35
5.2 Kondisi Keberlanjutan Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat di Cisarua
Paradigma pembangunan peternakan adalah terwujudnya masyarakat yang sehat dan produktif serta kreatif melalui peternakan tangguh berbasis
sumberdaya lokal. Paradigma tersebut akan dapat dicapai dengan melakukan berbagai misi yaitu 1 menyediakan pangan asal ternak; 2 memberdayakan
sumberdaya manusia peternakan; 3 meningkatkan pendapatan peternakan; 4 menciptakan lapangan kerja peternakan, serta 5 melestarikan dan
memanfaatkan sumberdaya alam, yang secara keseluruhannya selaras dengan program pembangunan pertanian yaitu membangun ketahanan pangan dan
mengembangkan sektor agribisnis pertanian Sudradjat, 2000. Suatu sistem peternakan dikatakan berkelanjutan apabila sistem tersebut ditopang oleh tiga
pilar sub sistem utama yaitu ekonomi, sosial budaya dan ekologi secara terintegrasi. Hal ini berarti bahwa peningkatan pendapatan peternak dari usaha
ternak tidak menimbulkan tekanan dan ancaman terhadap lingkungan hidup serta tidak menimbulkan pergeseran nilai sosial dalam masyarakat.
Keberlanjutan usaha ternak sapi perah rakyat di Cisarua dapat dievaluasi dari kondisi yang terkait dengan keberlanjutan peternakan yang ditinjau dari dimensi
ekologi, sosial dan ekonomi.
5.2.1 Keberlanjutan dari Dimensi Ekologi
Keberlanjutan dari dimensi ekologi adalah mengenai usaha peternakan yang dijalankan telah sesuai dengan peruntukan ruang dan daya dukung lahan
serta tidak menimbulkan tekanan terhadap lingkungan hidup. Pengembangan kegiatan di suatu wilayah tidak terlepas dari kebijakan pemerintah dalam
menetapkan peruntukan ruang. Berkaitan dengan kebijakan yang mengatur pemanfaatan ruang, khususnya yang terkait dengan pengembangan peternakan
di kawasan puncak terdapat beberapa peraturan yang dijadikan acuan, diantaranya:
1. Peraturan Presiden No.54 Tahun 2008 tentang Kawasan Jabodetabekpunjur. Berdasarkan
Perpres ini,
tujuan penataan
ruang Kawasan
Jabodetabekpunjur adalah untuk: a. mewujudkan keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang antar daerah
sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan dengan memperhatikan keseimbangan kesejahteraan dan ketahanan;
36 b. mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan
kawasan, untuk menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi
banjir; dan c. mengembangkan perekonomian wilayah yang produktif, efektif, dan efisien
berdasarkan karakteristik wilayah bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan pembangunan yang berkelanjutan.
Kecamatan Cisarua dalam Perpres ini terbagi atas tiga zona pemanfaatan yaitu Zona B1, B3 dan B4. Zona B1 adalah zona dengan karakteristik sebagai
kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan tinggi, tingkat pelayanan prasarana dan sarana tinggi, dan bangunan gedung dengan intensitas tinggi,
baik vertikal maupun horizontal. Zona B3 mempunyai daya dukung lingkungan rendah, tingkat pelayanan prasarana dan sarana rendah, dan merupakan
kawasan resapan air. Zona B4 merupakan zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan rendah tetapi subur dan
merupakan kawasan resapan air, serta merupakan areal pertanian lahan basah bukan irigasi teknis dan pertanian lahan kering.
