1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suatu perusahaan untuk menjalankan sistemnya harus memperhatikan dua unsur keputusan, yaitu investment decision dan
financing decision. Investment decision adalah keputusan yang diambil perusahaan dalam operasionalnya untuk mendapatkan
keuntungan yang optimal, biasanya perusahaan menanamkan investasinya pada suatu proyek yang mempunyai prospek
menjanjikan juga dengan mengamati periode dari investasi tersebut, sehingga tingkat likuiditas perusahaan juga pada tingkat
yang optimal. Sedangkan financing decision adalah keputusan yang dibuat perusahaan dalam mendapatkan pendanaannya yang
berkaitan dengan komposisi utang, saham preferen dan saham biasa, melalui pertimbangan dari biaya dana tersebut dan jangka
waktu dari dana tersebut Suad dan Husnan, 1998. Financing decision harus dibuat untuk mendukung adanya
investment decision perusahaan, tujuannya adalah rencana investasi yang dibuat oleh perusahaan akan dapat membentuk suatu struktur
modal yang dapat meminimalkan biaya modal, sehingga dapat memaksimalkan usaha dalam mencapai salah satu tujuan
perusahaan yaitu kemakmuran dan kesejahteraan pemegang saham. Namun perbedaan karakteristik antar perusahaan
2
menyulitkan perusahaan untuk menetapkan struktur modal yang ideal bagi perusahaan tersebut.
Salah satu keputusan penting yang dihadapi manajer keuangan dalam kaitannya dengan kelangsungan operasi
perusahaan adalah keputusan pendanaan atau keputusan struktur modal, yaitu keputusan keuangan yang berkaitan dengan komposisi
hutang, saham preferen dan saham biasa yang harus digunakan oleh perusahaan. manajer dalam mengambil keputusan pendanaan
harus teliti secara sifat dan biaya dari sumber yang dipilih. Hal ini karena masing-masing sumber pendanaan mempunyai konsekuensi
financial yang berbeda-beda. Masalah keputusan pendanaan akan berkaitan dengan pemilihan sumber dana baik yang berasal dari
dalam internal maupun dari luar external yang sangat mempengaruhi nilai perusahaan. Keputusan pendanaan keuangan
perusahaan juga akan sangat menentukan kemampuan perusahaan dalam melakukan aktivitas operasinya.
Keputusan pendanaan yang diambil oleh manajemen, apakah menggunakan modal sendiri atau hutang menjadi tidak
relevan bila apapun sumber dana yang digunakan tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Hal inilah yang ditekankan oleh
Modigliani dan Miller pada tahun 1958. Asumsi yang melandasi pernyataan tersebut antara lain pasar yang sempurna, tidak ada
biaya transaksi dan tidak ada biaya pajak. Dalam perkembangan
3
selanjutnya Modigliani dan Miller memasukkan unsur pajak. Dengan adanya pajak penggunaan hutang akan memberikan
manfaat dalam peningkatan nilai perusahaan atau menurunkan biaya modal.
Ada beberapa teori yang menyatakan terdapat struktur modal yang optimal untuk setiap perusahaan. Teori yang
dimaksudkan ini diwakili oleh dua teori yaitu teori static trade-off dan teori pecking order. Teori static trade-off muncul karena
penggabungan teori Modigliani-Miller yang memasukkan biaya kebangrutan dan biaya agensi. Semakin besar proporsi utang maka
semakin besar perlindungan pajak yang diperoleh. Di sisi lain, semakin besar proporsi utang maka semakin besar biaya
kebangkrutan yang mungkin timbul. Teori static trade-off, secara teoritik memprediksikan bahwa leverage akan meningkat sejalan
dengan pemanfaatan utang dan menurun sejalan dengan bertambahnya biaya utang.
