Pengertian Saksi SAKSI DALAM KASUS PERCERAIAN MENURUT EMPAT MADZHAB

Kesaksian secara syara’ adalah sebuah pemberitahuan yang jujur untuk menetapkan, membuktikan, dan membenarkan suatu hak dengan menggunakan kata-kata as-syahadah bersaksi di majelis persidangan. Kesaksian adalah hujah bagi pihak penggugat, berdasarkan hadits, Artinya: “Mengajukan bayyinah saksi adalah tugas penggugat.” Sesuai dengan firman Allah SWT. Sebagai berikut: َو ُﺪ َد ا و َو َﻋ ى ٍل ﺪ ِﻣ ُﻜ ﻨ ﻢ ... .... Artinya: “...dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu teggakkan kesaksian itu karena Allah...” Ath-Thalaq [65]: 2 Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa, saksi yang dapat diterima kesaksiannya yaitu orang yang adil dan tidak mengkatagorikan saksi harus dari pihak keluarga sedarah atau diluar dari pihak keluarga, akan tetapi yang ditekankan dari ayat tersebut adalah sifat keadilan seseorang dalam memberikan kesaksiannya. Kesaksian syahadah bisa juga diartikan melihat kepala, karena syahid orang yang menyaksikan itu memberitahukan tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya. Maknanya ialah pemberitahuan seseorang tentang apa yang diketahui dengan lafaz “aku menyaksikan atau aku telah menyaksikan”. Menurut Muhammad Salam Madzkur sebagaimana yang dikutip oleh Asadullah al-Faruq, persaksian adalah suatu ungkapan tentang berita yang benar disidang pengadilan dengan menggunakan lafaz syahadah ucapan kesaksian untuk menetapkan suatu hal atas diri orang lain. Dalam pengertian tersebut dikatakan yang menyangkut atas diri orang lain, sebab bila yang menyangkut diri sendiri bukanlah kesaksian, melainkan ikrar pengakuan. Ahmad ad Daur yang juga dikutip oleh Assadulloh Al-Faruq mendefinisikan kesaksian sebagai penaymapain perkara yang sebenarnya untuk membuktikan sebuah kebenaran dengan mengucapkan lafal-lafal kesaksian di hadapan sidang pengadilan. 8 Hukum Kesaksian Kesaksian adalah fardhu ain bagi orang yang mengetahuinya selama dia diminta untuk menyampaikan kesaksian dan dikhawatirkan adanya pengabaian terhadap hak, bahkan wajib hukumnya jika dikhawatirkan ada hak yang diabaikan meskipun dia tidak diminta untuk bersaksi. Ini berdasarkan firman Allah swt., ... ... “....Dan barang siapa yang menyembunyikan, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Al-Baqarah [2]: 283 Dan firman-Nya, “Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” Ath-Thalaq [65]: 2 Dalam hadits shahih, 8 A B C D E F F C G C F -F C H E I , J u K u L A M N O N PQ O N R S T N U VW T NL , J C XC H YC : Z [ . B EX E K \ Y C , 2009, G .45- 46. ُا ُﺼ ﻧ َا ﺮ َﺧ َك ﺎ َظ ِﻟﺎ ًﻤ َﻣ ؤ ا ﺎ ٌﻠﻈ ًﻣ ﻮ ﺎ. “Bantulah saudaramu yang zalim atau yang dizalimi.” 9 Penjelasan hadits diatas yaitu bangsa Arab mendefinisikan kata al-Nashr dengan makna al-I’anah dan al-Ta’yid, keduanya mempunyai arti yang serupa, yaitu menolong atau membantu. contohnya : ketika seseorang berbuat zalim kepada orang lain lalu kita mencegahnya, maka pada hakikatnya adalah memberikan pertolongan untuknya. dan membantunya untuk menjadi saksi. Dari Zaid bin Khalid, bahwa Rasullah saw, bersabda. ﺨ ﺑ ﻢ ﻛ ﺮ ﺒ ﺧ أ ﻻ أ . “Maukah kalian aku beritahu tentang sebaik-baik saksi? Yaitu yang datang dengan kesaksiannya sebelum diminta untuk bersaksi.” Kesaksian hanya wajib disampaikan selama mampu untuk menyampaikannya tanpa ada bahaya yang mengacamkan fisiknya, kehormatannya, hartanya, atau keluarganya. Ini berdasarkan firman Allah swt. .. ْﻦ ِﻣ ْﻢ ُﻜ ِﻟ ﺎ َﺟ ِر ْن ِﺈ َﻓ ْﻢَﻟ ٌﻞ ُﺟ َﺮ َﻓ ِن ﺎ َﺗ َأ َﺮ ْﻣ ا َو ْﻦ ﱠﻤ ِﻣ َن ْﻮ َﺿ ْﺮ َﺗ َﻦ ِﻣ ﱡﺸ ﻟ ا ْن َأ ﱠﻞ ِﻀ َﺗ ﺮ ﱢﻛ َﺬ ُﺘ َﻓ ى َﺮ ْﺧ ﻷ ا ... . “...Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya..” Al-Baqarah [2]: 282 Begitu jumlah saksi banyak dan tidak dikhawatirkan akan adanya pengabaain terhadap hak, maka kesaksian dalam keadaan ini hukumnya sebagai anjuran. Namun begitu kesaksian menjadi fardhu ain hukumnya, 9 H ] B _ ` a b c al-Mazhalim [46] maka saksi tidak boleh mengambil imbalan atas kesaksiannya kecuali jika dia mengalami kendala dalam perjalanan, maka dia boleh mengambil imbalan untuk biaya transportasi.

