Syarat-Syarat Saksi dalam Kasus Perceraian.
Ulama Malikiyah dan Hanabilah membolehkan kesaksian orang buta jika ia yakin dengan suara yang ia dengar, karena
umumnya makna ayat mengenai saksi. Dan karena orang buta yang adil dapat diterima riwayatnya sebagaimana orang yang dapat
menghasilkan yakin, begitu pula kesaksian orang buta yang ditetapkan dengan
Istifadah testimonium de
auditu sebagaimana pula dibolehkan menjadi saksi dalam terjemah, karena apa yang
didengarnya akan ditafsirkan oleh keberadaan hakim, pendengarannya sama dengan pendengaran orang yang dapat melihat.
5. Dapat berbicara. Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, mensyaratkan saksi itu mampu berbicara, tidak diterima kesaksian
orang bisu meskipun isyaratnya dapat dipahami, karena isyarat tidak dianggap kesaksian yang syaratnya yakin sehingga dituntut
pelafalanpengucapan kesaksian. Ulama Malikiyah membolehkan kesaksian orang bisu bila dapat dipahami isyaratnya, karena isyarat
adalah bahasa tuturannya yang diterima dalam talak, nikah, dan ziharnya sehingga kesaksiaannya juga begitu.
6. Adil. para ulama sepakat mensyaratkan saksi harus adil, tidak diterima kesaksian orang fasik seperti pezina, pemabuk, pencuri dan yang
semisal. Tetapi orang fasik jika ia terpandang dalam masyarakat, bermartabat dapat diterima kesaksiannya, karena kehormatan dan
martabatnya menghindarkannya dari kecondongan dan berdusta dalam kesaksian. Akan tetapi, menurut ulama Hanafiyah kesaksian orang
fasik mutlak tidak diterima, hakim yang memutus berdasar kesaksian orang
fasik cacatlah
putusannya dan
jadilah dia
hakim durhakamembangkang.
7. Bukan dugaansangkaan. orang yang suka menyangka ditolak
kesaksiannya. Suatu kesaksian, untuk dapat dijadikan sebagai dasar dalam memutus perkara tidak boleh berupa dugaan ataupun dengan
keterangan yang belum cukup memadai dari yang seharusnya.
11
Sumpah Saksi
Integritas saksi-saksi pada masa sekarang ini sudah semakin tidak jelas. Maka dari itu kesaksian harus diperkuat dengan sumpah. Dalam
majalah al-Ahkam al-‘Adliyyah dinyatakan,“Jika pihak yang dipersaksikan menyampaikan tuntutan sebelum ada keputusan hukum agar hakim
meminta saksi-saksi untuk bersumpah bahwa mereka tidak berdusta dalam kesaksian mereka, dan ada ketentuan bahwa kesaksian dapat diperkuat
dengan sumpah, maka hakim boleh meminta saksi-saksi untuk bersumpah, dan mengatakan kepada mereka, jika kalian bersumpah, maka kesaksian
kalian diterima. Pendapat ini dianut oleh Ibnu Nujaim al-Hanafy. Menurut madzhab Hanafi, saksi tidak perlu bersumpah, karena lafal kesaksian
sudah mengandung makna sumpah. Menurut Imam Hanbali, saksi yang memungkiri penyampaain kesaksian tidak perlu diminta untuk bersumpah
tidak pula hakim yang memungkiri keputusan hukum dan tidak pula orang yang diberi wasiat atas penafian hutang pada pihak yang memberikan
11
z{ | }
.,
~
-4,
.85
wasiat. Orang yang memungkiri pernikahan juga tidak perlu diminta untuk bersumpah, termasuk dalam perkara cerai, rujuk, ila’, nasab, qishas, dan
tuduhan zina, karena itu semua bukan harta, dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan harta tidak pula ditetapkan adanya penolakan padanya.
12
Kesaksian Non-Muslim Terhadap Orang Islam
Ada dua pendapat ulama fikih yaitu: 1. Menurut jumhur selain Hanabilah. Tidak diterima kesaksian mereka
karena kesaksian adalah kewenangan wilayah, tidak ada kewenangan orang kafir terhadap orang Islam.
Al-Qur’an Surat Al-Nisa’ 4 ayat 141 :
ْﻦ َﻟ َو ُﱠﷲ
ﺎ َﻜ ْﻠ ِﻟ ﻰ َﻠ َﻋ
...
...dan Allah sekali-kali tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.
2. Ulama Hanabilah membolehkan kesaksian non-Muslim dalam safar musafir karena sangat dibutuhkan jika tidak didapati orang muslim
selain mereka, karena alasan darurat bahkan bisa saja dalam keadaan muqim ataupun safar. Al-Qur’an surah Al-Maidah 5 ayat 106:
ا ﻮ ُﻨ َﻣ آ ا َذ ِإ
َﺮ َﻀ َﺣ
ُﻢ ُﻛ َﺪ َﺣ َأ ُت ْﻮ َﻤ ْﻟ ا
ِﺣ ِن ﺎ َﻨ ْﺛ ا
ا َو َذ ٍل ْﺪ َﻋ
ْﻢ ُﻜ ْﻨ ِﻣ ْو َأ
ِن ا َﺮ َﺧ آ ْﻦ ِﻣ
ْن ِإ ْﻢ ُﺘ ْﻧ َأ
ْﻢ ُﺘ ْﺑ َﺮ َﺿ ﻲ ِﻓ
ِض ْر ﻷ ا
ْﻢ ُﻜ ْﺘ َﺑ ﺎ َﺻ َﺄ َﻓ ِت ْﻮ َﻤ ْﻟ ا
ْﻦ ِﻣ ِﺪ ْﻌ َﺑ
ِة ﻼ ﱠﺼ ﻟ ا ِن ِإ
ْﻢ ُﺘ ْﺒ َﺗ ْر ا ﻻ
ي ِﺮ َﺘ ْﺸ َﻧ ًﻨ َﻤ َﺛ
ﺎ ْﻮ َﻟ َو
َن ﺎ َﻛ ا َذ
ﻰ َﺑ ْﺮ ُﻗ ﻻ َو
ُﻢ ُﺘ ْﻜ َﻧ ِﱠﷲ
ﺎ ﱠﻧ ِإ ا ًذ ِإ
َﻦ ِﻤ َﻟ
12
A
B
,
u
u
A
A
-Qadha. J
:
G
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka
hendaklah wasiat itu disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu,
jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah
sembahyang untuk bersumpah, lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu: Demi Allah kami tidak
akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit untuk kepentingan seseorang, walaupun dia karib kerabat, dan tidak
pula kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang
berdosa.
Ibnu abbas membenarkan, bahwa bagi orang yang akan mati dan ada orang Islam, Allah swt. menyuruh mempersaksikan wasiatnya dengan
dua orang muslim yang adil, jika tidak ada seorang pun orang Islam, Allah Swt. menyuruh disaksikan oleh dua orang saksi non-Muslim, bila
kesaksian mereka diragukan keduanya diminta bersumpah bahwa: ‘Kami tidak membeli kesaksian dengan harga yang sedikit. Ibnu Mas’ud pernah
memutuskan dengan kesaksian non-muslim dimasa Khalifah Usman, maka diterima kesaksian sesama mereka sebagaimana antara umat Islam.