PERLINDUNGAN HUKUM TERAHADAP PEKERJA DALAM PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA OLEH PT. BUANA AGUNG LESTARI INDAH INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Denpasar Nomor: 05/PHI/2013/PN.DPS).
DALAM PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN
KERJA OLEH PT. BUANA AGUNG LESTARI INDAH
INTERNASIONAL
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Hubungan Industrial
Pada Pengadilan Negeri Denpasar
Nomor: 05/PHI/2013/PN.DPS)
I DEWA AYU TRISNA ANGGITA PRATIWI NIM.1203005060
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2016
(2)
DALAM PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN
KERJA OLEH PT. BUANA AGUNG LESTARI INDAH
INTERNASIONAL
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Hubungan Industrial
Pada Pengadilan Negeri Denpasar
Nomor: 05/PHI/2013/PN.DPS)
I DEWA AYU TRISNA ANGGITA PRATIWI NIM.1203005060
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2016
(3)
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Hubungan Industrial
Pada Pengadilan Negeri Denpasar
Nomor: 05/PHI/2013/PN.DPS)
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
I DEWA AYU TRISNA ANGGITA PRATIWI NIM.1203005060
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2016
(4)
(5)
(6)
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa karena atas Asung Kerta Wara Nugraha-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Dalam Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Oleh PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional (Studi Kasus Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Denpasar Nomor: 05/PHI/2013/PN.DPS)”.
Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari rangkaian kegiatan akademik untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum dalam bidang studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa adanya bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan yang baik ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana;
2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana;
3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH., MH., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana;
(7)
Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana;
6. Bapak I Ketut Keneng, SH., MH., Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dalam proses perkuliahan selama ini;
7. Bapak I Ketut Markeling, SH., MH., Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan memberikan arahan dalam menyelesaikan skripsi ini;
8. Bapak I Made Dedy Priyanto, SH., M.Kn., Pembimbing II yang telah meluangkan banyak waktu dan pemikiran dalam memberikan bimbingan serta memberikan arahan dalam menyelesaikan skripsi ini; 9. Bapak dan Ibu Dosen Pengajar Fakultas Hukum Universitas Udayana
yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana;
10.Bapak dan Ibu Staf Tata Usaha, Laboratorium Hukum dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam kegiatan akademik;
11.Bapak dan Ibu sebagai informan dan responden yang telah memberikan keterangan dalam pengumpulan data sehingga skripsi ini dapat tersusun dengan baik;
12.Kedua Orang Tua penulis yaitu Bapak I Dewa Made Alit Darma S.H, dan Ibu Luh Raini S.H serta saudara-saudara penulis (I Dewa Ayu
(8)
13.Sahabat-sahabat penulis Zhanniza Elrian Angelita, Ni Luh Kurnia Dharma Pertiwi, Desak Nyoman Tri Putra Dewi, Dimitri Noor Anggreani, Dian Pertiwi, Sintha Tjiri Pradnya Dewi, Riska Eka Putri, Wulan Virda Dewi, I Gusti Ayu Pitriani, Gungray, Nyoman Fatma Sari, Elvina Esmeralda yang telah memberikan semangat dan motivasi; 14.Teman-teman seperjuangan, Sari, Wahtirta, Nanda, Intan, Bayu, Paramarta, Kevin, Satria, Dedik, Dedek, Angga, Mirah, Asri serta seluruh teman-teman angkatan 2012 Fakultas Hukum Universitas Udayana yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu;
15.Teman-teman KKN-PPM Universitas Udayana Periode XI Tahun 2015 Desa Pejeng Kawan, Kecamatan Tampang Siring, Gianyar, Ninda Anggita, Jiona Karsani, Opik Pandawa, Zindy, dan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu;
16.Senior-senior penulis, Riyani, Elcintya Yasana, Cintya Virga, Yogi Prasada, Alvin Janitra, Nadira Saraswati, Wahyu Awan, Regentara, yang selalu memberikan bantuan dan dukungan selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana;
17.Fungsionaris Udayana Moot Court Community 2013/2014 dan seluruh Keluarga Besar Udayana Moot Court Community Fakultas Hukum
(9)
maka penyusunan skripsi ini jauh dari kata sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan akademik dan perkembangan ilmu hukum.
Denpasar, 18 Februari 2016
(10)
Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila Karya Ilmiah/ Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.
Demikian surat pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungajwaban ilmiah tanpa adanya paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.
Denpasar, 18 Februari 2016 Yang menyatakan,
(I Dewa Ayu Trisna Anggita Pratiwi) NIM. 1203005060
(11)
HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii
HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iv
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... v
HALAMAN KATA PENGANTAR... vi
HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... x
DAFTAR ISI ... xi
ABSTRAK ... xv
ABSTRACT... xvi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 6
1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 7
1.4 Orisinalitas Penelitian ... 8
1.5 Tujuan Penelitian ... 9
a. Tujuan umum ... 9
b. Tujuan khusus ... 10
1.6 Manfaat Penelitian ... 10
a. Manfaat teoritis ... 10
(12)
1.8.2 Jenis pendekatan ... 19
1.8.3 Sifat penelitian... 20
1.8.4 Data dan sumber data... 21
1.8.5 Teknik pengumpulan data ... 23
1.8.6 Teknik penentuan sampel penelitian ... 24
1.8.7 Teknik pengolahan dan analisis data ... 25
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja ... 26
2.1.1 Pengertian dan tujuan perlindungan hukum terhadap pekerja ... 26
2.1.2 Sarana dan objek perlindungan hukum terhadap pekerja ... 28
2.2 Pemutusan Hubungan Kerja ... 29
2.2.1 Hubungan kerja dan perjanjian kerja ... 29
2.2.2 Pengertian dan macam - macam pemutusan hubungan kerja ... 32
(13)
2.4 Perselisihan Hubungan Industrial ... 45 2.4.1 Pengertian dan macam-macam perselisihan
hubungan industrial ... 45 2.4.2 Tahap-tahap penyelesaian perselisihan hubungan
industrial ... 48
BAB III PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN
HUBUNGAN KERJA OLEH PT. BUANA AGUNG
LESTARI INDAH INTERNASIONAL TERHADAP
PEKERJA SECARA SEPIHAK
3.1 Latar Belakang Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja di PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional ... 58 3.2 Upaya Hukum yang Ditempuh Pekerja Dalam
Penyelesaian Perselisihan Sebagai Akibat Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja Oleh PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional... 60 3.2.1 Penyelesaian melalui perundingan bipartit... 60 3.2.2 Penyelesaian melalui mediasi di Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Provinsi Bali ... 62 3.2.3 Penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan
(14)
OLEH PT. BUANA AGUNG LESTARI INDAH INTERNASIONAL
4.1 Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Dalam Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak Oleh PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional... 85 4.2 Kendala - Kendala yang Dihadapi Pekerja Dalam
Pelaksanaan Perlindungan Hukum Atas Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak Oleh PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional ... 87
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ... 94 5.2 Saran ... 95
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RESPONDEN DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN-LAMPIRAN RINGKASAN SKRIPSI
(15)
hubungan kerja (PHK) oleh PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional dilatar belakangi oleh adanya PHK yang dilakukan oleh pengusaha secara sepihak dengan alasan perusahaan tutup karena keadaan diluar kemampuan pengusaha. berdasarkan latar belakang tersebut, adapun permasalahan sekaligus tujuan dalam penelitian ini adalah untuk meneliti bagaimanakah penyelesaian perselisihan PHK oleh PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional terhadap pekerja secara sepihak dan untuk mengetahui bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja dalam perselisihan PHK oleh PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional secara sepihak dengan studi kasus Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar Nomor: 05/PHI/2013/PN.DPS.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis empiris, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan fakta.
