Kedudukan Saksi Perempuan dalam Kasus Perceraian

menjelaskan bahwa Nabi SAW menyatakan perempuan tidak sah menjadi saksi dalam urusan pidana, nikah dan thalaq. - Pendapat kedua menurut Hanafiyah menyatakan bahwa dua orang saksi boleh dari perempuan yakni dua orang perempuan dan satu laki- laki karena adanya ayat: 22 .. . ...... ة ﺮ ﻘ ﺒ ﻠ ﻟ ا : 282 ....dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, Maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya... al- Baqarah :282 Perkataan Ali di atas secara tekstual terdapat larangan bagi perempuan dalam kesaksian pernikahan, namun demikian ulama terjadi berbeda pendapat mengenai hal ini, ﺘ ﻠ ﺧ ا و ء ﻻ ﻮ ﻟ ا و ﺐ ﺴ ﻨ ﻟ ا و ق ﻼ ﻄ ﻟ ا و ح ﺎ ﻜ ﻨ ﻟ ا ﻲ ﻓ ا ﻮ ﻔ ﻠ . Mereka ulama berbeda pendapat dalam kesaksian perempuan terkait masalah nikah, talak, nasab dan wali. Dalam masalah wasiat, sebagian ulama berpendapat bahwa perempuan tidak mendapat kedudukan sebagai saksi, persoalan wasiat disyaratkan dua orang laki-laki ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Imam Syafi’i, ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa perempuan dapat menjadi saksi, karena tidak 22 I è é êë ì í , B î ï ð y ðñ ðò - óôõ t ðñ î ï , B ö ÷ ø ë ù : D ú ú ø A û ü ú ú ý -K ÷ ù ú è ú ý -A ø ú è ÷ ü ú û , ùù þ ë z 2, û .348 mensyaratkan laki-laki semua, ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah. Adapun yang menyangkut masalah hak-hak badan biasanya hanya boleh dilihat perempuan saja, seperti masalah kelahiran bayi, bayi yang baru lahir, cacat-cacat yang ada pada perempuan maka dapat diterima kesaksian perempuan secara mutlak, sebagaimana pendapat jumhur ulama. Dalam masalah teriakan bayi yang baru lahir, Imam Abu Hanifah tidak dapat menerima kesaksian perempuan secara mutlak, dalam arti harus ada laki-laki, karena menurut beliau adalah hal tersebut terjadi setelah kelahiran, jadi laki-laki boleh untuk melihat. 23 23 ÿ H , u t u u t Jinayah Islam, : A Offset, 1984, h.95 35

