusnya dimiliki. 29 Manusia sebagai makhluk yang memiliki nilai akan memaknai nilai dalam dua konteks. Pertama nilai sebagai sesuatu yang objektif, yaitu nilai dipandang telah ada sebelum manusia itu memberi nilai. Nilai bagi pandangan objektivis tidak tergantung pada objek, melainkan objek lah sebagai penyangga perlu hadir dan menampakkan nilai tersebut, karena meskipun tidak ada objek, nilai telah ada dengan sendirinya. Keduanilai sebagai subjektif, yaitu nilai dipandang sangat bergantung pada subjek yang menilainya. Jadi nilai memang tidak akan ada dan tidak akan hadir tanpa hadirnya penilai. Oleh karena itu nilai melekat dengan subjek penilai. 30 Sekurang – kurangnya ada enam nilai yang amat menentukan wawasan etika dan kepribadian manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat, yaitu: 31 1. Nilai teori. Dalam pengenalan konsep teori ini manusia mengenal objektifitas benda – benda atau kejadian – kejadian dalam prosesnya hingga menjadi pengetahuan. 2. Nilai ekonomi. Ketika manusia menggunakan benda – benda atau kejadian – kejadian maka ada proses penilaian ekonomi atau kegunaan, yaitu dengan kegunaan tersebut dapat keuntungan tersendiri. 29 Elly M. Setiadi Dkk, Ilmu Sosial Budaya Dasar, Jakarta, Kencana Prenadamedia Group, 2006, h.126-127 30 Elly M. Setiadi Dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Prenadamedia Group, 2008, Ed.2, h.110. 31 Rusmin Tumanggo Dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015, h. 142-143. 3. Nilai agama. Ketika manusia mendapatkan ketakjuban dan kebesaran yang membuat tergetarnya hati manusia maka manusia mengenal nilai agama. 4. Nilai seni. Ketika manusia mengalami keindahan di mana ada konsep estetika dalam menilai benda atau kejadian – kejadian, maka manusia mengenal nilai seni. 5. Nilai kuasa. Ketika manusia merasa puas jika orang mengikuti apa yang dipikirkan, norma – normanya dan kemauannya maka manusia mengenal nilai kuasa. 6. Nilai solidaritas. Ketika manusia mengenal hubungan menjadi itu menjadi cinta, persahabatan dan simpati dan merasakan kepuasaan ketika itu mereka mengenal nilai solidaritas. Penilaian ini dihubungkan dengan unsur – unsur atau hal yang ada pada manusia, seperti jasmani, cipta, karsa, rasa, dan keyakinan. Oleh karena itu, nilai itu memiliki polaritas dan hierarki. Dalam hierarki nilai sangat tergantung dari sudut pandang dan nilai yang menjadi patokan dasar si penilai. Menurut Max Scheller dalam Kaelan, menyebutkan hierarki tersebut terdiri atas: 32 1. Nilai kenikmatan, yaitu nilai yang mengenakan atau tidak mengenakan, yang berkaitan dengan indra manusia yang menyebabkan manusia senang atrau menderita. 2. Nilai kehidupan, yaitu nilai yang penting bagi kehidupan. 3. Nilai kejiwaan, yaitu nilai yang tidak tergantung baik pada keadaan jasmani maupun lingkungan. 32 Elly M. Setiadi Dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Prenadamedia Group, 2008, Ed.2, h.122. 4. Nilai kerohanian, yaitu moralitas nilai dari yang suci maupun yang tidak suci. Nilai kerohanian ini bisa dibedakan pada empat macam: a. Nilai kebenaran yang bersumber pada akal rasio, budi, dan cipta manusia. b. Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan estetis, gevoel, dan rasa manusia. c. Nilai kebaikan atau nilai moral yang bersumber pada unsur kehendak will, wollen, dan karsa manusia. d. Nilai religius, yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia. Berdasarkan analisis sederhana ini dapat disimpulkan bahwa nilai sekurang – kurangnya memiliki tiga ciri berikut ini: 1. Nilai berkaitan dengan subyek. Kalau tidak ada subyek yang menilai, maka tidak ada nilai juga. Entah manusia hadir atau tidak, gunung tetap meletus. Tapi untuk dapat dinilai sebagai “indah” atau “merugikan”, letusan gunung itu memerlukan kehadiran subyek yang menilai. 2. Nilai tampil dalam suatu konteks praktik, dimana subyek ingin membuat sesuatu. Dalam pendekatan yang semata – mata teoretis, tidak akan ada nilai. hanya menjadi pertanyaan apakah suatu pendekatan yang secara murni teoretis bisa diwujudkan. 3. Nilai – nilai menyangkut sifat – sifat yang “ditambah” oleh subyek pada sifat – sifat yang dimiliki oleh obyek. Nilai tidak dimiliki oleh obyek pada dirinya.