Kesaksian secara syara’ adalah sebuah pemberitahuan yang jujur untuk menetapkan, membuktikan, dan membenarkan suatu hak dengan
menggunakan kata-kata as-syahadah bersaksi di majelis persidangan. Kesaksian adalah hujah bagi pihak penggugat, berdasarkan hadits,
Artinya: “Mengajukan bayyinah saksi adalah tugas penggugat.” Sesuai dengan firman Allah SWT. Sebagai berikut:
َو ُﺪ
َد ا و َو
َﻋ ى ٍل ﺪ
ِﻣ ُﻜ ﻨ
ﻢ ...
.... Artinya: “...dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil
diantara kamu dan hendaklah kamu teggakkan kesaksian itu karena Allah...” Ath-Thalaq [65]: 2
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa, saksi yang dapat diterima kesaksiannya yaitu orang yang adil dan tidak mengkatagorikan saksi harus
dari pihak keluarga sedarah atau diluar dari pihak keluarga, akan tetapi yang ditekankan dari ayat tersebut adalah sifat keadilan seseorang dalam
memberikan kesaksiannya. Kesaksian syahadah bisa juga diartikan melihat kepala, karena
syahid orang yang menyaksikan itu memberitahukan tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya. Maknanya ialah pemberitahuan seseorang
tentang apa yang diketahui dengan lafaz “aku menyaksikan atau aku telah menyaksikan”.
Menurut Muhammad Salam Madzkur sebagaimana yang dikutip oleh Asadullah al-Faruq, persaksian adalah suatu ungkapan tentang berita
yang benar disidang pengadilan dengan menggunakan lafaz syahadah
ucapan kesaksian untuk menetapkan suatu hal atas diri orang lain. Dalam pengertian tersebut dikatakan yang menyangkut atas diri orang lain, sebab
bila yang menyangkut diri sendiri bukanlah kesaksian, melainkan ikrar pengakuan. Ahmad ad Daur yang juga dikutip oleh Assadulloh Al-Faruq
mendefinisikan kesaksian sebagai penaymapain perkara yang sebenarnya untuk membuktikan sebuah kebenaran dengan mengucapkan lafal-lafal
kesaksian di hadapan sidang pengadilan.
8
Hukum Kesaksian
Kesaksian adalah fardhu ain bagi orang yang mengetahuinya selama dia diminta untuk menyampaikan kesaksian dan dikhawatirkan
adanya pengabaian terhadap hak, bahkan wajib hukumnya jika
dikhawatirkan ada hak yang diabaikan meskipun dia tidak diminta untuk bersaksi. Ini berdasarkan firman Allah swt.,
...
...
“....Dan barang siapa yang menyembunyikan, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” Al-Baqarah [2]: 283
Dan firman-Nya, “Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” Ath-Thalaq [65]: 2
Dalam hadits shahih,
8
A
B C D E F F
C G
C F
-F
C H E I
,
J
u
K
u
L
A
M N O N
PQ O
N R S T N U
VW T NL
, J
C XC H YC
:
Z [
. B
EX E
K
\ Y C
, 2009,
G
.45- 46.
ُا ُﺼ ﻧ
َا ﺮ َﺧ
َك ﺎ َظ
ِﻟﺎ ًﻤ
َﻣ ؤ ا ﺎ ٌﻠﻈ
ًﻣ ﻮ ﺎ.
“Bantulah saudaramu yang zalim atau yang dizalimi.”
9
Penjelasan hadits diatas yaitu bangsa Arab mendefinisikan kata al-Nashr dengan makna al-I’anah dan al-Ta’yid, keduanya mempunyai arti yang
serupa, yaitu menolong atau membantu. contohnya : ketika seseorang berbuat zalim kepada orang lain lalu kita mencegahnya, maka pada
hakikatnya adalah memberikan pertolongan untuknya. dan membantunya untuk menjadi saksi.