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur
Pengembangan peternakan di Kecamatan Cisarua yang termasuk dalam Kawasan Puncak tidak terlepas dari kebijakan yang mengatur tentang tata ruang
kawasan Puncak. Berdasarkan Keppres ini Kawasan Bopunjur ditetapkan
sebagai kawasan konservasi air dan tanah dengan tujuan untuk: a. Menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah yang merupakan
fungsi utama kawasan; b. Menjamin tersedianya air tanah, air permukaan dan penanggulangan banjir
bagi Kawasan Bopunjur dan daerah hilirnya. Berkaitan dengan keberadaan peternakan di kawasan puncak, optimalisasi
fungsi budidaya di kawasan puncak dapat dilakukan dengan ketentuan: a. Kegiatan budidaya yang dilakukan tidak melampaui ketersediaan sumber
daya alam dan energi; b. Kegiatan usaha pertanian berskala besar dan kecil menerapkan teknologi
pertanian yang memperhatikan konservasi air dan tanah;
37 3. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No.19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Bogor dan Peraturan Bupati Bogor No. 83 Tahun 2009 tentang Pedoman Operasional Pemanfaatan Ruang.
Kecamatan Cisarua tidak memiliki lahan peruntukkan khusus untuk peternakan sapi perah seperti halnya Kawasan Usaha Peternakan KUNAK Sapi
Perah di Kecamatan Cibungbulang, Bogor. Namun berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No.19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 dan Peraturan Bupati Nomor 83 Tahun 2009 tentang Pedoman Operasional Pemanfaatan Ruang, Cisarua
termasuk salah satu dari 12 Kecamatan di Kabupaten Bogor yang seluruh desakelurahannya memiliki peruntukan ruang yang memungkinkan bagi usaha
peternakan. Berikut adalah peruntukan ruang bagi masing-masing desa di Kecamatan Cisarua Tabel 18 dan Lampiran 1 dan pengaturan usaha ternak
besar pada masing-masing peruntukkan ruang Tabel 19. Tabel 18. Peruntukkan Ruang pada Masing-masing Desa di Kecamatan Cisarua
Nama Desa Peruntukan Ruang
Keterangan Citeko
Cibeureum Tugu Selatan
Tugu Utara Batu Layang
Cisarua Kopo
Leuwimalang Jogjogan
Cilember HK, LK, PB, KL,
PP3 HK, LK, PB, PD2,
PP3, KL,HL HK, HL, PB
HK, HL, LK PD1, LK, HL
PP3, KL PB, LK, PP3
PP2, LK HL, LK, TT, PD1
HL, LK, PD1, PP3 HK : Kawasan Hutan Konservasi
HL : Kawasan Hutan Lindung KL : Luar Kawasan Hutan
HPT : Kawasan Hutan Produksi
Terbatas HP : Kawasan Hutan Produksi Tetap
LB : Kawasan Pertanian Lahan Basah LK : Kawasan Pertanian Lahan Kering
PB : Kawasan Perkebunan TT : Kawasan Tanaman Tahunan
PD1 : Kawasan Pemukiman Pedesaan
Hunian Rendah PD2 : Kawasan Pemukiman
PedesaanHunian Jarang PP1 : Kawasan Perkotaan Hunian
Padat PP2 : Kawasan Perkotaan Hunian
Sedang PP3: Kawasan Pemukiman Perkotaan
Hunian Rendah
38 Tabel 19. Pengaturan Usaha Ternak Besar pada Masing-masing Peruntukan
Ruang Peruntukan Ruang
Pengaturan Hutan Produksi Terbatas HPT
dan Hutan Produksi Tetap HP Pertanian Lahan Basah LB
Pertanian Lahan Kering LK Perkebunan PB dan Tanaman
Tahunan TT Pemukiman Pedesaan PD
Pemukiman Perkotaan PP Kepadatan Rendah PP3
