kandungan polifenol hampir 4.6 kali lebih besar dari ketumbar pasar. Biji pala pabrik memiliki kandungan polifenol 1.2 kali dari rempah pasarnya. Kayu
manis pabrik memiliki kandungan polifenol 3.62 kali lebih besar dari kayu manis pasar.
Perbedaan ini mungkin disebabkan karena kondisi pengemasan dan
penyimpanan dari sampel sebelum dibeli. Oksidasi lipid yang muncul selama penyimpanan bahan mentah, pengolahan, perlakuan panas, dan penyimpanan
produk akhir adalah salah satu dari proses dasar penyebab ketengikan produk yang menuju kepada kerusakan produk Gachkar et al., 2006. Sampel pabrik
lebih mempunyai kondisi penyimpanan yang lebih baik karena dikemas dalam kemasan botol plastik tertutup. Salah satu fungsi pengemasan adalah sebagai
lapisan proteksi dari oksigen, air, debu, dan lain sebagainya sehingga dapat memperpanjang masa simpan. Sampel pasar biasanya disimpan dalam keadaan
terbuka tanpa kemasan sehingga memungkinkan adanya oksidasi terhadap antioksidan itu sendiri. Untuk itu, baik rempah pasar maupun pabrik,
penyimpanan keduanya perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya okisdasi terhadap antioksidan rempah itu sendiri.
Selain itu cara pengeringan juga mempengaruhi komponen di dalam rempah. Pengeringan matahari ini mempunyai beberapa kelemahan antara lain
kurangnya kontrol terhadap proses pengeringan yang mungkin bisa terjadi over drying dan perubahan nutrisi, kurangnya keseragaman, dan dapat
terkontaminasi oleh fungi, bakteri, burung, dan serangga.
B. Faktor protektif diukur dengan alat rancimat
Prinsip kerja dari alat rancimat ini adalah penghembusan oksigen secara terus menerus ke dalam sampel sambil dipanaskan sehingga dihasilkan
ion-ion hasil oksidasi. Ion-ion ini akan menghasilkan nilai konduktivitas tertentu yang terukur di dalam air bebas ion. Sistem kerja alat rancimat dapat
dilihat pada Gambar 13. Tujuan penggunaan air bebas ion demineralisasi adalah agar konduktivitas yang terukur hanyalah berasal dari ion produk
degradasi volatil saja. Jika digunakan air aquades biasa, dikhawatirkan masih
terdapat ion-ion dari air yang dapat menyebabkan kesalahan positif di dalam pengukurannya.
Produk O
2
degradasi volatil
Sampel Konduktivitas
Pemanas 100
o
C Air demineralisasi
Gambar 13. Sistem kerja AOM dengan alat rancimat Waktu induksi diukur sebagai waktu yang diperlukan untuk meraih titik
akhir oksidasi yang berhubungan dengan tingkat ketengikan yang dapat dideteksi atau perubahan tiba-tiba tingkat oksidasi, dan biasanya berhubungan
dengan umur simpan produk. Pressa-Owens et al., 1995. Makanan yang ditambahkan antioksidan bertujuan untuk menghambat dekomposisi oksidatif
lemak dan minyak yang terkadung di dalamnya. Metode AOM dengan alat rancimat ini dapat menghitung keefektifan antioksidan.