Dari Zaid bin Khalid, bahwa Rasullah saw, bersabda.
ﺨ ﺑ ﻢ ﻛ ﺮ ﺒ ﺧ أ ﻻ أ .
“Maukah kalian aku beritahu tentang sebaik-baik saksi? Yaitu yang datang dengan kesaksiannya sebelum diminta untuk bersaksi.”
Kesaksian hanya wajib disampaikan selama mampu untuk menyampaikannya tanpa ada bahaya yang mengacamkan fisiknya,
kehormatannya, hartanya, atau keluarganya. Ini berdasarkan firman Allah swt.
.. ْﻦ ِﻣ
ْﻢ ُﻜ ِﻟ ﺎ َﺟ ِر ْن ِﺈ َﻓ
ْﻢَﻟ ٌﻞ ُﺟ َﺮ َﻓ
ِن ﺎ َﺗ َأ َﺮ ْﻣ ا َو ْﻦ ﱠﻤ ِﻣ
َن ْﻮ َﺿ ْﺮ َﺗ َﻦ ِﻣ
ﱡﺸ ﻟ ا ْن َأ
ﱠﻞ ِﻀ َﺗ ﺮ ﱢﻛ َﺬ ُﺘ َﻓ
ى َﺮ ْﺧ ﻷ ا ...
.
“...Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang
lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya..” Al-Baqarah
[2]: 282
Begitu jumlah saksi banyak dan tidak dikhawatirkan akan adanya pengabaain terhadap hak, maka kesaksian dalam keadaan ini hukumnya
sebagai anjuran. Namun begitu kesaksian menjadi fardhu ain hukumnya,
9
H
]
B
_ ` a b c
al-Mazhalim [46]
maka saksi tidak boleh mengambil imbalan atas kesaksiannya kecuali jika dia mengalami kendala dalam perjalanan, maka dia boleh mengambil
imbalan untuk biaya transportasi.
B. Syarat-Syarat Saksi dalam Kasus Perceraian.
Menurut Hukum Islam syarat-syarat saksi yang dapat diterima kesaksiannya adalah sebagai berikut:
1. Berakal dan Baligh. maka tidak boleh menerima kesaksian orang yang tidak berakal, seperti; orang gila, orang mabuk, dan anak kecil. Karena
mereka tidak tsiqah tidak terpercaya perkataanya, anak kecil yang belum baligh tidak mungkin memberikan kesakian sesuai yang
diinginkan diperlukan dan bukan merupakan saksi yang diridhai. Sesuai yang disyaratkan dalam firman Allah Swt.: “min rijalikum”,
“zu ‘adlin” dan “min-man tardhauna min al-syuhada”. 2. Merdeka. Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah, syarat
saksi harus merdeka, tidak diterima kesaksian seorang hamba. Dasarnya firman Allah Swt dalam Surat Al-Nahl 16 ayat 75:
... ﺒ َﻋ ًﻼ ﺜ ﻣ ُﷲ َب َﺮ َﺿ
Allah membuat perumpumaan seorang hamba sahaya saya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun...
Kesaksian bermakna penguasaan, tidak ada kuasa pada seorang hamba. Menurut Ulama Hanabilah dan Zahiri, kesaksian hamba dapat
diterima, makna ayat diatas bersifat umum sehingga penghambaan
tidak berdampak penolakan kesaksiannya. Hanabilah mengaitkannya untuk selain kasus hudud dan qisas.
3. Islam. Ulama fikih sepakat seorang saksi harus muslim. Tidak diterima kesaksian kafir atas orang Islam karena disangsikan kebenarannya.
Tetapi ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan kesaksian orang kafir mengenai perkara wasiat dalam perjalanan.
Menurut Imam Abu Hanifah, Syuraih, Ibrahim an-Nakhaiy, dan Auzai kesaksiannya
di bolehkan dalam keadaan ini, berdasarkan firman Allah swt., Al-Mai’dah [5]: 106-107.