- Jarak bangunan dengan pemukiman 50 m dan dengan sungai 25 m
- Mendapat persetujuan dari menteri kehutananpejabat berwenang
- Tidak merubah fungsi kawasan - Membuat buffer berdasarkan kajian
teknis - Tidak merubah bentang alam dan
buatan - Tidak
dilakukan pada
kawasan beririgasi teknis
- Tidak merubah fungsi kawasan - Jarak bangunan dengan pemukiman
100 m dan dengan sungai 25 m - Membuat buffer berdasarkan kajian
teknis - Tidak merubah bentang alam
- Jarak bangunan dengan pemukiman 100m dan dengan sungai 25m
- Membuat buffer berdasarkan kajian teknis
- Tidak merubah bentang alam - Mekanisme perijinan sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku - Jarak bangunan dengan pemukiman
100m - Membuat buffer berdasarkan kajian
teknis - Membuat buffer berdasarkan kajian
teknis - Menjaga lingkungan dari pencemaran
- Membuat pagar minimal tinggi 2,6 m
Dimensi ekologi lainnya yang berhubungan dengan usaha peternakan sapi perah yang menjadi sorotan dalam penelitian ini adalah mengenai kondisi
sumberdaya lahan dan air. Berkaitan dengan kondisi sumberdaya lahan dan air serta dampak dari keberadaan peternakan terhadap lingkungan, dapat dijelaskan
sebagai berikut:
39 1. Sumberdaya Lahan
Peternakan sapi perah rakyat di Cisarua diusahakan dalam lahan yang terbatas. Kepemilikan lahan garapan hanya dimiliki oleh 46 peternak dengan
luasan rata-rata 2.000 m
2
. Kondisi seperti itu membatasi peternak dalam meningkatkan skala usahanya serta menyebabkan pengolahan limbah yang tidak
maksimal sebelum dilepas ke perairan. Keterbatasan lahan yang dimiliki peternak juga menyebabkan kebutuhan HMT tidak dapat diproduksi sepenuhnya
dari lahan sendiri sehingga peternak harus mencari dan mengarit di lahan terbuka lainnya. Pengembangan peternakan sapi perah di masa yang akan
datang harus memperhatikan kemampuan sumberdaya lahan, terutama dalam menjamin ketersediaan hijauan makanan ternak HMT agar usaha peternakan
dapat dijalankan dengan optimal. Potensi produksi HMT alami yang dihasilkan lahan terbuka di Cisarua disajikan dalam Tabel 20.
Tabel 20. Potensi Sumber HMT Alami di Kecamatan Cisarua Penggunaan Lahan
Luas Ha Produktifitas
HMT alami tonhatahun
Produksi BKC tontahun
Persawahan LadangTegalan
Perkebunan Kehutanan
Lahan Terbuka lainnya 264,00
688,00 2.004,10
713,50 896,72
0,500 0,500
0,300 0,750
0,750 66,000
172,000 300,615
535,125 672.540
Total 1.746,280
Keterangan: Sumanto dan Juarini 2006 data diolah tingkat kecernaan diperhitungkan 50 BKC
Selain diperoleh dari HMT alami, pakan hijauan juga dapat diperoleh dengan memanfaatkan limbah tanaman pangan seperti jerami padi, jerami
kacang tanah, daun singkong, jerami ubi jalar dan jerami kedelai. Potensi pakan yang bisa diperoleh dari limbah tanaman pangan di Kecamatan Cisarua disajikan
dalam Tabel 21. Potensi pakan hijauan tersebut akan mencerminkan kemampuan daya dukungnya terhadap ternak ruminansia yang ada di Cisarua.
Populasi ternak ruminansia dalam Satuan Ternak ST di Kecamatan Cisarua disajikan dalam Tabel 22.