Tabel 1. Pemilihan minyak awal menggunakan alat rancimat 100
o
C Jenis Minyak
Periode induksi jam Happy Salad Oil
7.67 Tropicana Corn Oil
12.60 Mazola Corn Oil
19.85 Berrio Olive Oil
Extra Virgin 22.6
Pemilihan jenis minyak yang digunakan didasarkan pada periode induksi terendah. Dasar dari pemilihan awal jenis minyak ini adalah kepada
sifat minyak yang memiliki jumlah asam lemak jenuh yang banyak. Menurut sifatnya, asam lemak tak jenuh lebih cepat dioksidasi ikatannya dibandingkan
asam lemak jenuh sehingga waktu oksidasi juga semakin singkat. Minyak
yang mengandung asam lemak tak jenuh banyak, misalnya minyak jagung, minyak biji bunga matahari, minyak kedelai, minyak zaitun, dan lain
sebagainya. Keempat jenis minyak yang digunakan antara lain Happy Salad oil,
Tropicana Corn Oil, Mazola Corn Oil, dan Berrio Olive Oil. Masing-masing minyak diuji periode induksinya dengan menggunakan alat rancimat pada
suhu 100
o
C. Dari keempat jenis minyak tersebut, periode induksi yang didapatkan adalah 7.67 jam untuk Happy Salad Oil, 12.60 jam untuk
Tropicana Corn Oil, 19.85 jam untuk Mazola Corn Oil, dan lebih dari 22.6 jam untuk Berrio Olive Oil Tabel 2. Minyak dengan periode induksi
terendah adalah minyak kedelai Happy Salad Oil, sehingga untuk penggunaan minyak untuk uji selanjutnya menggunakan minyak kedelai. Gambar empat
jenis minyak untuk uji AOM dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Empat jenis minyak untuk uji AOM dengan alat rancimat Minyak kedelai merupakan hasil ekstraksi kacang kedelai dengan cara
solvent extraction meggunakan heksana. Kelebihan dari minyak kedelai, antara lain minyak tetap dalam kondisi cair pada kisaran suhu ruang, memiliki
kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi, dapat dihidrogenasi secara selektif dalam pencampuran dengan minyak cair atau semi padatan, dan ketika
dihidrogenasi secara parsial, dapat digunakan sebagai minyak tuang semi padatan. Selain itu, fosfatid, trace metal, dan sabun di dalam minyak kedelai
dapat dihilangkan sehingga didapatkan minyak dengan kualitas yang baik. Kelemahan dari minyak ini adalah jumlah fosfatid yang relatif besar 2
yang harus dihilangkan selama poses dan mengandung asam linolenat yang
tinggi 7-8 yang berperan dalam flavor dan odor reversion Sipos dan Szuhaj, 1996.
Minyak kedelai rendah kandungan lemak jenuh dan kaya akan monounsaturated fat dan polysaturated fat. Selain itu minyak ini kaya akan
asam lemak esensial linoleat dan linolenat. Total asam lemak jenuh minyak kedelai sebesar 15.0 dan total asam lemak tak jenuh sebesar 80.7. Menurut
Sipos dan Szuhaj 1996, minyak kedelai memiliki kestabilan yang paling rendah dibandingkan dengan minyak bunga matahari dan minyak kacang,
dikarenakan kandungan lemak tak jenuhnya yang tinggi dan sedikitnya jumlah komponen alami yang memberikan efek protektif antioksidan. Jumlah
tokoferol alami di dalam minyak kedelai adalah sebesar 937 mg kg minyak Kolb et al., 2002.
Jika dibandingkan dengan minyak jagung dan minyak zaitun, periode induksi minyak kedelai adalah yang terendah. Menurut Anonim 1996,
minyak jagung memiliki jumlah monounsaturated dan polyunsaturated fatty acid sebesar 84, dan minyak zaitun sebesar 81. Walaupun kadar asam
lemak tak jenuhnya tinggi, minyak jagung alami memiliki stabilitas superior karena mengandung antioksidan alami yang tinggi seperti asam ferulat dan
tokoferol Strecker et al., 1996 sehingga lebih sulit teroksidasi. Jumlah tokoferol alami dalam minyak jagung adalah 1006 mgkg minyak dan dalam
minyak zaitun adalah 133 mg kg minyak Kolb et al., 2002.