Adapun hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah penyelesaian perselisihan PHK yang terjadi antara PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional dengan para pekerja telah dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yaitu melalui perundingan bipartit dan mediasi serta Pengadilan Hubungan Industrial. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja mengacu kepada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu para pekerja diberikan hak sesuai ketentuan Undang-undang tersebut. Namun pada kenyataannya pelaksanaan perlindungan hukum tersebut belum dilaksanakan oleh pengusaha. Sebaiknya alasan PHK yang diperbolehkan undang-undang lebih dipertegas dalam peraturan pelaksananya.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Perselisihan, PHK, Pekerja, dan Pengusaha
(16)
by PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional backgrounded due to unitlateral termination of employment by the employer due the inability of the company to continue their bussiness. Based on that backgorund, the main issues and aim of this study is to examine over on how the dispute settles of the unilateral termination of employment by PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional and also how is the legal protection of the worker rights in a dispute over an unilateral termination of employment with case study Pengadilan Hubungan Industrial ruling on the Pengadilan Negeri Denpasar Number: 05/PHI/2013/PN.DPS.
The method that is used in this thesis is Juridical-Empirical research methods using the approach of legislation, case approach and the approach to the facts.
The result that obtained in this study is that the dispute settlement of unitlateral termination of employment that occured between PT. Buana Agung Lestari Indah International with the workers had made remedies as stipulated in Indonesian Act Number 2 of 2014 concerning Industrial Relations Dispute Settlement is through bipartite negotiations and mediation as well as Industrial Relation Court. Implementation of the legal protection for workers referring to Act Number. 13 of 2003 on employment where workers are granted the right according to the provisions of the Act. But in fact the implementation of legal protection has not been implemented by employers. In this case the government need to emphasized permissible reason for termination of employment through an act.
(17)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada hakikatnya manusia mempunyai berbagai kebutuhan yang harus
dipenuhi untuk melangsungkan kehidupannya. Kebutuhan manusia dapat
diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu:
(a) Kebutuhan ekonomi yang bersifat material, untuk kesehatan dan keselamatan jasmani, seperti pakaian, makanan, perumahan.
(b) Kebutuhan psikhis yang bersifat immaterial, untuk kesehatan dan keselamatan rohani, seperti pendidikan, hiburan, penghargaan, agama. (c) Kebutuhan biologis yang bersifat seksual, untuk membentuk keluarga dan
kelangsungan hidup generasi secara turun-temurun, seperti perkawinan, berumah tangga.
(d) Kebutuhan pekerjaan yang bersifat praktis, untuk mewujudkan ketiga jenis kebutuhan di atas, seperti perusahaan, profesi. 1
Dari keempat jenis kebutuhan tersebut, kebutuhan akan pekerjaan merupakan
kebutuhan yang sangat kompleks karena tanpa adanya pekerjaan manusia tidak
akan bisa memenuhi kebutuhan ekonomi, kebutuhan psikhis dan kebutuhan
biologis. Kebutuhan akan pekerjaan ini juga sangat penting untuk meningkatkan
harkat dan martabat serta kualitas diri manusia seutuhnya sebab pekerjaan
menentukan kredibilitas seseorang.
Hak atas pekerjaan merupakan hak setiap orang, hal ini sebagaimana yang
tertuang dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) Pasal 27 ayat (2) yang menentukan
bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
1Abdulkadir Muhammad, 2006, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
(18)
layak bagi kemanusiaan”. Selain itu dalam amandemen UUD 1945 Pasal 28 D ayat (2) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Dengan demikian,
dalam UUD 1945 menegaskan bahwa hak atas pekerjaan merupakan salah satu hak
asasi manusia yang tidak dapat diabaikan.
Bekerja dapat dilakukan dengan membuka usaha sendiri maupun bekerja
dengan orang lain. Bekerja pada orang lain dapat diartikan orang tersebut bekerja
di luar hubungan kerja (yang meliputi swapekerja/wiraswasta) dan mereka yang
bekerja di dalam hubungan kerja.2 Untuk mengatur agar hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan berjalan dengan harmonis dan sebagai
pelaksanaan UUD 1945 maka pemerintah berupaya membentuk peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai ketenagakerjaan di Indonesia yang
sekarang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU No. 13 Tahun 2003).
Berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 menentukan bahwa
“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah”. Dasar lahirnya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja adalah
perjanjian kerja. Ketentuan Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 menentukan
bahwa “Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/atau buruh dengan
2Asri Wijayanti, 2014, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Cet. IV, Sinar Grafika,
(19)
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban
para pihak”.
Dewasa ini masalah mengenai ketenagakerjaan sangat kompleks dan
beragam. Hal tersebut dikarenakan kenyataan bahwa hubungan kerja antara
pengusaha/majikan dengan pekerja/buruh tidak selalu berjalan dengan harmonis.
Masalah ketenagakerjaan mengandung dimensi ekonomis, sosial kesejahteraan,
dan sosial politik.3 Salah satu masalah ketenagakerjaan yang sering terjadi hingga
saat ini adalah pemutusan hubungan kerja (selanjutnya disebut PHK).
Peristiwa pengakhiran hubungan kerja seringkali menimbulkan
permasalahan yang tidak mudah terselesaikan, baik mengenai pengakhiran
hubungan itu sendiri maupun utamanya akibat hukum dari pengakhiran hubungan
kerja.4 PHK merupakan peristiwa yang tidak diharapkan terjadi khususnya bagi
pekerja/buruh, karena PHK itu akan memberikan dampak psycologis,
economis-financiil bagi pekerja/buruh dan keluarganya.5 Bagi setiap pekerja PHK merupakan
suatu keadaan yang membawa penderitaan. PHK mengakibatkan pekerja
kehilangan sumber penghasilan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari baik bagi dirinya maupun keluarganya.
PHK dapat terjadi pada perseorangan maupun dengan skala besar-besaran
(massal). Dalam Pasal 1 angka 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor:
3Adrian Sutedi, 2011, Hukum Perburuhan, Cet.II, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 5.
4Edy Sutrisno Sidabatur, 2008, Pedoman Penyelesaian PHK (Prosedur PHK, Kompensasi
PHK, Akibat Hukum PHK, Contoh-contoh Kasus PHK Beserta Penghitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan, dan Uang Penggantian Hak), Cet.II, Elpress, Tangerang, hlm. 2.
5F. X. Djumialdji dan Wiwoho Soejono, 1985, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan
(20)
150/MEN/2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan
Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan
(selanjutnya disebut Kepmenaker No: KEP-150/MEN/2000) menentukan bahwa
“Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran (massal) adalah pemutusan hubungan terhadap 10 (sepuluh) orang pekerja atau lebih pada satu perusahaan
dalam satu bulan atau terjadi rentetan pemutusan hubungan kerja yang dapat
menggambarkan suatu itikad pengusaha untuk mengadakan pemutusan hubungan
kerja secara besar-besaran”.
PHK merupakan salah satu jenis dari perselisihan hubungan industrial
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (selanjutnya disebut UU No. 2
Tahun 2004). Perselisihan PHK dilatarbelakangi adanya tindakan pengusaha yang
melakukan PHK secara sepihak yang tidak sesuai dengan prosedur PHK
sebagaimana diatur dalam undang-undang. Selain itu perselisihan PHK terjadi
karena adanya perbedaan pendapat mengenai alasan PHK yang berpengaruh
terhadap hak-hak normatif pekerja.
Tindakan pengusaha melakukan PHK secara sepihak dapat terjadi
dikarenakan 2 (dua) alasan yaitu pertama, PHK yang didasarkan pada alasan yang
terdapat pada diri pekerja/buruh dan kedua, PHK yang didasarkan pada alasan yang
terdapat pada diri pengusaha. PHK yang dilakukan oleh pengusaha karena alasan
pada diri pekerja dikarenakan terdapat pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
(21)
dilakukan pengusaha karena alasan pada diri pengusaha disebabkan karena
perusahaan mengalami gangguan atau kesulitan sehingga perlu dilakukannya PHK.