40 Tabel 21. Potensi Sumber Pakan dari Limbah Tanaman Pangan
Jenis Limbah Rata-rata
Produksi BKC
tonha Luas
Panen hatahun
Produksi BKC tontahun
Jerami Padi Jerami Kacang Tanah
Daun Singkong Jerami Ubi Jalar
Jerami Kedelai 5,94
4,94 1,73
4,93 2,79
436 18
35 17
1 2.591,341
88,920 60,550
83,810 2,790
Total 2.827,441
Keterangan: Syamsu 2006 data diolah
Tabel 22. Populasi Ternak Ruminansia di Kecamatan Cisarua dalam Satuan Ternak ST
Jenis Ternak Jumlah
ekor Faktor Konversi
Jumlah ST
Sapi Perah Sapi Potong
Kerbau Kambing
Kambing PE Domba
1.401 20
250 4.642
127 8.906
0,700 0,700
0,800 0,055
0,055 0,055
980,700 14,000
200,000 255,310
6,985 489,830
Total 1.946,825
Sumber : Disnakkan Kabupaten Bogor 2009 Keterangan: Sumanto dan Juarini 2006
Berdasarkan data Tabel 20, 21 dan 22 diketahui bahwa Kecamatan Cisarua termasuk dalam kriteria daya dukung lahan yang sangat kritis dengan
nilai IDD Indeks Daya Dukung sebesar 0,78 jika peternak hanya mengandalkan pakan hijauan alami untuk memenuhi kebutuhan ternaknya. Apabila peternak
mengoptimalkan penggunaan limbah tanaman pangan yang ada maka Kecamatan Cisarua akan berada dalam kriteria daya dukung aman dengan IDD
sebesar 2,06. Keterbatasan ketersediaan pakan alami di Kecamatan Cisarua dapat ditanggulangi melalui penggunaan limbah tanaman pangan sebagai pakan
hijauan yang selama ini belum maksimal penggunaannya oleh peternak. Limbah tanaman pangan hanya dapat diperoleh pada musim panen saja,
sehingga teknologi pengawetan pakan sangat diperlukan agar seluruh limbah tanaman pangan dapat dimanfaatkan. Pengetahuan teknis tentang sifat dan
41 karakteristik limbah juga diperlukan supaya limbah yang digunakan adalah
limbah yang sesuai untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi perah. 2. Sumberdaya Air
Air merupakan kebutuhan yang vital dalam budidaya ternak sapi perah terutama untuk air minum ternak, kebersihan ternak dan sanitasi kandang.
Berdasarkan tinjauan lapangan diketahui bahwa air yang dipergunakan untuk peternakan berasal dari sumber mata air, yaitu air yang berasal dari mata air di
pegunungan yang dialirkan melalui pipa menuju kandang. Sejauh ini sumber air yang ada telah dirasa cukup oleh peternak untuk menjalankan usaha budidaya
ternak sapi perah. Hal lain yang terkait dengan sumberdaya air adalah penurunan kualitas air
akibat limbah peternakan sapi perah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air, klasifikasi mutu air dibagi menjadi empat kelas
yaitu: 1 Kelas satu yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air
baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; 2 Kelas dua yaitu air yang peruntukannya
dapat digunakan untuk prasaranasarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain
yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; 3 Kelas tiga yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan
ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; dan
4 Kelas empat yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut. Limbah peternakan sapi perah di Cisarua khususnya di Desa Cibeureum
dialirkan oleh peternak ke Kali Citeko Bawah yang melintasi kawasan peternakan dan selanjutnya mengalir menuju Sungai Ciliwung. Badan Lingkungan Hidup
Kabupaten Bogor menggolongkan Kali Citeko Bawah ke dalam mutu air kelas tiga. Berdasarkan pantauan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor
terhadap kualitas air Kali Citeko Bawah pada tiga titik sebelum masuk kawasan peternakan, di tengah kawasan peternakan dan setelah melewati kawasan
peternakan diperoleh hasil sebagaimana disajikan dalam Tabel 23. Berdasarkan
42 analisis kualitas air pada tiga titik pengamatan diketahui bahwa terdapat
beberapa parameter yang melampaui batas baku mutu lingkungan yaitu BOD, COD, dan Nitrit.
Tabel 23. Hasil Analisis Kualitas Air Kali Citeko Bawah
Parameter Analisis
Satuan Hasil Analisis
DAS Ciliwung
PPRI No.82 Tahun 2001 Kelas
Seb. Tgh.