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah
wasiat itu disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam
perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang untuk bersumpah, lalu
mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu- ragu: Demi Allah kami tidak akan menukar sumpah ini dengan
harga yang sedikit untuk kepentingan seseorang, walaupun dia karib kerabat, dan tidak pula kami menyembunyikan persaksian Allah;
sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa.
Jika diketahui bahwa kedua saksi itu memperbuat dosa, maka dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat
kepada orang yang meninggal memajukan tuntutan untuk
menggantikannya, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah: Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripada
persaksian kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas, sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang
yang menganiaya diri sendiri.
Menurut Syafi’i dan Malik, “Kesaksian kafir terhadap muslim tidak dapat di perkenankan, baik dalam perkara wasiat di tengah
perjalanan maupun dalam perkara lainnya.” Karena saksi yang dikehendaki ayat adalah orang yang merdeka, diridhai dan beragama
Islam, orang yang kita ridhai tentulah dari ahli agama kita, bukan orang-orang musyrik, karena Allah Swt. memutus kewenangan
wilayah antara kita dan mereka dengan agama, tidak pula sahaya yang dikuasai tuannya, orang fasik juga bukan orang yang kita ridhai,
kita hanya ridha terhadap orang-orang kita Islam yang adil, merdeka, dan baligh “min rijalikum”.
10
4. Dapat melihat. Imam Abu Hanifah, Muhammad dan Ulama Syafi’iyah mensyaratkan saksi dalam melihat, tidak diterima kesaksian orang
buta, karena saksi harus tahu apa yang ia saksikan, tahu isyarat padanya ketika menyaksikan, orang buta tidak dapat membedakan
orang kecuali dengan bunyi suara, sementara bunyi suara kadang- kadang saling menyerupai. Terlebih lagi Ulama Hanafiyah, menolak
kesaksian orang buta meskipun di waktu menyaksikannya ia dapat melihat.
10
M
d e f gg f h
i j k
I
hl j m
f n
-
o p f qj r j s
tu
-Umm,
v
-3 B
w j l d x
-L
w
-L
j i f k
y k
: D
f l f
n
-M
f l j qf e
,
e
.226
Ulama Malikiyah dan Hanabilah membolehkan kesaksian orang buta jika ia yakin dengan suara yang ia dengar, karena
umumnya makna ayat mengenai saksi. Dan karena orang buta yang adil dapat diterima riwayatnya sebagaimana orang yang dapat
menghasilkan yakin, begitu pula kesaksian orang buta yang ditetapkan dengan
Istifadah testimonium de
auditu sebagaimana pula dibolehkan menjadi saksi dalam terjemah, karena apa yang
didengarnya akan ditafsirkan oleh keberadaan hakim, pendengarannya sama dengan pendengaran orang yang dapat melihat.
5. Dapat berbicara. Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, mensyaratkan saksi itu mampu berbicara, tidak diterima kesaksian
orang bisu meskipun isyaratnya dapat dipahami, karena isyarat tidak dianggap kesaksian yang syaratnya yakin sehingga dituntut
pelafalanpengucapan kesaksian. Ulama Malikiyah membolehkan kesaksian orang bisu bila dapat dipahami isyaratnya, karena isyarat
adalah bahasa tuturannya yang diterima dalam talak, nikah, dan ziharnya sehingga kesaksiaannya juga begitu.
6. Adil. para ulama sepakat mensyaratkan saksi harus adil, tidak diterima kesaksian orang fasik seperti pezina, pemabuk, pencuri dan yang
semisal. Tetapi orang fasik jika ia terpandang dalam masyarakat, bermartabat dapat diterima kesaksiannya, karena kehormatan dan
martabatnya menghindarkannya dari kecondongan dan berdusta dalam kesaksian. Akan tetapi, menurut ulama Hanafiyah kesaksian orang