Pada kenyataannya banyak terjadi kasus PHK yang dilakukan oleh
pengusaha secara sepihak kepada pekerja dikarenakan alasan yang terdapat pada
diri pengusaha. Perusahaan yang dijalankan oleh pengusaha tidak selalu berjalan
dengan baik, terkadang perusahaan mengalami masalah-masalah baik internal
maupun eksternal. Masalah-masalah tersebut tentu saja berdampak pada gangguan
operasional perusahaan. Akibat dari perusahaan yang mengalami gangguan
tersebut dapat menyebabkan pengusaha melakukan PHK sepihak terhadap para
pekerjanya. Namun demikian, dalam UU No. 13 Tahun 2003 telah mengatur alasan
PHK yang boleh dan tidak boleh dilakukan pengusaha. Dalam hal undang-undang
memperbolehkan alasan pengusaha melakukan PHK, maka alasan yang digunakan
tersebut harus dapat dibuktikan.
Salah satu kasus PHK yang dilakukan pengusaha secara sepihak terjadi pada
para pekerja dari PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional. Pada tanggal 20
Desember 2012 PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional melakukan PHK
kepada 63 (enam puluh tiga) orang pekerjanya dengan alasan bahwa perusahaan
telah berakhir operasionalnya sejak akhir Desember 2012 dan tidak mampu lagi
membayar pekerja. Tutupnya perusahaan dikarenakan adanya keadaan diluar
kemampuan perusahaan karena perusahaan ditutup paksa oleh ahli waris pemilik
hak sewa atas tanah dan bangunan tempat PT. Buana Agung Lestari Indah
Internasional berkantor. Selain itu pemilik atas tanah dan bangunan tempat PT.
(22)
lagi kontrak sewa menyewa tanah sehingga PT. Buana Agung Lestari Indah
Internasional melakukan PHK kepada pekerjanya dengan alasan keadaan memaksa
(force majeure).
Terhadap PHK yang dilakukan oleh pengusaha, maka pemerintah wajib
memberikan perlindungan hukum. Perlindungan hukum dari kekuasaan pengusaha
atau majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam bidang
perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan seperti dalam
perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan
hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja tetapi juga diukur secara sosiologis
dan filosofis.6 Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka
penulis tertarik melakukan penelitian untuk penulisan skripsi dengan judul
“Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Dalam Perselisihan Pemutusan
Hubungan Kerja Oleh PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional (Studi Kasus Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri
Denpasar Nomor: 05/PHI/2013/PN.DPS)”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, terdapat
beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. Adapun
permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja oleh
PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional terhadap pekerja secara
6 Zainal Asikin et.al. 1993, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT. Raja Grafindo Persada,
(23)
sepihak (studi kasus Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Denpasar Nomor: 05/PHI/2013/PN.DPS)?
2. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja dalam
perselisihan pemutusan hubungan kerja oleh PT. Buana Agung Lestari
Indah Internasional secara sepihak (studi kasus Putusan Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar Nomor:
05/PHI/2013/PN.DPS)?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ketenagakerjaan memiliki ruang lingkup pembahasan yang luas. Adapun
topik permasalahan yang telah dijelaskan diatas merupakan bagian dari materi
ketenagakerjaan khususnya mengenai perselisihan PHK. Dengan demikian agar
pembahasan topik permasalahan tersebut tidak meluas maka penulis akan
membatasi ruang lingkup masalah sesuai dengan judul yang diangkat yaitu
“Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Dalam Perselisihan Pemutusan Hubungan
Kerja Oleh PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar Nomor:
05/PHI/2013/PN.DPS)”. Adapun pembatasan ruang lingkup masalah dalam penulisan ini yaitu mengenai:
1. Mengenai penyelesaian perselisihan PHK oleh PT. Buana Agung Lestari
Indah Internasional terhadap pekerja secara sepihak.
2. Mengenai pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja dalam
perselisihan PHK oleh PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional secara
(24)
1.4 Orisinalitas Penelitian
Penelitian hukum dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Dalam Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Oleh PT. Buana Agung Lestari
Indah Internasional (Studi Kasus Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Denpasar Nomor: 05/PHI/2013/PN.DPS)” merupakan hasil karya asli penulis. Sejauh observasi yang penulis lakukan baik di ruang koleksi
skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana maupun internet, tidak terdapat
penelitian yang sama yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan
baik di Fakultas Hukum Universitas Udayana dan juga di suatu perguruan tinggi
manapun kecuali yang secara tertulis diacu dalam penulisan penelitian ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka. Untuk penelitian sejenis dengan penelitian yang
diajukan, dapat dijabarkan sebagai berikut:
Tabel I
SKRIPSI JUDUL RUMUSAN MASALAH
Pande Putu Wisnu
Saputra,
0616051143,
Program Ekstensi
Fakultas Hukum,
Universitas
Udayana, 2010.
“Perlindungan
Hukum Pekerja
Terhadap PHK
Berkaitan Dengan
Adanya Akuisisi
Pada PT.BPR Puri
Asri Bhakti Karya”
1. Bagaimana pelaksanaan
perlindungan hukum pemutusan
hubungan kerja dalam berkaitan
adanya akuisasi pada PT. BPR
(25)
2. Hak-hak apakah yang telah
diberikan kepada pekerja yang di
PHK akibat adanya akuisasi?
Lina Sasmiati,
10340083,
Fakultas Syari’ah
dan Hukum,
Universitas Islam
Negeri Sunan
Kalijaga
Yogyakarta, 2014.
“Perlindungan
Hukum Terhadap
Karyawan Atas
Pemutusan
Hubungan Kerja di
PT. Jogja Tugu
Trans”
1. Apa saja hak-hak karyawan
yang tercantum dalam perjanjian
kerja jika karyawan mengalami
pemutusan hubungan kerja?
2. Bagaimana perlindungan hukum
terhadap karyawan atas
pemutusan hubungan kerja di
PT.Jogja Tugu Trans?
3. Apa upaya hukum yang
dilakukan karyawan atas
pemutusan hubungan kerja
terhadap PT. Jogja Tugu Trans?
Dari dua jenis penelitian diatas terdapat perbedaan substansi dengan
penelitian ini. Adapun letak perbedaan antara penelitian ini dengan kedua penelitian
di atas adalah pada permasalahan yang diteliti, dan pada lokasi penelitian sehingga
kajian dari penelitian ini dengan penelitian di atas akan berbeda.
1.5 Tujuan Penelitian
a. Tujuan umum
(26)
1. Untuk mengetahui penyelesaian perselisihan PHK oleh PT. Buana
Agung Lestari Indah Internasional terhadap pekerja secara sepihak.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja
dalam perselisihan PHK oleh PT. Buana Agung Lestari Indah
Internasional secara sepihak.
b. Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk memahami penyelesaian perselisihan PHK oleh PT. Buana
Agung Lestari Indah Internasional terhadap pekerja secara sepihak.
2. Untuk memahami pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja
dalam perselisihan PHK oleh PT. Buana Agung Lestari Indah
Internasional secara sepihak.
1.6 Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis
1. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menambah wawasan
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dapat
memberikan sumbangan pemikiran dalam bidang ilmu hukum
khususnya dalam hukum ketenagakerjaan yang berkaitan dengan
penyelesaian perselisihan PHK dan perlindungan hukum dalam
perselisihan PHK.
2. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi acuan atau bahan hukum untuk
penelitian-penelitian selanjutnya khususnya bagi civitas akademika
(27)
b. Manfaat praktis
1. Diharapkan mahasiswa dapat mengimplementasikan teori-teori hukum
khususnya dalam hukum ketenagakerjaan ke dalam masalah nyata yang
ada dilapangan.
2. Diharapkan mahasiswa dapat membandingkan antara teori yang
didapatkan dengan praktek di lapangan hukum ketenagakerjaan
khususnya dalam penelitian mengenai perlindungan hukum terhadap
pekerja dalam perselisihan PHK secara sepihak. Dengan
membandingkan antara teori dengan praktek diharapkan mahasiswa
dapat memecahkan masalah yang terjadi di lapangan.
3. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan atau pedoman
bagi mahasiswa maupun praktisi hukum dalam menyelesaikan
permasalahan yang sejenis.