Set. 1
2 3
4
KIMIA
pH BOD
COD Fosfat
Nitrit Amonia
Sulfat
BIOLOGI
E.Coli Total Coli
- mgl
mgl mgl
mgl mgl
mgl MPN100ml
MPN100ml 7,23
25,30 55,50
0,520 0,021
0,015 95,70
140 1700
6,80 71,40
156,70 1,090
0,113 0,050
219,00 170
2200 6,780
86,20 194,20
1,00 0,055
0,082 204,5
170 2400
6,585 42,00
tda 0,33
0,004 0,01
3,00 3200
3300 6
– 9 2,00
10,00 0,20
0,06 0,5
400 100
1.000 6
– 9 3,00
25,00 0,20
0,06 ts
ts 1.000
5.000 6
– 9 6,00
50,00 1,00
0,06 ts
ts 2.000
10.000 6
– 9 12,00
100,00 5,00
ts ts
ts 2.000
10.000
Sumber: Badan Lingkungan Hidup Kab. Bogor 2010 Keterangan: Seb: sebelum kawasan peternakan, Tgh: tengah kawasan, Set: setelah
kawasan, ts: tidak disyaratkan, tda: tidak dianalisa, :Jembatan Gadog, Megamendung
Nilai BOD menunjukkan banyaknya oksigen yang digunakan untuk merombak bahan organik dalam air secara biologis. Nilai COD menunjukkan
jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi semua bahan kimia yang bisa dioksidasi dalam air. Tingginya nilai BOD dan COD secara konsisten dari
sebelum sampai setelah kawasan menunjukkan: 1 peternakan sapi perah memberikan kontribusi cemaran organik yang signifikan terhadap perairan 2
nilai BOD dan COD yang tinggi sebelum masuk kawasan menunjukkan pencemaran limbah organik telah terjadi di daerah hulu yang dimungkinkan
berasal dari Taman Safari Indonesia TSI karena sebelumnya hulu Kali Citeko melintasi kawasan TSI.
Nilai Fosfat dan Nitrit mengalami lonjakan di tengah kawasan dan selanjutnya menurun kembali setelah keluar dari kawasan peternakan. Fosfat
pada dasarnya selalu ada di perairan alami yang merupakan sumber pakan bagi pertumbuhan ganggang. Jika jumlah fosfat sudah melebihi ambang batas maka
akan terjadi lonjakan pertumbuhan ganggang dan ini bisa dijadikan indikator terjadinya pencemaran air oleh limbah organik. Nitrit merupakan senyawa yang
sedang berproses menjadi nitrat. Menurut Mahida 1992 bahwa dalam keadaan
43 aerob, nitrogen amonia akan dioksidasi menjadi nitrit oleh bakteri autotrof seperti
Nitrosomonas, Nitrospira dan Nitrococcus selanjutnya nitrit diubah menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter, Nitrospira dan Nitrococcus. Nitrat merupakan senyawa
alihan dalam proses perubahan zat organik ke dalam bentuk yang tetap sehingga konsentrasi nitrit dalam air sangat rendah.
Secara umum keseluruhan nilai faktor kimia air mengalami penurunan ketika sudah memasuki DAS Ciliwung. Ini mengindikasikan bahwa kondisi
Sungai Ciliwung masih mampu mengurai dan menurunkan konsentrasi cemaran yang berasal dari sumber pencemar di hulunya. Keadaan sebaliknya terjadi
dengan nilai faktor biologi air. Cemaran E.Coli meningkat hingga 3200 MPN100ml, yang mengindikasikan meningkatnya jumlah kotoran ternak ataupun
manusia yang dibuang ke DAS Ciliwung. Menurut Ridwan 2006, pengelolaan limbah merupakan faktor penting
dalam menunjang keberlanjutan agribisnis sapi perah sehingga dorongan terhadap pengelolaannya oleh peternak harus ditingkatkan. Kebijakan
pengelolaan limbah ini sangat terkait dengan luas lahan pertanian, semakin besar lahan pertanian yang membutuhkan kompos maka akan semakin besar
upaya peternak dalam mengelola limbahnya.
5.2.2 Keberlanjutan dari Dimensi Sosial