Profil Penderita Yang Dilakukan Tindakan Bronkoskopi Serat Optik Lentur Di Instalasi Diagnostik Terpadu (IDT) RSUP H. Adam Malik Medan

(1)

PROFIL PENDERITA YANG DILAKUKAN TINDAKAN BRONKOSKOPI SERAT OPTIK LENTUR DI INSTALASI DIAGNOSTIK TERPADU (IDT)

RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik Dalam Program Pendidikan Magister

Pada Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

DESFRINA KASUMA NIM 077107013

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN USU/SMF PARU RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN 2010


(2)

LEMBARAN PERSETUJUAN

Judul Tesis : PROFIL PENDERITA YANG DILAKUKAN TINDAKAN BRONKOSKOPI SERAT OPTIK LENTUR DI INSTALASI DIAGNOSTIK TERPADU (IDT) RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Nama : DESFRINA KASUMA

Program Studi : MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

DEPARTEMEN PULMONOLOGI & KEDOKTERAN RESPIRASI

Menyetujui Pembimbing

Dr. Pantas Hasibuan, SpP (K) NIP. 19540228 198409 1 001

Anggota I Anggota II Koordinator Koordinator Penelitian

Departemen pulmonologi & Kedokteran Respirasi

Dr. Noni N. Soeroso, SpP Drs. H. Abdul Djalil Amri, M.Kes Prof. Dr. Tamsil S, SpP (K) NIP. 19781120 200501 2 00NIP. 19581202 199103 1 001 NIP. 19521101 198003 1 005 Ketua Program Studi Ketua Departemen Ketua Tim

Departemen Pulmonologi Departemen Pulmonologi Program Pendidikan & Kedokteran Respirasi & Kedokteran Respirasi Dokter Spesialis

Dr.H.Hilaluddin S, SpP(K),DTM&H Prof.H Luhur Soeroso,SpP(K) Dr.H.Zainuddin Amir, SpP(K)


(3)

TESIS

PPDS DEPARTEMEN PULMONOLOGI & KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

__________________________________________________________________

1. Judul Tesis : PROFIL PENDERITA YANG DILAKUKAN TINDAKAN BRONKOSKOPI SERAT OPTIK LENTUR DI

INSTALASI DIAGNOSTIK TERPADU (IDT) RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

2. Nama Peneliti : Desfrina Kasuma 3. NIP : 19741205 200212 2001 4. Pangkat/Golongan : Penata Tk.I/IIId

5. Fakultas : Kedokteran Universitas Sumatera Utara 6. Program Studi : Magister Kedokteran Klinik

Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi 7. Jangka Waktu : 4 Bulan (empat bulan)

8. Lokasi Penelitian : Instalasi Diagnostik Terpadu (IDT) RSUP H. Adam Malik Medan

9. Biaya yang diperlukan: Rp.9.000.000,-

10.Pembimbing : 1. Dr. Pantas Hasibuan, SpP (K) 2. Dr. Noni N. Soeroso, SpP


(4)

ABSTRAK

Objektif : Untuk mendapatkan data statistik tentang profil penderita yang dilakukan tindakan Bronkoskopi Serat Optik Lentur di Instalasi Diagnosis Terpadu Terpadu (IDT) RSUP H. Adam Malik Medan.

Metode : Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan retrospektif dengan sampel yang diambil dari data penderita yang dilakukan tindakan bronkoskopi serat optik lentur di Instalasi Diagnostik Terpadu (IDT) RSUP H. Adam Malik Medan selama tahun 2007-2009.

Hasil : Dari 344 sampel dijumpai penderita berjenis kelamin laki-laki (83,43%) lebih banyak daripada perempuan (16,57%) dengan mayoritas penderita berumur lebih dari 40 tahun (81,98%). Cara pengambilan sampel dilakukan dengan cara Bronchoalveolar Lavage (BAL) pada seluruh penderita (100%), sikatan bronkus 36,34% dan biopsi endobronkial 0,58%. Diagnosis penderita sebelum dilakukan tindakan bronkoskopi yang terbanyak adalah tumor paru (63,66%) dengan kriteria penampakan yang terbanyak adalah adanya massa Intrabronkial (28,20%).

Kesimpulan : Diagnosis sebelum dilakukan tindakan bronkoskopi terbanyak adalah kanker paru dan penampakan hasil bronkoskopi terbanyak mengarah pada suatu proses keganasan paru.

Kata Kunci : Profil, Bronkoskopi Serat Optik Lentur, Kriteria Penampakan


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tulisan akhir ini, yang merupakan persyaratan akhir dalam Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinis di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan. Keberhasilaan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak, baik keluarga, guru-guru yang penulis hormati dan para sejawat asisten paru. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Prof. Dr. H. Luhur Soeroso, SpP (K)

Sebagai Ketua Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU/SMF RSUP H. Adam malik Medan yang tiada henti-hentinya memberikan bimbingan ilmu pengetahuan, arahan, petunjuk serta nasehat dalam cara berpikir, bersikap dan berprilaku yang baik selama masa pendidikan, yang mana hal tersebut sangat berguna di masa yang akan datang.

Dr. H. Zainuddin Amir, SpP (K)

Sebagai Ketua Tim Koordinator Pendidikan Program Pendidikan Dokter Spesialis (TKP-PPDS) FK USU yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan arahan selama masa pendidikan.

Dr. PS Pandia, SpP

Sebagai Sekretaris Departemen Pulmonologi dan kedokteran Respirasi FK USU/SMF RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak memberikan motivasi bimbingan selama pendidikan hingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.


(6)

Dr. Hilaluddin Sembiring, SpP (K), DTM&H

Sebagai Ketua Program Studi Departemen Pulmonologi dan kedokteran Respirasi FK USU/SMF RSUP H. Adam Malik Medan yang banyak memberikan bimbingan, masukan selama masa pendidikan.

Dr. Pantas Hasibuan, SpP (K)

Sebagai Sekretaris Program Studi Departemen Pulmonologi dan kedokteran Respirasi FK USU/SMF RSUP H. Adam Malik Medan dan pembimbing I saya dalam penelitian ini yang banyak berjasa dan tiada jemu memberikan kesempatan, motivasi, masukan dan pengarahan dalam penyempurnaan tulisan ini.

Prof. Dr. Tamsil Syafiuddin, SpP (K)

Sebagai Koordinator Penelitian Departemen Pulmonologi dan kedokteran Respirasi FK USU/SMF RSUP H. Adam Malik Medan dan Ketua Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) cabang Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan, masukan dan arahan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan tulisan ini.

Dr. Noni N. Soeroso, SpP

Sebagai Pembimbing II saya yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan, arahan dan masukan pengetahuan dalam rangka penyusunan dan penyempurnaan penulisan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

Drs. H. Abdul Jalil Amri, M.Kes

Sebagai Pembimbing Statistik yang telah banyak membantu penulis dalam bidang statistic dan penulisan ilmiah.

Penghargaan dan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada: Dr. Usman, SpP, Dr. Widi rahardjo, SpP, Dr. Fajrinur Syarani, SpP, Dr. Parluhutan Siagian, SpP, Dr. Amira P. Tarigan, SpP, Dr. Bintang YM Sinaga,SpP, Dr. Setia Putra Tarigan, SpP yang


(7)

telah banyak memberikan bantuan, masukan dan arahan kepada penulis dalam penyelesaian tulisan akhir ini.

Izinkanlah penulis ucapkan terima kasih kepada: Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Instalasi Rekam Medik RSUP H. Adam Medan yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas selama penulis melakukan pendidikan di RSUP H. Adam Malik Medan.

Terima kasih saya ucapkan kepada teman sejawat peserta Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU Medan yang telah bekerja sama dan membantu penulis selama mengikuti pendidikan.

Rasa hormat dan terima kasih yang tiada terbalas saya sampaikan kepada ibunda tercinta Hj. Hastina Semaoe dan ayahanda Zainal Abidin (Alm) yang telah rela berkorban membesarkan, mendidik dan memberikan dorongan kepada penulis hingga selesai pendidikan. Terima kasih juga kepada abangda Mardianto, SE, MM yang telah memberikan dorongan semangat dan nasehat kepada penulis di dalam menyelesaikan pendidikan ini. Penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada suami tercinta Dr. H. Sutoyo Eliandy dan putra tersayang Sigit Aldeto Eliandy yang selalu sabar dan penuh pengertian mendampingi penulis selama pendidikan.

Akhirnya dalam kesempatan ini penulis sampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekhilafan dan kesalahan kepada semua pihak yang telah diperbuat selama ini. Semoga ilmu dan pengalaman yang penulos dapatkan selama pendidikan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa serta diridhoi oleh Allah SWT. Amin ya Robbal Alamin.