1.7 Landasan Teoritis
Landasan teoritis merupakan dasar pemikiran teoritis yang digunakan untuk
menjelaskan fenomena hukum yang sedang terjadi. Landasan teoritis dapat
memberikan petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada suatu pengetahuan
ilmiah.7
Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil
7
(28)
maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.8 Sejalan dengan tujuan
pembangunan nasional maka untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja,
pemerintah menetapkan UU No. 13 Tahun 2003 untuk memberikan perlindungan
hukum terhadap tenaga kerja.
Menurut Dosen bagian hukum perdata Fakultas Hukum Universitas
Udayana I Nyoman Darmadha, yang dimaksud dengan perlindungan hukum tenaga
kerja adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah adanya pelanggaran terhadap
hak-hak dari pekerja yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.9 Menurut
Soepomo perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi tiga macam yaitu perlindungan
ekonomis, perlindungan sosial dan perlindungan teknis.10 Dalam beberapa pasal
yang terdapat dalam UU No. 13 Tahun 2003 memuat aturan mengenai perlindungan
tenaga kerja diantaranya:
1. Dalam Pasal 4 huruf c menentukan bahwa salah satu tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan.
2. Dalam Pasal 5 menentukan bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
3. Dalam Pasal 6 menentukan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. 4. Dalam Pasal 86 ayat (1) menentukan bahwa setiap pekerja/buruh
berhak memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
5. Dalam Pasal 88 ayat (1) menentukan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
8Asri Wijayanti, op.cit. hlm.6.
9Made Dita Widyantari, 2015, “Perlindungan Hukum Terhadap Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Pekerja Kedi di Lapangan Golf Bali Beach”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hlm. 10.
(29)
Adapun maksud dan tujuan dari ketentuan pasal-pasal tersebut adalah untuk
meningkatkan taraf kehidupan pekerja dan melindungi pekerja dari adanya
kesewenang-wenangan tindakan pengusaha.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun 2003 menentukan
bahwa “Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja”. Peraturan-peraturan yang mengatur tentang ketenagakerjaan disebut dengan hukum ketenagakerjaan. Dahulu
hukum ketenagakerjaan disebut dengan hukum perburuhan atau dalam bahasa
Belanda disebut arbeidsrechts.
Menurut Abdul Khakim, hukum ketenagakerjaan adalah peraturan hukum
yang mengatur mengenai hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
pengusaha/majikan dengan segala konsekuensinya.11 Imam Soepomo memberikan
batasan pengertian hukum perburuhan sebagai suatu himpunan peraturan, baik
tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang
bekerja pada orang lain dengan menerima upah.12
Berdasarkan pengertian tersebut, dalam hukum ketenagakerjaan mengatur
mengenai hubungan kerja antara pekerja dan pemberi kerja. Adapun subjek hukum
dalam hubungan kerja adalah pengusaha/pemberi kerja dengan pekerja/buruh.
Halim memberikan pengertian buruh/pegawai adalah:
1. Bekerja pada atau untuk majikan/perusahaan.
2. Imbalan kerjanya dibayar oleh majikan/perusahaan.
11Abdul Khakim, 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Cet.II, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 6.
(30)
3. Secara resmi terang-terangan dan kontinu mengadakan hubungan kerja
dengan majikan/perusahaan, baik untuk waktu tertentu maupun untuk
jangka waktu tidak tertentu.13
Ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2003 memberikan definisi
“Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat”. Pengertian tenaga kerja ruang lingkupnya lebih luas
daripada pekerja atau buruh karena tenaga kerja dapat meliputi pegawai negeri,
karyawan swasta, buruh, maupun pengangguran. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 3
UU No. 13 Tahun 2003 menentukan bahwa “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Pengertian pemberi kerja dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 13 Tahun 2003
menyatakan bahwa “Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Dasar terbentuknya hubungan kerja adalah perjanjian kerja. Tanpa adanya
perjanjian kerja maka antara pekerja/buruh dengan pengusaha/pemberi kerja tidak
mempunyai ikatan kerja sah. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut KUH Perdata) tidak mengenal sebutan perjanjian melainkan
persetujuan (overeenkomst). Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan
bahwa “Persetujuan adalah suatu perbuatan di mana seseorang atau lebih
13
A. Ridwan Halim, 1990, Hukum Perburuhan Dalam Tanya Jawab, Cet II, Gahlia Indonesia, Jakarta hlm.11.
(31)
mengikatkan diri pada orang lain untuk melaksanakan sesuatu hal”. Agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah maka antara pekerja dengan pengusaha harus
memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian.
Hubungan kerja antara pengusaha/majikan dengan pekerja/buruh tidak
selalu berjalan dengan baik. Hubungan kerja yang tidak berjalan dengan baik dapat
terjadi dikarenakan adanya gangguan pada perusahaan sehingga tidak jarang
pengusaha/majikan harus melakukan PHK terhadap pekerja/buruhnya. Ketentuan
Pasal 1 angka 25 UU No. 13 Tahun 2003 menentukan bahwa “Pemutusan hubungan
kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha”.
PHK merupakan salah satu perselisihan hubungan industrial. Hal ini
sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2004
yang menentukan “Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan
hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan”.
Berdasarkan rumusan tersebut, terdapat empat jenis perselisihan hubungan
industrial yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan
perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan.
Pasal 1 angka 4 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa “Perselisihan
(32)
kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh
salah satu pihak”. Dalam melakukan PHK, pengusaha wajib memperhatikan
ketentuan serta prosedur PHK yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pengusaha tidak dapat melakukan PHK secara sepihak namun harus melalui
perundingan terlebih dahulu. Dalam ketentuan Pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003
menentukan bahwa:
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya yang telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pengusaha dalam melakukan PHK terhadap pekerjanya harus
memperhatikan ketentuan UU No. 13 Tahun 2003. Dalam ketentuan Pasal 153 UU
No. 13 Tahun 2003 telah menentukan alasan yang dilarang untuk pengusaha
melakukan PHK terhadap pekerjanya. Apabila pengusaha melakukan PHK dengan
alasan sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan tersebut maka PHK tersebut
batal demi hukum. Selain alasan yang dilarang, dalam UU No. 13 Tahun 2003
menentukan alasan-alasan yang diperbolehkan untuk pengusaha melakukan PHK
terhadap para pekerjanya. Salah satunya adalah dalam ketentuan Pasal 164 ayat (1)
UU No. 13 Tahun 2003 yang menentukan bahwa “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang
(33)
tahun, atau keadaan memaksa (force majeure) dengan ketentuan pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”.
Berdasarkan rumusan pasal tersebut, pengusaha dapat melakukan PHK
dengan alasan bahwa perusahaan tutup yang disebabkan oleh keadaan memaksa
(force majeure). Agar rumusan pasal tersebut terpenuhi maka perlu dibuktikan
mengenai kebenaran perusahaan tutup dikarenakan alasan keadaan memaksa (force
majeure). Pengaturan mengenai keadaan memaksa (force majeure) dapat dilihat
dalam ketentuan Pasal 1244 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila tak dapat membuktikan
bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam
melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang tak
dapat dipertanggungjawabkan kepadanya walaupun, tidak ada iktikad buruk
padanya”. Dari rumusan tersebut dapat ditarik pengertian keadaan memaksa yakni
suatu keadaan dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur
yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya seperti karena
adanya gempa bumi, banjir, lahar, dan lain-lain.
PHK secara sepihak sering kali menyebabkan perselisihan yang tidak dapat
diselesaikan secara kekeluargaan antara pengusaha dengan pekerja. Menurut
Charles D Drake dalam buku Lalu Husni mengemukakan bahwa yang dapat
menyebabkan terjadinya perselisihan hubungan industrial adalah karena didahului
(34)
hukum perburuhan dan tindakan pengusaha yang diskriminatif.14 Untuk itu
pemerintah memberikan cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial
sebagaimana tercantum dalam UU No. 2 Tahun 2004. Penyelesaian hubungan
industrial dapat diupayakan melalui 2 (dua) penyelesaian yaitu melalui
penyelesaian non litigasi yaitu perundingan bipartit, mediasi, konsiliasi atau
arbitrase dan penyelesaian litigasi yaitu Pengadilan Hubungan Industrial.