B. Syarat-Syarat Saksi dalam Kasus Perceraian.

Menurut Hukum Islam syarat-syarat saksi yang dapat diterima kesaksiannya adalah sebagai berikut: 1. Berakal dan Baligh. maka tidak boleh menerima kesaksian orang yang tidak berakal, seperti; orang gila, orang mabuk, dan anak kecil. Karena mereka tidak tsiqah tidak terpercaya perkataanya, anak kecil yang belum baligh tidak mungkin memberikan kesakian sesuai yang diinginkan diperlukan dan bukan merupakan saksi yang diridhai. Sesuai yang disyaratkan dalam firman Allah Swt.: “min rijalikum”, “zu ‘adlin” dan “min-man tardhauna min al-syuhada”. 2. Merdeka. Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah, syarat saksi harus merdeka, tidak diterima kesaksian seorang hamba. Dasarnya firman Allah Swt dalam Surat Al-Nahl 16 ayat 75: ... ﺒ َﻋ ًﻼ ﺜ ﻣ ُﷲ َب َﺮ َﺿ Allah membuat perumpumaan seorang hamba sahaya saya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun... Kesaksian bermakna penguasaan, tidak ada kuasa pada seorang hamba. Menurut Ulama Hanabilah dan Zahiri, kesaksian hamba dapat diterima, makna ayat diatas bersifat umum sehingga penghambaan tidak berdampak penolakan kesaksiannya. Hanabilah mengaitkannya untuk selain kasus hudud dan qisas. 3. Islam. Ulama fikih sepakat seorang saksi harus muslim. Tidak diterima kesaksian kafir atas orang Islam karena disangsikan kebenarannya. Tetapi ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan kesaksian orang kafir mengenai perkara wasiat dalam perjalanan. Menurut Imam Abu Hanifah, Syuraih, Ibrahim an-Nakhaiy, dan Auzai kesaksiannya di bolehkan dalam keadaan ini, berdasarkan firman Allah swt., Al-Mai’dah [5]: 106-107. Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah wasiat itu disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang untuk bersumpah, lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu- ragu: Demi Allah kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit untuk kepentingan seseorang, walaupun dia karib kerabat, dan tidak pula kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa. Jika diketahui bahwa kedua saksi itu memperbuat dosa, maka dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal memajukan tuntutan untuk menggantikannya, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah: Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripada persaksian kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas, sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang menganiaya diri sendiri. Menurut Syafi’i dan Malik, “Kesaksian kafir terhadap muslim tidak dapat di perkenankan, baik dalam perkara wasiat di tengah perjalanan maupun dalam perkara lainnya.” Karena saksi yang dikehendaki ayat adalah orang yang merdeka, diridhai dan beragama Islam, orang yang kita ridhai tentulah dari ahli agama kita, bukan orang-orang musyrik, karena Allah Swt. memutus kewenangan wilayah antara kita dan mereka dengan agama, tidak pula sahaya yang dikuasai tuannya, orang fasik juga bukan orang yang kita ridhai, kita hanya ridha terhadap orang-orang kita Islam yang adil, merdeka, dan baligh “min rijalikum”. 10 4. Dapat melihat. Imam Abu Hanifah, Muhammad dan Ulama Syafi’iyah mensyaratkan saksi dalam melihat, tidak diterima kesaksian orang buta, karena saksi harus tahu apa yang ia saksikan, tahu isyarat padanya ketika menyaksikan, orang buta tidak dapat membedakan orang kecuali dengan bunyi suara, sementara bunyi suara kadang- kadang saling menyerupai. Terlebih lagi Ulama Hanafiyah, menolak kesaksian orang buta meskipun di waktu menyaksikannya ia dapat melihat. 10 M d e f gg f h i j k I hl j m f n - o p f qj r j s tu -Umm, v -3 B w j l d x -L w -L j i f k y k : D f l f n -M f l j qf e , e .226 Ulama Malikiyah dan Hanabilah membolehkan kesaksian orang buta jika ia yakin dengan suara yang ia dengar, karena umumnya makna ayat mengenai saksi. Dan karena orang buta yang adil dapat diterima riwayatnya sebagaimana orang yang dapat menghasilkan yakin, begitu pula kesaksian orang buta yang ditetapkan dengan Istifadah testimonium de auditu sebagaimana pula dibolehkan menjadi saksi dalam terjemah, karena apa yang didengarnya akan ditafsirkan oleh keberadaan hakim, pendengarannya sama dengan pendengaran orang yang dapat melihat. 5. Dapat berbicara. Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, mensyaratkan saksi itu mampu berbicara, tidak diterima kesaksian orang bisu meskipun isyaratnya dapat dipahami, karena isyarat tidak dianggap kesaksian yang syaratnya yakin sehingga dituntut pelafalanpengucapan kesaksian. Ulama Malikiyah membolehkan kesaksian orang bisu bila dapat dipahami isyaratnya, karena isyarat adalah bahasa tuturannya yang diterima dalam talak, nikah, dan ziharnya sehingga kesaksiaannya juga begitu. 6. Adil. para ulama sepakat mensyaratkan saksi harus adil, tidak diterima kesaksian orang fasik seperti pezina, pemabuk, pencuri dan yang semisal. Tetapi orang fasik jika ia terpandang dalam masyarakat, bermartabat dapat diterima kesaksiannya, karena kehormatan dan martabatnya menghindarkannya dari kecondongan dan berdusta dalam kesaksian. Akan tetapi, menurut ulama Hanafiyah kesaksian orang