Model lain yang membahas mengenai struktur modal adalah teori pecking order. Teori yang dikembangkan oleh Myers
dan Majluf pada tahun 1984 dalam Arief, 2011 ini menjelaskan urutan prioritas para manajer dalam menentukan sumber
pendanaannya. Preferensi manajer dinyatakan dalam urutan sumber pendanaan yang dimulai dari pendanaan internal sebagai
sumber utama. Pilihan prioritas berikutnya adalah hutang, dan yang
4
terakhir berupa penerbitan saham. Salah satu faktor yang mendorong manajer untuk menerapkan teori pecking order dalam
menentukan struktur modalnya adalah perbedaan informasi tentang nilai dan investasi perusahaan yang sebenarnya dengan investasi
luar yang hanya bisa memperkirakan nilai-nilai tersebut. Perusahaan dalam ekspansi usahanya ataupun membiayai
aktvitas operasionalnya tidak terlepas dari penggunaan hutang. Dari penggunaan hutang itu, biasanya perusahaan atau pihak yang
meminjamkan uang akan mengenakan suatu tingkat persentase tambahan dari nilai hutang yang diberikan. Sehingga perusahaan
yang berlandaskan hukum syariah Islam menjadikan hal tersebut sebagai pertimbangan untuk keputusan pendanaan. Di Indonesia
sudah bertahun - tahun transaksi ekonomi berdasarkan sistem ribawi konvensional menguasai sistem perekonomian di
Indonesia bahkan sistem perekonomian di dunia. Dengan beragam produknya
sistem konvensional
mendominasi aktifitas
perekonomian umat manusia. Syariat Islam memandang bahwa transaksi ekonomi antar
manusia harus terbebas dari riba, karena riba menurut pandangan syariat Islam sebagai dosa yang sangat besar hadist, Al-
Qur’an Ar-Rum Ayat 39, An-Nisa Ayat 160-161 dan Ali-Imran Ayat 130
serta Al-Baqarah Ayat 275-280. Karena itu umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan ajaran tentang haramnya riba dengan
5
meninggalkan segala sesuatu yang berbau riba. Menurut terminologi ilmu fiqh dalam Chair, 2012, riba merupakan
tambahan khusus yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu. Riba sering juga diterjemahkan dalam
bahasa Inggris sebagai Usury dengan arti tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syara, baik
dengan jumlah tambahan yang sedikit atau pun dengan jumlah tambahan banyak.
Dalam pemberian hutang terdapat dua pola dalam pembayaran hutang pada saat jatuh temponya, yaitu sistem bunga
yang sampai sekarang diterapkan oleh perusahaan konvensional dan sistem bagi hasil yang mulai diterapkan di Indonesia dalam
perusahaan yang berprinsip syariah. Sistem ekonomi Islam tumbuh karena pola bagi hasil yang diterapkannya. Sistem ini lebih unggul
bila dibandingkan dengan sistem bunga konvensional. Pada sistem yang berdasarkan atas prinsip bagi hasil profit and loss sharing
dan berbagi risiko risk sharing. Sistem ini diyakini oleh para ulama sebagai jalan keluar untuk menghindari penerimaan dan
pembayaran bunga riba. Jadi dalam operasinya perusahaan melakukan kemitraan dengan pengusaha dan meminjamkan dana,
tanpa memungut bunga, tetapi memperoleh bagi hasil dan bagi risiko dengan perusahan jika tidak memperoleh keuntungan, karena
bank dapat merugi dan tidak memperoleh hasil tetap dan pasti.
6
Seiring berjalan nya waktu Majelis Ulama Indonesia MUI Mengeluarkan fatwa DSN-MUI No. 20DSN-MUIX2011 bahwa
rasio penggunaan hutang disertai bunga terhadap ekuitas atau modal dalam perusahaan yang telah memenuhi kualifikasi dari
kriteria syariah maksimal sebesar 45. Bursa Efek Indonesia mendukung peraturan maupun fatwa
dari pemerintah dan ulama, maka dikembangkanlah salah satu indeks saham yang ada di Indonesia yang menghitung indeks harga
rata-rata saham untuk jenis saham-saham yang memenuhi kriteria syariah, yaitu Jakarta Islamic Index atau biasa disebut JII.
