salah satu pihak yang mengingkari dapat dijadikan alat bukti yang sah. Dengan adanya saksi tersebut apabila dikemudian hari timbul suatu
permasalahan, maka saksi yang melihat, mendengar, dan mengalami langsung peristiwa hukumnya dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah
untuk memperkuat adanya kejadian atau peristiwa hukumnya.
17
Pada dasarnya fungsi saksi baru diperlukan apabila bukti dengan surat atau tulisan tidak ada atau kurang lengkap untuk mendukung atau
menguatkan kebenaran dalil-dalil yang menjadi dasar pendiriannya para pihak. Saksi-saksi ada yang secara kebetulan melihat atau mengalami
sendiri peristiwa atau kejadian yang harus dibuktikan kebenarannya dimuka sidang pengadilan, ada juga saksi-saksi itu sengaja diminta untuk
datang menyaksikan suatu peristiwa atau perbuatan hukum yang sedang dilangsungkan.
Tujuan utama dalam pembuktian saksi adalah menjelaskan terungkapnya kebenaran peristiwa dan keadaan yang dikemukakan pihak-
pihak yang bersengketa, sehingga putusan yang dihasilkan oleh majelis hakim benar-benar mencerminkan keadilan, baik bagi pihak yang
dimenangkan maupun pihak yang kalah, sehingga keadilan dan kebenaran dapat ditegakkan.
17
³ ´ µ ¶
· ¸·
,
¹ º» º¼ ½ ¾ ¿À ¿
ÁÂ ÀÃ ¿Ä ¿Å ÆÂ ÇÀÈ
à ¿É Á
À ¿» Ä È » Ê
ËÌ ´
Í´ µ δ
:
³ Ï
¸ ´ µ Ð
µ ´ ÑÏ Í´
, 2011
Ò Ó
.255.
D. Kedudukan Saksi Perempuan dalam Kasus Perceraian
Kesaksian yang telah memenuhi syarat formal dan materiil mempunyai nilai pembuktian bebas, nilai kebenaran kesaksian sifatnya
tidak sempurna dan tidak mengikat baik kepada pihak-pihak maupun terhadap hakim, hakim bebas menilai kebenaran keterangan saksi sesuai
dengan nuraninya, bahkan hakim dapat mengesampingkan keterangan saksi asal dipertimbangkan dengan cukup dan berdasarkan argumentasi
yang kuat. Jika kesaksian berasing-asing tentang beberapa kejadian yang
saling bersesuaian dan berhubungan, maka diserahkan kepada hakim dalam menghargai nilai kesaksian yang sedemikian kuat menurut keadaan.
Dalam pemeriksaan saksi-saksi, hakim tidak boleh menerima suatu hal sebagai kenyataan yang di kemukakan oleh saksi selama ia belum yakin
benar tentang kebenaran yang disampaikan oleh saksi tersebut, suatu hal meskipun disaksikan oleh sekian banyak saksi, tetapi perkara yang
diperiksa itu belum dianggap jika hakim belum yakin terhadap kebenaran saksi atas segala yang disampaikannya.
18
Agar dapat terlaksana dengan baik, hakim harus memerhatikan dengan seksama cara hidup saksi-saksi yang diajukannya, adat istiadat dan
martabat kehidupan dalam masyarakat apakah tercela atau punya kebiasaan jelek sehingga tidak dapat dipercaya atau memiliki reputasi baik
sehingga dapat dipercaya.
18
ÔÕ Ö × ØÖ Ù ÚÛ ÙÛ
,
ÜÝ ÞÝ ß àá â ã
â ä
å ã â æ ç
è â é àêâ
ß â
æ âè â é ë
å ã
â é
ê Þ
â ì ç
í î à
è ï
Q
â æ îâ
,
ð Û ñÛ Õ ÚÛ
:
òó ô
Û õ
Û ö
Õ Û ÷
Ö Ù øù
òú Õ
× Û
ø Û
2012.