Gambar 15. BHT Butylated Hydroxy Toluene Sebagai perbandingan, dilakukan juga pengukuran periode induksi
terhadap antioksidan sintetik, yaitu BHT Butylated Hydroxy Toluene. BHT, dengan rumus kimia C
15
H
24
O, adalah komponen organik tidak larut air
berbentuk kristal putih yang banyak digunakan sebagai bahan aditif antioksidan yang dihasilkan dari reaksi p-cresol dengan isobutilen. BHT bereaksi dengan
radikal bebas, menghambat tingkat autooksidasi dalam pangan, dan mencegah perubahan warna, bau, dan rasa pangan.
Struktur kimia BHT dapat dilihat pada Gambar 15.
Periode induksi dari BHT rata-rata setelah dukurangi dengan kontrol tanpa penambahan BHT adalah 15.71 jam. Nilai ini nantinya dibandingkan
dengan periode induksi minyak yang ditambahkan ekstrak rempah sehingga didapat persentase faktor protektif. Nilai BHT dianggap memiliki faktor
proteksi sebesar 100. Menurut Domingos et al. 2007, BHT memiliki keefektifan terbesar pada kisaran konsentrasi 200 sampai 7000 ppm, BHA
Butyl Hydroxy Anisol pada konsentrasi tidak lebih dari 2000 ppm, dan TBHQ t-Butylated Hydroxy Quinone dengan konsentrasi 8000 ppm pada
minyak kedelai etil ester menggunakan alat rancimat.
Gambar 16. Perbandingan faktor protektif rempah pasar dan pabrik
10 20
30 40
50 60
70
P ro
te k
Pasar Pabrik
Pasar 10.69 1.40 0.70 13.38 58.98 2.40
Pabrik 10.88 4.58 5.82 2.16 50.88 3.68
Lada hitam
Lada putih
Jinten Ketumbar Biji pala
Kayu manis
Ekstrak hasil pemekatan dengan rotavapor Faktor protektif BHT 50000 ppm = 100
Masing-masing rempah yang ditambahkan ke dalam minyak adalah 150 mg dan dibandingkan dengan antioksidan sintetik BHT dengan jumlah
yang sama. Berdasarkan uji dengan alat rancimat yang dilakukan pada suhu 100
o
C, urutan rempah pasar yang memiliki faktor protektif tertinggi sampai terendah adalah biji pala 58.98, ketumbar 13.38, lada hitam 10.69,
kayu manis 2.40, lada putih 1.40, dan jinten 0.70. Sedangkan urutan rempah pabrik dari yang tertinggi sampai terendah adalah biji pala
50.88, lada hitam 10.88, jinten 5.58, lada putih 4.58, kayu manis 3.68, dan ketumbar 2.16. Perbandingan faktor protektif rempah
pasar dan pabrik dapat dilihat pada Gambar 16. Jika dibandingkan keduanya, rata-rata rempah pabrik memiliki faktor
protektif lebih besar dibandingkan dengan rempah pasar. Hal ini mungkin disebabkan karena ukuran partikel sampel saat diekstrak, dimana semakin
kecil ukuran partikel maka komponen yang terekstrak lebih besar. Sampel pabrik memiliki ukuran partikel yang sangat halus sehingga antioksidan yang
terkandung di dalam sampel pabrik lebih banyak terekstrak oleh pelarut etanol dan menyebabkan tingginya faktor protektif rempah pabrik yang dihasilkan
dari metode AOM dengan alat rancimat. Sedangkan rempah pasar lebih memiliki ukuran partikel yang lebih besar dibandingkan dengan rempah
pabrik, sehingga saat diekstrak oleh etanol, mungkin antioksidan yang terlarut di dalam etanol lebih sedikit dibandingkan dengan rempah pabrik dan
menyebabkan faktor protektif yang dihasilkan dari metode AOM dengan alat rancimat lebih kecil.