Pembentukan JII tidak lepas dari kerja sama antara Pasar Modal Indonesia dalam hal ini PT Bursa Efek Jakarta dengan PT
Danareksa Invesment Management PT DIM. JII telah dikembangkan sejak tanggal 3 Juli 2000. Pembentukan instrumen
syariah ini untuk mendukung pembentukan Pasar Modal Syariah yang kemudian diluncurkan di Jakarta pada tanggal 14 Maret 2003.
Mekanisme Pasar Modal Syariah meniru pola serupa di Malaysia yang digabungkan dengan bursa konvensional seperti Bursa Efek
Jakarta dan Bursa Efek Surabaya. Setiap periodenya, saham yang masuk JII berjumlah 30 saham yang memenuhi kriteria syariah.
Tujuan pembentukan JII adalah untuk meningkatkan kepercayaan investor untuk melakukan investasi pada saham
berbasis syariah dan memberikan manfaat bagi pemodal dalam
7
menjalankan syariah Islam untuk melakukan investasi di bursa efek. JII juga diharapkan dapat mendukung proses transparansi dan
akuntabilitas saham berbasis syariah di Indonesia. JII menjadi jawaban ataskeinginan investor yang ingin berinvestasi sesuai
syariah. Dengan kata lain, JII menjadi pemandu bagi investor yang ingin menanamkan dananya secara syariah tanpa takut tercampur
dengan dana ribawi. Selain itu, JII menjadi tolak ukur kinerja benchmark dalam memilih portofolio saham yang halal.
Emiten syariah dalam sistem pendanaannya berupa hutang harus mempertimbangkan syarat-syarat yang diberikan oleh
kreditur yang meminjamkan dana berupa hutang tersebut, biasanya kebijakan hutang tersebut disertai oleh bunga dan dalam prinsip
syariah penggunaan
bunga baik
pembiayaan maupun
penghimpunan dananya tidak sesuai dengan prinsip syariah. Rasio antara sumber dana pihak ketiga dengan hutang yang
menggambarkan struktur perusahaan disebut DER Debt to Equity Ratio. Rasio DER menunjukan tingkat resiko suatu perusahaan
dimana semakin tinggi rasio DER maka semakin tinggi resiko perusahaan. Hal ini memberikan indikasi bahwa jumlah ekuitas
perusahaan tidak mampu menutupi kuantitas hutang perusahaan. Kesimpulannya semakin banyak laba operasi perusahaan yang
digunakan untuk membayar beban bunga tetap, semakin banyak aliran kas yang digunakan untuk membayar angsuran tetap,
8
sehingga laba bersih setelah pajak EAT perusahaan akan banyak berkurang. Menurut Brigham dan Houston 2010, para investor
lebih tertarik pada tingkat DER tertentu yang besaran rasionya kurang dari satu, karena nilai DER perusahaan yang menunjukan
nilai lebih dari satu memberi arti bahwa koefisien hutang dalam suatu perusahaan lebih tinggi dari jumlah modal sendiri. Berikut
adalah Tabel 1.1 yang merupakan data empiris dari DER masing- masing emiten syariah di JII Periode 2009-2013.
