Usaha Peternakan Sapi Perah

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Usaha Peternakan Sapi Perah

Peternakan sapi perah di Indonesia telah dimulai sejak abad ke-19, yaitu sejak pengimporan sapi-sapi perah Milking Shorthorn, Ayrshire dan Jersey dari Australia yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sapi perah pada masa itu umumnya dikelola dalam bentuk perusahaan, yaitu pemeliharaan sapi perah yang bertujuan untuk menghasilkan susu yang selanjutnya dijual kepada konsumen. Konsumen susu pada saat itu umumnya orang-orang Eropa atau orang asing lainnya karena orang-orang Indonesia belum suka minum susu Sudono et al, 2003. Berdasarkan pola pemeliharaannya, usaha ternak di Indonesia diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu peternak rakyat, peternak semi komersil dan peternak komersil. Saat ini peternakan sapi perah di Indonesia mayoritas diusahakan oleh peternakan rakyat. Menurut SK Menteri Pertanian Nomor 404 Tahun 2002 dijelaskan bahwa usaha peternakan rakyat adalah usaha peternakan sapi perah yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang tidak memerlukan ijin usaha dari instansi atau pejabat berwenang. Batasan peternakan rakyat untuk usaha sapi perah adalah kepemilikan sapi laktasi kurang dari 10 ekor atau memiliki jumlah keseluruhan sapi kurang dari 20 ekor sapi perah campuran Sudono et al, 2003. Penyebaran sapi perah di Indonesia tidak merata sejalan dengan karakteristik wilayah dan permintaan susu di daerah tersebut. Menurut Suhartini 2001, usaha pemeliharaan sapi perah memerlukan persyaratan tertentu seperti faktor biologis yang membutuhkan kondisi lingkungan tertentu, dukungan sarana dan prasarana, terutama adanya pasar baik industri pengolah susu maupun konsumen langsung. Menurut Baqa 2003, perkembangan produksi susu di Indonesia berjalan lambat. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu 1 iklim tropis yang kurang sesuai dengan pengembangan komoditas susu; 2 masih rendahnya skala usaha pemilikan sapi oleh peternak, dimana rata-rata hanya 2-4 ekor; 3 kondisi kesehatan ternak serta kualitas genetik ternak yang rendah; 4 manajemen usaha ternak yang masih rendah dikarenakan kualitas sumberdaya manusia peternak yang juga rendah; 5 kesulitan bahan pakan ternak berkualitas; 6 masih kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat; 6 7 masih rendahnya kualitas susu yang dihasilkan; 8 kondisi infrastruktur transportasi yang kurang memadai, yang juga berpengaruh pada tingginya biaya transportasi; dan 9 masalah dalam pemasaran susu yang dihasilkan, dimana tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia masih rendah dan juga tingginya persaingan dengan susu impor.

2.2 Kebijakan Pengembangan Peternakan Sapi Perah