1.8 Metode Penelitian
Metode penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang dilakukan
secara sistematis yang bertujuan untuk mempelajari suatu gejala hukum dan
menganalisa serta memecahkan masalah hukum tersebut. Adapun metode
penelitian yang akan digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah:
1.8.1 Jenis penelitian
Dari segi fokus kajiannya penelitan hukum dapat dibedakan menjadi tiga
tipe yaitu:
1. Penelitian hukum normatif (normative law research);
2. Penelitian hukum normatif-empiris, yang disebut juga penelitian
hukum normatif terapan (applied law research); dan
3. Penelitian hukum empiris (empirical law research). 15
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan
menggunakan penelitian hukum yang bersifat yuridis empiris. Penelitian hukum
14Lalu Husni, 2004, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan
dan Diluar Pengadilan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 35.
15Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.I, PT. Citra Aditya
(35)
yang bersifat yuridis empiris merupakan suatu usaha mendekati masalah yang
diteliti dengan sifat hukum yang nyata.16 Dalam penelitian yang bersifat yuridis
empiris ini permasalahan yang terjadi didasarkan adanya kesenjangan yang terjadi
antara das solen (teori) dengan das sein (praktek atau kenyataan). Dalam penelitian
ini terdapat kesenjangan dimana PHK sepihak yang dilakukan oleh PT. Buana
Agung Lestari Indah Internasional terhadap para pekerjanya bertentangan dengan
prosedur PHK yang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 151 UU No. 13
Tahun 2003. Selain itu, pelaksanaan perlindungan hukum terhadap para pekerja
yang berkaitan dengan pemberian hak-hak normatif pekerja sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 164 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tidak dilaksanakan
oleh PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional.
1.8.2 Jenis pendekatan
Penelitian hukum mengenal adanya 7 (tujuh) jenis pendekatan. Adapun
pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah:
a. Pendekatan Perundang-undangan (thestatute approach);
b. Pendekatan Kasus (the case approach);
c. Pendekatan Fakta (the fact approach).
Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah peraturan
perundang-undangan dan peraturan pelaksana terkait khususnya yang bersangkutan
dengan permasalahan PHK yang terjadi di lapangan. Pendekatan
16Hilman Adikusuma, 1995, Kertas Kerja dan Skripsi Ilmu Hukum, CV. Mandar Maju,
(36)
undangan ini didasarkan atas hukum positif di Indonesia khususnya hukum yang
mengatur tentang ketenagakerjaan dan hubungan industrial.
Pendekatan kasus dilakukan dengan menelaah kasus-kasus yang terjadi di
lapangan yang telah menjadi putusan yang mempunyai kekuataan hukum tetap.
Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah
ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk
sampai kepada putusannya.17 Kemudian, pendekatan fakta didasarkan atas
fakta-fakta diperoleh dari data yang didapatkan di lapangan yang berkaitan dengan
permasalahan yang di angkat.
1.8.3 Sifat penelitian
Dikaji dari segi sifatnya, penelitian hukum empiris dibedakan menjadi 3
(tiga) kategori yang menurut Soerjono Soekanto yaitu:
a. Penelitian hukum eksploratori (penjajakan atau penjelajahan);
b. Penelitian hukum deskriptif; dan
c. Penelitian hukum yang bersifat eksplanatori. 18
Adapun sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian hukum yang bersifat deskriptif yakni penelitian yang bersifat pemaparan
dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan
hukum yang berlaku di tempat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau
peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.19
17Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cet.IV, Kencana, Jakarta, hlm.119. 18Soerjono Soekanto, op.cit, hlm. 50.
(37)
Dengan demikian, penelitian yang telah dilakukan akan dipaparkan
berdasarkan hasil yang telah didapatkan di lapangan secara konkrit dan juga
berdasarkan pengkajian bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam meneliti
Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Dalam Perselisihan Pemutusan Hubungan
Kerja Oleh PT. Buana Agung Lestari Indah Internasional (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar Nomor:
05/PHI/2013/PN.DPS).
1.8.4 Data dan sumber data
Terdapat dua jenis data yang pada umumnya digunakan dalam penelitian
hukum yaitu data primer dan data sekunder. Adapun sumber data dari data primer
dan data sekunder yang akan digunakan sebagai bahan untuk menyusun skripsi ini
sebagai berikut:
1. Data primer
Data primer bersumber dari penelitian yang dilakukan di lapangan (field
research) atau dengan kata lain data yang didapatkan langsung dari hasil
wawancara yang dilakukan peneliti kepada responden dan informan yang
merupakan narasumber. Data primer tersebut didapatkan melalui studi kasus
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar dimana
putusan yang diteliti adalah Putusan Nomor: 05/PHI/2013/PN.DPS, wawancara
dengan Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Badung, Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Provinsi Bali dan wawancara dengan beberapa pekerja.
(38)
Data sekunder bersumber dari penelitian kepustakaan (library research)
yakni penelitian yang dilakukan dengan mencari bahan hukum (legal material)
yang sudah ada. Bahan hukum tersebut terbagi menjadi 3 (dua) jenis yaitu:
a. Bahan hukum primer (primary law material)
Merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari asas
dan kaidah hukum yang berlaku, baik berupa peraturan
perundang-undangan.20 Adapun bahan hukum primer yang dipergunakan dalam
penelitian ini sebagai berikut:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
c) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
d) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial;
e) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
Kep-150/MEN/2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja
dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan
Ganti Kerugian di Perusahaan.
f) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
KEP-92/MEN/VI/2004 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian
Mediator Serta Tata Kerja Mediasi.
20
Amaruddin dan H. Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. hlm. 31.
(39)
g) Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 Tentang Pencegahan Pemutusan
Hubungan Kerja Massal.
b. Bahan hukum sekunder (secondary law material)
Merupakan bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian,
atau pendapat pakar hukum.21 Dalam penelitian ini bahan hukum
sekunder diperoleh melalui bahan hukum tertulis yakni buku-buku
literatur, jurnal-jurnal serta dokumen hukum yang tidak dipublikasikan
melalui perpustakaan umum tetapi hanya dipublikasikan melalui
perpustakaan yang terdapat di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan
penjelasan lebih rinci serta istilah-istilah yang ada dalam bahan hukum
primer dan sekunder seperti kamus bahasa Indonesia, ensiklopedia,
kamus hukum dan juga bahan yang di ambil dari internet.
1.8.5 Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini
adalah:
1. Teknik Studi Dokumen
Teknik studi dokumen ini merupakan teknik yang dilakukan dengan
menggunakan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian.
(40)
Bahan-bahan hukum seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku,
jurnal-jurnal maupun dokumen hukum tersebut yang kemudian dikaitkan dengan
permasalahan yang terjadi di lapangan.
2. Teknik Wawancara (interview)
Wawancara adalah kegiatan pengumpulan data primer yang bersumber
langsung dari responden penelitian di lapangan (lokasi dilakukannya penelitian).22
Teknik yang dilakukan dalam wawancara yaitu dengan menanyakan
pertanyaan-pertanyaan tentang pengalaman, pendapat, serta fakta yang terjadi dalam suatu
peristiwa hukum yang terjadi di lokasi penelitian. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
bertujuan untuk mendapatkan informasi yang akurat dan relevan dengan
permasalahan yang terjadi di lokasi penelitian.
1.8.6 Teknik penentuan sampel penelitian
Adapun teknik penentuan sampel penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu dengan teknik non probability sampling. Dalam penggunaan
teknik tersebut tidak terdapat ketentuan yang pasti mengenai berapa sampel yang
harus diambil agar dapat dianggap mewakili populasinya. Hal ini dikarenakan tidak
semua eleman dalam populasi mendapatkan kesempatan untuk menjadi sampel.