Dari keenam rempah tersebut, empat rempah pabrik memiliki faktor perotektif lebih besar daripada rempah pasar, antara lain lada hitam, lada putih,
jinten, dan kayu manis. Lada hitam pasar dengan pabrik memiliki faktor protektif yang kurang lebih sama, hanya berbeda 0.19. Lada putih pabrik
memiliki faktor protektif lebih besar 3.3 kali lebih besar dari lada putih pasar. Jinten pabrik memiliki faktor protektif 8.3 kali lebih besar dibandingkan
dengan jinten pasar. Kayu manis pabrik memiliki faktor protektif 1.5 kali bebih besar dibandingkan kayu manis pasar Sedangkan, dua rempah pasar
yang lebih besar faktor protektifnya daripada rempah pabrik adalah ketumbar
dan biji pala. Ketumbar pasar memiliki faktor protektif lebih besar 6.2 kali dibandingkan dengan ketumbar pabrik. Biji pala pasar memiliki perbedaan
faktor protektif lebih besar 1.2 kali dibandingkan dengan biji pala pabrik. Meskipun lada hitam dan lada putih berasal dari jenis yang sama,
faktor protektif lada hitam ternyata jauh lebih besar daripada lada putih, yang mungkin disebabkan karena adanya perbedaan saat proses pengolahannya,
dimana lada putih tidak memiliki kulit luar seperti halnya lada hitam. Sehingga aktivitas antioksidan yang dimiliki lada putih lebih kecil
dibandingkan lada hitam. Sesuai dengan Martinez et al. 2006 yang menyatakan bahwa secara signifikan lada hitam dan lada putih dapat
menghambat oksidasi lemak dan menurunkan formasi off odor, terutama lada hitam. Hal ini didukung pula oleh Chipault et al. 1952 di dalam Farrell
1990, dimana lada hitam memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lada putih.
Menurut Hirasa dan Takemasa 1998, periode induksi biji pala lebih besar tiga kalinya dibandingkan periode induksi lada hitam diukur dengan
metode AOM. Hal ini juga ditunjukkan dari hasil penelitian dimana faktor protektif biji pala jauh lebih besar, yaitu hampir lima kali lipat dari faktor
protektif lada hitam. Dari Gambar 16, hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase
protektif rempah pasar yang dimiliki kayu manis ternyata lebih rendah dibandingkan dengan biji pala, lada hitam, dan ketumbar, sedangkan untuk
rempah pabrik, persentsae faktor protektif dari yang tertinggi sampai terendah adalah biji pala, lada hitam, kayu manis, dan ketumbar. Hal ini didukung oleh
hasil uji dengan alat rancimat yang dilakukan oleh Politeo et al. 2006 terhadap biji pala, kayu manis, lada hitam, dan ketumbar. Urutan nilai indeks
aktivitas antioksidan tertinggi sampai terendah adalah biji pala, ketumbar, dan kayu manis, sedangkan lada hitam dan kayu manis memiliki indeks aktivitas
antioksidan yang sama. Menurut Chipault et al. 1952 di dalam Farrell 1990, dari keenam jenis rempah tersebut, sampel kayu manis, ketumbar, dan jinten
memiliki aktivitas antioksidan yang sama besarnya. Biji pala memiliki
aktivitas antioksidan terbesar dibandingkan dengan lima sampel lainnya yaitu sekitar tiga kali lebih besar.
Menurut Sumardi 1992, terdapat hubungan dimana jika kandungan asam lemak tidak jenuh yang tinggi di dalam rempah maka aktivitas
antioksidannya juga tinggi. Kandungan asam lemak tidak jenuh biji pala antara lain asam miristoleat dan asam oleat sebesar 35.56 dan 7.89,
sedangkan asam lemak jenuhnya adalah asam stearat sebesar 32.46. Asam lemak tidak jenuh di dalam jinten tidak terlalu tinggi, yaitu asam
eikosadienoat sebesar 10.20 dibandingkan dengan asam lemak jenuhnya yaitu asam palmitat sebesar 32.51.
C. Korelasi polifenol dan aktivitas antioksidan