Medan, Maret 2010 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN ….……….………….……….. i

ABSTRAK ………. iii

KATA PENGANTAR ……… iv

DAFTAR ISI ………..……… vii

DAFTAR ISTILAH ………. x

DAFTAR TABEL ……….………..…… xi

DAFTAR GAMBAR ……….. xii

BAB I PENDAHULUAN ….……….…….…… 1

1.1. LATAR BELAKANG ………..……...…... 1

1.2. PERUMUSAN MASALAH …..……….…………...……….. 2

1.3. TUJUAN PENELITIAN……….…….... 3

1.4. MANFAAT PENELITIAN ………...…….………. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….…… 4

2.1. DEFINISI ………..………..….…. 4

2.2. SEJARAH BRONKOSKOPI ……….………….. 4

2.3. JENIS BRONKOSKOPI ………...………….….……….. 6

A. BRONKOSKOPI KAKU (RIGID) ………...….. 6

B. BRONKOSKOPI SERAT OPTIK FLEKSIBEL (BSOL) .……....…. 7

2.4. INDIKASI …………..……….……… 9

2.5. KONTRA INDIKASI ………..………..…….... 10

2.6. KEAMANAN DAN KOMPLIKASI ………..………. 11


(9)

2.8. MEDIKASI SEBELUM BRONKOSKOPI ……….……..…..……. 13

2.9. TINDAKAN BRONKOSKOPI ……… 15

2.10. KRITERIA PEANMPAKAN GAMBARAN BRONKOSKOPI …….. 16

2.11. PENGAMBILAN SPESIMEN …….………. 22

BAB III BAHAN DAN METODA ………...……….………...…... 26

3.1. RANCANGAN PENELITIAN ………….….……..………….………... 26

3.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ……….…….……. 26

3.3. SUBJEK PENELITIAN ……….….…...……… 26

3.4. JUMLAH SAMPEL ……….………...…….………... 26

3.5. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI ….……….…....… 27

3.6. KERANGKA OPERASIONAL ..……….……….….….… 27

3.7. DEFINISI OPERASIONAL ……….…….…….…….….….. 28

3.8. VARIABEL DEPENDEN DAN INDEPENDEN ………..…… 32

3.9. ANALISA DATA ………...…... 32

3.10. CARA KERJA ……….………...….….…... 32

3.11. PENGOLAHAN DATA ………..………...….…. 32

3.12. JADWAL KEGIATAN ……….…………..….…..…….…. 33

3.13. BIAYA PENELITIAN …………..………....….…….…. 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……..………... 34

4.1. HASIL PENELITIAN ……….. 34

4.1.1. KARAKTERISTIK PENDERITA ……….……… 34

4.1.2. INDIKASI TINDAKAN BRONKOSKOPI ………..……….. 35

4.1.3. CARA PENGAMBILAN SAMPEL ……….………….. 36

4.1.4. DIAGNOSIS PENDERITA ……….…… 37


(10)

4.2. PEMBAHASAN ………. 40

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 42

5.1. KESIMPULAN ………..……….………… 42

5.2. SARAN ………..……….………… 42

DAFTAR PUSTAKA ……….…...……... 44 LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Penderita

Lampiran 2 Surat Persetujuan Komite Etik


(11)

DAFTAR ISTILAH

BSOL : Bronkoskopi Serat Optik Lentur IDT : Instalasi Diagnostik Terpadu FOB : Fiber Optic Bronchoscopy

FB : Fiber Bronchoscopy

BAL : Bronchoalveolar Lavage TBNA : Transbronchial Needle Aspiration

EKG : Ekokardiografi

AGDA : Analisa Gas Darah

ASA : Association of Anesthesiologysts

ETT : Endotracheal Tube

TBC : Tuberkulosis

ICU : Intensive Care Unit


(12)

DAFTAR TABEL


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bronkoskopi kaku (rigid) ……… 8 Gambar 2. Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL) ………... 9 Gambar 3. Skema Percabangan Utama Trakeobronkial ……… 17 Gambar 4. Menunjukkan Perubahan Akibat Inflamasi Bronkitis kronis ..……… 18 Gambar 5. Menunjukkan Penonjolan Dinding Trakea Kanan Oleh Tekanan

Esktrinsik ... 19 Gambar 6. Menunjukkan Perubahan Inflasi Tuberkulosis pada Batang Utama Bronkus Kanan ….……… 20 Gambar 7. Menunjukkan Fungating Tumor pada Batang Utama Bronkus ….….. 21 Gambar 8. Aksesori Prosedur sikatan bronkus, TBNA dan biopsi forsep ….…... 24 Gambar 9. Maping Sistem Kelenjar Regional Paru ………..…..….… 25 Gambar 10. Kerangka Operasional Penelitian ……….……… 27


(14)

ABSTRAK

Objektif : Untuk mendapatkan data statistik tentang profil penderita yang dilakukan tindakan Bronkoskopi Serat Optik Lentur di Instalasi Diagnosis Terpadu Terpadu (IDT) RSUP H. Adam Malik Medan.

Metode : Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan retrospektif dengan sampel yang diambil dari data penderita yang dilakukan tindakan bronkoskopi serat optik lentur di Instalasi Diagnostik Terpadu (IDT) RSUP H. Adam Malik Medan selama tahun 2007-2009.

Hasil : Dari 344 sampel dijumpai penderita berjenis kelamin laki-laki (83,43%) lebih banyak daripada perempuan (16,57%) dengan mayoritas penderita berumur lebih dari 40 tahun (81,98%). Cara pengambilan sampel dilakukan dengan cara Bronchoalveolar Lavage (BAL) pada seluruh penderita (100%), sikatan bronkus 36,34% dan biopsi endobronkial 0,58%. Diagnosis penderita sebelum dilakukan tindakan bronkoskopi yang terbanyak adalah tumor paru (63,66%) dengan kriteria penampakan yang terbanyak adalah adanya massa Intrabronkial (28,20%).

Kesimpulan : Diagnosis sebelum dilakukan tindakan bronkoskopi terbanyak adalah kanker paru dan penampakan hasil bronkoskopi terbanyak mengarah pada suatu proses keganasan paru.

Kata Kunci : Profil, Bronkoskopi Serat Optik Lentur, Kriteria Penampakan


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Tindakan bronkoskopi pertama kali dilakukan oleh seorang berkebangsaan Jerman bernama Gustav Killian pada tahun 1887. Pada awal perkembangannya bronkoskopi diindikasikan untuk tindakan terapeutik seperti mengeluarkan benda asing dan dilatasi striktura yang disebabkan oleh tuberkulosis dan dipteri. Pada awal abad ke-20 Chevalier Jackson, Bapak Bronkoesophagologi Amerika mengembangkan teknik melakukan tindakan bronkoskopi dan desain modern instrument bronkoskopi dengan tujuan tindakan terapeutik. 1,2

Pada tahun 1960 Dr. Shigeto Ikeda memperkenalkan Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL) yang tujuan utamanya adalah sebagai alat diagnostik. Sejak akhir tahun 1960-an BSOL telah menggantikan bronkoskopi rigid sebagai alat untuk tindakan diagnostik dan terapeutik. 3,4,5

Bronkoskopi merupakan salah satu upaya penting dalam bidang paru karena alat ini dapat digunakan diagnostik dan terapeutik. Bronkoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk melihat keadaan intra bronkus dengan menggunakan alat BSOL. Prosedur diagnostik dengan bronkoskop ini dapat menilai lebih baik mukosa saluran napas; normal, hiperemis atau lesi infiltrat yang memperlihatkan mukosa compang-camping. Teknik ini juga dapat menilai penyempitan atau obstruksi akibat kompresi dari luar atau massa intrabronkial tumor intra bronkus. Prusedur ini juga dapat menilai ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening, yatitu dengan menilai karina yang terlihat tumpul akibat pembesaran kelenjar getah bening subkarina atau intra bronkus. 4

Nirwan dkk (1990) melaporkan manfaat BSOL dalam diagnosis kanker paru di Bagian Pulmonologi FKUI Jakarta, yaitu 86,56% kasus yang dibronkoskopi memperlihatkan lesi keganasan. 6


(16)

Umar dkk, 2002, dari SMF Pulmonologi RSUD Pekan Baru melaporkan telah melakukan tindakan bronkoskopi pada penderita berbagai kelainan di paru dan menemukan 81,1% memperlihatkan gambaran keganasan, 3% peradangan, 30,89% menunjukkan mukosa infiltratif, 36,58% stenosis infiltratif dan 32,53% massa intrabronkial intrabronkus. 6

Dengan berkembangnya teknologi peralatan dan keterampilan, belakangan ini banyak dilakukan tindakan dengan BSOL sebagai sarana diagnostik, terapi dan pemantauan berbagai penyakit paru lainnya. Dimana karakteristik dan gambaran bronkoskopi berbeda antara satu penderita dengan penderita yang lainnya, hal ini tergantung pada jenis dan penyebab penyakitnya. 1,3

Pada bagian penyakit paru rumah sakit H. Adam malik Medan, prosedur tindakan bronkoskopi sering dilakukan dalam membantu menegakkan diagnosis serta terapi, tetapi belum ada data yang lengkap mengenai karakteristik, jenis penyakit serta gambaran yang didapat dari hasil bronkoskopi.

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, dimana peranan bronkoskopi sangat besar dalam membantu menegakkan diagnosis, terapi serta preoperatif pada berbagai kelainan di paru, sehingga membutuhkan data mengenai karakteristik dari penderita yang dilakukan tindakan bronkoskopi.

1.3. TUJUAN PENELITIAN 1.3.1. Tujuan umum

Mengetahui profil penderita yang dilakukan bronkoskopi di Instalasi Diagnostik Terpadu (IDT) Rumah Sakit H. Adam Malik Medan.


(17)

1. Untuk memperoleh gambaran karakteristik dari penderita yang dilakukan bronkoskopi di IDT RSUP H. Adam Malik Medan.

2. Untuk memperoleh gambaran hasil bronkoskopi dari penderita yang dilakukan tindakan bronkoskopi di IDT RSUP HAM Medan.

3. Untuk membantu menegakkan diagnosis pada berbagai kelainan di paru.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

Dapat memberikan informasi atau data ilmiah tentang profil penderita yang di bronkoskopi di IDT RS HAM, sehingga data ini dapat dipergunakan untuk membantu dalam menegakkan diagnosis serta terapi pada berbagai kelainan paru.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Kata bronkoskopi berasal dari bahasa Yunani; broncho yang berarti batang tenggorokan dan scopos yang berarti melihat atau menonton. Jadi, bronkoskopi adalah pemeriksaan visual jalan nafas atau saluran pernafasan paru yang disebut bronkus. Lebih khusus lagi, bronkoskopi merupakan prosedur medis, yang dilakukan oleh dokter yang mempunyai kompetensi di bidangnya dengan memeriksa bronkus atau percabangan paru-paru untuk tujuan diagnostik dan terapeutik (pengobatan). Untuk prosedur ini dokter menggunakan bronkoskop, sejenis endoskop, yang merupakan instrumen untuk pemeriksaan organ dalam tubuh. Tergantung pada alasan medis atau indikasi klinis untuk bronkoskopi, dokter dapat menggunakan bronkoskopi kaku (rigid) atau Fiber Optic Bronchoscopy (FOB). 7

2.2. SEJARAH BRONKOSKOPI

Seorang Otolaryngologist berkebangsaan Jerman, Gustav Killian, melakukan bronkoskopi yang pertama pada tahun 1897, dengan menggunakan endoskopi kaku untuk mengeluarkan tulang babi dari bronkus utama kanan (mainsterm bronkus). Killian berhasil mengeluarkan benda asing tersebut dan mencegah dilakukannya tracheostomy. Sampai pada akhir abad ke-19 metode ini diterima secara medis sebagai alat untuk mengeluarkan benda asing. Teknik-teknik ini terus dikembangkan Killian sehingga indikasi bronkoskopi makin meluas. Sebagai hasil dari inovasi dan pengembangan bronkoskopi di seluruh dunia, Killian secara umum dikenal sebagai Bapak Bronkoskopi. 4,5,7

Pada akhir abad ke-19, Chevalier Jackson, seorang laryngologist di Philadelphia, mengembangkan minat pada endoskopi, dan mulai mengembangkan “tabung” endoskopi. Pada


(19)

tahun 1904, Jackson merubah bronkoskopi kaku, dengan menambah ocular langsung, tabung suction dan ujung distal untuk pencahayaan atau iluminasi. Jackson terus merancang dan membuat endoskopi baru serta alat-alat tambahan untuk menyempurnakan teknik-teknik baru untuk evakuasi atau pengeluaran benda asing. Ia juga mengembangkan dan menekankan pentingnya prosedur untuk protokol keselamatan selama tindakan yang dilakukan dan teknik ini masih digunakan sampai sekarang. Pada tahun 1907 Jackson menerbitkan buku monumentalnya yang berjudul “Tracheobronchoscopy, Esophagology dan Bronchoscopy”. Jackson memahami pentingnya program-program pelatihan endoskopi, dan mengajarkan kursus instruksional bronchoesophagology. Dia dianggap sebagai Bapak Bronchoesophagology Amerika. 7,8,9

Pada tahun 1950-an, perkembangan teknologi untuk fiber optic endoskopi mulai berkembang. Sampai dengan pertengahan tahun 1960-an, bronkoskopi rigid banyak digunakan oleh ahli bedah. Pada tahun 1966 Shigeto Ikeda memperkenalkan bronkoskopi fleksibel (FB) dengan teknologi pencitraan serat optik. Hal ini merupakan revolusi dalam bidang bronkoskopi. Kemampuan untuk flexi distal ujung bronkoskopi memungkinkan bronchoscopist (operator bronkoskopi) untuk mencapai ke hampir semua bagian dari saluran nafas yang lebih kecil dari pohon tracheobronchial (segmen bronkus atau saluran udara lebih kecil). 1,10

Sejak diperkenalkan penggunaannya pada tahun 1960-an oleh Shigeto Ikeda, bronkoskopi serat optik telah meningkat kegunaannya, dengan kurang lebih 500.000 prosedur telah dilakukan di USA setiap tahunnya. FOB telah menjadi prosedur yang tetap oleh ahli paru dan juga sebagai alat diagnostik bagi ahli bedah toraks, anestesi dan juga intensivist. 1,4,5

2.3. JENIS BRONKOSKOPI

Berdasarkan bentuk dan sifat alat bronkoskopi, saat ini dikenal dua macam bronkoskopi, yaitu Bronkoskopi Kaku (Rigid) dan Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL). 1,2,10


(20)

A. BRONKOSKOPI KAKU (RIGID)

Bronkoskopi rigid merupakan alat yang berbentuk tabung lurus terbuat dari bahan stainless steel. Panjang dan lebar bervariasi, tetapi bronkoskopi untuk dewasa biasanya berukuran panjang 40 cm dan diameter berkisar 9-13,5 mm, tebal dinding bronkoskop berkisar 2-3 mm.

Bronkoskopi rigid biasanya dilakukan dengan penderita di bawah anestesi umum. Tindakan ini harus dilakukan oleh bronchoscopist yang berpengalaman di ruang operasi. Bronkoskopi rigid diindikasikan pada penderita dengan obstruksi saluran nafas besar dimana dengan FOB tidak dapat dilakukan. Indikasi umum lainnya adalah: 4,11

• Mengontrol dan penanganan batuk darah massif

• Mengeluarkan benda asing dari saluran trakeobronkial

• Penanganan stenosis saluran nafas

• Penanganan obstruksi saluran nafas akibat neoplasma

• Pemasangan sten bronkus

• Laser bronkoskopi


(21)

B. BRONKOSKOPI SERAT OPTIK LENTUR (BSOL)

Bronkoskopi serat optik lentur (BSOL) juga dikenal sebagai Fiber Optic Bronchoscopy (FOB), sangat membantu dalam menegakkan diagnosis pada kelainan yang dijumpai di paru-paru, dan berkembang sebagai suatu prosedur diagnostik invasif paru. 1,5

Gambar 2. Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL). 10

FOB berupa tabung tipis panjang dengan diameter 5-6 mm, merupakan saluran untuk tempat penyisipan peralatan tambahan yang digunakan untuk mendapatkan sampel dahak ataupun jaringan. Biasanya 55 cm dari total panjang tabung FOB mengandung serat optik yang memancarkan cahaya. Ujung distal FOB memiliki sumber cahaya yang dapat memperbesar 120o dari 100o lapangan pandang yang diproyeksikan ke layar video atau kamera. 12,13

Tabungnya sangat fleksibel sehingga memungkinkan operator untuk melihat sudut 160o-180o keatas dan 100o-130o ke bawah. Hal ini memungkinkan bronchoscopist FOB untuk melihat ke segmen yang lebih kecil dan segmen sub cabang bronkus ke atas dan ke bawah dari bronkus utama, dan juga ke depan belakang (anterior dan superior). 12,13


(22)

2.4. INDIKASI

Indikasi dari bronkoskopi adalah untuk membantu dalam menegakkan diagnosis, sebagai terapeutik serta pre operatif/post operasi. 3,10,12

Yang termasuk indikasi diagnostik bronkoskopi antara lain: 10,14

• Batuk

• Batuk darah

• Mengi dan stridor

• Gambaran foto toraks yang abnormal

• Pemeriksaan Bronchoalveolar lavage (BAL)

Lymphadenopathy atau massa intrabronkial pada intra toraks

• Karsinoma bronkus

• Ada bukti sitologi atau masih tersangka

• Penentuan derajat karsinoma bronkus

Follow up karsinoma bronkus

Yang termasuk indikasi terapeutik bronkoskopi antara lain: 10,14

• Dahak yang tertahan, gumpalan mukus

• Benda asing pada trakeobronkial

• Pemasangan stent pada trakeobronkial

• Dilatasi bronkus dengan menggunakan balon

• Kista pada mediastinum

• Kista pada bronkus

• Mengeluarkan sesuatu dengan bronkoskopi

Brachytherapy


(23)

• Abses paru

• Trauma dada

Therapeutic lavage (pulmonary alveolar proteinosis)

2.5. KONTRA INDIKASI

Kontra indikasi tindakan bronkoskopi terdiri dari kontra indikasi absolut dan relatif. Yang termasuk kontra indikasi absolut: 10

• Penderita kurang kooperatif

• Keterampilan operator kurang

• Fasilitas kurang memadai

• Angina yang tidak stabil

• Aritmia yang tidak terkontrol

• Hipoksia yang tidak respon dengan pemberian oksigen Yang termasuk kontra indikasi relatif antara lain :

• Asma berat

• Hiperkarbia berat

• Koagulopati yang serius

• Bulla emfisema berat

• Obstruksi trakea

High Positive end-expiratory pressure

2.6. KEAMANAN DAN KOMPLIKASI

Pada umumnya FOB mempunyai batas keamanan yang tinggi dengan angka mortaliti 0-0,4 % dengan komplikasi mayor (perdarahan pada waktu dilakukan biopsi, depresi pernafasan, henti


(24)

jantung, aritmia, dan pneumotoraks) < 1 % pada waktu tindakan bronkoskopi. Komplikasi ringan seperti kesulitan bernafas, demam, sakit tenggorokan. Disamping komplikasi yang dapat terjadi pada saat premedikasi, selama tindakan dan sesudah bronkoskopi, juga dapat terjadi sekuele. Pada umumnya sekuele ini terjadi akibat adanya tindakan tambahan pada saat bronkoskopi. Sekuele tersebut dapat berupa jaringan parut atau polypous granulatin setelah tindakan biopsi. 10,15,16

2.7. PERSIAPAN BRONKOSKOPI

Dalam survei yang dilakukan American College of Chest Physician (ACCP) pada umumnya dilakukan prosedur sebelum tindakan bronkoskopi berupa foto toraks, faal hemostasis, juga dilakukan EKG (Ecocardiography), analisa gas darah, elektrolit dan spirometri. Evaluasi jantung dilakukan pada penderita dengan penyakit koroner yang akan dilakukan bronkoskopi, karena penyakit ini dapat meningkatkan resiko pada saat bronkoskopi. 1,5,16,17

Disamping pemeriksaan tersebut yang juga penting untuk dipersiapkan adalah yang berkaitan dengan penderita. Persiapan yang harus dilakukan terhadap penderita adalah: 17,18

1. Informasi yang berkaitan dengan riwayat penyakit sebelumnya, penyakit sekarang, kondisi fisik dan mental penderita dan riwayat reaksi alergi terhadap obat yang akan digunakan untuk tindakan bronkoskopi.

2. Memberikan informasi kepada penderita tentang tahapan yang akan dilakukan mulai dari persiapan bronkoskopi sampai pasca bronkoskopi, termasuk puasa sebagai persiapan sebelum bronkoskopi yang dilakukan sekitar 8 jam untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung, penjelasan tentang tindakan anestesi yang dilakukan dan efek anestesi yang dirasakan penderita, puasa setelah menjalani tindakan bronkoskopi.


(25)

4. Melakukan evaluasi sebelum bronkoskopi untuk mengklasifikasikan berdasarkan kondisi fisik penderita. Berhubungan dengan kondisi fisik penderita American Association of Anesthesiologysts (ASA) membuat klasifikasi sebagai berikut :

ASA I : Penderita dengan kondisi fisik normal. ASA II : Penderita dengan penyakit sistemik ringan. ASA III : Penderita dengan penyakit sistemik yang berat dengan keterbatasan aktifitas.

ASA IV : Penderita dengan penyakit yang tergantung dengan obat-obatan agar dapat bertahan.

ASA V : Penderita dengan kondisi yang gawat dengan

prediksi tidak akan bertahan hidup dalam 24 jam dengan atau tanpa bronkoskopi.

Selain persiapan pada penderita juga dilakukan persiapan fasilitas penunjang, berupa: 17,18

• Ruangan:

Broncoscopysuite

• Ruangan persiapan, ruangan tindakan, ruangan pemulihan, ruangan desinfeksi alat

• Bronkoskopi:

• Kelengkapan televisi, video, foto

• Kelengkapan alat diagnostik dan terapi

• Sarana penunjang:

• Oksigen, mesin penghisap lendir (suction).

• Alat pemantau EKG, oksimeter denyut

• Nebulizer

• Resusitator


(26)

2.8. MEDIKASI SEBELUM BRONKOSKOPI

Medikasi diberikan sebelum dilakukan bronkoskopi untuk keamanan dan keberhasilan prosedur bronkoskopi. Umumnya anti sedatif ringan diberikan 30 menit sebelum prosedur bronkoskopi dilakukan. Selama prosedur, anestesi topikal diberikan pada saluran nafas serta sedatif dan analgetik tambahan diberi untuk mengatasi dan mengurangi kecemasan, nyeri serta batuk. 1,17

Antisialagogues diguna untuk mengurangi sekresi, munurunkan respon vasovagal juga untuk meningkatkan efikasi anestesi topikal. Efek samping yang mungkin timbul pada pemberian antisialagogues berupa takikardi, hipotensi, aritmia, retensi urin, glukoma dan penurunan motilitas saluran cerna. Tidak ada data akurat menunjukkan efikasi pemberian antisialagogues dan tidak selalu diberikan karena efek sampingnya. Operator umumnya menggunakan kombinasi medikasi benzodiazepine, opiate narkotik, antisialagogue dan antihistmin umumnya digunakan secara individual untuk menimbulkan efek amnesia, anxiolysis, penurunan refleks batuk dan analgesia pada saluran nafas. Obat dengan onset cepat, masa paruh pendek dan efek samping yang minimal selalu digunakan. 1,18,19

Benzodiazepin biasanya diberikan untuk menimbulkan efek amnesia dan anxiolysis. Midazolam IV diberi karena onset cepat dan masa paruhnya pendek. Bolus 0.5-2.0 mg diberi 2-5 menit sampai efek sedasi diperoleh. Lorazepam juga digunakan sebelum dilakukan tindakan dengan batas keamanan lebih baik disebabkan retrograde amnesia yang ditimbul oleh midazolam. Flumanezil, inhibitor kompetetif GABA diguna sebagai antidotum benzodiazepine. Digunakan untuk mengatasi overdosis benzodiazepine. Mempunyai masa paruh yang pendek. 19

Opiat menurunkan refleks laryng dan batuk serta sebagai anxiolysis. Dapat menimbulkan nausea dan disphoria. Fentanyl IV dalam bolus 25-50 mg diguna 2-5 menit sebelum dilakukan bronkoskopi. Meperidine digunakan sebelum prosedur bronkoskopi karena metaboliknya aktif dengan masa paruh panjang tetapi peningkatan resiko kejang dan tidak disarankan untuk selalu


(27)

digunakan. Naloxone digunakan sebagai antidotum untuk sedasi narkotik dengan efek inhibitor kompetitif. Durasinya lebih pendek dibanding narkotik dan justru digunakan untuk mengatasi overdosis opiat narkotik. 19,20

Anestesi topikal pada traktus aerogigestive atas, area glottis dan bronkial dapat diperoleh dengan aplikasi lidokain, benzocaine tetracaine dan kokain. Lidokain paling banyak dipakai karena onset cepat durasi pendek dan efek terapeutik lebar. Safety margin pada dosis < 7 mg/kg. 19,21

2.9. TINDAKAN BRONKOSKOPI

Sebelum memulai tindakan bronkoskopi, dilakukan pemantauan tekanan darah, detak jantung, frekwensi pernafasan, denyut nadi oksimetri (oksigen saturasi). Penderita harus diberikan suplemen oksigen selama dan setelah tindakan bronkoskopi. 1,5,17

Ada tiga cara untuk melakukan FOB, yaitu melalui hidung (trans nasal), mulut (trans oral) atau melalui tabung endotrakeal (ETT). Elastisitas FOB memungkinkan bronkoskop melewati hidung, tenggorokan posterior, pita suara, trakea, karina membagi bronkus utama kanan dan kiri. Kemudian FOB masuk ke bronkus dan segmen yang lebih kecil kanan dan kiri paru. Karina dan semua segmen pada trakeobronkial divisualisasikan pada layar video bronkoskopi. Karina dinilai ketajamannya. Subsegmen paru dinilai posisi, tekstur, warna, ukuran dan patency. Mukosa bronkial juga diperiksa apakah ada infiltrasi, peradangan dan sekresi. 2,10,22

Setelah tindakan bronkoskopi selesai dilakukan, penderita dipantau tanda-tanda vital seperi tekanan darah, denyut nadi, serta penderita tidak boleh mengkonsumsi apapun sampai dua jam setelah tindakan bronkoskopi selesai dilakukan. Batuk dengan sedikit darah, sakit tenggorokan dan ketidaknyamanan karena alergi terhadap obat yang diberikan selama prosedur biasa dijumpai setelah tindakan bronkoskopi. Hal ini akan hilang setelah dua jam prosedur bronkoskopi selesai dilakukan. 2,22


(28)

2.10. KRITERIA PENAMPAKAN GAMBARAN BRONKOSKOPI

Pada saat melakukan bronkoskopi, ada beberapa keadaan yang dapat dijumpai, seperti: 22 1. Normal

Dimana pada saat dilakukan bronkoskopi tidak dijumpai kelainan pada mukosa ataupun cabang-cabang bronkus.

2. Inflamasi

Gambaran inflamasi dapat menyeluruh (misalnya bronkitis kronis) ataupun lokal (akibat benda asing). Inflamasi dapat terjadi secara akut (misalnya radang paru yang berhubungan dengan segmental) maupun kronis (misalnya tuberkulosis).


(29)

Gambar 4. Menunjukkan perubahan akibat inflamasi bronkitis kronis. 22

Perubahan peradangan meliputi :

• Hiperemis dan peningkatan vaskularisasi dari mukosa (berwarna gelap atau merah muda atau bahkan merah). Mukosa bronkus normal berupa palepink atau berwarna merah kuning.

• Pembengkakan (swelling).

Pada peradangan ringan, tampak sedikit pinggir dari karina tumpul dan buram atau kehilangan kontur sehingga tulang rawan bronkial menonjol. Pada peradangan yang parah terjadi penyempitan mukosa.

• Sekresi

Mukosa yang normal hanya sedikit menghasilkan lendir yang berguna untuk pembersihan. Pada waktu peradangan, sekresi menjadi banyak dan sifat sangat bervariasi, misalnya mukoid, tebal dan mukus yang kental (bronkitis kronis), Mukus berupa plague (asma), pus/nanah (infeksi berat).

• Perubahan terlokalisir (localized changes)

Reaksi lokal dapat dijumpai pada kelainan seperti pneumonia, abses paru, TBC, aspirasi benda asing, bronkiektasis, karsinoma, dan lain lain.


(30)

Ascociated changes

Terutama terlihat pada penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK), dimana dijumpai submukosa atrofi, hipertrofi pada dinding membran bronkiol.

Gambar 5. Menunjukkan penonjolan dinding trakea kanan oleh karena tekanan ekstrinsik. 22

• Tuberkulosis

Dijumpai peradangan pada endobronkial, distorsi pada lumen trakea/bronkus yang disebabkan limfadenofati ekstrabronkial.

Gambar 6. Menunjukkan perubahan inflamasi tuberkulosis dengan serangkaian sekresi terlihat pada batang utama bronkus kanan. 22


(31)

3. Tumor

Gambaran bronkoskopi pada tumor atau pembesaran kelenjar getah bening atau metastasis dapat dijumpai tiga perubahan utama :

• Distorsi anatomi oleh karena adanya tekanan eksternal pada trakeo bronkial, biasanya disebabkan oleh limfadenopati sekunder berupa pelebaran sudut karina, pembengkakan pada dinding trakea/bronkus utama.

• Keterlibatan dari dinding bronkial dengan distorsi lokal atau ulserasi dari mukosa pada sebagian atau seluruh lumina.

• Pertumbuhan intraluminer mungkin merupakan awal dari intralumen itu sendiri, dijumpai pelebaran atau ruptur dari kelenjar limfe sekunder melalui dinding bronkial. Pertumbuhan intralumen bisa menutup lumen secara total atau parsial.

Gambar 7. Menunjukkan fungating tumor di sebelah kiri batang utama bronkus. 22


(32)

Tabel 1. Karakteristik Gambaran Bronkoskopi Tumor. 22 Tumor Karakteristik Bronkoskopi

Karsinoma Berlobus/nekrotik, berwarna putih/krem, permu- kaan mukosa tampak penonjolan pembuluh darah (engorged)

Karsinoid Berwarna merah cherry, bulat, mudah berdarah Kondromata Halus, permukaan pucat, konsistensi kasar

4. Miscellaneous

• Perdarahan bronkial

Dalam beberapa kasus batuk darah (hemoptisis), pemeriksaan bronkoskopi memberikan gambaran normal. Pada perdarahan yang masif dilakukan pembersihan dari trakeobronkial dengan normal salin untuk membantu menemukan sumber perdarahan.

• Benda asing

Benda asing sering menyebabkan peradangan lokal, bahkan menyebabkan infeksi yang luas dan kerusakan pada bronkial dan jaringan paru distal. Benda asing dapat menghasilkan sekresi purulen.

Sarcoidosis

Tampak dua gambaran utama,yaitu :

1. Pembesaran kelenjar getah bening, karina dan subkarina melebar dan distorsi trakeobronkial.

2. Perubahan bentuk mukosa trakeobronkial, hiperemis dan sekresi yang meningkat.


(33)

Perubahan mengikuti pola umum: segera, reaksi peradangan akut, selanjutnya penyusutan atau hilangnya tumor dengan berkurangnya peradangan, mukosa pucat dan kontraktif jaringan parut setelah beberapa bulan dan terjadi fibrosis pada daerah yang terkena.

• Trauma trakea

Dijumpai fraktur pada dinding trakea atau bronkus.

• Fistula Bronkopleura

Merupakan sekunder dari empiema, abses paru, pecahnya kista paru, pneumotoraks, trauma atau pasca operasi. Pada gambaran bronkoskopi tampak gelembung udara, waktu sekresi tampak gerakan pernafasan.

• Amiloidosis

Jarang terjadi, dinding bronkial berwarna kuning/abu-abu yang menyerupai gambaran carsinomatous infiltratif.

2.11. PENGAMBILAN SPESIMEN

Dengan menggunakan bronkoskop dapat dilakukan berbagai teknik pengambilan spesimen untuk dilakukan pemeriksaan sitologi ataupun histopatologi yang sangat penting untuk membantu menegakkan diagnosis. Spesimen dapat diambil dengan cara, seperti: 12,14,22

1. Bilasan bronkus (bronchialwashing)

Tindakan membilas daerah bronkus dan cabang-cabangnya dengan bantuan kateter atau fasilitas suction yang ada pada bronkoskop. Bilasan bronkus dilakukan dengan menggunakan cairan salin atau ringer yang dialirkan melalui saluran yang ada pada bronkoskop ke dalam bronkus yang dijumpai kelainan dan disedot kembali. Jumlah cairan yang dialirkan 3-5 ml dan dapat diulang beberapa kali. Sekret yang diperoleh dilakukanpemeriksaan sitologi cairan bronkus. 2. Sikatan bronkus (bronchialbrushing)


(34)

Spesimen diperoleh dengan menggunakan kateter, sikat dan jarum, sampel yang didapat selanjutnya diperiksa secara histologi.

Gambar 8. Aksesori prosedur sikatan bronkus, TBNA dan biopsi forsep. 10

3. Bronchoalveolar Lavage (BAL)

BAL bertujuan untuk mengambil spesimen yang terletak pada ujung saluran nafas (alveolus). Cairan salin atau ringer dimasukkan ke ujung scope bronkoskop kemudian disedot. Tindakan ini diulang beberapa kali sampai didapat sampel 100-300 ml untuk mendapatkan material yang cukup dari alveolus. Sampel yang didapat dilakukan pemeriksaan mikrobiologi dan sitologi. 4. Biopsi endobronkial

Biopsi dapat dilakukan dengan menggunakan forcep, dimana ujung dari bronkoskop dekat dengan bidang visual lesi. Sampel yang didapat dilakukan pemeriksaan histologi.

5. Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)

TBNA merupakan tindakan invasif minimal yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis dan stage bronchogenik carcinoma dengan cara mengambil sampel kelenjar limfe mediastinum dengan menggunakan jarum atau forcep. Ini merupakan tindakan biopsi menembus trakeobronkus dengan jarum atau forcep menembus lesi/kelainan yang menekan trakeobronkial (trakea, bronkus utama, karina dan karina dua). TBNA juga dapat digunakan untuk mengambil sampel perifer, submukosa dan endobronkial. American Thoracic Society (ATS) membuat suatu sistem pemetaan untuk mengetahui lokasi kelenjar lymph.Untuk mengambil sampel pada tempat


(35)

yang letaknya perifer, TBNA dilakukan dengan panduan fluroskopi untuk menentukan lokasinya.

6. Biopsi paru transbronkial Gambar

Ini merupakan cara yang paling aman untuk mendapatkan biopsi dari parenkim paru. Prosedur ini sangat membantu untuk menegakkan diagnosis.

9. Maping Sistem Kelenjar Limfe

7. Biopsi lesi perifer

Tindakan ini dilakukan dibawah anestesi umum dengan menggunakan instrument fibrescope yang halus.


(36)

BAB III

BAHAN DAN METODA

3.1. RANCANGAN PENELITIAN

Rancangan penelitian bersifat deskriptif dengan pendekatan retrospektif.

3.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Instalasi Diagnostik Terpadu (IDT) RS. H. Adam Malik Medan /Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU.

3.3. SUBJEK PENELITIAN 3.3.1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah semua data penderita yang dilakukan bronkoskopi di IDT RS. H. Adam Malik Medan/Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU.

3.3.2. Sampel

Semua data penderita yang di lakukan bronkoskopi di IDT RS. H. Adam Malik Medan/Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU dari tahun 2007 sampai tahun 2009.

3.4. JUMLAH SAMPEL

Semua data penderita yang di bronkoskopi di IDT RS. H. Adam Malik Medan/ Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU dari tahun 2007 sampai tahun 2009.

3.5. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI 3.4.1. Kriteria Inklusi:


(37)

bronkoskopi di IDT RS H. Adam Malik Medan. 3.4.2. Kriteria Eksklusi:

1. Penderita yang dilakukan bronkoskopi di IDT yang bukan penderita rawat inap di bagian paru.

2. Penderita yang dirawat di bagian paru yang di bronkoskopi di ICU.

3. Data rekam medis yang tidak lengkap.

3.6. KERANGKA OPERASIONAL

Data Rekam Medik

Bronkoskopi

Diagnosis Penyakit Karakteristik

Indikasi

Kriteria Penampakan Bronkoskopi

Cara Pengambilan Sampel

Gambar 10. Kerangka operasional penelitian

3.7. DEFINISI OPERASIONAL

1. Bronkoskopi adalah suatu teknik visualisasi keadaan di dalam saluran nafas dengan menggunakan satu alat (instrumen) yang di sebut bronkoskop yang dimasukkan ke dalam saluran nafas melalui hidung, mulut ataupun trakeostomi. Hal ini digunakan untuk


(38)

memeriksa secara visual kelainan pada saluran nafas seperti peradangan, tumor, perdarahan dan untuk mengambil sampel jaringan atau sputum.

2. Indikasi diagnostik digunakan pada:

• Gejala atau tanda pada endobronkial

Gejala atau tanda-tanda penyakit pada endobronkial adalah indikasi yang paling umum untuk dilakukan bronkoskopi, seperti dijumpai adanya batuk kronis, hemoptisis, atelektasis, radang paru yang bersifat obstruktif, adanya kelainan pada gambaran foto toraks.

• Kanker paru

Kanker paru adalah salah satu kondisi yang paling umum diindikasikan untuk dilakukan tindakan bronkoskopi. Hal ini diperlukan untuk menegakkan diagnosis, menentukan staging, dan merupakan diagnosis dini dari klanker paru.

• Pasien luka bakar

Pasien yang menderita luka bakar dan diduga menderita cedera pada bagian pernafasan perlu dilakukan tindakan bronkoskopi.

• Penilaian posisi setelah pemasangan endotracheal tube 3. Indikasi terapeutik digunakan pada:

• Mengambil benda asing (Removal of foreign body)

Secara umum, pengambilan benda asing yang paling baik dilakukan menggunakan bronkoskopi rigid dibawah anestesi umum. FOB dapat digunakan sebagai prosedur screening untuk tersangka kasus aspirasi. Pasien yang diketahui atau dicurigai teraspirasi benda asing harus dilakukan bronkoskopi rigid, dan apabila tidak jelas apakah terjadi aspirasi atau tidak pasien harus menjalani diagnosis dengan FOB, dan kemudian dilanjutkan dengan bronkoskopi rigid apabila benda asing ditemukan.


(39)

Tindakan bronkoskopi pada abses paru bertujuan untuk terapi pada lesi endobronkial dan untuk drainase.

• Stenosis trakea

Tindakan bronkoskopi pada stenosis trakea bertujuan untuk pelebaran trakea.

Refractory atelektasis dengan menggunakan balon cuff

Respiratory toilette

Bronkoskopi biasa juga digunakan untuk membersihkan saluran nafas, dimana apabila drainase postural, tapotage, batuk dan sekresi dengan suction tidak dapat dilakukan maka dapat dilakukan bronkoskopi untuk membersihkan saluran nafas. Pada penelitian retrospektif menunjukkan bahwa pasien yang di rawat di ICU setelah dilakukan bronkoskopi untuk membersihkan saluran nafas memberikan hasil yang baik dan mencegah terjadinya atelektase.

• Pneumonia, penyakit paru yang difus

Bronkoskopi merupakan prosedur yang dilakukan untuk mendapatkan spesimen dari saluran pernafasan untuk menegakkan diagnosis infeksi baik dengan cara sikatan, biopsi, transbronchial needle aspiration (TBNA) atau transthoracal Lung Biopsy (TTLB), Bronchoalveolar Lavage (BAL), ripple lumen kateter maupun laser.

• Sulit intubasi

Apabila terjadi kesulitan dalam melakukan intubasi, FOB dapat digunakan untuk membantu, di mana tabung endotrakeal akan melewati bronkoskop dan dengan melihat langsung dengan panduan bronkoskop dapat diarahkan ke trakea.

4. Umur dikelompokkan dalam : a. 1-20 tahun

b. 21-40 tahun c. > 40 tahun


(40)

5. Adapun kriteria penampakan bronkoskopi yang biasa dinilai yaitu : 1. Massa intrabronkial

a. Obstruktif : Total atau parsial b. Permukaan : Berbenjol-benjol atau rata

c. Mukosa : Compang-camping, licin, mudah berdarah atau tidak mudah berdarah.

2. Mukosa infiltratif (minimal memenuhi 3 kriteria) a. Hiperemis

b. Sub mukosa tidak rata c. Nekrosis

d. Edema 3. Stenosis

a. Total b. Tidak total c. Kompresif d. Non kompresif e. Infiltratif 4. Peradangan

a. Hiperemis b. Edema

6. Bronkus dan cabang-cabangnya normal

7. Pengambilan sampel dapat dilakukan dengan cara :

• Bilasanbronkus (Bronchial washing)

• Sikatanbronkus (Bronchial Brushing)


(41)

• Biopsi endobronkial (Endobronchial Biopsy)

Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)

Transthoracal Lung Biopsy (TTLB)

• Biopsi lesi perifer (Pheripheral lession Biopsy) 3.8. VARIABEL DEPENDEN DAN INDEPENDEN 3.8.1. Variabel dependen:

a. Jenis kelamin b. Umur

c. Indikasi

d. Diagnosis penyakit e. Cara pengambilan sampel

3.8.2. Variabel independen: Tindakan bronkoskopi

3.9. ANALISA DATA

Data yang berhasil dikumpulkan, diolah dan dianalisis dengan menggunakan program komputer, disajikan dalam bentuk tabel dan dideskripsikan.

3.10. CARA KERJA

Dilakukan penelitian retrospektif dengan mengambil data penderita yang telah dilakukan bronkoskopi di IDT RSUP H. Adam Malik Medan/Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU mulai bulan Januari 2007 sampai Desember 2009. Data diolah dalam bentuk statistik deskriptif.


(42)

Pengolahan data hasil penelitian ini diformasikan dengan menggunakan langkah-langkah berikut :

Editing: untuk melengkapi kelengkapan, konsistensi dan kesesuaian antara kriteria yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian.

Coding: untuk mengkuatifikasi data kualitatif atau membedakan aneka karakter. Pemberian kode ini sangat diperlukan terutama dalam rangka pengolahan data, baik secara manual maupun dengan menggunakan komputer.

Cleaning: pemeriksaan data yang sudah dimasukkan ke dalam program komputer guna menghindari terjadinya kesalahan pada pemasukan data.

3.12. JADWAL KEGIATAN

NO KEGIATAN I II III IV

1 Persiapan

2 Pengumpulan Data

3 Pengolahan Data

4 Penyusunan Laporan


(43)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL PENELITIAN

Sampel penelitian sebanyak 344 sampel yaitu data penderita yang telah dilakukan tindakan bronkoskopi di IDT RS H. Adam Malik Medan/Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU mulai bulan Januari 2007 sampai Desember 2009. Data tersebut ditampilkan dalam bentuk tabel seperti tersebut di bawah ini:

4.1.1. KARAKTERISTIK PENDERITA

Dari penelitian ini didapati penderita berjenis kelamin laki-laki jauh lebih banyak daripada perempuan, yaitu sebanyak 287 orang (83,43%) berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 57 orang (16,57%) berjenis kelamin perempuan (tabel 1).

Tabel 1. Distribusi Penderita Berdasarkan Jenis Kelamin

NO JENIS KELAMIN JUMLAH PERSENTASE 1 Laki-laki

2 Perempuan JUMLAH TOTAL

287 57

83,43 16,57 10

344 0,00

Berdasarkan umur penderita didapati kelompok umur terbanyak pada usia diatas 40 tahun, yaitu sebanyak 282 orang (81,98%), terbanyak kedua kelompok umur 21-40 tahun sebanyak 60 orang (17,44%) dan hanya didapati 2 orang saja (0,58%) yang berumur 0-2 tahun (tabel 2).


(44)

Tabel 2. Distribusi Penderita Berdasarkan Umur

NO USIA (TAHUN) JUMLAH PERSENTASE 1

2 3

JUMLAH TOTAL

1 - 20 2

21 - 40

> 40 282

60

344 10

0,58 17,44 81,98 0,00

4.1.2. INDIKASI TINDAKAN BRONKOSKOPI

Ada dua indikasi dilakukannya tindakan bronkoskopi, yaitu indikasi diagnostik dan indikasi terapeutik. Pada penelitian ini dijumpai hasil seperti yang tampak pada tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Indikasi Dilakukan Tindakan Bronkoskopi

NO INDIKASI JUMLAH PERSENTASE 1 Diagnostik

2 Terapeutik JUMLAH TOTAL

341 3

344 100,0

99,10 0,90

0

Dari 344 sampel hampir seluruhnya yaitu 341 orang (99,10%) dilakukan tindakan bronkoskopi atas indikasi diagnostik, sedangkan atas indikasi terapeutik hanya 3 orang (0,90%).

4.1.3. CARA PENGAMBILAN SAMPEL

Pada penelitian ini hanya didapati tiga cara pengambilan sampel bronkoskopi, yaitu seluruh penderita sebanyak 344 orang (100%) pengambilan sampel dengan cara Bronchoalveolar Lavage (BAL), sebanyak 125 orang (36,34%) pengambilan sampel dengan cara sikatan bronkus dan hanya 2 orang (0,58%) pengambilan sampel dengan cara biopsi endobronkial. Sedangkan pengambilan


(45)

sampel dengan cara Tranbronchial Needle Aspiration (TBNA), Transthoracal Lung Biopsy dan Biopsi Lesi Perifer tidak dilakukan oleh karena tidak tersedianya alat. Gambaran tersebut dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Distribusi Penderita Berdasarkan Cara Pengambilan Sampel

NO D I G N O S I S JUMLAH PERSENTASE 1 Bronchoalveolar Lavage (BAL) 2 Sikatan bronkus

3 Biopsi endobronkial

100,00 36,34 0,58 344 125 2

4.1.4. DIAGNOSIS PENDERITA

Diagnosis sebelum dilakukan tindakan bronkoskopi dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Diagnosis Penderita Sebelum Dilakukan Tindakan Bronkoskopi

NO DIAGNOSIS J U M L A H PERSENTASE JUMLAH TOTAL 63,66 4,94 9,01 6,10 5,23 0,58 5,25 4,07 0,58 0,87 100,00 219 17 31 21 18 2 19 14 2 3 344 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tumor paru Pneumonia

Efusi pleura ganas Tumor mediastinum Tuberkulosis paru Tuberkuloma Efusi pleura Hidropneumotoraks Aspirasi pneumonia Corpus alienum


(46)

Terdapat sepuluh diagnosis penderita sebelum dilakukan tindakan bronkoskopi, yang terbanyak adalah tumor paru didapati pada 219 orang (63,66%), diagnosis lainnya pneumonia sebanyak 17 orang (4,94%), efusi pleura ganas sebanyak 31 orang (9,01%), tumor mediastinum sebanyak 21 orang (6,10%), tuberkulosis paru sebanyak 18 orang (5,23%), selanjutnya tuberkuloma dan aspirasi pneumonia dijumpai hanya pada 2 orang penderita (0,58%), efusi pleura sebanyak 19 orang (5,52%), hidropneumotoraks sebanyak 14 orang (4,07%), dan corpus alienum sebanyak 3 orang (0,87%).

4.1.5. KRITERIA PENAMPAKAN

Dari hasil pemeriksaan bronkoskopi didapati lima kriteria penampakan pada penderita, yaitu adanya massa intrabronkial dijumpai pada 97 orang (28,20%), gambaran mukosa infiltratif dijumpai pada 51 orang (14,83%), adanya stenosis infiltratif didapati pada 82 orang (23,84%), gambaran peradangan dijumpai pada 53 orang (15,41%) dan gambaran bronkus normal dijumpai pada 61 orang (17,735). Gambaran tersebut ditunjukkan pada tabel 6.

Tabel 6. Kriteria Penampakan Bronkoskpi

NO KRITERIA PENAMPAKAN JUMLAH PERSENTASE

1 Massa intrabronkial 2 Mukosa infiltratif 3 Stenosis infiltratif 4 Peradangan 5 Bronkus normal JUMLAH TOTAL 97 51 82 53 61 344 28,20 14,83 23,84 15,41 17,73 100,00


(47)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 97 orang dengan kriteria penampakan berupa massa intrabronkial diketahui sebanyak 90 orang (92,78%) adalah penderita berjenis kelamin

laki-infiltratif dijumpai pada 51 orang penderita dengan perincian 42 orang (82,35%) laki-laki dan 9

sebanyak 68 orang (82,93%) berjenis kelamin laki-laki dan 14 orang (17,07%) berjenis kelamin perempuan. Gambaran bronkoskopi berupa peradangan dijumpai pada 53 orang penderita, 42 orang

orang penderita yang dilakukan tindakan bronkoskopi dalam sampel penelitian ini, dijumpai

diantaranya adalah penderita berjenis kelamin laki-laki dan 16 orang (26,23%) adalah penderita berjenis kelamin perempuan.

Apabila kriteria penampakan dari hasil pemeriksaan bronkoskopi didistribusikan berdasarkan jenis kelamin, maka didapati gambaran seperti ditunjukkan pada tabel 7.

Tabel 7. Distribusi Kriteria Penampakan Bronkoskopi Berdasarkan Jenis Kelamin

LAKI-LAKI PEREMPUAN

KRITERIA

NO PENAMPAKAN

JUMLAH PERSENTASE JUMLAH PERSENTASE

JUMLAH

1 Massa intrabronkial 2 Mukosa infiltratif

3 Stenosis infiltratif 4 Peradangan 5 Bronkus normal

JUMLAH TOTAL 90 42 68 42 45 294 92,78 82,35 82,93 79,25 73,77 7 9 14 11 16 57 7,22 17,65 17,07 20,75 26,23 97 51 82 53 61 344

laki dan hanya 7 orang (7,22%) yang berjenis kelamin perempuan. Hasil bronkoskopi berupa

orang (17,65%) perempuan. Dari 82 orang penderita dengan gambaran stenosis infiltratif, didapati

(79,25%) diantaranya adalah laki-laki dan sisanya, 11 orang (20,75%) adalah perempuan. Dari 344


(48)

4.2. PEMBAHASAN

Berdasarkan jenis kelamin, pada penelitian ini penderita laki-laki lebih banyak dari perempun yaitu 83,43% penderita laki-laki dan 16,57% perempuan. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Umar dkk, yang melakukan penelitian tentang akurasi diagnostik kanker paru dengan prosedur diagnosis invasif menggunakan bronkoskopi serat optik lentur di RSUD Pekan baru dari tahun 1998 sampai tahun 2002 dan menemukan penderita laki-laki 88,72% dan perempuan 11,28%.6 Hal ini kemungkinan disebabkan karena diagnosis penderita terbanyak adalah kanker paru yang berhubungan erat dengan kebiasaan merokok yang banyak dijumpai pada laki-laki daripada perempuan.

Peningkatan insiden kanker paru sejalan dengan bertambahnya umur penderita. 23 Pada penelitian ini dijumpai umur penderita terbanyak diatas 40 tahun (81,98%), sesuai dengan penelitian Umar dkk yang menemukan umur penderita kurang dari 40 tahun hanya 0,02%, sedangkan umur 40-65 tahun 69,93% dan umur diatas 40-65 tahun 24,06%. 6

Pada penelitian ini dari 344 penderita seluruhnya (100%) pengambilan sampel dilakukan dengan cara bronchoalveolar lavage (BAL) dan sebanyak 125 penderita (36,34%) pengambilan sampel dengan cara sikatan bronkus. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Umar dkk, dimana dari 123 kasus yang dilakukan bronkoskopi, pengambilan sampel dilakukan dengan cara sikatan bronkus sebanyak 119 penderita (89,50%), sedangkan biopsi pada massa intrabronkial dilakukan pada 45 penderita (10,50%). 6 Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Rasmin dkk tentang efikasi prosedur diagnosis dan akurasi diagnosis sitologi prabedah kanker paru pada RS Persahabatan Jakarta sejak tahun 1993 sampai tahun 2001, dimana pengambilan spesimen terbanyak dengan cara sikatan/bilasan bronkus yaitu 51,8%, trsnsthoracal needle aspirastion (TTNA) 42,4%, transbronchial lung biopsy 4,7%. 24 Berdasarkan prosedur diagnosis penelitian yang dilakukan Baba et al (2002) mendapatkan pengambilan sampel dengan sikatan bronkus sebanyak 43,7%, sitologi


(49)

biopsi porsep intrabronkus sebanyak 62,9%, transbronchial fine needle aspiration (TBNA) sebanyak 66,6%, biopsi jarum halus sebanyak 85,0%. 25

Berdasarkan penampakan hasil bronkoskopi, penelitian ini menemukan adanya massa intrabronkial adalah yang terbanyak yaitu sebesar 28,20%. Penelitian Umar dkk juga menemukan penampakan tumor/massa intrabronkial yang terbanyak yaitu 32,53%. 6 Hasil ini sesuai dengan diagnosis penderita sebelum dilakukan tindakan bronkoskopi yang terbanyak adalah tumor paru, tetapi dengan persentase lebih besar yaitu 63,66%.


(50)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Profil penderita yang dilakukan tindakan bronkoskopi serat optik lentur di Instalasi Diagnostik Terpadu (IDT) RSUP H. Adam Malik Medan memiliki karakteristik adalah sebagai berikut:

- Jenis kelamin penderita terbanyak adalah laki-laki yaitu 83,43%. - Umur terbanyak yaitu diatas 40 tahun 81,98%.

- Indikasi diagnostik dilakukan tindakan bronkoskopi dijumpai hampir pada seluruhnya penderita (99,10%).

- Cara pengambilan sampel terbanyak adalah bronchoalveolar lavage (BAL) pada seluruh penderita atau 100%.

- Diagnosis sebelum tindakan bronkoskopi terbanyak adalah tumor paru yaitu 63,66%. - Kriteria penampakan bronkoskopi terbanyak adalah massa intrabronkial yaitu 28,20%.

5.2. SARAN

Dari hasil penelitian ini dimana didapat diagnosis sebelum tindakan bronkoskopi terbanyak adalah tumor paru dan penampakan bronkoskopi yang banyak dijumpai adalah massa intrabronkial, stenosis infiltratif dan mukosa infiltratif yang merupakan tanda-tanda proses keganasan. Oleh karena itu disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan tentang akurasi bronkoskopi serat optik lentur dalam menegakkan diagnosa tumor paru dibandingkan dengan pemeriksaan foto toraks serta CT scan toraks.


(51)

DAFTAR PUSTAKA

1. Osmon SB, Mayse M. Bronchoscopy. In : Shiffren A, Lin TL. The Washington Manual Subspecialty Consult-Pulmonary Medicine Subspecialty Consult; Lippincott Williams & Wilkins, Washington USA; 4: 28-34.

2. Stanzel F, Haussinger K. Fluorescence Bronchoscopy. In : Beamis JF, Mehta AC, Mathur PN. Interventional Pulmonary Medicine; Marcel Dekker Inc; New York-USA; 2004 (18): 355-84.

3. Prakash UB. Current Indication for Bronchoscopy. Contemp Intern Med 1992; 4 (10): 13-18 4. Heart FJF, Beamis JF, Earnist A. History Of Rigid Bronchoscopy. In : Earnist A, Mathur PN,

Mehta AC. International Pulmonary Medicine; Marcell Dekker Inc; New York-USA; 2004 (1): 1-12.

5. Baughman RP, Keith FM. Bronchoscopy, Lung Biopsi, and other diagnosic procedure. In: Nadel JA, Murray JF. Texbook of Respiratory Medicine. Saunders WB Company, Philadelphia-USA; 2000 (3): 725-80.

6. Umar M, Syahruddin E, Rasmin M, Munir SM. Akurasi Diagnostik Kanker Paru Dengan Prosedur Diagnosis Invasif Menggunakan Bronkoskopi Serat Optik Lentur. Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UI/RS Persahabatan Jakarta/SMF Pulmonologi RSUD Tk.I Pekan Baru. Dalam: Jurnal Respirologi Indonesia, 2006;26(4): 180-84.

7. Becker HD, Marsh BR. History of Rigid Bronchoscopy. In : Bollinger CT, Mathur PN. Intervention Bronchoscopy, Basil Kargel, 2000: 2-15.

8. Prakash UBS, Offord KP, Stubbs SE. Bronchoscopy in North America. Chest. 1991; 100: 1668-75.

9. Marsh BR. Historic development of bronchoesophagology. Otolaryngol Head Neck Surg. 1996: 689-716.


(52)

10.Prakash UBS, Cavaliere S. Bronchoscopy. In: Gold WM, Murray JF, Nadel JA. Atlas of Procedures in Respiratory Medicine. Saunders WB Company, Philadelphia-USA; 2002 (6): 241-65.

11.Ayers ML, Beamis JF. Rigid bronchoscopy in the twenty-fisrt century. Clin Chest Med. 2001; 22 (2): 355-63.

12.Miyajawa T. History of Flexible Bronchoscopy. In: Bolliger CT, Mathur PN. Interventional Bronchoscopy; Kargel-Basel Switzerland; 2000 (30): 16-21.

13.Ovassapian A. The Flexible Bronchoscope: a tool for anesthesiologists. Clin Chest Med 2001; 22(2); 281-99.

14.Freitag L, Macha HN. Interventional bronchoscopic procedures. In: Lung cancer. Eur Respir. 2001: 272-304.

15.Suratt PM, Smiddy JF, Gruber B. Deaths and complication associated with fiber optic bronchoscopy. Chest 2000: 747-51.

16.O’Brien JD, Ettinger NA, Shevlin D, Kollef MH. Safety and yield of transbronchial biopsy in mechanically ventilated patients. Crit Care Med 1997; 25 (3) : 440-46.

17.Colt HG. Functional Evalation Before and After Interventional . Bronchoscopy. In: Bolliger CT, Mathur PN. Interventional Bronchoscopy; Kargel-Basel Switzerland; 2000 (30): 55-64. 18.Erns A, Silvestri GA, Johnstone D. Interventional Pulmonary Procedures. Chest 2003; 123:

1693-1717.

19.Jaggar SI, Haxby E. Sedation, Anaesthesia and monitoring for bronchoscopy. J Respir 2002; 3 (4): 321-27.

20.Matot I, Kramer MR,. Sedation in output patient bronchoscopy. Respir Med 2000: 1145-53. 21.Gronnebech H, Johansson G, Smedebol M. Glycopyrrolate and atropine during anaesthesia


(53)

22.Dalal DD, Vyas JJ. Diagnostic Bronchoscopy. Tata Memorial Hospital Parel Mumbai: 400-12.

23.Jusuf A, Harryanto A, Syahruddin E. Kanker Paru Jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil. Pedoman Nasional Untuk Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. PDPI. Jakarta. 2005. 24.Rasmin M, Syahruddin E, Jusuf A, Burhan E. Efikasi Prosedur Diagnosis dan Akurasi

Diagnosis Sitologi Prabedah Kanker Paru. Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UI. Dalam: Jurnal Respirologi Indonesia, 2006;26(4): 185-89.

25.Baba M, Iyoda A, Yasufuku K, Haga Y, Hoshino H, Sekine Y. Preoperative Cytogiagnosis of Verry small-sized Pripheral-Type Primary Lung Cancer. Lung Cancer 2002; 37(3):277-80.


(1)

4.2. PEMBAHASAN

Berdasarkan jenis kelamin, pada penelitian ini penderita laki-laki lebih banyak dari perempun yaitu 83,43% penderita laki-laki dan 16,57% perempuan. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Umar dkk, yang melakukan penelitian tentang akurasi diagnostik kanker paru dengan prosedur diagnosis invasif menggunakan bronkoskopi serat optik lentur di RSUD Pekan baru dari tahun 1998 sampai tahun 2002 dan menemukan penderita laki-laki 88,72% dan perempuan 11,28%.6 Hal ini kemungkinan disebabkan karena diagnosis penderita terbanyak adalah kanker paru yang berhubungan erat dengan kebiasaan merokok yang banyak dijumpai pada laki-laki daripada perempuan.

Peningkatan insiden kanker paru sejalan dengan bertambahnya umur penderita. 23 Pada penelitian ini dijumpai umur penderita terbanyak diatas 40 tahun (81,98%), sesuai dengan penelitian Umar dkk yang menemukan umur penderita kurang dari 40 tahun hanya 0,02%, sedangkan umur 40-65 tahun 69,93% dan umur diatas 40-65 tahun 24,06%. 6

Pada penelitian ini dari 344 penderita seluruhnya (100%) pengambilan sampel dilakukan dengan cara bronchoalveolar lavage (BAL) dan sebanyak 125 penderita (36,34%) pengambilan sampel dengan cara sikatan bronkus. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Umar dkk, dimana dari 123 kasus yang dilakukan bronkoskopi, pengambilan sampel dilakukan dengan cara sikatan bronkus sebanyak 119 penderita (89,50%), sedangkan biopsi pada massa intrabronkial dilakukan pada 45 penderita (10,50%). 6 Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Rasmin dkk tentang efikasi prosedur diagnosis dan akurasi diagnosis sitologi prabedah kanker paru pada RS Persahabatan Jakarta sejak tahun 1993 sampai tahun 2001, dimana pengambilan spesimen terbanyak dengan cara sikatan/bilasan bronkus yaitu 51,8%, trsnsthoracal needle aspirastion (TTNA) 42,4%, transbronchial lung biopsy 4,7%. 24 Berdasarkan prosedur diagnosis penelitian yang dilakukan Baba et al (2002) mendapatkan pengambilan sampel dengan sikatan bronkus sebanyak 43,7%, sitologi


(2)

biopsi porsep intrabronkus sebanyak 62,9%, transbronchial fine needle aspiration (TBNA) sebanyak 66,6%, biopsi jarum halus sebanyak 85,0%. 25

Berdasarkan penampakan hasil bronkoskopi, penelitian ini menemukan adanya massa intrabronkial adalah yang terbanyak yaitu sebesar 28,20%. Penelitian Umar dkk juga menemukan penampakan tumor/massa intrabronkial yang terbanyak yaitu 32,53%. 6 Hasil ini sesuai dengan diagnosis penderita sebelum dilakukan tindakan bronkoskopi yang terbanyak adalah tumor paru, tetapi dengan persentase lebih besar yaitu 63,66%.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Profil penderita yang dilakukan tindakan bronkoskopi serat optik lentur di Instalasi Diagnostik Terpadu (IDT) RSUP H. Adam Malik Medan memiliki karakteristik adalah sebagai berikut:

- Jenis kelamin penderita terbanyak adalah laki-laki yaitu 83,43%. - Umur terbanyak yaitu diatas 40 tahun 81,98%.

- Indikasi diagnostik dilakukan tindakan bronkoskopi dijumpai hampir pada seluruhnya penderita (99,10%).

- Cara pengambilan sampel terbanyak adalah bronchoalveolar lavage (BAL) pada seluruh penderita atau 100%.

- Diagnosis sebelum tindakan bronkoskopi terbanyak adalah tumor paru yaitu 63,66%. - Kriteria penampakan bronkoskopi terbanyak adalah massa intrabronkial yaitu 28,20%.

5.2. SARAN

Dari hasil penelitian ini dimana didapat diagnosis sebelum tindakan bronkoskopi terbanyak adalah tumor paru dan penampakan bronkoskopi yang banyak dijumpai adalah massa intrabronkial, stenosis infiltratif dan mukosa infiltratif yang merupakan tanda-tanda proses keganasan. Oleh karena itu disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan tentang akurasi bronkoskopi serat optik lentur dalam menegakkan diagnosa tumor paru dibandingkan dengan pemeriksaan foto toraks serta CT scan toraks.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Osmon SB, Mayse M. Bronchoscopy. In : Shiffren A, Lin TL. The Washington Manual Subspecialty Consult-Pulmonary Medicine Subspecialty Consult; Lippincott Williams & Wilkins, Washington USA; 4: 28-34.

2. Stanzel F, Haussinger K. Fluorescence Bronchoscopy. In : Beamis JF, Mehta AC, Mathur PN. Interventional Pulmonary Medicine; Marcel Dekker Inc; New York-USA; 2004 (18): 355-84.

3. Prakash UB. Current Indication for Bronchoscopy. Contemp Intern Med 1992; 4 (10): 13-18 4. Heart FJF, Beamis JF, Earnist A. History Of Rigid Bronchoscopy. In : Earnist A, Mathur PN,

Mehta AC. International Pulmonary Medicine; Marcell Dekker Inc; New York-USA; 2004 (1): 1-12.

5. Baughman RP, Keith FM. Bronchoscopy, Lung Biopsi, and other diagnosic procedure. In: Nadel JA, Murray JF. Texbook of Respiratory Medicine. Saunders WB Company, Philadelphia-USA; 2000 (3): 725-80.

6. Umar M, Syahruddin E, Rasmin M, Munir SM. Akurasi Diagnostik Kanker Paru Dengan Prosedur Diagnosis Invasif Menggunakan Bronkoskopi Serat Optik Lentur. Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UI/RS Persahabatan Jakarta/SMF Pulmonologi RSUD Tk.I Pekan Baru. Dalam: Jurnal Respirologi Indonesia, 2006;26(4): 180-84.

7. Becker HD, Marsh BR. History of Rigid Bronchoscopy. In : Bollinger CT, Mathur PN. Intervention Bronchoscopy, Basil Kargel, 2000: 2-15.

8. Prakash UBS, Offord KP, Stubbs SE. Bronchoscopy in North America. Chest. 1991; 100: 1668-75.


(5)

10.Prakash UBS, Cavaliere S. Bronchoscopy. In: Gold WM, Murray JF, Nadel JA. Atlas of Procedures in Respiratory Medicine. Saunders WB Company, Philadelphia-USA; 2002 (6): 241-65.

11.Ayers ML, Beamis JF. Rigid bronchoscopy in the twenty-fisrt century. Clin Chest Med. 2001; 22 (2): 355-63.

12.Miyajawa T. History of Flexible Bronchoscopy. In: Bolliger CT, Mathur PN. Interventional Bronchoscopy; Kargel-Basel Switzerland; 2000 (30): 16-21.

13.Ovassapian A. The Flexible Bronchoscope: a tool for anesthesiologists. Clin Chest Med 2001; 22(2); 281-99.

14.Freitag L, Macha HN. Interventional bronchoscopic procedures. In: Lung cancer. Eur Respir. 2001: 272-304.

15.Suratt PM, Smiddy JF, Gruber B. Deaths and complication associated with fiber optic bronchoscopy. Chest 2000: 747-51.

16.O’Brien JD, Ettinger NA, Shevlin D, Kollef MH. Safety and yield of transbronchial biopsy in mechanically ventilated patients. Crit Care Med 1997; 25 (3) : 440-46.

17.Colt HG. Functional Evalation Before and After Interventional . Bronchoscopy. In: Bolliger CT, Mathur PN. Interventional Bronchoscopy; Kargel-Basel Switzerland; 2000 (30): 55-64. 18.Erns A, Silvestri GA, Johnstone D. Interventional Pulmonary Procedures. Chest 2003; 123:

1693-1717.

19.Jaggar SI, Haxby E. Sedation, Anaesthesia and monitoring for bronchoscopy. J Respir 2002; 3 (4): 321-27.

20.Matot I, Kramer MR,. Sedation in output patient bronchoscopy. Respir Med 2000: 1145-53. 21.Gronnebech H, Johansson G, Smedebol M. Glycopyrrolate and atropine during anaesthesia


(6)

22.Dalal DD, Vyas JJ. Diagnostic Bronchoscopy. Tata Memorial Hospital Parel Mumbai: 400-12.

23.Jusuf A, Harryanto A, Syahruddin E. Kanker Paru Jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil. Pedoman Nasional Untuk Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. PDPI. Jakarta. 2005. 24.Rasmin M, Syahruddin E, Jusuf A, Burhan E. Efikasi Prosedur Diagnosis dan Akurasi

Diagnosis Sitologi Prabedah Kanker Paru. Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UI. Dalam: Jurnal Respirologi Indonesia, 2006;26(4): 185-89.

25.Baba M, Iyoda A, Yasufuku K, Haga Y, Hoshino H, Sekine Y. Preoperative Cytogiagnosis of Verry small-sized Pripheral-Type Primary Lung Cancer. Lung Cancer 2002; 37(3):277-80.