Dari beberapa bentuk teknik non probability sampling, yang akan digunakan adalah
bentuk purposive sampling. Dalam purpose sampling, sampel dipilih atau
ditentukan sendiri oleh peneliti. Selain itu, sampel ditarik berdasarkan tujuan
tertentu dan sampel yang dipilih sudah memenuhi kriteria dan sifat tertentu dari
populasinya.
(41)
1.8.7 Teknik pengolahan dan analisis data
Dalam penelitian ini pengolahan dan analisis data dilakukan dengan
menggunakan analisis kualitatif. Analisis secara kualitatif artinya menguraikan data
secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang
tindih, dan efektif, sehingga memudahkan pemahaman dan interpretasi data.23
Dalam penelitian ini data primer dan data sekunder yang didapatkan melalui hasil
wawancara maupun studi dokumen akan diolah secara kualitatif. Selanjutnya data
yang telah dianalisis secara kualitatif tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Analisis secara deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan secara jelas dan
sistematis yang kemudian akan diperoleh suatu kesimpulan dari permasalahan yang
dibahas mengenai penyelesaian perselisihan PHK dan perlindungan hukum
terhadap pekerja dalam perselisihan PHK secara sepihak.
(42)
PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
2.1 Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja
2.1.1 Pengertian dan tujuan perlindungan hukum terhadap pekerja
Pekerja/buruh mempunyai peran yang sangat penting dalam menjalankan
suatu perusahaan. Tanpa adanya pekerja/buruh, pengusaha tidak dapat menjalankan
aktifitas perusahaan sebagaimana mestinya. Namun sering kali peran daripada
pekerja/buruh belum mendapatkan perhatian baik itu dari perusahaan, maupun
pemerintah. Pengusaha sering kali bertindak sewenang-wenang terhadap
pekerja/buruh yang mengakibatkan hak-hak pekerja/buruh dilanggar oleh
pengusaha. Namun tidak berarti semua kesalahan berada pada pengusaha karena
terkadang kelalaian terletak pada pekerja/buruh yang mengakibatkan kerugian
kepada pengusaha.
Salah satu penyebab terjadinya tindakan sewenang-wenang yang dilakukan
pengusaha kepada pekerja/buruh adalah kedudukan yang dimiliki oleh pengusaha
lebih tinggi daripada kedudukan buruh yang terbilang rendah dan lemah. Dengan
demikian diperlukan adanya perlindungan hukum terhadap pekerja sehingga
hak-hak pekerja dapat terjamin seutuhnya. Pengertian perlindungan hukum adalah suatu
perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat
(43)
maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu
gambaran dari fungsi hukum yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan
keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.24
Selain itu, menurut Satjipto Raharjo perlindungan hukum adalah upaya
untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua
hak-hak yang diberikan oleh hukum.25 Dari pengertian mengenai perlindungan
hukum tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud perlindungan
hukum adalah suatu upaya yang dilakukan oleh Negara kepada subyek hukum
untuk melindungi hak-hak subyek hukum baik secara preventif maupun represif.
Mengenai pengertian perlindungan hukum terhadap pekerja dapat diartikan sebagai
upaya yang dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada pekerja untuk
menikmati hak-haknya dan mencegah terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh
majikan atau pengusaha yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Adapun tujuan diberikannya perlindungan hukum terhadap tenaga kerja
adalah untuk menjamin berlangsungnya sistem hubungan kerja secara harmonis
tanpa disertai adanya tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah.26
Selain itu tujuan perlindungan hukum terhadap pekerja tidak hanya mencakup pada
berlasungnya hubungan kerja tetapi juga pada saat hubungan kerja tersebut
berakhir. Hubungan kerja berakhir dapat disebabkan waktu perjanjian kerja
berakhir atau dikarenakan tindakan pengusaha melakukan PHK. Disinilah tujuan
24Polewali Mandar, 2014, “Status Hukum” Serial Blog.
URL:http://statushukum.com/tentang-status-hukum, Diakses 19 Januari 2016 Pukul 15.05 Wita.
25Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Cet.V, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.53. 26Abdul Khakim, op.cit, hlm. 103.
(44)
perlindungan hukum yaitu untuk memberikan pemenuhan hak-hak pekerja setalah
berakhirnya hubungan hukum tersebut.
2.1.2 Sarana dan objek perlindungan hukum terhadap pekerja
Terdapat dua sarana perlindungan hukum, hal ini sebagaimana yang
dijelaskan oleh Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum dibagi menjadi 2
(dua), yaitu:
1. Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan hukum yang
bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa.
2. Perlidungan hukum represif adalah perlindungan hukum yang
bertujuan untuk menyelesaikan suatu sengketa.27
Perlindungan hukum preventif ditandai dengan dibentuknya peraturan
perundang-undangan yang dimaksudkan untuk membatasi tindakan-tindakan
seseorang yang dapat melanggar hak daripada orang lain. Sedangkan perlindungan
hukum represif ditandai dengan menerapkan sanksi terhadap pelaku yang diberikan
apabila terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan. Untuk
memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja maka Pemerintah membentuk
UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 2 Tahun 2004.
Objek perlindungan hukum terhadap pekerja berdasarkan UU No. 13 Tahun
2003 tersebut meliputi:
a. Perlindungan atas hak-hak dalam hubungan kerja;
b. Perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha, dan mogok kerja;
c. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja;
27Fitri Hidayat, 2013, Perlindungan Hukum Unsur Esensial Dalam Suatu Negara Hukum,
URL:http://fitrihidayat-ub.blogspot.com/2013/07/perlindungan-hukum-unsuresensial-dalam.html?m=1, diakses 2 Desember 2015 pukul 11.42 Wita.
(45)
d. Perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat;
e. Perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga kerja; dan
f. Perlindungan atas hak pemutusan hubungan tenaga kerja.
Soepomo dalam Asikin membagi 3 (tiga) macam perlindungan tenaga kerja
yaitu:
a. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk apabila tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya.
b. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.
c. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja.28
2.2 Pemutusan Hubungan Kerja
2.2.1 Hubungan kerja dan perjanjian kerja
Berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 menentukan bahwa
“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah”. Unsur-unsur perjanjian kerja yang menjadi dasar hubungan kerja sesuai ketentuan Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 adalah:
1. adanya pekerjaan (arbeid);
2. di bawah perintah/gezag ver houding (maksudnya buruh melakukan pekerjaan atas perintah majikan, sehingga bersifat subordinasi);
3. adanya upah tertentu/loan;
4. dalam waktu (tijd) yang ditentukan (dapat tanpa batas waktu/pensiun atau berdasarkan waktu tertentu).29
28 Zainal Asikin, et.al, op.cit, hlm 76. 29Asri Wijayanti, op.cit , hlm. 36
(46)
Perjanjian kerja merupakan dasar terbentuknya hubungan kerja. Menurut
Shamad, perjanjian kerja ialah suatu perjanjian di mana seseorang mengikatkan diri
untuk bekerja pada orang lain dengan menerima imbalan berupa upah sesuai dengan
syarat-syarat yang dijanjikan atau disetujui bersama.30 Sedangkan menurut Subekti,
perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan,
dimana ditandai dengan adanya upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan
hubungan diperatas yaitu hubungan persekutuan dimana pihak yang satu (majikan)
berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain.31
Berdasarkan Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 menentukan
“Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”. Adapun syarat-syarat perjanjian kerja dalam UU No. 13 Tahun 2003 yakni terdapat
2 (dua) syarat yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil terdapat dalam
ketentuan Pasal 52 UU No. 13 Tahun 2003 yaitu:
Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
1) Kesepakatan kedua belah pihak;
2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan.
30Yunus Shamad,1995, Hubungan Industrial di Indonesia, PT. Bina Sumberdaya Manusia,
Jakarta, hlm. 55.
