Perbedaan Pendapat Empat Madzhab dan Hukum Positif Tentang Kedudukan Saksi Perempuan.

Menurut ulama Hanafiyah ganti satu saksi laki-laki dengan dua orang perempuan karena lebih pelupa “jika yang satunya lupa yang lain mengingatkan”QS Al-Baqarah [2]:282. Tetapi menurut ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah saksi perempuan bersama laki-laki tidak diterima kecuali yang ada kaitannya dengan harta seperti; jual beli, sewa, hibah, wasiat, gadai dan kafalah. Karena pada dasarnya tidak boleh menerima kesaksian perempuan karena kelemahlembutannya akan mengalahkan dirinya dan sedikitnya kuasa pada perempuan. Adapun dalam persoalan selain harta seperti; nikah, rujuk, talak, hiwalah, pembunuhan sengaja, hudud selain zina, tidak boleh diputuskan selain dua orang saksi laki-laki dewasa. Kebenaran yang diambil untuk seseorang dari yang lain tidak boleh kurang kesempurnaannya, yaitu tidak boleh diterima jika kurang dari dua, sesuai perintah Allah sebagaimana persaksian dalam talak, rujuk, dan jual beli. Saksi perempuan tidak boleh kecuali bersama laki-laki dan harus dua orang atau lebih. Apabila jumlah saksi sempurna sesuai perintah Allah, yaitu empat orang laki-laki dalam kasus zina. Perbedaan Kedudukan saksi Perempuan dalam Hukum Positif Masalah kesaksian dalam hukum positif di Indonesia tidak begitu diatur, dalam kitab-kitab Undang-Undang Hukum Perdata KHUPerdata, yang diatur hanya sebatas mengenai teknis, hak-hak, siapa saja yang boleh menjadi saksi dan kewajiban menjadi saksi, tidak diatur secara spesifik mengenai bagaimana hukum kesaksian bagi seorang perempuan, hal ini mengindikasikan bahwa dalam sistem hukum positif di Indonesia, kedudukan saksi laki-laki maupun saksi perempuan sama dan tidak ada perbedaan di antara keduanya. Kedudukan perempuan dalam hukum positif di Indonesia sama dengan laki-laki, mereka boleh melakukan apa saja yang dilakukan oleh laki-laki, dengan alih-alih kesetaraan gender dan hak asasi, kebebasan perempuan tidak boleh dibatasi oleh siapapun. Masalah kesaksian bisa di lihat dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada umumnya dijelaskan, semua orang yang cakap menjadi saksi, diharuskan memberikan kesaksian dimuka hakim atau dapat meminta untuk dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian. Hal ini sesuai dengan KHUPerdata, yang berbunyi: “Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi, diharuskan memberikan kesaksian di muka hakim. Adapun praktek Hukum Acara Perdata saat ini, khususnya di lingkungan peradilan agama, kesaksian seorang perempuan diakui memiliki nilai pembuktian yang sama dengan kesaksian seorang laki-laki. Dalam kasus-kasus yang ditangani oleh pengadilan agama, khususnya dalam masalah perceraian, saksi-saksi perempuan yang dihadirkan dalam tahap persidangan pembuktian diakui sama kedudukannya dengan saksi laki-laki. Ini merupakan sebuah fakta yang menunjukkan bahwa kesaksian kaum perempuan sudah mendapatkan pengakuan sama dengan kesaksian kaum laki-laki. Hal ini mengindikasikan tidak ada perbedaan antara saksi laki-laki dan perempuan. Hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan peradilan agama terkait dengan alat bukti saksi bersumber dari HIR, pasal 139-152 dan KHUPerdata, pasal 1902-1912. Berkaitan dengan sumber hukum tidak ditemukan ketentuan yang mengatur tentang nilai pembuktian saksi berdasarkan jenis kelamin, dalam pengertian bahwa baik saksi laki- laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama. Kebanyakan pakar hukum berpendapat bahwa dalam persidangan pengadilan agama dalam masalah perceraian kesaksian perempuan tidak dipermasalahkan. selama saksi memenuhi syarat-syarat. Dan dalam hukum formil dan materiil tidak mengatur ditentukannya harus laki-laki ataupun perempuan artinya tidak ada pengecualian antara keduanya. Berdasarkan yang mereka pahami, memang benar saksi yang terdapat dalam nash al-Quran surah Al-Baqarah ayat 282 bahwa jika tidak ada 2 orang laki-laki maka boleh 2 orang perempuan dengan 1 laki-laki. Namun itu tidak berlakukan di Pengadilan Agama saat ini. Berdasarkan pemahaman mereka bahwa awal turunnya ayat ini pada zaman di mana perempuan itu tidak pernah berpengalaman dengan hal-hal politik, berbeda dengan perempuan yang ada pada saat ini dengan berkembangnya zaman yang semakin modern dan teknologi yang canggih banyak perempuan yang berhubungan dengan hal-hal politik bahkan perempuan bisa menjadi pemimpin. Di Pengadilan Agama kedudukan saksi seperti yang diatur oleh hukum acara yang berlaku. Dimana pembuktian bisa terima selama saksi mengetahui peristiwa yang akan dibuktikan, sebagaimana ketentuan dalam hukum acara yang berlaku. Jadi berapa pun yang akan menjadi saksi jika dia tidak mengetahui peristiwa atau dalil-dalil yang digugatkan maka itu tidak berlaku di Pengadilan terhadap sengketa apapun. Jika, terdapat 1 saksi perempuan dan 1 laki-laki dan bisa mengetahui peristiwa itu membuktikan dalil gugatannya maka diperbolehkan menjadi saksi selama mamenuhi syarat formil dan materiil. Seperti: dewasa, berakal, adil, cakap, menjadi saksi serta melihat, mendengar dan mengetahui peristiwa. Sedangkan batas minimal saksi di Pengadilan sebagaimana yang terdapat dalam hukum acara yaitu; 2 orang saksi sedang memenuhi syarat formil dan materiil itulah yang dianggap saksi, memang jika lebih banyak saksi itu lebih bagus, namun jika banyaknya saksi tidak memenuhi syarat formil dan materiil maka tidak diperlukan menjadi saksi.