Tabel 1.1 Debt to Equity Ratio Sampel Emiten Syariah yang
Terdaftar Pada JII Periode 2009-2013
No Nama Perusahaan
Debt to Equity Ratio Rata-
Rata 2009
2010 2011
2012 2013
1. Adaro Energy Tbk
1,43 1,19
1,31 1,23
1,10 1,26
2. Astra Agro Lestari Tbk
0,22 0,19
0,21 0,33
0,00 0,19
3. Aneka Tambang Persero Tbk
0,23 0,29
0,41 0,54
0,71 0,43
4. Alam Sutera Realty Tbk
0,84 1,07
1,16 1,31
1,71 1,22
5. Astra International Tbk
1,00 1,10
0,34 0,42
1,02 0,77
6. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk
0,24 0,17
0,15 0,17
0,16 0,18
7. Kalbe Farma Tbk
0,39 0,22
0,27 0,28
0,33 0,30
8. Lippo Karawaci Tbk
1,40 1,03
0,94 1,17
1,21 1,15
9. PP London Sumatera Indonesia Tbk
0,18 0,22
0,16 0,20
0,21 0,19
10. Tambang Batubara Bukitasam Tbk
0,40 0,36
0,41 0,50
0,55 0,44
11. Telekomunikasi Indonesia Tbk
1,50 0,98
0,69 0,66
0,65 0,90
12. Semen Indonesia Persero Tbk
0,23 0,29
0,35 0,46
0,41 0,35
13. United Tractors Tbk
0,84 0,84
0,69 0,56
0,61 0,71
14. Unilever Indonesia Tbk
1,02 1,15
1,85 2,02
0,69 1,63
Sumber : Data yang Diolah
Bedasarkan tabel 1.1 menunjukan bahwa perusahaan yang memiliki struktur modal melalui perhitungan Debt to Equity Ratio
yang merupakan cerminan penggunaan hutang suatu perusahaan dalam membiayai kegiatan operasionalnya, yaitu perusahaan yang
9
menggunakan hutang tidak lebih dari modal sendiri perusahaan tersebut, atau perbandinganya kurang dari sama dengan 1, maka
perusahaan tersebut memiliki struktur modal yang dianggap baik. Dari data diatas perusahaan yang mempunyai DER lebih
dari 1 antara lain Adaro Energy Tbk, Alam Sutera Realty Tbk, Lippo Karawaci Tbk, dan Unilever Indonesia Tbk. Komposisi
hutang dalam perusahaan-perusahaan tersebut lebih besar dari pada total ekuitas yang dimiliki perusahaan. Jadi menurut teori struktur
modal yang baik atau optimal, perusahaan-perusahaan ini memiliki struktur modal yang tidak optimal, yang bearti juga biaya modal
yang besar sebanding dengan risiko yang dihadapi. Sementara itu kebanyakan investor lebih tertarik menanamkan modalnya ke
dalam bentuk investasi pada perusahaan yang mempunyai DER yang besarnya kurang dari 1. Karena jika DER lebih besar dari 1
bearti risiko yang ditanggung oleh investor menjadi meningkat. Sebaliknya, untuk perusahaan yang mempunyai DER
kurang dari 1 maka menurut teori struktur modal dianggap optimal. Dalam data pada table diatas, dapat dilihat beberapa perusahaan
yang mempunyai rasio penggunaan hutangnya tidak lebih dari penggunaan ekuitas, perusahaan tersebut antara lain, Astra Agro
Lestari Tbk, Aneka Tambang Persero Tbk, Astra International Tbk, Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, Kalbe Farma Tbk, PP
London Sumatera Indonesia Tbk, Tambang Batubara Bukitasam
10
Tbk, Telekomunikasi Indonesia Tbk, Semen Indonesia Persero Tbk, dan United Tractors Tbk.
Terdapat beberapa variable yang menentukan manajer dalam keputusan pendanaanya atau keputusan para kreditur untuk
mengucurkan dananya. Setiawan 2010 menggunakan variabel profitabilitas, sales growth dan struktur aktiva pada struktur modal
perusahaan di indeks LQ-45. Adapun Arief 2011 menggunakan variabel profitabilitas, struktur aktiva, ukuran perusahaan, dan
kesempatan bertumbuh dalam menganalisis struktur modal perusahaan di indeks JII Jakarta Islamic Index. Namun tidak
semua variabel akan dibahas dalam penelitian ini, namun hanya beberapa variabel yang akan dibahas seperti profitabilitas, struktur
aktiva, sales growth, likuiditas, dan ukuran perusahaan. Profitabilitas merupakan variabel yang mempengaruhi
struktur modal. Dalam penelitian ini profitabilitas diwakili oleh ROA, yaitu rasio dari laba bersih dengan total aktiva perusahaan.