(47)
Apabila perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak bertentangan dengan
ketentuan pada huruf a dan b maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan sedangkan
apabila perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak bertentangan dengan ketentuan
pada huruf c dan d maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Syarat formil perjanjian kerja terdapat dalam ketentuan Pasal 54 UU No. 13
Tahun 2003 yang menentukan:
Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; c. Jabatan atau jenis pekerjaan;
d. Tempat pekerjaan;
e. Besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g. Mulai dan jangka waktu berlakuknya perjanjian kerja; h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Menurut waktu berakhirnya, perjanjian kerja dibagi menjadi 2 (dua) macam
yaitu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak
tertentu (PKWTT). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu menyatakan “Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau
untuk pekerjaan tertentu”. Sedangkan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu
berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
(48)
disebut PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha
untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap”.
2.2.2 Pengertian dan macam-macam pemutusan hubungan kerja
PHK merupakan salah satu masalah yang sering terjadi dalam dunia
ketenagakerjaan. Masalah PHK tidak hanya membawa penderitaan bagi pekerja
saja tetapi juga membawa penderitaan bagi keluarga pekerja. Menurut beberapa
pendapat para sarjana seperti Ridwan Halim berpendapat bahwa PHK adalah suatu
lagkah pengakhiran hubungan kerja antara buruh dengan majikan karena suatu hal
tertentu.32 Menurut Manulang mengemukakan bahwa istilah PHK dapat
memberikan beberapa pengertian yaitu:
a. Termination yaitu putusnya hubungan kerja karena selesainya atau
berakhirnya kontrak kerja yang telah disepakati.
b. Dismissal yaitu putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan
tindakan pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan.
c. Redundancy yaitu pemutusan hubungan kerja karena perusahaan
melakukan pengembangan dengan menggunakan mesin-mesin
berteknologi baru.
d. Retrenchment yaitu pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan
masalah-maslaah ekonomi.33
32 A. Ridwan Halim, op.cit, hlm.136
33Sri Zulhartati, 2010, “Pengaruh Pemutusan Hubungan Kerja Terhadap Karyawan Perusahaan”, http://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/article/viewFile/382/385, diakses Rabu, 2 Desember 2015 pukul 12.19 Wita.
(49)
Selain itu, menurut Mutiara S. Panggabean, PHK adalah pengakhiran hubungan
kerja antara pekerja dan pengusaha yang dapat disebabkan oleh berbagai macam
alasan, sehingga berakhir pula hak dan kewajiban antara mereka.34
Secara yuridis pengertian mengenai PHK tercantum dalam ketentuan Pasal
1 angka 25 UU No. 13 Tahun 2003 menentukan bahwa yang dimaksud dengan
“Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh
dan pengusaha”. Kemudian menurut Pasal 1 angka 4 Kepmenaker No: KEP
-150/MEN/2000 menentukan “Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran
hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan ijin Panitia Daerah
dan Panitia Pusat”. Berdasarkan pengertian dari para sarjana dan merujuk peraturan
perundang-undangan maka dapat disimpulkan bahwa PHK merupakan pengakhiran
hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja dikarenakan alasan-alasan
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban keduanya.
Selain PHK yang dilakukan terhadap perseorangan, PHK juga dilakukan
secara besar-besaran (massal). Berdasarkan Kepmenaker No: KEP-150/MEN/2000
Pasal 1 angka 5 memberikan pengertian pemutusan hubungan kerja secara
besar-besaran (massal) adalah “Pemutusan hubungan terhadap 10 (sepuluh) orang pekerja
atau lebih pada satu perusahaan dalam satu bulan atau terjadi rentetan pemutusan
hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad pengusaha untuk
mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran”. PHK dapat dibagi
34Made Indah Puspita, 2015, “Peran Serikat Pekerja Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak di Hotel Bali Hyatt”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hlm. 44-45.
(50)
dalam empat macam yaitu PHK demi hukum, PHK oleh pengusaha, PHK oleh
pekerja/buruh dan PHK oleh Pengadilan.
1. Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum
PHK demi hukum merupakan PHK yang terjadi dengan sendirinya secara
hukum. Dalam ketentuan Pasal 1603.e KUH Perdata menentukan bahwa
“Hubungan kerja berakhir demi hukum, jika habis waktunya yang ditetapkan dalam
perjanjian dan dalam peraturan perundang-undangan atau jika semuanya itu tidak
ada, menurut kebiasaan”. Dalam ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 menentukan:
Perjanjian kerja berakhir apabila:
a. Pekerja meninggal dunia;
b. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya pemutusan hubungan kerja.
Adapun alasan PHK demi hukum dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 154
UU No. 13 Tahun 2003 meliputi:
a. Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b. Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) untuk pertama kali;
c. Pekerja/buruh telah mencapai usia pensiun yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; dan
(51)
2. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha
PHK atas inisiatif pengusaha dapat diklasifikasikan dalam 2 (dua) bagian,
yakni:
1. PHK yang didasarkan pada alasan yang terletak pada diri pekerja/ buruh.
2. PHK yang didasarkan pada alasan yang terletak pada diri pengusaha.35
PHK yang didasarkan pada alasan yang terletak pada diri pekerja/buruh
artinya adalah bahwa pengakhiran hubungan kerja dimaksud dikehendaki oleh
pengusaha karena terdapat peristiwa hukum yang dilakukan atau melibatkan
pekerja/buruh, dimana peristiwa hukum yang dilakukan atau melibatkan pekerja
tersebut dapat berakibat diakhirinya hubungan kerja.36
Peristiwa hukum yang dimaksud disini adalah pelanggaran atau kesalahan
yang dilakukan pekerja/buruh dalam menjalankan pekerjaannya. Pelanggaran
tersebut telah diatur baik dalam peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja
bersama maupun peraturan perusahaan. Dengan demikian PHK dapat terjadi
apabila pekerja melakukan kesalahan ringan dan/atau kesalahan berat.
PHK karena kesalahan ringan tidak diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003
dan Kepmenaker No: KEP-150/MEN/2000, tetapi diatur dalam Pasal 18 ayat (1)
Permenaker No. Per-4/Men/1986,yaitu:
a. Setelah tiga kali berturut-turut pekerja tetap menolak untuk menaati perintah atau penugasan yang layak sebagaimana tercantum dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan; b. Dengan sengaja atau karena lalai mengakibatkan dirinya dalam keadaan
demikian, sehingga ia tidak dapat menjalankan pekerjaan yang diberikan kepadanya;
35Edy Sutrisno Sidabatur, op.cit, hlm. 11. 36Edy Sutrisno Sidabatur, op.cit. hlm. 12
(52)
c. Tidak cakap dalam melakukan pekerjaan walaupun sudah dicoba di bidang tugas yang ada;
d. Melanggar ketentuan yang telah ditetapkan dalam kesepakatan kerja bersama, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja.
PHK karena kesalahan berat dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 158 ayat
(1) UU No. 13 Tahun 2003 yang meliputi:
a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan atau menggedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; e. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman
sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. Dengan ceroboh atau dengan sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara;atau
j. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang di ancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Kesalahan berat tersebut haruslah didukung dengan bukti sebagaimana yang
ditegaskan dalam Pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 yakni:
a. Pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang
berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
(53)
Selanjutnya, PHK yang didasarkan pada alasan yang terletak pada diri
pengusaha artinya terdapat suatu kondisi tertentu dimana pengusaha tidak dapat lagi
mempekerjakan pekerja/buruh. Ketentuan UU No. 13 Tahun 2003
memperbolehkan pengusaha melakukan PHK dengan kondisi tertentu yang dapat
dijadikan sebagai alasan pengusaha melakukan PHK. Adapun kondisi tersebut
yakni:
1. Terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan
kepemilikan perusahaan (Pasal 163 UU No. 13 Tahun 2003);
2. Perusahaan tutup baik karena kerugian secara terus-menerus maupun
karena keadaan memaksa (force majeure) (Pasal 164 ayat (1) UU No.
