Peruntukan Ruang Kawasan Puncak Bogor

7 1 kerjasama inti plasma antara kelompok peternak dengan swasta; 2 pemasaran susu segar yang diolah oleh inti langsung ke konsumen; 3 jumlah minimum ternak sapi perah 10 ekorplasma dan 500 ekorklaster; 4 breeding oleh inti; 5 good farming practice GFP dan good manufacturing practice oleh plasma; dan 6 integrasi yang baik dengan industri pakan dan manajemen limbah terpadu. Pengembangan peternakan sapi perah ke depan harus didasarkan pada prioritas perbaikan kelembagaan pasar yang lebih adil Talib et al, 2007. Hal ini untuk menjawab sistem pemasaran susu di Indonesia yang dalam penentuan harganya masih didominasi oleh IPS, demikian pula dengan jaringan pemasarannya yang juga dikuasai IPS Bappenas, 2007. Daryanto 2009 merekomendasikan lima arah kebijakan dalam merevitalisasi industri persusuan nasional yaitu 1 pemerintah perlu memberikan dukungan nyata untuk meningkatkan produktivitas dan mutu hasil ternak susu kepada para peternak; 2 perlu dibentuk wadah kemitraan yang jujur dan memperhatikan kepentingan bersama antara peternak, koperasi susu dan industri pengolahan susu; 3 koperasi susu perlu didorong dan difasilitasi agar dapat melakukan pengolahan sederhana susu segar antara lain pasteurisasi dan pengemasan susu segar, pengolahan menjadi yoghurt, keju dan lain-lain; 4 pemerintah pusat dan daerah seyogyanya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mampu memperkuat posisi tawar peternak sapi perah khususnya dan pengembangan agribisnis berbasis peternakan pada umumnya; dan 5 pemerintah pusat dan daerah seyogyanya membiayai pelaksanaan program minum susu untuk anak-anak sekolah. Berdasarkan Blue Print Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk dengan Pemberian Insentif bagi Tumbuhnya Industri Pedesaan Kementan 2010, orientasi pengembangan komoditas susu nasional diarahkan pada peningkatan produksi dan mutu susu untuk pengurangan impor melalui peningkatan produktivitas, peningkatan kemampuan koperasi dan menumbuhkembangkan industri pedesaan pengolah susu pasteurisasi dengan menerapkan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan.

2.3 Peruntukan Ruang Kawasan Puncak Bogor

Strategi pengembangan peternakan sapi perah di Kecamatan Cisarua yang merupakan bagian dari kawasan Puncak tidak terlepas dari manajemen Kawasan Puncak secara keseluruhan. Kawasan Puncak menurut Keppres RI 8 No.114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur ditetapkan sebagai kawasan konservasi air dan tanah dengan tujuan untuk menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, tersedianya air tanah, air permukaan dan penanggulangan banjir bagi Kawasan Bopunjur dan daerah hilirnya. Pengembangan peternakan sapi perah yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan fungsi tata ruang yang telah ditetapkan. Peruntukan ruang bagi usaha peternakan di Kabupaten Bogor mengacu kepada Perda Kabupaten Bogor No.19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 dan Peraturan Bupati Bogor No.83 Tahun 2009 tentang Pedoman Operasional Pemanfaatan Ruang. Strategi pengembangan peternakan di Cisarua hendaknya juga mempertimbangkan kemungkinan permasalahan yang mungkin muncul dalam hubungannya dengan pengelolaan kawasan puncak. Terdapat tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam manajemen kawasan Basuni, 2003 yaitu: 1. Pertimbangan biologi, yaitu menempatkan kawasan konservasi bagi proteksi proses-proses ekologi suatu biota yang utuh atau yang khusus dan subset biota tertentu. Tujuan ini membutuhkan pertimbangan lokasi, ukuran dan bentuk geometri kawasan, ketergantungan dan hubungan-hubungan spasialnya dengan daerah lain di sekitarnya. Ukuran populasi dibutuhkan untuk mempertahankan spesies kritis, kolonisasi lokal, dinamika kepunahan biota pada tingkat yang lebih tinggi, dinamika ekologi kawasan konservasi serta ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh penggunaan lahan di sekitar kawasan. 2. Pertimbangan pengaruh antropologis, yaitu pertimbangan yang mengharapkan manajemen kawasan konservasi tidak mengganggu budaya lokal, tidak menghalangi pemanfaatan tradisional yang berkelanjutan dari masyarakat setempat. Dukungan sosial dari penduduk lokal terhadap kawasan konservasi serta kesediaan membayar bagi masyarakat umum yang berkunjung secara signifikan membuka peluang berhasilnya manajemen kawasan konservasi. 3. Manajemen konservasi perlu bekerja dalam kendala-kendala keterbatasan lahan. Lahan dan produknya merupakan sumberdaya terbatas bagi populasi manusia yang terus bertambah. Biasanya ada trade off antara pemenuhan akan konservasi alam dengan pembangunan. Manajemen kawasan 9 konservasi juga harus mengahadapi berbagai kepentingan atas lahan dan pertentangan beberapa kelompok yang berbeda dalam penggunaan lahan. Penataan ruang yang berjalan selama ini banyak mengalami penyimpangan dan lebih terpaku terhadap upaya perbaikan pola, konsep dan struktur penataan ruang sendiri. Namun pada dasarnya rumusan penataan ruang telah mengarah kepada keinginan terwujudnya pembangunan yang terpadu, seimbang dan berkelanjutan hanya saja perlu menemukan kembali rumusan penataan ruang yang ideal dan applicable Kementrian Lingkungan Hidup, 2001.

2.4 Pengelolaan Lingkungan Hidup