Weston dan Bringham 2008 mengatakan bahwa perusahaan dengan ROA yang relatif tinggi cenderung menggunakan hutang
yang minim. Hal ini dikarenakan dengan tingkat ROA yang tinggi, perusahaan akan memenuhi kebutuhan pendanaannya dengan dana
yang dihasilkan secara internal laba ditahan. Hubungan antara profitabilitas dengan struktur modal diprediksi bernilai negatif
karena perusahaan yang profitable cenderung akan menggunakan
11
pendanaan internal daripada hutang. Penelitian yang dilakukan Setiawan 2010 dan Arief 2011 menunjukan bahwa profitabilitas
berpengaruh negatif terhadap struktur modal perusahaan yang diukur melalui Rasio DER. Ini menandakan bahwa semakin tinggi
laba yang diraih, maka kebutuhan hutang akan semakin rendah. Struktur modal juga dapat dipengaruhi oleh struktur aktiva
dimana komposisi aktiva lancar dan aktiva tidak lancar dapat mendorong
perusahaan meminjamkan
aktivanya untuk
memperoleh pinjaman dari pihak luar. Aktiva lancar yang dapat menunjukan tingkat likuiditas perusahaan sehingga perusahaan
dapat membayarkan hutang sebelum jatuh tempo. Aktiva tidak lancar Fix Assets dapat dijadikan agunan untuk melakukan
pinjaman kepada pihak luar. Fix Assets seperti tanah, gedung, kendaraan dapat dijadikan agunan untuk memperoleh pendanaan
dari pihak eksternal. Konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Bramantyo Arief dengan menggunakan sampel di indeks JII
Jakarta Islamic Index tahun 2006-2009 diperoleh hasil adanya hubungan struktur aktiva terhadap Leverage yang diukur melalui
DER Debt to Equity Ratio. Sales Growth yang pada umumnya memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap struktur modal menunjukan hasil yang tidak signifikan didalam penelitian Suci Pujiani dan Prasetiono yaitu
pengaruh struktur aktiva, ROA, sales growth, firm size dan
12
kesempatan bertumbuh terhadap Leverage di perusahaan manufaktur sektor aneka industry dan barang konsumsi yang
listing di BEI periode 2008-2011. Ukuran perusahaan yang besar akan dengan mudah
mendapatkan akses pendanaan eksternal, dikarenakan perusahaan tersebut mampu menyediakan informasi yang menurut kreditur
lebih banyak dan relevan dibandingkan dengan perusahaan kecil. Disamping itu perusahaan berukuran besar dilihat dari struktur
aktivanya dipercaya akan lebih likuid dalam pengembalian hutang, sehingga akan mendapatkan kepercayaan dari para kreditur untuk
menerbitkan hutang yang lebih besar. Dalam penelitian yang dilakukan pujiani dan prasetiono tahun 2012 lalu menyatakan
bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap leverage yang diukur dengan DER. Namun penelitian ini menguji salah satu
teori dalam struktur modal yaitu Pecking Order Theory. Likuiditas merupakan variabel yang dapat mempengaruhi
struktur modal. Dalam hipotesis pecking order, likuiditas berpengaruh negative terhadap struktur modal. Karena perusahaan
yang memiliki tingkat likuiditas yang tinggi maka perusahaan tersebut akan menghindari hutang dan mendanai perusahaan nya
dengan modal sendiri. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Farida Arini mengenai pengaruh likuiditas, Ukuran
Perusahaan, Struktur Aktiva, Profitabilitas, dan Pertumbuhan
13
Penjualan terhadap Struktur Modal di Perusahaan Pertambangan yang listing di BEI periode 2007-2012.
Dari beberapa penelitian terdahulu, masih terdapat perbedaan penelitian research gap, feneomena di lapangan yang
berkenaan dengan topic struktur modal. Bedasarkan Uraian diatas, maka penelitian ini mengambil judul
“Analisis Pengujian Pecking Order Theory Melalui Keterkaitan Faktor-Faktor Penentu
Struktur Modal Terhadap Financial Leverage pda Emiten Syariah di Jakarta Islamic Index periode 2009-
2013”.
B. Perumusan Masalah