BAB III SAKSI DALAM KASUS PERCERAIAN MENURUT HUKUM POSITIF

YANG BERLAKU DI INDONESIA

A. Pengertian Saksi

Saksi dalam Kamus Bahasa Indonesia memiliki beberapa pengertian, antara lain : 1. Orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa kejadian; 2. Orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa yang dianggap mengetahui kejadian tersebut agar pada suatu ketika, apabila diperlukan, dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi; 3. Orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa dan terdakwa. 1 kesaksian dalam hukum acara perdata Islam dikenal dengan sebutan Al-Syahadah, menurut bahasa ialah: a. Pernyataan atau pemberitahuan yang pasti. b. Ucapan yang keluar dari pengetahuan yang diperoleh dengan penyaksian langsung. c. Mengetahui suatu secara pasti, mengalami dan melihatnya seperti persaksian saya menyaksikan sesuatu artinya saya dan melihatnya sendiri sesuatu itu maka saya ini sebagai saksi. 2 1 , +, - . 1+2 3 + 4 , 5 6 7 8 : 9 6 : ; , 1995, = . ; = -1 ..303 2 6 5 : , ? - A - B 4 + C + D B ? - EF D 2 + ? - 3 4 B 4 G , H I 8 ; 6 : J5 ; J = K L 6 M 2004 = . 9 = -1 .73 Kesaksian merupakan sebuah istilah mengenai pemberitahuan seseorang yang benar di depan pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menerapkan suatu hak terhadap orang lain. Dengan kata lain saksi merupakan alat bukti yang sah yang bertujuan untuk memberitahukan peristiwa yang sebenarnya dengan lafaz “aku bersaksi” 3 Kesaksian adalah menyampaikan perkara yang sebenarnya, untuk membuktikan suatu kebenaran dengan lafaz-lafaz kesaksian di hadapan sidang pengadilan. Kesaksian merupakan keterangan saksi secara lisan di muka sidang atas apa yang dilihat sendiri oleh saksi tentang duduk perkara yang disengketakan. 4 Saksi ialah orang yang memberikan keterangan dimuka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. 5 Menurut Sudikno Mertokusumo saksi adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan. 6 3 NO P QR S T U NR V W P X , Y Z[ Z\ ] _ ` _ ab ` _ c d e _ f ]g_\ _ h i R jR k lR : mn . NR o R p k R qP S XO mrk V R X R , 2002, s r l . t r -9 Q .55 4 NO u R v S NR w x r X R S T U yv jk P T z R qP { | \ } e b \ b f ~ _  d Y Z[ Z\ | e _ \ h i R j R k lR : m n . m rk € R , 2001, s r l . t r -2 Q .174 5 yv j lP Tk lO , a` _ [ ~ b [ ab ` [ _`_ ab ` c _ ~ _ a_c _ ab f_ g c d e _ f ]g_\ _ h s r l ,6 :  O z WR jR k lR : m v Vl R jR mr ‚ R o R k { 2005 Q . 165. 6 ƒ v X P jSO y rk l O j v V v w O , Y Z [ Z \ ] _`_ ab ` c _ ~ _ | f c „ fb  d _ ,  O z W R j R k l R : … P x rk lW ,1998, Q . 112. Dalam hukum acara perdata, pembuktian dengan saksi sangat penting karena jika dalam suatu masyarakat biasanya perbuatan hukum yang dilakukan tidak tertulis, melainkan dengan dihadiri oleh saksi-saksi karena perbuatan hukum yang dilakukan kebanyakan masih menggunakan faham saling mempercayai antara satu sama lain. Dalam perkara bahwa tidak selamanya sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau akta saja. Akan tetapi jalan yang dapat ditempuh untuk membuktikan saksi-saksi yang kebetulan melihat, mengalami atau mendengar sendiri kejadian yang diperkarakan. Kesaksian menurut hukum acara perdata ialah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang disengketakan, dengan jalan membuktikan secara lisan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil dipersidangan. 7 Dalam pasal 1907 KHUPerdata menjelaskan “Tiap-tiap kesaksian harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana di ketahuinya hal-hal yang diterangkan”. Pendapat-pendapat manapun pemikiran-pemikiran khusus yang diperoleh dengan jalan pikiran atau kesimpulan bukan disebut kesaksian. Seorang saksi diharuskan benar-benar melihat, mendengar, mengetahui atau mengalami sendiri terhadap apa yang disaksikannya, bukan berdasarkan cerita dari mulut kemulut atau dari pendengaran ke pendengaran, lalu kemudian saksi menyusun atau mengambil suatu 7 †‡ ˆ ‰ Š ‹Œ  Ž ‰  Œ ‘ ’ “ ”• –— ˜• ˜ ™• –— š ›• œ • š  “š žŸ – — • ˜  “¡–•¡•  “ ¡ ›• • ¢ “ ˜ Ÿ ¡ Ÿ ™Ÿ –Ÿ 𠣤 •¡•  ¥¦ — — § ›• ˜ ™ Ÿ –Ÿš £¤ •¡• ¨¦ œ • š , ˆ Š  Š  © Š : ª « . ¬ Š ­ ® ‹ © Š ¯° Š  © Œ ± ‰ ‹ Š , 1986 ° .34. kesimpulan atau memberi penilaiannya sendiri. Saksi tidak boleh menyimpulkan atas apa yang disaksikannya itu melainkan menerangkan yang bukan aslinya, dan seorang saksi harus menyebutkan sebab ia mengetahui peristiwa tersebut. 8 Tata Cara Pemeriksaan Saksi Tata cara pemeriksaan saksi diatur dalam pasal 139-152 HIR yaitu: 1. Saksi ditunjuk oleh pihak yang berkepentingan atau oleh hakim karena jabatannya, yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara. 2. Saksi dipanggil untuk menghadap dipersidangan. Panggilan dapat dilakukan langsung oleh pihak yang berkepentingan. Apabila dipandang perlu, pihak yang berkepentingan dapat meminta bantuan kepada hakim agar saksi yang diperlukan itu dipanggilkan oleh juru sita Pengadilan pasal 139 HIR. 3. Saksi menghadap ke pengadilan untuk memenuhinya pasal 144 ayat 2 HIR. 4. Saksi dipanggil keruang sidang seorang demi seorang pasal 144 ayat 1 HIR. 5. Hakimketua menanyakan kepada saksi tentang ; - Namanya, - Pekerjaannya, - Umurnya, 8 ²³ ´ µ ¶ · ¸¹ ² ¶ º» ´ ¼ , ½¾ ¿¾ À ¸Á ¶  ¶ ÃÄ ¶ ¼´ Å ¶ · ¸Æ ¶ À ¶ , Ã Ç . ² ¶ È ¶ É Â ¶ Ê´ · ¼ ³ à Ä º ¶ ¼¶ : Ë ¶ ¿¶  ̶ , 2002, ÁÄ Ì , ¿ÄºÄ À Í ´ Å ¶ · . ½ . 160.