Hakim harus memerhatikan dengan cermat segala sesuatu yang memengaruhi sikap saksi dan apa yang mendorong saksi itu menerangkan
segala sesuatu dalam persidangan. Hukum positif yang berlaku di Indonesia, termasuk di lingkungan
Peradilan Agama, tidak mengenal adanya pembedaan dan pemilahan saksi-saksi untuk diterima atau ditolak kesaksiannya dari segi keyakinan
agama, suku bangsa, organisasi politik masyarakat atau pun dari segi jenis kelamin, tingkat pendidikan.
Masalah kesaksian dalam hukum positif di Indonesia tidak begitu diatur. Dalam undang-undang Hukum Perdata KHUPerdata, yang diatur
hanya sebatas mengenai teknis, hak-hak, siapa saja yang boleh menjadi saksi dan kewajiban menjadi saksi, tidak diatur spesifik mengenai
bagaimana hukum kesaksian bagi seorang perempuan. Hal ini mengidentifikasi bahwa dalam sistem hukum positif di Indonesia,
kedudukan saksi laki-laki maupun saksi perempuan sama dan tidak ada perbedaan antara keduanya.
Kedudukan perempuan dalam hukum positif di Indonesia sama dengan kedudukan laki-laki, mereka boleh melakukan apa dilakukan oleh
laki-laki. Hal ini mengindifikasikan tidak ada perbedaan antara saksi laki- laki dan saksi perempuan.
55
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN TENTANG KEDUDUKAN SAKSI
PEREMPUAN MENURUT EMPAT MADZHAB DAN HUKUM POSITIF
A. Persamaan Pendapat Empat Madzhab dan Hukum Positif Tentang kedudukan Saksi Perempuan
Persamaan kedudukan saksi perempuan menurut pendapat Para Ulama dan Hukum Positif ada dua, yang pertama, memiliki fungsi
kesaksian yang sama yaitu: “Saksi merupakan alat bukti yang sangat penting. Memberikan keterangan secara lisan di muka sidang atas apa
yang dilihat, didengar dan diketahui secara langsung oleh saksi tersebut tentang duduk perkara yang disengketakan”. Karena sesungguhnya fungsi
kesaksian itu sendiri tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan keterlibatan yang bersangkutan dengan peristiwa tersebut.
Persamaan yang kedua memiliki syarat-syarat yang sama yaitu: 1. Berakal sehat tidak gila : karena mereka tidak terpercaya
kesaksiannya jika tidak sehat akalnya, dan jika mabuk. 2. Adil : saksi harus adil dalam memberikan keterangan di dalam
sidang, tidak boleh menyembunyikan, dan memberikan hak-hak para pihak.
3. Dapat melihat : karena saksi harus mengetahui apa yang dilihat peristiwa yang sedang terjadi. Meskipun setelah melihat kejadian
saksi tersebut buta, maka kesaksiannya tetap diterima.
4. Dapat berbicara : karena keterangan saksi secara lisan dimuka sidang.
5. Berumur 15 tahun keatas : mampu bertanggung jawab, karena anak kecil yang belum baligh tidak dapat memberikan kesaksian sesuai
yang diperlukan. 6. Cakap hukum
B. Perbedaan Pendapat Empat Madzhab dan Hukum Positif Tentang Kedudukan Saksi Perempuan.
Dalam kitab-kitab fiqh, hampir semua ulama sepakat bahwa perempuan ditempatkan secara instrumental dari pada subtansi.
Ketidakhadiran suara perempuan dalam budaya di mana fiqih dirumuskan diartikan dengan ketiadaan subtansi perempuan dalam Islam.
1
Sekilas kita bisa melihat betapa ketika kemunculan fiqh dalam peradaban Arab sangat
kental dengan budaya patriarkhi, yang melahirkan fiqh yang tidak adil dan bias gender. Perempuan dinilai separoh dari laki-laki aqiqah, waris,
kesaksian, mendapat lebel negatif dibatasi dan diproteksi dan masih banyak diskriminasi lain terhadap hak-hak perempuan. Semua itu tentu
sangat tidak relevan dengan perkembangan realitas sosial budaya yang semakin egaliter.
Akibat “kejumudan” fiqh akan berimplikasi pada eksitensinya di kalangan umat Islam, sebagai konsekuensi atas hilangnya relevansi dengan
1
û ü ý þ
A
ÿ ý
ý
A -
ü ü
ü ü ü
: C
ý ü
, 2002, C ,
-2, .214