C. Analisis Penulis

Dari penjelasan diatas penulis lebih cenderung setuju dengan pendapat undang-undang, karena kedudukan kesaksian dalam undang- undang tidak membedakan antara saksi laki-laki maupun perempuan. Meskipun pada dasarnya undang-undang mengikuti madzhab Imam Syafi’i tetapi pendapat imam Syafi’i yang tidak memperbolehkan saksi perempuan tidak bisa diterapkan pada zaman sekarang. Karena sesungguhnya hukum itu berlaku sesuai dengan perkembangan zaman. Tapi meskipun penulis lebih setuju dengan pendapat undang-undang, penulis juga tidak menolak sepenuhnya pendapat imam syafi’i, karena pada dasarnya memang benar pendapat imam Syafi’i bahwa perempuan itu lebih mengutamakan perasaan dan emosional. Tapi perempuan yang dimaksud oleh imam Syafi’i adalah perempuan pada zaman dahulu, sedangkan perempuan pada zaman sekarang sudah banyak yang berpendidikan bahkan tidak sedikit yang pendidikannya lebih tinggi dari laki- laki. Jadi pendapat imam Syafi’i tersebut tidak bisa diterapkan lagi pada zaman yang sudah modern seperti sekarang. Selain itu kenapa penulis lebih setuju dengan undang-undang karena pada dasarnya kesaksian seorang saksi itu tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, tetapi yang lebih penting saksi tersebut memang benar- benar memenuhi syarat- syarat materil dan formil sebagai saksi, yaitu: a. Memberi keterangan di depan persidangan, pasal 145 ayat 1 HIR b. Bukan orang-orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi bagi kelompok yang berhak mengundurkan diri sebagai saksi menyatakan kesediannya untuk diperiksa sebagai saksi. c. Mengangkat sumpah menurut agama yang dianutnya pasal 147 HIR d. Cakap menjadi saksi e. Diperiksa satu persatu f. Berumur 15 tahun keatas g. Sehat akalnya h. Memberikan keterangan secara lisan, sesuai dengan pasal 144 ayat 1 HIR i. Berjumlah sekurang-kurangnya 2 orang untuk kesaksian suatu peristiwa, atau dikuatkan dengan alat bukti lain, sebagaimana pasal 169 HIR. Jadi pada intinya jika syarat formil dan materil diatas sudah terpenuhi maka kesaksian orang tersebut dapat diterima, baik dia laki- laki maupun perempuan. Dan yang lebih pentingnya saksi tersebut memang melihat, mendengar dan mengetahui secara langsung kejadian atau duduk perkaranya. 65

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian menurut Empat Madzhab yaitu Syafi’iyah, Imam Malikiyah, dan Imam Hanabilah. mensyaratkan saksi harus laki-laki. Kesaksian perempuan tidak bisa diterima walaupun di dampingi laki-laki. Kesaksian satu orang laki- laki dan dua orang perempuan tidak sah sebagaimana hadis riwayat Abdul Razaq dan Zuhri yang menjelaskan bahwa Nabi SAW menyatakan perempuan tidak sah menjadi saksi dalam urusan pidana, nikah dan thalaq. Sedangkan menurut Hanafiyah bahwa dua orang saksi boleh dari perempuan yakni dua orang perempuan dan satu laki- laki. Adapun kedudukan saksi perempuan menurut Hukum Positif adalah kedudukan perempuan dalam hukum positif di Indonesia sama dengan kedudukan laki-laki, mereka boleh melakukan apa yang dilakukan oleh laki-laki, dengan argumentasi kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Hal ini mengindikasikan tidak ada perbedaan antara saksi laki-laki dan saksi perempuan. 2. Persamaan pendapat Empat Madzhab dan Hukum Positif Di Indonesia Tentang Kedudukan Saksi Perempuan yaitu Persamaan kedudukan saksi perempuan menurut pendapat Para Ulama dan Hukum Positif ada dua, yang pertama, memiliki fungsi kesaksian yang sama yaitu: “Saksi