13 Tahun 2003);
3. Perusahaan tutup karena melakukan efisiensi; (Pasal 164 ayat (3) UU
No. 13 Tahun 2003);
4. Perusahaan pailit (Pasal 165 UU No. 13 Tahun 2003)
Pada kenyataannya sering terjadi PHK oleh pengusaha yang tidak layak
dijadikan sebagai alasan PHK. Adapun PHK yang tidak layak tersebut antara lain:
a. Jika antara lain tidak menyebutkan alasannya; atau
b. Jika alasannya PHK itu dicari-cari (pratext) atau alasannya palsu; c. Jika akibat pemberhentian itu bagi pekerja/buruh adalah lebih berat dari
pada keuntungan pemberhentian itu bagi majikan; atau
d. Jika pekerja/buruh diperhentikan bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang atau kebiasaan mengenai susunan staf atau aturan
ranglijs (seniority rules), dan tidak ada alasan lain penting untuk tidak memenuhi ketentuan-ketentuan itu.37
3. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pekerja/Buruh
37G. Kartasapoetra,et.al, 1983, Hukum Perburuhan, Pancasila Bidang Pelaksanaan
(1)
i. Mediator menyelesaikan tugas mediasi selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak pelimpahan perkara (Pasal 15).
3. Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Pasal 1 angka 13 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan “Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/ buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral”. Sedangkan yang dimaksud dengan
konsiliator dalam Pasal 1 angka 14 UU No. 2 Tahun 2004 adalah “Seorang atau
lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan kerja dan perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan”.
Penyelesaian secara konsiliasi, konsiliator ikut berperan serta secara aktif untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang diperselisihkan oleh kedua belak pihak. Adapun perbedaan konsiliator dengan mediator adalah konsiliator merupakan pihak ketiga di luar daripada instasi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sedangkan mediator merupakan pihak ketiga yang merupakan pegawai instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan. Adapun mekanisme penyelesaian melalui konsilasi diatur dalam ketentuan Pasal 17 sampai dengan Pasal 25 UU No. 2 Tahun 2004. Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi tidak jauh berbeda dengan mekanisme penyelesaian melalui mediasi.
(2)
4. Penyelesaian Melalui Arbitrase
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase secara umum telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Arbitrase yang diatur dalam UU. No. 2 Tahun 2004 merupakan aturan khusus untuk penyelesaian perselisihan di bidang hubungan industrial yang berlaku asas lex specialis derogate legi generalis.
Pengertian arbitrase diatur dalam Pasal 1 angka 15 UU No. 2 Tahun 2004 yang menyatakan “Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final”. Sedangkan yang dimaksud arbiter dalam ketentuan Pasal 1 angka 16 UU No. 2 Tahun 2004 adalah “Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentigan dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final”.
Mekanisme penyelesaian melalui arbitrase dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 29 sampai dengan Pasal 53 UU No. 2 Tahun 2004. Penyelesaian melalui arbitrase dilaksanakan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih yang dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter diawali dengan upaya mendamaikan
(3)
kedua pihak yang berselisih. Apabila perdamaian tercapai maka arbiter atau majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang ditandatangani para pihak dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri wilayah arbiter mengadakan perdamaian. Namun apabila upaya perdamaian gagal maka arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase. Putusan arbiter mempunyai kekuatan hukum tetap yang mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap. Terhadap putusan arbiter dapat dilakukan upaya pembatalan ke Mahkamah Agung.
5. Penyelesaian Melalui Pengadilan Hubungan Industrial
Masalah mengenai perselisihan hubungan industrial sangat sering terjadi dan permasalahan yang dihadapi tersebut semakin kompleks, untuk itu dibutuhkan suatu pengadilan khusus yang memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan hubungan industrial. Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum yang hadir setelah diundangkannya UU No. 2 Tahun 2004. Jika sampai suatu perselisihan hubungan industrial memasuki ranah Pengadilan maka perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan melalui tahap penyelesaian di luar pengadilan yaitu perundingan bipartit, mediasi, konsiliasi atau arbitrase. Hal ini berarti bahwa penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial merupakan alternatif penyelesaian terakhir yang dapat ditempuh oleh para pihak yang berselisih. Dengan demikian salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial, yang mempunyai peranan penting dalam menegakkan
(4)
kebenaran dan keadilan adalah hakim. Hakim pada pengadilan hubungan industrial adalah hakim karier dan hakim Ad-Hoc. Pasal 1 angka 19 UU No. 2 Tahun 2004
menentukan “Hakim Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan
Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang pengangkatannya atas usul serikat pekerja/ serikat buruh dan organisasi pengusaha. Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah agung. Calon Hakim Ad-Hoc diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung dan nama yang disetujui oleh Menteri atas usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha.
Berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan sebagai berikut:
a. Hukum acara yang berlaku hukum acara perdata, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini (Pasal 57).
b. Tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi untuk nilai gugatan di bawah Rp. 150.000.000 (Pasal 58).
c. Gugatan diajukan kepada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja (Pasal 81).
d. Pengajuan gugatan harus dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi, konsiliasi, jika tidak dilampiri hakim wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat (Pasal 83 ayat (1)). Adanya dismissal process, di mana hakim wajib memeriksa isi gugatan (Pasal 83 ayat (2)). e. Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak
sebagai kuasa hukum untuk beracara di pengadilan hubungan industrial untuk mewakili anggotanya (Pasal 87).
f. Ketua pengadilan negeri – sekaligus sebagai ketua pengadilan hubungan industrial – harus menetapkan majelis hakim selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima gugatan (Pasal 88 ayat (1).
g. Pemeriksaan dengan acara biasa:
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetepan majelis hakim, maka ketua majelis hakim harus sudah melakukan sidang pertama (Pasal 89 ayat (1)).
Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat
(5)
tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui disampaikan di tempat kediaman terakhir (Pasal 89 ayat (3)). Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak
dikenal, maka surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan hubungan industrial yang memeriksanya (Pasal 89 ayat (5)).
Sidang sah apabila dilakukan majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) (Pasal 92).
Apabila salah satu pihak atau para pihak tidak dapat hadir tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, majelis hakim menetapkan hari sidang berikutnya paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penundaan (Pasal 93).
Apabila pada sidang penundaan terakhir pihak-pihak tidak hadir maka akibatnya:
Bagi penggugat, gugatanya dianggap gugur (Pasal 94 ayat (1)). Bagi tergugat majelis hakim dapat melakukan putusan verstek
(Pasal 94 ayat (2)).
Sidang majelis hakim terbuka untuk umum, kecuali majelis hakim menetapkan lain.
h. Pemerikasaan dengan acara cepat:
Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak dapat diajukan permohonan pemeriksaan dengan acara cepat (Pasal 98 ayat (1)).
Ketua pengadilan negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkan permohonan tersebut dalam jangka waktu tujuh hari kerja setelah diterimannya permohonan (Pasal 98 ayat (2)).
Tidak ada upaya hukum terhadap penetapan ketua pengadilan negeri atas permohonan pemeriksaan dengan acara cepat (Pasal 98 ayat (3)).
Apabila permohonan pemeriksaan dengan acara cepat dikabulkan, maka Ketua Pengadilan Negeri menentukan majelis hakim, hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan (Pasal 99 ayat(1)).
Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja (Pasal 99 ayat (1)).
i. Pengambilan putusan:
Majelis hakim mengambil putusan dengan mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan (Pasal 100). Putusan majelis hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk
umum (Pasal 101 ayat (1)).
Putusan majelis hakim wajib diberikan selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja sejak sidang pertama (Pasal 103).
j. Putusan pengadilan hubungan industrial mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum
(6)
tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya empat belas hari kerja (Pasal 110).45
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, dapat ditempuh melalui 3 (tiga) tahap, yaitu:
1. Tahap pertama yaitu perundingan bipartit;
2. Tahap kedua yaitu melalui mediasi, konsiliasi, atau arbitrase; 3. Tahap ketiga yaitu melalui pengadilan hubungan industrial.46
45Abdul Khakim, op.cit, hlm. 159-162.
46Ugo dan Pujiyo,2012, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial