Pola Kuman Bilasan Bronkus Pada Tindakan Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL) Di RSUP Haji Adam Malik Medan

(1)

POLA KUMAN BILASAN BRONKUS PADA TINDAKAN BRONKOSKOPI SERAT OPTIK LENTUR (BSOL)

DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

T E S I S

Oleh SETIARMAN

097027014

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU KEDOKTERAN TROPIS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

POLA KUMAN BILASAN BRONKUS PADA TINDAKAN BRONKOSKOPI SERAT OPTIK LENTUR (BSOL)

DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Tropis (MKT) dalam Program Pasca Sarjana Magister Kedokteran Tropis

pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh \

SETIARMAN 097027014

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU KEDOKTERAN TROPIS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

Judul Tesis : POLA KUMAN BILASAN BRONKUS PADA TINDAKAN BRONKOSKOPI SERAT

OPTIK LENTUR (BSOL) DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Nama Mahasiswa : Setiarman Nomor Induk Mahasiswa : 097027014

Program Studi : Pasca Sarjana Magister Kedokteran Tropis

Menyetujui Komisi Pembimbing :

(dr. H. Zainuddin Amir Sp.P(K) (dr. Tetty Aman Nasution, M.Med, Sc) Ketua Anggota

Dekan Fakultas

Ilmu Kedokteran Tropis FK-USU

( Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar. SpPD - (KGEH )

Tanggal Lulus : 04 November 2014


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 04 November 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. H. Zainuddin Amir Sp.P(K)

Anggota : 1. dr. Tetty Aman Nasution, M.Med, Sc 2. dr. Widi Rahardjo Sp.P(K)

3.

dr. Sri Amelia M Kes


(5)

PERNYATAAN

POLA KUMAN BILASAN BRONKUS PADA TINDAKAN BRONKOSKOPI SERAT OPTIK LENTUR (BSOL)

DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, November 2014

(SETIARMAN)


(6)

ABSTRAK

Bronkoskopi adalah suatu tindakan invasif semi operatif dengan meggunakan bronkoskopi serat optik lentur untuk memeriksa, menilai dan mengobati kelainan saluran napas. Tindakan ini tidak terlepas dari penularan infeksi nosokomial, oportunistik. Penelitian bertujuan untuk mengetahui Pola Kuman Bilasan Bronkus Pada Tindakan Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL) di RSUP. Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini menggunakan data Retrospektif dengan sekali pengamatan, data diambil dari rekam medik hasil kultur BAL dari laboratorium RSUP. Haji Adam Malik Medan priode 1 Januari 2013 sampai 31 Desember 2013 sebanyak 148 sampel.

Hasil penelitian umur responden adalah 41-60 tahun (60,1%), berjenis kelamin laki-laki (80,5%), diagnosa terbanyak adalah penderita Ca Paru (38,5%) dan Pneumonia (33,1%). Penderita Ca Paru dan Pneumonia adalah berjenis kelamin laki-laki dan berumur 41-60 tahun.

Empat jenis kuman yang secara persentase tertinggi adalah Burkholderia cepacia (29,1%), Acinetobacter baumannii (20,9%), Pseudomonas aeruginosa (17,6%), dan Klebsiella pneumonia ESBL+ (10,1%). kelompok umur < 40 tahun jenis kuman terbanyak adalah kuman Acinetobacter baumannii, sedangkan pada kelompok umur > 40 tahun kuman terbanyak kuman Burkholderia cepacia. Kuman Burkholderia cepacia terbanyak terdapat dapa responden berjenis kelamin laki-laki (19,6%).

Sensitifitas antibiotik terbanyak adalah Meropenem (75,0%), Tigecycline (61,5%), Piperracillin (60,8%), Levofloxacin (60,1%), Piperracillin Tazobactam (58,8%), Amikasin (56,8%), dan Ceptazidine (51,4%). Kelompok umur 41-60 tahun antibiotik paling tinggi sensitivitasnya adalah Meropenem (47,3%), serta keseluruhan antibiotik memiliki nilai sensitivitas lebih tinggi pada kelompok dengan jenis kelamin laki-laki.


(7)

ABSTRACT

Bronchoscopy is an invasive, semi-operative is by using flexible fiber optic bronchoscope to examine, assess and treat respiratory disorders. This action can not be separated from the transmission of nosocomial infections, opportunistic. The study aimed to determine the pattern of Germs Rinsing bronchus On the Action Flexible Bronchoscopy Fiber Optics (BSOL) in the department. Haji Adam Malik Medan. This study uses data with a retrospective observations, the data retrieved from medical records BAL culture results from hospital laboratories. Haji Adam Malik Medan period January 1, 2013 until December 31, 2013 asmanyas148 samples.

The results of the study respondents were aged 41-60 years (60.1%), male sex (80.5%), the diagnosis is most people with Lung Ca (38.5%) and pneumonia (33.1%). Lung Ca and Pneumonia Patients were male sex and age 41-60 years.

Four types of germs that Burkholderia cepacia is the highest percentage (29.1%), Acinetobacter baumannii (20.9%), Pseudomonas aeruginosa (17.6%), and ESBL + Klebsiella pneumonia (10.1%). age group <40 years most types of bacteria, Acinetobacter baumannii is a germ, whereas in the age group> 40 years of Burkholderia cepacia bacteria most germs. Burkholderia cepacia germs Dapa mos trespondent sare male sex (19.6%).

Meropenem Antibiotic sensitivity was highest (75.0%), tigecycline S(61.5%), Piperracillin (60.8%), Levofloxacin (60.1%), Piperracillin Tazobactam (58.8%), Amikacin (56.8 %), and Ceptazidine (51.4%). Age group 41-60 years the highest antibiotic sensitivity was Meropenem (47.3%), and overall antibiotic sensitivity value were higher in the group witht female gender.

Keywords : Knowledge, Ca lung, pneumonia, BSOL action.


(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirramanirrahiim AssalammualaikumWarrahmatullahiWabarakatuh Alhamdulillah, puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang, karena atas berkat rahmat dan karunia Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan akhir ini dengan judul “Pola Kuman Bilasan Bronkus Pada Tindakan Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL) Di RSUP Haji Adam Malik Medan” pada penderita rawat inap rawat jalan, di Ruang Bronkoskopi, Bronkoskopi Serat Optik Lentur RSU. H. Adam Malik Medan”. Tulisan ini merupakan tugas akhir yang merupakan syarat dalam penyelesaian pendidikan Megister Kedokteran Tropis pada Ilmu Kedokteran Tropis di Departemen Ilmu Kedokteran Tropis FK-USU Medan.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan di dalam karya tulis ini, namun penulis berharap semoga karya tulis ini bermanfaat dalam penatalaksanaan pemberian antibiotik pada penderita dengan tindakan Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL). Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak baik dari guru-guru yang penulis hormati, teman sejawat asisten di Departemen Ilmu Kedokteran Tropis FK USU, Paramedis dan non medis serta dorongan dari pihak keluarga.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Syahril Pasaribu DTM & H, MSc (CTM), Sp.A (K) Rektor Universitas Sumatera Utara,

2. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siragar. SpPD - (KGEH) Dekan FK-USU.

3. Prof. dr. Chairuddin Lubis SpA DTMH (K) Ketua Ilmu Kedokteran Tropis FK-USU Medan, yang tiada henti-hentinya memberikan bimbingan ilmu pengetahuan, senantiasa menanamkan disiplin, ketelitian dan perilaku yang baik serta pola berpikir dan bertindak ilmiah, yang mana hal tersebut sangat berguna bagi penulis untuk masa yang akan datang.


(9)

4. dr. H. Zainuddin Amir Sp.P(K) sebagai Pembimbing Ilmu Kedokteran Tropis FK-USU/SMF Paru RSU. H. Adam Malik Medan yang telah banyak memberi penulis saran dan nasehat yang bermanfaat dalam penyelesaian pendidikan penulis.

5. dr. Tetty Aman Nasution, M.Med, Sc sebagai Pembimbing

6.

yang telah banyak memberikan masukan dalam penyempurnaan tulisan ini.

7.

dr. Widi Rahardjo Sp.P(K) sebagai Penguji satu yang telah banyak memberikan masukan dalam penyempurnaan tulisan ini.

8. Dr. Lukmanul Hakim Nasution, SpKK sebagai Direktur RSU. H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di RSUP. H. Adam Malik Medan

dr. Sri Amelia M Kes sebagai Penguji dua yang telah banyak memberikan masukan dalam penyempurnaan tulisan ini.

9. Kepala Instalasi Medical Record RSU H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis selama menjalani pendidikan dan penelitian ini.

10.

11.

dr. R. Lia Kusumawati, MS, SpMK Kepala Laboratorium RSUP. H. Adam Malik Medan, memberikan dorongan dan nasehat yang sangat berguna dalam menjalani masa pendidikan yang bermanfaat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan.

Dr. Arlinda Sari Wahyuni M.Kes sebagai Pembimbing statistik penulis yang telah banyak memberikan bantuan serta membuka wawasan penulis dalam bidang statistik

12. Teman sejawat peserta Program Studi Pendidikan Pasca Sarjana Ilmu Kedokteran Tropis, Pegawai Tata Usaha/Paramedis/Pegawai ruang bronkoskopi/Paramedis RSU. H. Adam Malik Medan, atas bantuan dan kerja sama yang baik selama menjalani pendidikan dan penelitian ini.

.

13. Dengan rasa hormat dan terima kasih yang tiada terbalas penulis sampaikan kepada yang terhormat Ayahanda H. Alm Tasimin dan Ibunda Hj. Sumariyah tercinta yang tiada henti-hentinya memberikan kasih sayang dari semenjak kecil hingga saat ini, dukungan dan motivasi dalam


(10)

menjalankan pendidikan serta berkat doa dan

14.

restu beliau maka penulis dapat menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjan Ilmu Kedokteran Tropis ini. Dan terimakasih serta rasa hormat saya kepada Ayahanda dan Almh Ibunda mertua Sakina dan Almh Sukini atas doa restu dan dukungan serta dorongan selama menjalani pendidikan ini.

Terkhusus Kepada istriku tercinta Suningsih dan anakku tersayang “Setia Ningrum Wibisana dan Wegy Dara Witara” yang selalu setia dalam suka dan duka, memberi dukungan, cinta kasih serta banyak pengorbanan selama ini, penulis ucapkan terimakasih dan penghargaan atas semuanya.

Akhirnya pada kesempatan ini penulis menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya atas segala kekhilafan, kesalahan maupun kekurangan yang telah penulis perbuat selama ini. Semoga segala ilmu, keterampilan, pembinaan yang penulis dapatkan selama ini bermanfaat bagi semuanya dan tetap dalam Ridho Allah SWT.

Medan, November 2014 Penulis

(Setiarman)


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Setiarman, dilahirkan di Langkat, pada tanggal 29 Agustus 1966, beragama Islam. Ayahanda bernama H. Alm Tasimin dan Ibunda Hj. Sumariyah. Penulis telah menikah dengan

Penulis menamatkan Sekolah Dasar pada tahun 1980 di SD Negeri 050581 Langkat, pada tahun 1983 menamatkan Sekolah Menengah Pertama di SMP Melati 1 Hamparan Perak, tahun 1987 menamatkan Sekolah Menengah Analis Kesehatan di Medan, dan pada tahun 1988 penulis juga menamatkan SMA di SMA WR Soepratman Medan. Tahun 2002 penulis menamatkan program dokter umum (dr) di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara.

Suningsih dan memiliki dua orang anak yang bernama “Setia Ningrum Wibisana” dan “Wegy Dara Witara”.

Pengalaman kerja penulis, pada tahun 2004 bekerja sebagai dokter PTT di Kabupaten Tapanuli Selatan. Penulis diangkat menjadi PNS pada tahun 2009 dan ditugaskan di Puskesmas Bukit Lawang sebagai dokter umum. Pada tahun 2009 hingga sekarang penulis aktif di organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia Cabang Langkat.

Tahun 2009 penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


(12)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... .………. viii

DAFTAR SINGKATAN……… x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... ……… xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.... Latar Belakang ... 1

1.2... Peru musan Masalah ... 3

1.3.... Tujua n Penelitian ... 4

1.3.1... Tujua n umum ... 4

1.3.2.... Tujua n khusus ... 4

1.4.... Manf aat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Sejarah Bronkoskopi ... 5

2.2. Definisi Bronkoskopi ... 6

2.3. Jenis Bronkoskopo ... 6

2.3.1 Bronkoskopi Kaku (Rigid) ... 6

2.3.2 Bronkoskopi Serat Optik Lentur(BSOL) ... 7

2.4 Indikasi Dan Kontra Indikasi Bronkoskopi ... 8

2.4.1. Indikasi Bronkoskopi ... 8

2.4.2. KontraIndikasi Bronkoskopi ... 8

2.5. Persiapan Bronkoskopi ... 9

2.6. Tindakan Bronkoskopi ... 11

2.7. Komplikasi Bronkoskopi ... 12

2.7.1. Pneumonia ... 13

2.7.2. Atelektasis ... 16

2.8. Mikroorganisme yang sering muncul pada(BSOL) ... 17

2.8.1. Burkholderia cepacia ... 17


(13)

2.8.3. Acinetobacter baumannii ... 20

2.8.4. Bakteri Klebsiella pneumonia ESBL + ... 21

2.8.5. Klebsiella pneumonia ... 22

2.8.6. Ctrobacter frreundii ... 24

2.8.7. Aerogenes enterobacter ... 25

2.8.8. Escherichia coli ... 26

2.8.9. Pseudomonas mendocina ... 28

2.8.10. Delftia Acidovorans ... 29

2.8.11. Staphylococcus Haemolyticus ... 29

2.8.12. Staphylococcus aureus ... 30

2.8.13. Stenotrophomonas maltophilia ... 31

2.8.14. Streptococcus salivarius ... 32

2.8.15. Serratia marcescens ... 34

2.8.16. Achromobacter denitrificans ... 35

2.9. Infeksi Nosokomial ... 36

2.9.1. Mikrooganisme penyebab infeksi nosokomial ... 39

2.10. Tindakan Pencucian dan Desinfektan Bronkoskopi Serat Optik Lentur ... 41

2.10.1. Proces Cleaning and Desinfection Bronchoscope .... 41

2.10.2. Desinfektan Tingkat Intermediate ... 44

2.10.3. Desinfektan Tingkat Tinggi ... 45

2.10.4. Cara Pencucian dan Desinfektan Alat Bronkoskopi di RSUP H. Adam Malik Medan ... 46

BAB III BAHAN DAN METODE ... 49

3.1. Rancangan Penelitian ... 49

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 49

3.3. Variabel Yang Diamati ... 49

3.4. Subjek Penelitian ... 49

3.4.1. Kriteria Inklusi ... 50

3.4.2. Kriteria Eksklusi ... 50

3.5. Kerangka Konsep Pola Kuman ... 50

3.6. Defenisi Operasional ... 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52

4.1. Hasil Penelitian ... 52

4.1.1. Gambaran Umum Hasil Penelitian ... 52

4.1.2. Gambaran Pola Kuman Berdasarkan Kelompok Umur 54 4.1.3. Gambaran Pola Kuman Berdasarkan Jenis Kelamin . 55

4.1.4. Gambaran Pola Kuman Berdasarkan Diagnosa Penyakit ... 55

4.1.5. Gambaran Pola Kuman Berdasarkan Sensitivitas dan Resistensi ... 57

4.2. Pembahasan ... 58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 64


(14)

5.1. Kesimpulan ... 64

5.2. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 71 DAFTAR SINGKATAN

BAL : Broncho-alviolar lavage BCC : Burkholderia Cepacia Complex BSOL : Bronkoskopi Serat Optik Lentur Ca : Carsinoma

CHF : Congestive heart failure

COPD : Chronic obstructive pulmonary disease ESBL : Extented-spectrum beta-lactamase FDA : Food and Drug Administration HIV : Human immunodeficiency virus HLD : High Level Desinfektan

HUS : Hemolitik Uremik sindrom ICU : Intesif Care Unit

MRSA : Methicillin resistant staphylococcus aureus PJK : Penyakit Jantung Koroner

PPOK : Penyakit Paru Obstruksi Kronik PN : Peneumonia Nosokomial

PK : Pneumonia Komunitas


(15)

DAFTAR TABEL

2.1. Mikroorganisme yang dapat dibunuh oleh Cidex OPA ... 48

4.1 Distribusi Karakteristik Umur Yang Dilakukan Tindakan BAL… 52

4.2 Distribusi Karakteristik Menurut Jenis Kelamin Pada Tindakan BAL ... 52

4.3 Distribusi Menurut Diagnosa Klinis pada tindakan BAL ... 53

4.4 Distribusi Pola Kuman Pada Kultur BAL ... 53

4.5 Distribusi Sensitivitas dan Resistensi pada Antibiotik ... 54

4.6 Daftar Pola Kuman Berdasarkan Diagnosa Kelompok Umur Responden ... 54

4.7. Daftar Pola Kuman berdasarkan Jenis Kelamin ... 55

4.8. Daftar Pola Kuman Berdasarkan Diagnosa ... 55

4.9. Uji Silang Antara Pola Kuman Dengan Sensitifitas Antibiotik .. … 57


(16)

DAFTAR GAMBAR

2.1. Step of Cleaning Desinfection ... 42 2.2. Cara Pencucian Desinfektan di RSUP Adam Malik Medan ... 47 3.1 Kerangka Konsep Pola Kuman ... 50


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Persetujuan Peserta Penelitian ... 71 2. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kedoktera Universitas

Sumatera Utara ... 72 3. Surat Keterangan Selesai Penelitian dari RSUP. H. Adam

Malik Medan... 73 4. Master Data Penelitian ... 74 5. Hasil Pengolahan Data... 78


(18)

ABSTRAK

Bronkoskopi adalah suatu tindakan invasif semi operatif dengan meggunakan bronkoskopi serat optik lentur untuk memeriksa, menilai dan mengobati kelainan saluran napas. Tindakan ini tidak terlepas dari penularan infeksi nosokomial, oportunistik. Penelitian bertujuan untuk mengetahui Pola Kuman Bilasan Bronkus Pada Tindakan Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL) di RSUP. Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini menggunakan data Retrospektif dengan sekali pengamatan, data diambil dari rekam medik hasil kultur BAL dari laboratorium RSUP. Haji Adam Malik Medan priode 1 Januari 2013 sampai 31 Desember 2013 sebanyak 148 sampel.

Hasil penelitian umur responden adalah 41-60 tahun (60,1%), berjenis kelamin laki-laki (80,5%), diagnosa terbanyak adalah penderita Ca Paru (38,5%) dan Pneumonia (33,1%). Penderita Ca Paru dan Pneumonia adalah berjenis kelamin laki-laki dan berumur 41-60 tahun.

Empat jenis kuman yang secara persentase tertinggi adalah Burkholderia cepacia (29,1%), Acinetobacter baumannii (20,9%), Pseudomonas aeruginosa (17,6%), dan Klebsiella pneumonia ESBL+ (10,1%). kelompok umur < 40 tahun jenis kuman terbanyak adalah kuman Acinetobacter baumannii, sedangkan pada kelompok umur > 40 tahun kuman terbanyak kuman Burkholderia cepacia. Kuman Burkholderia cepacia terbanyak terdapat dapa responden berjenis kelamin laki-laki (19,6%).

Sensitifitas antibiotik terbanyak adalah Meropenem (75,0%), Tigecycline (61,5%), Piperracillin (60,8%), Levofloxacin (60,1%), Piperracillin Tazobactam (58,8%), Amikasin (56,8%), dan Ceptazidine (51,4%). Kelompok umur 41-60 tahun antibiotik paling tinggi sensitivitasnya adalah Meropenem (47,3%), serta keseluruhan antibiotik memiliki nilai sensitivitas lebih tinggi pada kelompok dengan jenis kelamin laki-laki.


(19)

ABSTRACT

Bronchoscopy is an invasive, semi-operative is by using flexible fiber optic bronchoscope to examine, assess and treat respiratory disorders. This action can not be separated from the transmission of nosocomial infections, opportunistic. The study aimed to determine the pattern of Germs Rinsing bronchus On the Action Flexible Bronchoscopy Fiber Optics (BSOL) in the department. Haji Adam Malik Medan. This study uses data with a retrospective observations, the data retrieved from medical records BAL culture results from hospital laboratories. Haji Adam Malik Medan period January 1, 2013 until December 31, 2013 asmanyas148 samples.

The results of the study respondents were aged 41-60 years (60.1%), male sex (80.5%), the diagnosis is most people with Lung Ca (38.5%) and pneumonia (33.1%). Lung Ca and Pneumonia Patients were male sex and age 41-60 years.

Four types of germs that Burkholderia cepacia is the highest percentage (29.1%), Acinetobacter baumannii (20.9%), Pseudomonas aeruginosa (17.6%), and ESBL + Klebsiella pneumonia (10.1%). age group <40 years most types of bacteria, Acinetobacter baumannii is a germ, whereas in the age group> 40 years of Burkholderia cepacia bacteria most germs. Burkholderia cepacia germs Dapa mos trespondent sare male sex (19.6%).

Meropenem Antibiotic sensitivity was highest (75.0%), tigecycline S(61.5%), Piperracillin (60.8%), Levofloxacin (60.1%), Piperracillin Tazobactam (58.8%), Amikacin (56.8 %), and Ceptazidine (51.4%). Age group 41-60 years the highest antibiotic sensitivity was Meropenem (47.3%), and overall antibiotic sensitivity value were higher in the group witht female gender.

Keywords : Knowledge, Ca lung, pneumonia, BSOL action.


(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bronkoskopi adalah teknik visualisasi dalam saluran pernapasan untuk tujuan diagnostik dan terapeutik. Sebuah alat dimasukkan ke dalam saluran pernapasan, melalui hidung atau mulut, atau trakeostomi. untuk memeriksa kelainan saluran pernapasan seperti, benda asing, perdarahan, tumor, atau peradangan. Suatu alat diagnostik untuk melihat secara langsung percabangan saluran napas dalam menegakkan diagnosis dan pengobatan dari berbagai kondisi penyakit saluran pernapasan (Mehta, 2005).

Tindakan bronkoskopi dilakukan oleh dokter spesialis paru yang berpengalaman dan alat ini mempunyai persyaratan dalam hal pencucian desinfektan dan sterilisasi. Oleh sebab itu dengan menerapkan tentang pencucian, desinfektan dan sterilisasi bronkoskopi ini merupakan komponen yang penting dalam mengontrol infeksi dan menurunkan untuk terjadinya suatu infeksi nosokomial (Culver, 2003).

Shigeto Ikeda, menemukan bronkoskopi fleksibel pada tahun 1966. awalnya digunakan bundel serat optik memerlukan cahaya eksternal untuk penerangan, memiliki diameter 5 mm sampai 6 mm, dengan kemampuan untuk melenturkan 180 derajat dan 120 derajat, memungkinkan masuk ke lobus dan bronkus segmental (Rick, 2009).


(21)

Insiden infeksi dari bronkoskopi serat optik lentur belum diketahui secara jelas, oleh karana laporan tentang kejadian ini jarang. Tahun 1970-2003 sekitar tiga ratus literatur melaporkan kejadian transmisi infeksi dari endoskopi. 62 literatur melaporkan infeksi dari Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL) yaitu akibat tidak adekwat tehnik pencucian atau proses desinfektan. Kontaminasi terjadi melalui saluran air, aksesoris sikatan pencucian bronkoskopi dan berasal dari bronkoskopi itu sendiri, sehingga menyebabkan transmisi organisme dari penderita ke penderita yang lain (Weber, 2010).

Tindakan bronkoskopi ini dianggap sebagai semi critical oleh Spaulding Classificatio System of patient care devices sehingga dibutuhkan desinfektan tingkat tinggi dalam penggunaannya. Kegagalan dalam pencucian, desinfektan, sterilisasi akan mengakibatkan transmisi mikroorganisme patogen yang menyebabkan penderita terinfeksi lebih serius dan juga menyebabkan kematian. Pencegahan terjadi infeksi harus diterapkan pedoman tentang pencucian, desinfektan, dan sterilisasi dan melakukan pelatihan terhadap tenaga medis kesehatan (Wang, 2007).

Penelitian retrospektif di Rumah Sakit Pusat St Mary Universitas London, Januari 2004 dan Desember 2010 dilaporkan pemeriksaan sputum BTA sebelumnya hanya 19 positif (33,3%) setelah 7 hari dilalukan procedur bronkoskopi tehadap 57 pasien ternyata hasil kultur adanya peningkatan jumlah positif Mycobacterium tuberculose menjadi 43 positif (75,4%). Penelitian memiliki implikasi penting pengendalian infeksi dengan hampir sepertiga dari pasien menjadi lebih menular setelah bronkoskopi. (Peter, 2011).


(22)

Edy J pada tahun 2007 melakukan penelitian di UPF paru RSU. H. Adam Malik Medan terhadap 30 penderita yang menggunakan ventilator setelah 48 jam dan dilakukan bronkoskopi BAL (Bronko Alveolar Lavage) didapati pola kuman Klebsiella pneumoniae 36,7%, Klebsiella oxytoea 10%, Escherichia coli 10%, Pseudomonas aeruginosa 10%, Staphylococcus aureus 10%, Proteus mirabilis 3,3%, Streptococcus alfa 3,3%, Jamur 3,3%, Polimikrobial 6,7%, dan tidak tumbuh 3,3% (Espinosa, 2007).

Penelitian Januari sampai Juni 2006, diperoleh 841 spesimen di RSUP Wahidin Sudirohusodo dari tindakan bronkoskopi bilasan bronkus diperoleh pola kuman berturut-turut: Pseudomonas aeruginosa (15,2%), Klebsiella pneumonia, (14,0%) Escherichia coli (13%) Enterobacter spp (10,6%), Klebsiella spp (11,1%). Antimikroba yang (sensitif) adalah meropenem, amikacin dan clindamycin (Irda, 2006).

Laporan bronkoskopi, Perancis dari Maret sampai Oktober 2001, terdapat 117 kasus spesimen pola kuman bronchoalveolar lavage Enterobacteriaceae, 63 kasus Klebsiella pneumoniae dan Proteus vulgaris, dan 23 kasus Morganella morganii, P.mirabilis (Kirschke, 2003).

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka, peneliti akan melakukan penelitian tentang bagaimanakah pola kuman bilasan bronkus pada tindakan bronkoskopi serat optik lentur (BSOL) di RSUP Haji Adam Malik Medan.


(23)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola kuman bilasan bronkus pada tindakan Bronkoskopi Optik Lentur (BSOL) di RSUP. H. Adam Malik Medan.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui gambaran umur, jenis kelamin, diagnosa penyakit, pola kuman, tingkat sensitivitas dan resistensi antibiotik.

2. Untuk mengetahui gambaran pola kuman berdasarkan kelompok umur 3. Untuk mengetahui gambaran pola kuman berdasarkan jenis kelamin

4. Untuk mengetahui gambaran pola kuman berdasarkan kelompok diagnosa penyakit

5. Untuk mengetahui gambaran pola kuman berdasarkan sensitivitas dan resistensi antibiotik


(24)

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat menjelaskan pada dokter/tenaga medis untuk mengetahui pola kuman pada bilasan bronkus supaya dapat diketahui therapi dan pencegahannya.


(25)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Bronkoskopi

Bronkoskopi (broncos = saluran napas, skopi = melihat) adalah teknik visualisasi bagian dalam saluran napas untuk tujuan diagnostik dan terapiutik. Sebuah alat dimasukkan ke dalam saluran napas melalui hidung atau mulut atau kadang-kadang melalui trakeostomi. Hal ini untuk memeriksa saluran napas pasien untuk kelainan seperti benda asing, perdarahan, tumor, atau peradangan. Bronkoskopi dari tabung logam yang kaku dengan perangkat pencahayaan fleksibel serat optik dengan peralatan video realtime

Pada tahun 1964 Shigeto Ikeda mengubah pipa logam menjadi bronkoskopi serat optik lentur. Sejak tahun 1980 oleh Ikeda Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL) menjadi berkembang dan sangat popular mudah dipakai relatif aman pada penderita sakit berat atau penderita yang menggunakan ventilasi

. Pertama kali di perkenalkan penggunaan bronkoskopi kaku Gustaf Killian tahun 1897, kemudian disempurnakan bronkoskop kaku tahun 1920 oleh Chavalier Jackson dan putranya, menggunakan tabung kaku untuk melihat visual trakea dan bronkus. Pada awalnya indikasi bronkoskopi untuk membebaskan obstruksi jalan napas oleh karena aspirasi benda asing. Kemudian pada tahun 1930 dan tahun 1940 digunakan untuk mendiagnosis penyakit endobronkial (Callaway, 2008).


(26)

mekanik. Komplikasi dan angka kematian pemakaian BSOL dilaporkan sangat rendah masing-masing 0,08-1,7% dan 0,01-0.1% (Rick, 2009).

Tindakan tehnik relatif aman sehingga dapat dilakukan tanpa seorang ahli anastesi. Komplikasi mungkin terjadi seperti obstruksi jalan napas, aritmia, reaksi toksis oleh karena anastesi lokal, pneumothorak, dan haemoptysis (Geraci, 2007).

2.2. Defenisi Bronkoskopi

Kata bronkoskopi berasal dari bahasa Yunani; broncho yang berarti batang tenggorokan dan scopos yang berarti melihat atau menonton. Jadi, bronkoskopi adalah pemeriksaan visual jalan nafas atau saluran pernafasan paru yang disebut bronkus. Lebih khusus lagi, bronkoskopi merupakan prosedur medis, yang dilakukan oleh dokter yang mempunyai kompetensi di bidangnya dengan memeriksa bronkus atau percabangan paru-paru untuk tujuan diagnostik dan terapeutik (pengobatan). Untuk prosedur ini dokter menggunakan bronkoskop, sejenis endoskop, yang merupakan instrumen untuk pemeriksaan organ dalam tubuh. Tergantung pada alasan medis atau indikasi klinis untuk bronkoskopi, dokter dapat menggunakan bronkoskopi kaku (rigid) atau Fiber Optic Bronchoscopy (FOB) (Becker, 2000).


(27)

Berdasarkan bentuk dan sifat alat bronkoskopi, saat ini dikenal dua macam bronkoskopi, yaitu Bronkoskopi kaku (Rigid) dan Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL). (Prakash, 2002)

2.3.1. Bronkoskopi Kaku (Rigid)

Bronkoskopi rigid merupakan alat yang berbentuk tabung lurus terbuat dari bahan stainless steel. Panjang dan lebar bervariasi, tetapi bronkoskopi untuk dewasa biasanya berukuran panjang 40 cm dan diameter berkisar 9-13,5 mm, tebal dinding bronkoskop berkisar 2-3 mm. Bronkoskopi rigid biasanya dilakukan dengan penderita di bawah anestesi umum. Tindakan ini harus dilakukan oleh bronchoscopist yang berpengalaman di ruang operasi. Bronkoskopi rigid diindikasikan pada penderita dengan obstruksi saluran nafas besar dimana dengan FOB tidak dapat dilakukan. Indikasi umum lainnya adalah: (Heart, 2004)

• Mengontrol dan penanganan batuk darah massif

• Mengeluarkan benda asing dari saluran trakeobronkial

• Penanganan stenosis saluran nafas

• Penanganan obstruksi saluran nafas akibat neoplasma

• Pemasangan sten bronkus

• Laser bronkoskopi

2.3.2. Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL)


(28)

Bronkoskopi serat optik lentur (BSOL) juga dikenal sebagai Fiber Optic Bronchoscopy (FOB), sangat membantu dalam menegakkan diagnosis pada kelainan yang dijumpai di paru-paru, dan berkembang sebagai suatu prosedur diagnostik invasif paru. (Baughman, 2000)

FOB berupa tabung tipis panjang dengan diameter 5-6 mm, merupakan saluran untuk tempat penyisipan peralatan tambahan yang digunakan untuk mendapatkan sampel dahak ataupun jaringan. Biasanya 55 cm dari total panjang tabung FOB mengandung serat optik yang memancarkan cahaya. Ujung distal FOB memiliki sumber cahaya yang dapat memperbesar 120o dari 100o

Tabungnya sangat fleksibel sehingga memungkinkan operator untuk melihat sudut 160

lapangan pandang yang diproyeksikan ke layar video atau kamera. (Miyajawa, 2000)

o

-180o keatas dan 100o-130o ke bawah. Hal ini memungkinkan bronchoscopist FOB untuk melihat ke segmen yang lebih kecil dan segmen sub cabang bronkus ke atas dan ke bawah dari bronkus utama, dan juga ke depan belakang (anterior dan superior). (Miyajawa, 2000)

2.4. Indikasi Dan Kontra indikasi Bronkoskopi 2.4.1. Indikasi Bronkoskopi

Secara garis besar indikasi bronkoskopi adalah diagnosis, terapiutik dan penilaian pre-operatif (Kennedy, 2006).


(29)

2 Batuk darah : untuk melihat asal dan sebab perdarahan yang berpariasi dari mulai peradangan, infeksi, bronkolit, jamur dan keganasan.

3 Batuk kronis dan berat yang tidak jelas penyebabnya.

4 Sesak setempat yang dicurigai kemungkinan sumbatan oleh benda asing, gumpalan mukus atau darah dan tumor.

5 Kelainan gambaran radiologi seperti massa/tumor, atelektasis dan corakan difus pada parenkim paru

Manfaat bronkoskopi ini untuk pengambilan bahan pemeriksaan pada kasus infeksi paru, bahan untuk pemeriksaan kanker, mikrobiologi, dan melihat/ menilai apa yang ada didalam saluran napas (Kennedy, 2006).

2. Indikasi terapiutik bronkoskopi.

Tindakan terapi bronkoskopi untuk mengeluarkan benda asing, darah dan pertikel aspirat dan lain-lain (Kennedy, 2006).

3. Indikasi pre operatif.

Tindakan ini berguna untuk menentukan lokasi yang akan dilakukan operasi (Kennedy, 2006).

2.4.2. Kontra indikasi bronkoskopi

Kontra indikasi sangat penting dipertimbangkan sebelum tindakan bronkoskopi dilaksanakan. Keahlian operator disini jadi dokter ahli paru untuk memilih tehnik mana yang sesuai pilihannya.


(30)

Kontra indikasi mengunakan BSOL sama dengan kontra indikasi pada alat yang kaku. Ada beberapa penderita yang tidak memungkinkan memakai bronkoskopi kaku sehingga dilakukan tindakan bronkoskopi Serat optik lentur dengan memakai anastesi lokal atau dengan anastesi umum (harus konsul dengan ahli anastesi). Tidak terdapat kontra indikasi absolute pada tindakan bronkoskopi diagnostik maupun terapiutik. Tindakan bronkoskopi dan diagnostik BAL aman dilakukan dengan memakai ventilasi mekanik (Prakash, 2006).

2.5. Persiapan Bronkoskopi

Dalam survei yang dilakukan American College of Chest Physician (ACCP) pada umumnya dilakukan prosedur sebelum tindakan bronkoskopi berupa foto toraks, faal hemostasis, juga dilakukan EKG (Ecocardiography), analisa gas darah, elektrolit dan spirometri. Evaluasi jantung dilakukan pada penderita dengan penyakit koroner yang akan dilakukan bronkoskopi, karena penyakit ini dapat meningkatkan resiko pada saat bronkoskopi. (Colt, 2000)

Disamping pemeriksaan tersebut yang juga penting untuk dipersiapkan adalah yang berkaitan dengan penderita. Persiapan yang harus dilakukan terhadap penderita adalah : (Colt, 2000)

1. Informasi yang berkaitan dengan riwayat penyakit sebelumnya, penyakit sekarang, kondisi fisik dan mental penderita dan riwayat reaksi alergi terhadap obat yang akan digunakan untuk tindakan bronkoskopi.


(31)

2. Memberikan informasi kepada penderita tentang tahapan yang akan dilakukan mulai dari persiapan bronkoskopi sampai pasca bronkoskopi, termasuk puasa sebagai persiapan sebelum bronkoskopi yang dilakukan sekitar 8 jam untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung, penjelasan tentang tindakan anestesi yang dilakukan dan efek anestesi yang dirasakan penderita, puasa setelah menjalani tindakan bronkoskopi.

3. Menandatangani informed consent untuk tindakan yang akan dilakukan.

4. Melakukan evaluasi sebelum bronkoskopi untuk mengklasifikasikan berdasarkan kondisi fisik penderita. Berhubungan dengan kondisi fisik penderita American Association of Anesthesiologysts (ASA) membuat klasifikasi sebagai berikut :

ASA I : Penderita dengan kondisi fisik normal. ASA II : Penderita dengan penyakit sistemik ringan.

ASA III : Penderita dengan penyakit sistemik yang berat dengan

keterbatasan aktifitas.

ASA IV : Penderita dengan penyakit yang tergantung dengan obat-obatan agar dapat bertahan.

ASA V : Penderita dengan kondisi yang gawat dengan prediksi tidak akan bertahan hidup dalam 24 jam dengan atau tanpa bronkoskopi.

Selain persiapan pada penderita juga dilakukan persiapan fasilitas penunjang,

berupa:


(32)

2. Ruangan:

• Broncoscopy suite

• Ruangan persiapan, ruangan tindakan, ruangan pemulihan, ruangan desinfeksi alat

3. Bronkoskopi :

• Kelengkapan televisi, video, foto

• Kelengkapan alat diagnostik dan terapi

4. Sarana penunjang :

• Oksigen, mesin penghisap lendir (suction).

• Alat pemantau EKG, oksimeter denyut

• Nebulizer

• Resusitator

• Jet ventilation

2.6. Tindakan Bronkoskopi

Sebelum memulai tindakan bronkoskopi, dilakukan pemantauan tekanan darah, detak jantung, frekwensi pernafasan, denyut nadi oksimetri (oksigen saturasi). Penderita harus diberikan suplemen oksigen selama dan setelah tindakan bronkoskopi. (Colt, 2000)


(33)

Ada tiga cara untuk melakukan FOB, yaitu melalui hidung (trans nasal), mulut (trans oral) atau melalui tabung endotrakeal (ETT). Elastisitas FOB memungkinkan bronkoskop melewati hidung, tenggorokan posterior, pita suara, trakea, karina membagi bronkus utama kanan dan kiri. Kemudian FOB masuk ke bronkus dan segmen yang lebih kecil kanan dan kiri paru. Karina dan semua segmen pada trakeobronkial divisualisasikan pada layar video bronkoskopi. Karina dinilai ketajamannya. Subsegmen paru dinilai posisi, tekstur, warna, ukuran dan patency. Mukosa bronkial juga diperiksa apakah ada infiltrasi, peradangan dan sekresi. (Stanzel, 2004)

Setelah tindakan bronkoskopi selesai dilakukan, penderita dipantau tanda-tanda vital seperi tekanan darah, denyut nadi, serta penderita tidak boleh mengkonsumsi apapun sampai dua jam setelah tindakan bronkoskopi selesai dilakukan. Batuk dengan sedikit darah, sakit tenggorokan dan ke tidak nyamanan karena alergi terhadap obat yang diberikan selama prosedur biasa dijumpai setelah tindakan bronkoskopi. Hal ini akan hilang setelah dua jam prosedur bronkoskopi selesai dilakukan. (Stanzel, 2004)

2.7. Komplikasi akibat BSOL

Komplikasi dari bronkoskopi serat optik tetap sangat rendah. Komplikasi terjadi pada 107.969 bronkoskopi, kejadian komplikasi anestesi lokal adalah 0.3-0.5%, hypoxiaemia 0,2-2%, aritmia 1-10%. Sebagian besar komplikasi ini tidak mengancam nyawa. Sebuah biopsi paru juga dapat menyebabkan kebocoran


(34)

saluran napas, yang disebut pneumothorak. Meskipun bronkoskopi kaku dapat menggores atau merobek saluran napas atau merusak pita suara, resiko. Spasme laring merupakan komplikasi jarang namun kadang-kadang mungkin memerlukan intubasi trakea. Pasien dengan tumor atau perdarahan yang signifikan mungkin mengalami kesulitan bernafas meningkat (spasme) setelah bronkoskopi, kadang-kadang karena pembengkakan selaput lendir saluran pernapasan (Geraci, 2007

Komplikasi akibat BSOL ada tetapi jarang paska penempatan tube, termasuk kerusakan trakea, pemasangan tube yang kurang tepat, edema, erosi trakea, peradangan dan perdarahan dapat terjadi masuknya kuman patogen menjadi infeksi dan penyumbatan saluran pernapasan mengakibatkan pneumonia dan ateleksis. Hal ini sering bermanfaat dalam penatalaksanaan pasien yang mengalami stridor setelah ekstubasi

).

2.7.1 Pneumonia.

Pneumonia diklasifikasikan sebagai pneumonia atipikal disebabkan oleh S.pneumoniae atipikal, M.pneumoniae. Ternyata manifestasi kuman lain seperti H.influenzae,S.aureus dan Gram negatif memberikan sindrom klinik identik dengan pneumonia oleh S.pneumoniae. Pneumonia saat ini dikenal 2 kelompok yaitu Pneumonia Nasoklomial (PN) dan Pneumonia Komunitas (PK) yang di dapat dari masyarakat (Sudoyo, 2006).

Secara klinis pneumonia dapat bagi atas :


(35)

Pneumonia yang didapat dari masyarakat yaitu infeksi didapat diluar lingkungan rumah sakit.

2. Hospital acquired pneumonia (Nosokomial Pneumonia)

Pneumonia ini didapat selama penderita dirawat dirumah sakit lebih 48 jam setelah dirawat di RS, baik di ruang umum maupun ICU tetapi tidak sedang memakai ventilator mekanik (Sudoyo, 2006).

3. Pneumonia in the immunocompromise host.

Pneumonia ini terjadi akibat terganggu sistem kekebalan tubuh. Masalah ini semakin meningkat dengan penggunaan obat-obatan sitotoksik dan imunosupresif. Pneumonia adalah peradangan mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis mencakup bronkiolus respiratorius, alvioli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Diagnosis ditegakkan dengan manifestasi, beratnya proses penyakit dan etiologi pneumonia cara ini mengarah pada terapi impiris dan permilihan antibiotik yang sesuai terhadap mikroorganisme penyebabnya. (Priyanti, 2003)

Etiologi pneumonia berbeda beda jenis bakterinya pola kuman rumah sakit besar dan rumah sakit kecil. Dilaporkan adanya S.pneumoniae pada 9-20% kasus. M. pneumoniae 13-37%, Chlamydia pneumonia 17%. Patogen Pneumonia Komunitas rawat inap diluar ICU 20-70% penyebabnya, S pneumoniae 20-60%, H influenza 3-10%, S aureus, Gram negatif enteric, M pneumoniae, C pneumoniae, Legionella dan virus 10 % (Sudoyo, 2006).

Dari penelitian Hadiarto M tahun 1997 dari kultur sputum terbanyak K.pneumoniae 44,4% tahun 1998 didapati Klebsiella sp sebanyak 20%,


(36)

sedangkan pola bakteri di Rumah Sakit Syaiful Anwar Malang tahun 2000-2001, K.pneumoniae 17,8% Actinobacilus anitratus 17,8% Staphylococcus coagulase negatif 9,8% Pseudomonas aerogenosa 9,5% dan Staphylococcus coagulasi positif 8,1% (Priyanti, 2003).

Gejala klinis pneumonia didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama beberapa hari kemudian demam, menggigil, suhu tubuh meningkat sampai 40o

Kasus pneumonia yang disebabkan oleh Legionella dapat dijumpai sejak sakit perut, diare, sementara pneumonia oleh Streptococcus pneumonia dengan dahak yang khas berwarna berkarat dan pneumonia yang disebabkan oleh Klebsiella mungkin memiliki dahak berdarah (Jelly Kismis); (Darby, 2008).

C sakit tenggorokan, nyeri otot dan sendi, disertai batuk produktif, sputum mocoid, purulen campur darah, sesak napas, nyeri dada, pada pemeriksaan fisik diagnostik dada yang sakit tertinggal waktu bernapas, suara napas brokial kadang melemah didapati ronki basah melemah atau halus yang kemudian ronki basah kasar pada stadium resolusi (Priyanti, 2003).

Kondisi dan faktor resiko mempengaruhi pneumonia merokok, immunodefesiensi, alkoholisme, paru-paru obstruktif kronik, penyakit ginjal kronik, dan penyakit hati. Diluar negeri bakteri penyebab paling umum dari komunitas peneumonia, dengan Streptococcus pneumonia disolasi 50% kasus, Haemophilus influenza 20%, Chlamydophila pneumonia13%, Mycoplasma pneumonia3%. Staphylococcus aureus, Moraxella catharralis, Legionella pneumophila dan gram negatif (Nair, 2011).


(37)

Penyebaran organisme dengan faktor yang ada seperti alkoholisme dikaitkan dengan Streptococcus pneumonia, organisme anaerob, dan Mycobacterium tuberculosis, merokok dengan fasilitasi efek Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Moraxella catharralis, dan Legionella pneumophila (Eddy, 2005).

Selain virus jamur juga dapat menyebabkan pneumonia disebut pneumonia jamur biasanya pada orang dewasa dengan sistem kekebalan tubuh menurun, lemah karena HIV, obat imunosupresif atau masalah medis lainnya jamur yang sering adalah Hystoplasma capsulatum, Blastomyces, Cryptococcus neoformans, Pneumocytis carinii, Coccodioides immitis, Histoplasmosis biasanya dilembah sungai Missippi dan coccodiodomycosis. Ada juga parasit penyebab pneumonia tersering adalah Toxoplasma gondii, Strongyloides, Ascaris lumbricoides, Plasmodium malaria, organisme ini masuk dalam tubuh melalui kulit, pencernaan, melalui vektor serangga. Berbagai parasit dapat mempengaruhi paru paru kecuali Parogonimus westermani, Ascaris dan Strongyloides merangsang langsung eosinipilik, menjadi eosinipilik pneumonia (Vijayan, 2009).

Dalam penanganan pneumonia diperlukan terapi yang sesuai, terutama pneumonia nosokomial. Terapi empirik perlu segera diberikan dengan pemilihan antibiotika yang tepat dan selanjutnya dilakukan penyesuaian pemberian antibiotika untuk mendapatkan hasil yang maksimal, hingga biaya obat dapat ditekan seoptimal mungkin dengan risiko angka mortalitas yang sekecil-kecilnya. Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan, maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan dilakukan uji resistensi kuman.


(38)

2.7.2. Atelektasis .

Penutupan paru-paru sehingga pertukaran gas berkurang atau tidak ada sama sekali. Atelektasis di temukan dengan foto thorak atau pemeriksaan radiologi lainnya, atelektasis dapat terjadi paska operasi atau akibat defesiensi surfaktan, pada neonatus premature menyebabkan gangguan pernapasan pada bayi.

Klasifikasi :

Atelektasis merupakan kondisi akut dan kronis. Yang akut dikenal sebagai airlessness. Kondisi kronis ditandai dengan campuran kompleks antara airlessness infeksi, Atelektasis dapat komplikasi dari penyakit asbes (White, 2002).

Tanda dan gejala :

Batuk tidak menonjol, nyeri dada, kesulitan bernapas, saturasi oksigen rendah efusi pleura (tanda transudat) sianosis (akhir tanda), peningkatan denyut jantung, demam ringan, Penyebab anatomi sering didapat dari pasca operasi atau bedah, perokok dan orang tua peningkatan resiko, penyumbatan bronkus, benda asing, steker lender, penekanan dari luar oleh tumor, kelenjer getah bening, tuberkel dan penyebab lain adalah surfaktan yang buruk selama mekanisme yang mendasari, distribusi kolaps alveolar, resorpsi, kompresi, atelektasis, dan kontraksi atelektasis (Mavros, 2011).


(39)

2.8. Mikroorganisme yang sering muncul pada (BSOL). 2.8.1 Burkholderia cepacia kompleks

Patogenesis :

Burkholderia cepacia patogen manusia menyebabkan pneumonia, ditemukan dalam air dan tanah dan dapat bertahan waktu yang lama di lingkungan lembab, individu immunokompromise penyakit paru yang mendasari seperti kistik fibrosis atau penyakit Granulomatosa kronis. Infeksi BCC menyebabkan penurunan cepat fungsi paru-paru dan mengakibatkan kematian. B.cepacia ditemukan Walter Burkholder. Pada 1980-an, pertama fibrosis kistik, tingkat kematian 35%.

Tanda dan gejala :  Demam  Panas dingin  Batuk  Sesak napas  Sakit kepala  Kantuk  Nyeri dada  Nyeri perut  Pembesaran limpa  Pembesaran hati

 Infeksi sistem urogenital


(40)

 Penyakit tulang  Penyakit sendi  Limfadenitis Pengobatan :

Pengobatan dengan antibiotik Ceftazidime, Doxycycline, Piperasilin, Meropenem, dan Trimetoprim/sulfametoksazol (Kotrimoksazol). Meskipun Kotrimoksazol dianggap sebagai obat pilihan untuk infeksi B. cepacia, Ceftazidime, Doxycycline, Perasilin dan Meropenem dianggap opsi alternatif di mana Kotrimoksazol tidak dapat diberikan karena bahaya reaksi hipersensitivitas, intoleransi atau resistensi (Ortega, 2007).

2.8.2. Pseudomonas aeruginosa

Pseudomonas aeruginosa bakteri menyebabkan penyakit hewan dan manusia ditemukan di tanah, air, flora kulit .

Gejala :

Penyebab infeksi peradangan dan sepsis pada paru-paru, saluran kemih, dan ginjal, berakibat fatal, ditemukan diperalatan medis, kateter, menyebabkan infeksi silang di rumah sakit dan klinik, bak mandi.

Patogenesis :

Pseudomonas aeruginosa masuk ke aliran darah (gram stain) melalui oportunistik, nosokomial, individu immunokompromise, menginfeksi paru, saluran kemih, luka bakar, luka, dan infeksi darah. Infeksi Fibrosis pneumonia,


(41)

bronkopneumonia kistik, syok septik, gangrenosum lesi kulit, infeksi saluran kemih, infeksi gastrointestinal, Nekrotik enterokolitis, bayi prematur dan kanker, infeksi jaringan lunak, infeksi perdarahan, nekrosis luka bakar dan telinga luar (otitis eksternal). Pseudomonas penyebab pneumonia komunitas, ventilator pneumonia. Infeksi oportunistik kronis, peralatan medis (Todar's, 2004).

Pengobatan :

Pseudomonas aeruginosa resisten terhadap berbagai macam antibiotik terapi P. aeruginosa dapat dikombinasikan dengan antibiotik yang memiliki aktivitas terhadap P. aeruginosa mungkin termasuk aminoglikosida (Gentamisin, Amikasin), kuinolon (Ciprofloxacin, Levofloxacin), Sefalosporin (Ceftazidime, Sefepim, Cefoperazone) Penisilin anti Pseudomonas : Karbenisilin dan Tikarsilin, dan piperasilin). P. aeruginosa tahan terhadap semua penisilin Carbapenems (Meropenem, Imipenem), Polymyxins (Polimiksin B dan Colistin) monobactam (Aztreonam), di beberapa rumah sakit pada infeksi dangkal (misalnya: infeksi telinga atau infeksi kuku), Gentamisin topikal atau colistin dapat digunakan (Hachem, 2007).

2.8.3. Acinetobacter baumanii

A.baumannii Bakteri gram negatif, infeksi nosokomial. Bakteri dapat hidup Suhu 44°C, karbohidrat sebagai Sumber nutrisi, melekat pada sel epitelial manusia. Aerobik berbentuk basilcoccus dan tahan berbagai antibiotik tumbuh diperalatan medis, persalinan, dan luka bakar, di rumah sakit infeksi nosokomial


(42)

seperti meningitis, pneumonia, bakteremia dan terhadap kontaminasi tangan petugas kesehatan (Jordi, 2007).

Patogenesis :

Bakteri masuk kedalam tubuh melalui nosokomial, kulit, peralatan medis, luka kotor, tindakan ventilator di unit perawatan intensif, pemasangan voley kateter, pamasangan kateter vena central, kontak makanan, air tercemar masuk melalui mulut, hidung, kulit yang terluka masuk ke pembuluh darah (bakteremia) kemudian masuk paru paru menyebabkan infeksi paru (pneumonia) masuk otak (meningitis) masuk kesaluran kemih (infeksi saluran kemih) sangat menular pada penyakit imunokompromise yang mendasarinya seperti diabetes (ulkus gangrenosum).

Gejala klinis :

Tanda dan gejala demam, merah, bengkak, hangat, nyeri daerah kulit atau luka, kulit bergelombang dengan lecet, batuk, nyeri dada, atau kesulitan bernapas nyeri perasaan saat buang air kecil, kantuk, sakit kepala, atau leher kaku.

Pengobatan :

Terapi Acinetobacter baumannii dengan aminoglikosida, seperti (Amikasin, kombinasi dengan beta - laktamase - seperti Piperasilin (bersama beta - laktamase inhibitor - tazaobactam) atau Meropenem. Inhibitor beta - laktamase, terutama sulbaktam.


(43)

Extended - spectrumbeta - laktamase (ESBL) keluarga Enterobacteriaceae mengekspresikan plasmid - dikodekan - laktamase (misalnya, TEM-1, TEM-2, dan SHV-1) yang resisten terhadap Penisilin.Pada b-laktamase (ESBL), ESBL adalah beta-laktamase menghidrolisis sefalosporin (Cefotaksim, Ceftriakson, dan Ceftazidime, Aztreonam oxyimino-monobactam). Jadi ESBL resisten terhadap antibiotik tersebut dan laktam oxyimino-beta. Dalam keadaan biasa, gen TEM-1, TEM-2, atau SHV-1 mengubah konfigurasi asam amino di sekitar-laktamase, laktam rentan terhadap hidrolisis enzim. Peningkatan jumlah ESBL bukan dari TEM atau SHV tetapi ESBL sering plasmid yang produksi ESBL. Gen yang kode resistensi terhadap golongan obat (misalnya, aminoglikosida) oleh karena itu, pilihan antibiotik dalam pengobatan organisme ESBL-memproduksi sangat terbatas. Organisme produksi ESBL rentan terhadap beberapa sefalosporin, namun pengobatan antibiotik tersebut tingkat kegagalan yang tinggi (Bush, 2010)

2.8.5. Klebsiella pneumonia

.

Klebsiella pneumoniae adalah Gram-negatif, non-motil, kapsul, fermentasi laktosa, anaerobik fakultatif, berbentuk batang. Flora normal mulut, kulit, dan usus, organisme cenderung menyebabkan infeksi 'oportunistik', mempengaruhi tubuh bila kondisi medis yang mendasari atau ketika mekanisme kekebalan tubuh melemah, dapat menginfeksi saluran kencing, saluran pencernaan, bagaimanapun paru-paru paling serius, dimana menyebabkan pneumonia.

Gejala klinis :


(44)

Membedakan pneumonia yang disebabkan Klebsiella adalah kecepatan dari perkembangan penyakit. Klebsiella pneumonia memicu kerusakan cepat dari jaringan paru-paru, dan akibatnya,gejala manifest cepat.

Gejala awal :

Demam mendadak tinggi, pusing, sakit kepala, menggigil dan kelelahan. Batuk berlebihan dengan sputum tebal, kental, banyak dan berdarah.

Gejala Lanjutan :

Klebsiella pneumonia ketika diabaikan, cepat membentuk abses, kantong kecil yang dipenuhi dengan bakteri dan jaringan mati. Sesak napas, terengah-engah dan nyeri dada mungkin akibat rusak paru-paru, kulit menjadi dingin dan berkeringat, nafsu makan menurun drastis.

Patogenesis :

Bakteri masuk melalui aspirasi mikroba di orofaringeal masuk ke dalam saluran pernapasan bagian bawah menyebabkan sistem kekebalan menurun. Paling sering laki-laki dengan gangguan pertahanan pernafasan, seperti diabetes, alkoholisme, keganasan, penyakit hati, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), terapi glukokortikoid, gagal ginjal, dan pekerja (seperti pekerja pabrik kertas). Banyak infeksi diperoleh di rumah sakit (infeksi nosokomial). Infeksi diluar rumah sakit seperti : pneumonia, bronchitis, abses paru, kavitasi, empiema, dan perlengketan. Tingkat kematian tinggi sekitar 50%, angka kematian hampir 100%. Klebsiella dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, saluran empedu


(45)

yang, dan luka bedah,

Kontaminasi tindakan beresiko tinggi, misalnya, endoskopi, bronkoskopi dan pemesangan kateter urin. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat menjadi faktor meningkatkan risiko infeksi nosokomial sepsis dan syok septik dengan bakteri Klebsiella.

tromboflebitis, kolesistitis, diare, infeksi saluran pernapasan atas, osteomielitis, meningitis, bakteremia, septikemia dan invasif.

Pengobatan :

Organisme Klebsiella sering resisten terhadap antibiotik, kemampuan untuk menghasilkan extended-spectrum beta-laktamase ESBL tahan terhadap banyak antibiotik. Resistensi sering golongan Aminoglikosida, Fluoroquinolones, Tetrasiklin, dan Trimetoprim/sulfametoksazol. Pemilihan tergantung pada pola-kerentanan tergantung tubuh yang terinfeksi. Untuk infeksi berat, penggunaan awal singkat (48-72 jam) dari terapi kombinasi, beralih ke mono terapi setelah pola kerentanan.

Jika Klebsiella tidak memiliki resistensi antibiotik, antibiotik digunakan seperti Ampisilin / sulbaktam, Piperacillin / tazobactam, Tikarsilin / klavulanat, Ceftazidime, Sefepime, Levofloxacin, Meropenem, dan Ertapenem. Meropenem pilihan terbaik dengan Klebsiella ESBL+, hindari penyebaran infeksi Klebsiella antara pasien dengan tenaga kesehatan harus taat pencegahan dan pengendalian (Tind, 2012).

2.8.6. Citrobacter freundii

Fakultatif anaerob Gram-negatif, basil keluarga Enterobacteriaceae, bentuk batang panjang dikelilingi flagella bergerak, non-motil. Ditemukan di


(46)

tanah, air, limbah, makanan dan saluran pencernaan dan infeksi oportunistik, infeksi nosokomial

Patogenesis :

Citrobacter freundii adalah mikroba oportunistik, infeksi nosokomial, dan tidak menyebabkan penyakit atau gejala pada manusia yang sehat, hanya menimpa orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh lemah cenderung menyebabkan infeksi saluran kemih, saluran pernapasan, darah, pankreas, hati dan penyakit empedu.

Gejala :

Infeksi saluran kemih : rasa terbakar saat buang air kecil, dorongan untuk buang air kecil, urin berbau, sedikit buang air kecil, darah dalam urin, demam, dan terasa panas atau nyeri di punggung bawah/atau panggul. Penyebab paling signifikan gerakan dan tingkat kebersihan yang buruk setelah hubungan seksual menyebabkan perubahan inflamasi abnormal pada usus, mengakibatkan perubahan nekrotik, meningitis neonatal. Meninges atau penutup dari otak bisa meradang karena infiltrasi bakteri, dapat menembus sawar darah-otak (yang terdiri dari endotelium kapiler otak dan pleksus koroid epitel). Hal ini dapat menyerang dan mereplikasi di otak. Gejala antara lain: demam tinggi, muntah proyektil dan kejang. Infeksi peritonitis dan infeksi juga telah dilaporkan sering terlihat pada pasien rawat inap dan kekebalan menurun dan bersal dari pemesangan kateter kemih (Whalen, 2007).


(47)

Diberikan antibiotik Amikasin, Amikasin, Cefepime, Cefotetan, Ceftazidime, Ceftriaxone, Cefuroxime, Ciprofloxacin, Meropenem, Levofloxacin, Nitrofurantoin, Ofloxacin, Piperacillin.

2.8.7. Aerogenes Enterobacter

Aerogenes Enterobacter Gram-negatif, oksidase negatif, katalase positif, sitrat positif, indol negatif, bakteri berbentuk batang, infeksi nosokomial infeksi oportunistik. Mayoritas sensitif terhadap antibiotik, mekanisme resistensi, laktamase berarti cepat menjadi resisten terhadap antibiotik, membutuhkan perubahan antibiotik menghindari memburuknya sepsis.

• Demam tinggi atau hipotermia • Takikardia

• Hipoksemia • Takipnea • Sianosis

Tanda dan gejala :

Patogenesis :

Infeksi nosokomial, keganasan, penyakit hepatobilier, borok saluran pencernaan, penggunaan kateter, luka bakar, ventilasi mekanis, dan imunosupresi. Sumber endogen (melalui kolonisasi kulit, saluran pencernaan, atau saluran kemih) atau eksogen, tangan, tindakan bronkoskopi, endoskopi, tensimeter stetoskop sumber infeksi. Sumber berasal: nutrisi parenteral, larutan saline isotonik, albumin, termometer digital, dan peralatan dialisis (Siegel, 2007).


(48)

Pengobatan :

Antimikroba hampir semua infeksi Enterobacter antimikroba dapat diberikan meliputi:

• Beta-laktam: Carbapenem, Sefalosporin • Aminoglikosida

• Fluoroquinolon •

Trimethoprim-2.8.8. Escherichia coli

sulfamethoxazole

Escherichia coli, E. coli, Bakteri gram-negatif ditemukan oleh Theodor Escherich dalam, usus besar. E. Coli tidak berbahaya, beberapa E. Coli tipe O157: H7, mengakibatkan keracunan makanan diare berdarah karena eksotoksin. Ecoli dapat menguntungkan manusia memproduksi vitamin.

Patogenesis :

Escherichia coli O157 : H7 patogen berhubungan dengan makanan dapat menyebabkan kolitis hemoragik, sindrom uremik hemolitik, sekuele infeksi menyebabkan gagal ginjal dan kematian. E. coli flora normal usus. E. coli O157 : H7 maksudnya hari 7 pembentuk koloni) . Selanjutnya di bagian usus dari waktu ke waktu dan mengamati bahwa sekum konsisten jaringan tertinggi. Faktor virulensi, adhesin dan toksin Shiga tipe 2, dan terdeteksi kedua protein awal infeksi ketika jumlah bakteri tertinggi selama infeksi, tubuh kehilangan berat badan dan ~ 30 % meninggal tubuh sekarat karena peningkatan kadar nitrogen urea darah, nekrosi, menunjukkan kerusakan tubulus ginjal.


(49)

Gejala :

Diare, diare berdarah, kram perut, tidak ada gejala beberapa kasus sedikit/tidak ada demam

Pengobatan :

. Hemolitik uremik sindrom - (HUS) : sindrom hemolitik uremik - pucat (anemia), demam, memar atau mimisan ( akibat kerusakan trombosit), kelelahan, sesak napas, pembengkakan, terutama tangan dan kaki, penyakit kuning, dan urin berkurang. Thrombocytopenic purpura trombotik (TTP): trombotik thrombocytopenic purpura disebabkan hilangnya trombosit, namun gejala berbeda dan terutama terjadi pada orang tua. Gejala demam, lemas lemas, gagal ginjal, dan gangguan mental cepat berkembang kegagalan organ dan kematian. Sampai tahun 1980-an, TTP dianggap penyakit yang fatal.

Sementara penggantian cairan dan awasi tekanan tekanan darah cairan mungkin diperlukan untuk mencegah kematian akibat dehidrasi, sebagian besar korban sembuh tanpa pengobatan lima sampai 10 hari. Tidak ada bukti bahwa antibiotik memperbaiki perjalanan penyakit, dan pengobatan dengan antibiotik dapat memicu sindrom uremik hemolitik. Obat anti diare, seperti Loperamide (Imodium), juga harus dihindari karena dapat memperpanjang durasi infeksi. Strategi pengobatan baru tertentu, seperti penggunaan strategi anti-induksi untuk mencegah produksi toksin dan penggunaan anti-toksin Shiga antibodi, masih tahap diusulkan

2.8.9. Pseudomonas mendocina

(Eckburg, 2005).


(50)

Pseudomonas mendocina gram-negatif, oportunistik, nosokomial infeksi, infeksi endokarditis dan spondylodiscitis. Pengobatan sepsis kombinasi Penisilin, Sefalosporin, Aminoglikosida, atau Fluorokuinolon antibiotik selama minimal 6 minggu, kombinasi antibiotik pengobatan Aminoglikosida 4 hari dan Fluorokuinolon oral 2 minggu (Chi, 2005).

Patogenesis :

Dapat menempel pada selaput lendir atau kulit → dapat menyebar secara sistemik → sepsis → sering menimbulkan kematian. Sering resisten terhadap antimikroba → multiresisten.

Manifestasi klinis :

 Infeksi pada luka bakar - Ektima gangrenosum  Infeksi saluran kemih - Pneumonia

 Sepsis yang fatal - Keratitis  Meningitis - Otitis Eksterna Pengobatan :

1. Ticarcillin - Tobramycin

2. Piperacillin - Amikacin

3. Ceftazidim - Aztreonam

4. Cefaperazon - Imipenem

5. Gentamycin - Ciprofloxacin


(51)

2.8.10.Delftia acidovorans

Delftia acidovorans adalah non-spora, aerob batang gram-negatif, aerobik, non-fermentasi, gram negatif batang tergolong Pseudomonas.

Patogenesis :

Infeksi berasal dari kateter, selang infus, bakteremia, empyema, ulkus kornea, otitis media, aspirasi tabung endotrakea, tindakan invasif, infeksi individu imunokompeten (Perla, 2005).

Gejala :

Sindrom Sjogrens adalah penyakit yang mempengaruhi kelenjar yang menghasilkan air liur dan air mata, menyebabkan mata kering dan mulut kering. Penyebab sindrom Sjogrens tidak diketahui, tetapi peradangan memainkan peran penting.

Pengobatan :

Imipenem / cilastin telah diberikan selama empat minggu.

2.8.11. Staphylococcus haemolyticus.

Berbentuk coccus, Gram - positif, non - motil, tidak - berspora, anaerob fakultatif dan koagulase-negatif, flora kulit manusia, ditemukan di aksila, perineum, dan daerah inguinal, patogen oportunistik. Infeksi dapat sistemik dan sering dengan alat-alat medis, tahan antibiotik, sebagai patogen nosokomial.

Gejala :


(52)

Endokarditis, pepticemia, peritonitis dan infeksi saluran kemih, luka, infeksi tulang, sendi, infeksi jaringan lunak pada immunocompromise (Rolston, 2003).

Patogenesis :

S. haemolyticus bermigrasi dari kulit, sepanjang permukaan eksternal, hubungan pasien dengan petugas kesehatan penyebabkan infeksi lokal atau menjadi sistemik (bakteremia), dan sering pada alat medis, tahan antibiotik. Tingkat keparahan infeksi bervariasi tergantung, frekuensi manipulasi, faktor virulensi, hindari kontak dari penyebab diatas sebagai pengobatan yang terbaik.

Pengobatan :

Vancomycin atau dapat diberikan, glycopeptides dengan β - laktamse kerja secara sinergis Staphylococcus haemolyticus memiliki sensitif satu atau lebih antibiotik berikut: Penisilin, Cephalosporin, Macrolides, Kuinolon, Tetrasiklin, Aminoglikosida, Glikopeptida, dan Fosfomycin, Glycopeptide (Vancomycin ). (Vignaroli, 2006).

2.8.12. Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus lingkungan dengan rentang konsentrasi zat terlarut (garam), S aureus flora normal kulit, hidung, mulut, dan usus besar, (misalnya bisul), penyakit pernapasan (sinusitis) dan keracunan makanan, memproduksi racun protein protein permukaan sel mengikat dan menonaktifkan


(53)

Patogenesis :

Staphylococcus aureus berkembang strategi komprehensif untuk mengatasi tantangan ditimbulkan oleh sistem kekebalan tubuh manusia. Munculnya Methicillin-resistant . Staphylococcus aureus (CA-MRSA) infeksi pada individu tanpa kondisi predisposisi peningkatan patogenisitas bakteri yang mungkin terkait dengan akuisisi elemen genetik baru. Hebatnya, penyebab yang mendasari epidemi tidak diketahui. Bagaimana akuisisi gen baru dapat menjelaskan peningkatan kejadian dan keparahan penyakit CA-MRSA. S. aureus memiliki repertoar luar biasa dari faktor virulensi mampu bertahan hidup dalam kondisi ekstrim dalam tubuh manusia. Staphylococcus aureus mempertahankan kontrol baik dari ekspresi virulensi dan sebagian besar jarang menyebabkan infeksi pada manusia sehat.

Gejala :

Infeksi Staphylococcus aureus diantaranya bisul bakteri memproduksi nanah (piogenik).

Pengobatan :

Pengobatan infeksi S. aureus adalah Penisilin, β-laktam antibiotik penisilinase-tahan (misalnya, Oksasilin Clindamisin, Cefazolin). Kombinasi terapi gentamisin untuk mengobati infeksi, seperti endokarditis, tetapi kontroversial karena Methicillin-resistant S. aureus, (MRSA) dan yang sangat ditakuti dari S. aureus menjadi resisten terhadap antibiotik β-laktam (Thwaites, 2011).


(54)

2.8.13. Stenotrophomonas maltophilia

Stenotrophomonas maltophilia non fermentative, gram-negatif, aerobik, motil flagella polar, dan tumbuh agar Mac Conkey koloni berpigmen, katalase-positif, oksidase-negatif, reaksi positif DNase immunokompromise,

Patogenesis :

Infeksi nosokomial, berada dikanul oksigen, endotrakeal atau tabung trakeostomi, saluran pernapasan dan kateter urin. Infeksi difasilitasi bahan prostetik (plastik atau logam), dan perawatan efektif adalah pemusnahan bahan prostetik.

Gejala :

Perasaan depresi, suasana cemas, nyeri, insomnia, headaches kantuk (mengantuk) masalah keseimbangan, disfungsi seksual, nyeri pada punggung bawah, kejang otot, masalah kandung kemih, mual, Back pain pusing, perut nyeri, ketegangan otot, hiperventilasi migrain sakit kepala ruam (kemerahan, pembengkakan).

Pengobatan :

S. Maltophilia sensitif terhadap Kotrimoksasol dan tikarsilin, meskipun resistensi meningkat S. maltophilia resisten terhadap banyak antibiotik spektrum


(55)

luas (Carbapenem). Hal ini biasanya tidak rentan terhadap Piperasilin, dan rentan terhadap Ceftazidime. Tigecycline, Polimiksin B obat yang efektif (Burke, 2011).

2.8.14. Streptococcus salivarius

Streptococcus salivarius bulat, gram positif, non - motil, non - sporing, katalase negatif, dan anaerobik fakultatif. Saluran pernapasan bagian atas manusia beberapa jam setelah lahir, patogen oportunistik septikemia dengan neutropenia (kekurangan sel darah putih), probiotik dalam pencegahan infeksi oral. BLIS (Bakteriosin seperti Zat Hambat ) merupakan peptida antimikroba.

Patogenisitas toxisitas

S. salivarius infeksi meningitis, dan bakteremia, perikarditis, peritonitis bakteri spontan, jejunitis akut, abses pankreas, endokarditis multimicrobial, dini sepsis neonatal, sinusitis, endophthalmitits, impetigo bulosa dan femoral osteitis memasuki aliran darah, virulensi rendah bakteremia faktor predisposisi lokal, gangguan mukosa dan penyakit yang mendasari serius, seperti keganasan atau sirosis hati (infeksi tenggorokan).

Infeksi transmisi : S. salivarius flora manusia normal ditularkan melalui kontaminasi langsung dari cairan tubuh steril, misalnya: kontaminasi cairan serebrospinal setelah anestesi epidural atau pungsi lumbal karena peralatan terkontaminasi, oleh migrasi organisme dari kulit pasien sepanjang tindakan kateter atau melalui tetesan air. S. salivarius masuk rongga mulut memasuki aliran


(56)

darah (bakteremia) setelah endoskopi dan intervensi terapeutik Setelah organisme adalah dalam aliran darah masuk berbagai anatomi termasuk meninges dan cairan serebrospinal (Rafailidis, 2005).

Gejala :

Streptococcus salivarius flora normal mulut manusia jarang menyebabkan infeksi invasif. Meningitis adalah infeksi jarang namun semakin dilaporkan disebabkan oleh S. salivarius. Meskipun meningkatnya jumlah kasus yang dilaporkan komprehensif dari literatur tentang S. salivarius meningitis yang kurang. Hasil yang umumnya menguntungkan dengan manajemen antibiotik. Dokter harus mencurigai S. salivarius meningitis pada pasien akut setelah prosedur medis atau bedah yang melibatkan meninges.

Pengobatan :

Peka terhadap berbagai antibiotik, termasuk Ciprofloxacin, Levofloxacin, Metronidazol, Amoksisilin, Ceftriaxone, Clindamisin, Rifampisin, Gentamisin, Cefuroxime, Cefotaxime, dan Vankomisin. Strain tertentu dari S. salivarius resistensi parsial terhadap Penisilin, Ceftriaxone, Erithromisin, dan Meropenem.

2.8.15. Serratia marcescens

Serratia marcescens gram-negatif berbentuk batang family dari Enterobakteri patogen manusia, S. marcescens infeksi didapat di rumah sakit, bakteremia, infeksi saluran kemih dan infeksi luka, saluran pernapasan dan


(57)

saluran kencing dan sistem pencernaan lembab, kamar mandi terutama ubin, sudut shower, celah air dikeramik, bak mandi, bermanifestasi warna merah muda dan makan berlendir bahan fosfor /zat lemak seperti sabun dan residu sampo. S. marcescens ditemukan di lingkungan seperti tempat kotoran, dan subgingiva gigi S. marcescens menghasilkan tripyrrole pigmen orange kemerahan disebut prodigiosin pewarnaan ekstrinsik gigi. Nosokomial kateter, bakteremia saluran kemih, infeksi luka, pada penyakit sistem pencernaan. S. marcescens penyebab infeksi bayi baru lahir, imunodefisiensi kanker, leukemia atau penyakit kronis, neurologis dan urologis kronis risiko tinggi.

Patogenesis :

Pada manusia menyebabkan infeksi saluran kemih, saluran pernapasan, luka, konjungtivitis, keratitis, endophthalmitis, endokarditis dan osteomielitis (menggunakan obat-obatan intravena), Pneumonia, dan meningitis. S. marcescens dikaitkan dengan 19 kasus di rumah sakit Alabama 2011, terjadi kematian akibat pasien menerima nutrisi parenteral

Serratia sepsis :

Gejala Serratia sepsis demam, panas dingin, gangguan pernapasan, syok, aborsi spontan pada janin, malaisie, infeksi saluran kemih, sering buang air kecil nyeri, Contoh kasus pengobatan obstruksi saluran kemih, gagal ginjal dan pemeriksaan saluran kemih pasien diabetes. Infeksi saluran pernapasan dapat terjadi setelah memakai instrumentasi rumah sakit/kunjungan dokter, tindakan bronkoskopi, COPD penyakit paru obstruktif kronik pneumonia. Bayi premature


(58)

sepsis, jenis operasi kepala atau bedah saraf dapat meningitis, pengguna obat terlarang dan pecandu heroin menyebabkan endokarditis (peradangan, menggigil, keringat berlebihan, kelelahan, demam, dan nyeri sendi kematian pasien sangat tinggi (Nisbet, 2011).

2.8.16 . Achromobacter denitrificans

Achromobacter denitrificans gram negatif oksidase dan katalase - positif aerobik bakteri motil genus Achromobacter menyebabkan infeksi pada manusia. Endokarditis infeksi endovaskular. Achromobacter spesies endokarditis infektif mendasari immunodefisiensi atau katup jantung prostetik endokarditis sekunder Achromobacter xylosoxidans subspesies denitrificans. Infeksi mengancam jiwa ini berhasil diobati dengan penggantian katup gabungan dan terapi antibiotik jangka panjang. Achromobacter endokarditis. penyebab endokarditis nosokomial (Gray, 2010).

Gejala :

Achromobacter muncul spesies gram negatif infeksi bakteri yang dapat mempengaruhi pasien imunosupresi, infeksi aliran darah yang disebabkan oleh organisme ini pada pasien dengan keganasan yang mendasarinya.


(59)

Resistensi pada Cephalosporin, Aminoglikosida, dan Kuinolon telah sensitif terhadap antibiotik Cotrimoksazol, Piperasilin-tazobactam, Merope- nem dan Ceftazidime.

2.9. Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial, berasal dari kata nosokomeion yang berarti rumah sakit (nosos = penyakit, komeo = perawatan). Jadi dengan kata lain infeksi yang didapat pasien ketika pasien tersebut dirawat di rumah sakit disebut dengan infeksi nosokomial. Dikatakan infeksi nosokomial bila pada saat masuk rumah sakit pasien tidak menunjukkan gejala-gejala klinis infeksi, tidak dalam masa inkubasi dari infeksi dan terjadi 3 x 24 jam setelah pasien masuk rumah sakit, infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya. Umumnya infeksi nosokomial mengenai saluran kemih dan berbagai macam pneumonia. (Amelia, 2011)

Infeksi oleh populasi kuman rumah sakit terhadap seorang pasien yang memang sudah lemah fisiknya tidaklah terhindarkan. Lingkungan rumah sakit harus diusahakan agar sebersih dan sesteril mungkin. Hal tersebut tidak selalu bisa sepenuhnya terlaksana, karenanya tidak mungkin infeksi nosokomial ini bisa diberantas secara total. Setiap langkah yang tampaknya mungkin, harus dikerjakan untuk menekan resiko terjadinya infeksi nosokomial. Yang paling penting adalah kembali kepada kaedah sepsis dan antisepsis dan perbaikan sikap personil rumah sakit (dokter, tenaga medis).


(60)

Infeksi nosokomial dapat terjadi pada sesama pasien, tenaga medis ataupun pengunjung rumah sakit. Penyebaran mikroorganisme penyebab infeksi nasokomial melalui 5 cara antara lain : kontak baik langsung maupun tidak langsung, udara, droplet, vehicles (zat pembawa) dan vektor. (Amelia, 2011)

1.Contact Precautions

Kewaspadaan ini mengurangi resiko terjadinya penyebaran organisme dari pasien yang terinfeksi atau terkolonisasi melalui kontak langsung maupun tidak langsung.

a. Kontak langsung

Kontak langsung bila terjadi hubungan langsung melalui permukaan tubuh antara 2 orang pasien, dimana yang satu sebagai sumber infeksi nasokomial sedangkan yang satu lagi pasien yang gampang dimasuki oleh mikroorganisme nasokomial akibat rendahnya daya tahan tubuh. Atau kontak antara tenaga medis dengan pasien, misalnya pada saat tenaga medis memandikan pasien.

b. Kontak tidak langsung

Paling sering terjadi dimana transfer mikroorganisme melalui insrumen atau alat. Biasanya mengenai pasien yang rentan dimasuki mikroorganisme melalui instrumen- instrumen rumah sakit yang kurang steril, seperti jarum suntik, sarung tangan, cairan infus termasuk selang dan jarumnya, selain itu dapat juga berasal dari tindakan invasive seperti


(61)

endoskopi, tindakan bronkoskopi BAL dan tindakan bronkoskopi washing. Oleh karena itu untuk mencegah hal ini tenaga medis dianjurkan agar menggunakan dispossable syringe (jarum suntik yang hanya dipakai untuk satu pasien), sarung tangan dan alat-alat infus yang baru untuk satu pasien, alat endoskopi dan alat bronkoskopi yang dipakai untuk tindakan pasien berikutnya lebih ditingkatkan tehnik sterilisasi dan desinfektan agar terhindar dari infeksi nosokomial.

2. Melalui udara (Airbone Transmission)

Biasanya tejadi pada pasien yang tinggal satu ruangan dengan pasien sumber infeksi. dimana mikroorganisme nasokomial dapat berada di udara selama beberapa jam dan tersebar luas kemudian dihirup oleh pasien yang rentan terhadap infeksi (ukuran partikel biasanya ≤ 5μm atau lebih kecil). Mikroorganisme yang dapat menyebar sepenuhnya maupun sebagian melalui udara antara lain tuberkulosis, virus varicella, dan virus rubeola.

3. Droplet

Biasanya mikroorganisme yang berukuran > 5 μm, penyebaran melalui batuk, bersin atau bicara dengan sumber infeksi, jarak sebar pendek dan mikroorganisme tidak bertahan lama di udara, ”deposit” biasanya di mukosa konjungtiva, hidung dan mulut. Contoh, penyakit dengan penyebaran melalui droplet adalah difteri, pertusis, mycoplasma, tuberculosa, Hib, virus influenza, respiratory syncytial virus, mumps dan rubella.


(62)

4. Vehicles

Melalui makanan dan minuman, peralatan dan obat-obatan yang terkontaminasi mikroorganisme penyebab infeksi.

5. Vektor

Melalui serangga sebagai pembawa infeksi seperti lalat dan nyamuk

Infeksi nosokomial meningkatkan dua kali lipat resiko kesakitan dan kematian pasien. Faktor predisposisi seorang pasien terkena infeksi nosokomial antara lain : jeleknya kondisi kesehatan pasien, pada pasien usia lanjut atau usia sangat muda dengan gangguan sistem imun. Faktor lain adalah tindakan invasif seperti pemasangan intubasi, kateter, drain bedah, trakeostomi dan bronkoskopi, dimana tindakan medis tersebut dapat merusak barrier alamiah tubuh sehingga lebih rentan terkena infeksi. Selain itu obat-obatan yang diberikan kepada pasien terutama obat-obat yang dapat menekan sistem imun, antasida yang dapat mengurangi keasaman lambung sebagai barier tubuh, antimikroba yang dapat mengganggu flora normal tubuh dan menimbulkan resistensi, transfusi darah, juga meningkatkan resiko terkena infeksi nosokomial.

2.9.1. Mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial 1. Bakteri Gram Negatif

Mikroorganisme atau mikroba gram negatif yang sering menyebabkan infeksi paru adalah Pseudomonas aeruginosa, Serratia marcescens dan Proteus sp ketiga mikroorganisme ini yang sering menyebabkan kontaminasi pada bronkoskopi.


(63)

Dimana mikroorganisme ini karena tehnik pencucian tidak adekuat dan desinfektan yang tidak baik dan kontaminasi bak instrument bronkoskopi (Kovaleva, 2013).

Salah satu bakteri golongan Pseudomonas aeruginosa yang dapat menyebabkan infeksi nosokomial adalah bakteri Burkholderia cepacia. Menurut

Burkholderia cepacia adalah bakteri gram negative yang dapat menular karena kondisi lingkungan rumah sakit. Meningkatkan resistensi antibiotik yang diamati pada masa wabah

2. Mycobacterium .

Pernah dilaporkan dijumpai kuman Mycobacterium tuberkulosis setelah bronkoskopi ternyata hal ini karena tindakan pencucian yang tidak adekuat. Di negara Amerika telah dilaporkan transmisi Mycobacterium intrcellulare avium ditemukan pada penderita HIV. Pada penderita yang penurunan daya tahan tubuh. Bakteri ini kurang patogen dibandingkan dengan Mycobacterium tuberculosis (Kovaleva 2013).


(64)

3. Virus

Transmisi infeksi virus human immunodefisiensi virus selain inokulasi langsung atau kontak seksual sangat jarang tetapi bagaimana pun resiko untuk penularan bronkoskopi serat optik lentur pernah dilaporkan penularan juga terjadi pada virus hepatitis B, C, HIV, berasal dari darah, cairan tubuh, saliva dan cairan alveoli, tranmisi virus hepatitis melalui bronkoskopi jarang terjadi, walaupun ada dilaporkan, oleh karena tidak adekwatnya sistem pencucian dengan menggunakan glutaraldehyde untuk mencapai kesaluran pengisap, atau ke biopsi valve (Kovaleva 2013).

Pada tahun 1995 telah dilaporkan dua kasus yang berbeda satu terinfeksi hepatitis B dan satu kasus terinfeksi hepatitis C. Kedua setelah dilakukan tindakan kolonoskopi, setelah diselidiki ternyata akibat pencucian alat pengisap tidak adekwat sehingga glutaraldehyde tidak masuk kesaluran pengisap menyebabkan kontaminasi kedua pasien tersebut (Gonzalez, 2010). 2.10. Tindakan Pencucian dan Desinfektan Bronkoskopi Serat Optik Lentur

Kegagalan dalam mengikuti rekomendasi tindakan pencucian menyebabkan transmisi mikroba patogen dan salah mendiagnosa dan kerusakan peralatan. Pedoman reprocessing endoskopi terdapat enam tahapan:

1. Pencucian 2. Pembilasan 3. Desinfektan 4. Pembilasan


(65)

Alkohol 70%

Pre cleaning

Leakage tester

Cleaning Rinsing

High level desinfection Rinsing by water filter

Drying

Storage Ready for use

5. Pengeringan 6. Penyimpanan

Seterilisasi dapat diganti dengan tahap desinfektan tetapi tidak dapat dilakukan pada bronkoskopi serat optik lentur.

2.10.1. Proces Cleaning and Desinfection Bronchoscope 1. Equipment for leakege test

2. Equipment for cleaning

3. Equipment for disinfection.

4. Pelindung diri

Gambar 2.1. Step of Cleaning Desinfection


(1)

cancer patients". Antimicrob. Agents Chemother. 51 (6): 1905–11.

Heart FJF, Beamis JF, Earnist A. (2004), History Of Rigid Bronchoscopy. In : Earnist A, Mathur PN, Mehta AC. International Pulmonary Medicine; Marcell Dekker Inc; New York-USA; 2004 (1): 1-12.

Irda. H, Windarwati, Hardjuno. Pola sensitivitas kuman terhadap antimikroba di RS. dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. 2005. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 13, No. 1, Nov. 2006: 13-16

Jordi, Rello, Marin, Kollef. (2007), Penyakit Infeksi di Perawatan Kritis. Springer. ISBN 978-3-540-34405- 6.Page.234 - 237

Johnson-johson company, (2007) Division of Ethicon, Inc.CIDEX OPA. Availablefromhtpp;//www.sterrad.com/customersupport/userresopurses/ci dexopa msds.pdf.Accessed on. Review Quotes By: Sam | (Posted on 12/18/11

Kasuma,Desfrina.(2010). Profil Penderita yang Dilakukan Tindakan Bronkoskopi Serat Optik Lentur di Instalasi Diagnostik Terpadu (IDT) RSUP H. Adam Malik Medan. Tesis: Program Magister Kedokteran Klinik Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran USU/SMF Paru RSUP H. Adam Malik Medan 2010

Kennedy,J. I. (2006). Overview of Bronchoscopy. Up to Date. Literature review version 15.1 current through August 2007.


(2)

Kirschke, D,(2003) Jones T, craig A,Chu P, Mayemick, Patel J, et al. Pseudomonas aeruginosa and Serratia marcescens contamination associated With a manufacturing defect in bronchoscopes. N Eng J Med ;348;214-20.

Kovaleva, J, Peters FT, van der Mei HC, Degener JE (2013) ; Transmission of infection by flexible gastrointestinal endoscopy and bronchoscopy; Clin Microbiol Rev. Apr; 26(2):231-54. doi: 10.1128/CMR.00085-12.

Kumari, H.B.V, S Nagarathna and A (2007). Chandramuki.Antimicrobial resistance pattern among aerobic grambegative bacilli of lower respiratory tract specimens of intensive care unit patients in neurocenter. Indian J ChestDis Allied Sci 2007;49:19-22. Sari Pediatri ;Vol. 13, No. 6, April 2012

Burkholderia cepacia: a new pathogen causing nosocomial infections dala

Microbiol(2012)[Anopportunistic pathogenfrequently isolated from immunocopro mised patients: Burkholderia cepacia complex]. 2012 Apr;46(2):304-18.

Mavros, MN, Velmahos GC, Falagas ME . (2011) "Atelectasis as a cause of postoperative fever: where is the clinical evidence?". Chest 140 (2): 418–

Mehta, A, Prakash U, Garland R, Haponik E, Moses L,Schaffner at al (2005), American College of Chest Pphysicians and American Associatio for Bronchology Concensus Statement ; Prevention of flexible bronchoscopy associated infection chest ;1742-55.

Miyajawa T. (2000), History of Flexible Bronchoscopy. In: Bolliger CT, Mathur PN. Interventional Bronchoscopy; Kargel-Basel Switzerland; 2000 (30):


(3)

Murat, dkk, 2009., Nosocomial Burkholderia cepacia infections in a Turkish university hospital: a five-year surveillance, Department of Infectious Diseases and Clinical Microbiology, Gazi University School of Medicine, Ankara, Turkey

Nair, GB; Niederman, MS (2011) (November). "Community-acquired pneumonia: an unfinished battle". The Medical clinics of North America 95 (6): 1143–

Nisbet, Robert. (2011) 31 March 2011).

Nursalam, (2007) Asuhan Keperawatan pasien terinfeksi HIV/AIDS, Salemba Medika Jakarta ISBN:978-979-3027-44-9.

Ortega, X.P. Cardona ST, Brown AR et al. (2007)

J. Bacteriol. 189 (9): 3639–44.

Perla, R, Knutson E.( 2005) Delftia acidovoransbacteremia in an intravenous drug abuser. Am J InfectDis;1: 73-4

Peter, M.George, M.M.Jaideep. Dhariwala, C.E.Raphaela, Mohammad, S.Dav W.C,Philip.M,Melissa.W,Annette.J,Onn.M.K , (2011) Post-bronchoscopy sputum: Improving the diagnostic yield in smear negative pulmonary TB ; 1726–1731; Received 6 March 2011, Accepted 23 July 2011, Available online 15 August 2011


(4)

Prakash U, Cavaliere S. (2002), Bronchoscopy. In: Gold WM, Murray JF, Nadel JA. Atlas of Procedures in Respiratory Medicine. Saunders WB Company, Philadelphia-USA; 2002 (6): 241-65.

Prakash, U, (2006) Bronchoscopy. In Parsons P,Heffner J, eds. Pulmonary Respiratory Therapy Secrets, Philadelphia ; Elsevier,(30);117-23.

Priyanti, Z.S, Lulu M (2003) (Perhinpunan Dokter Paru Indonesia), Pneumoniae Komuniti, Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia, Balai Penerbit FK UI , Jakarta. Hal 1-12.

Priyanti, Z.S, Lulu M, (2003), (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia), Penyakit Paru Obstruksi Kronik, Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia, Balai Penerbit FK UI, Jakarta.Hal 2-19.

Rafailidis, PI, Prapas, SN, Kasiakou, SK, Costeas, XF, & Falagas, ME (2005). Efusif - konstriktif perikarditis kalsifikasi terkait dengan Streptococcus salivarius. Laporan kasus dan kajian literatur. Cardiology di Review, 13 ( 3 ), 113-117

Retno, W,Pola Kuman Penyebab Ventilator Associated Pneumonia (VAP) dan Sensitivitas Terhadap Antibiotik di RSAB Harapan Kita,Sari Pediatri,Vol.13,No.6,April 2012

Rick, Daniels, (15 June 2009) May 2010.

Rismala Dewi,(2011) Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RS Dr Cipto Mangunkusumo,Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Sepsis pada Anak : Pola Kuman dan Uji Kepekaan ;Majalah


(5)

Rolston, K.V.I, Bodey. (2003) G In Kufe DW, et al. Cancer Medicine (6th ed.). BC Decker

Siegel, J.D, Rhinehart E, Jackson. M, Chiarello, L, and the HICPAC (2007). Guideline for Isolation Precautions: Preventing Transmission of Infectious Agents in Healthcare Settings Centers for Disease Contol.

Society of Gastrointestinal Nurses and Associates, Inc. Guidelines for the use of high level disinfectans and sterilitans for reprocessing of flexible gastrointestinal endoscopes. Gastroenterol Nurs 2004;56:16-22.

Sudoyo, A.W, Setiyohadi B,Alwi. Idrus, (2006) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,edisi keempat, Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Hal 975-1049.

Textbookofbacteriology. Net

(2004-06-04). Retrieved on 2011-10-09.

Thwaites, G.E. et al: (2011) Clinical management of Staphylococcus aureus bacteraemia. Lancet Infect Dis 11:208, 2011.

Umar M, dkk. (2006). Akurasi Diagnostik Kanker Paru Dengan Prosedur Diagnosis Invasif Menggunakan Bronkoskopi Serat Optik Lentur. Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UI/RS Persahabatan Jakarta/SMF Pulmonologi RSUD Tk.I Pekan Baru. Dalam: Jurnal Respirologi Indonesia, 2006;26(4): 180-84.


(6)

Vignaroli,C, F. Biavasco, and P. E. Varaldo(2006)

Antimicrobial Agents and Chemotherapy (American Society for

Microbiology) 50 (7): 2577–2582.

Varotto,F, GD. Maria, R. Azzaro, P. Bellissima, R.Amato(2012). An observational study on the epidemiologyof respiratory tract bacterial pathogens and theirsusceptibility to four injectabel beta-lactam antibiotics Piperacillin, Piperacillin tazobactam, Ceftazidime and Ceftriaxone. J Chemother 2001;13:413-23; Sari Pediatri ;Vol. 13, No. 6, April 2012.

Vijayan, V.K, (2009 May). "Parasitic lung infections". Current Opinion in

Pulmonary Medicine 15 (3): 274–82.

Wang, H, Liaw. Y, Yang, Kuo S, Luh. K, (2007), A pseudoepidemic of Mycobactrium chelonae infection caused by contamination of afibreoptic bronchoscope suction chanel. Eur Respir J. ;8; 1259-62.

Weber, D.Rutala,W (2010), Lesson from outbreaks associated with bronchoscopy. Infec Control Hosp Epidermiol ; 22;403-8

Whalen, J. G Mully, T. W.; English, J. C. (2007) "Spontaneous Citrobacter freundii Infection in an Immunocompetent Patient". Archives of

Dermatology 143 (1): 124–125.

White, Gary, C. (2002). Basic Clinical Lab Competencies for Respiratory Care, 4th ed. Delmar Cengage Learning.


Dokumen yang terkait

Perbandingan Kenyamanan Pasien Yang Dilakukan Bronkoskopi Serat Optik Lentur Dengan Anastesi Lokal Secara Spray dan Nebul di RSUP H. Adam Malik Medan

3 73 106

Perbandingan Kenyamanan Pasien yang Dilakukan Bronkoskopi Serat Optik Lentur dengan Anastesi Lokal Secara Spray dan Nebul di RSUP H. Adam Malik Medan

3 76 106

Penilaian Visualisasi Pemeriksaan Bronkoskopi Serat Optik Lentur Dengan Konfirmasi Pemeriksaan Sitologi Bronkus Dalam Menegakkan Diagnosis Kanker Paru

5 129 80

Profil Penderita Yang Dilakukan Tindakan Bronkoskopi Serat Optik Lentur Di Instalasi Diagnostik Terpadu (IDT) RSUP H. Adam Malik Medan

3 49 53

Perbandingan Kenyamanan Pasien Yang Dilakukan Bronkoskopi Serat Optik Lentur Dengan Anastesi Lokal Secara Spray dan Nebul di RSUP H. Adam Malik Medan

0 0 8

Perbandingan Kenyamanan Pasien Yang Dilakukan Bronkoskopi Serat Optik Lentur Dengan Anastesi Lokal Secara Spray dan Nebul di RSUP H. Adam Malik Medan

0 0 20

Perbandingan Kenyamanan Pasien yang Dilakukan Bronkoskopi Serat Optik Lentur dengan Anastesi Lokal Secara Spray dan Nebul di RSUP H. Adam Malik Medan

0 0 8

Pola Kuman Bilasan Bronkus Pada Tindakan Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL) Di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 1 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Bronkoskopi Bronkoskopi (broncos = saluran napas, skopi = melihat) adalah teknik - Pola Kuman Bilasan Bronkus Pada Tindakan Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL) Di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 49

Pola Kuman Bilasan Bronkus Pada Tindakan Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL) Di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 17