31 penetesan ke bawah tidak otomatis berlangsung dengan sendirinya. Selain
PDB dan pendapatan per kapita, pemerataan juga perlu diperhatikan. Jose Luis Corragio menguraikan bagaimana growth center theory bukannya
menyebabkan penetesan perkembangan, tetapi malahan menyebabkan ketergantungan yang semakin besar dari periphery terhadap center
Weaver, 1981 dalam Nurzaman, 2002.
2.5.2. Konsep Agropolitan
Berhubung proses penjalaran atau perambatan perkembangan dari kota ke wilayah sekitar daerah inti tersebut bekerjanya lambat atau bahkan
kurang dapat dijelaskan secara meyakinkan, maka orang pun berpaling pada sisi lain dari daerah perkotaan, yaitu di pedesaan. Umumnya di negara
berkembang seperti Indonesia, daerah pedesaan merupakan sumber penghidupan dari sebagian besar penduduk. Argumentasi yang juga
menunjang pandangan ini adalah adanya keterkaitan antara pedesaan dan perkotaan. Keterkaitan itu paling tidak dalam hal pasar kota menyerap hasil
produksi desa, tenaga desa dipekerjakan di lapangan kerja kota dan fasilitas pelayanan di kota dimanfaatkan penduduk desa. Atas dasar alasan-alasan
tersebut Friedmann dan Douglass 1978 mengusulkan konsep Agropolitan.
Kata ‘agro’ merupakan istilah dari bahasa latin yang bermakna ‘Tanah yang dikelola’ atau ‘Budidaya Tanaman’ yang kemudian digunakan untuk
menunjuk berbagai aktivitas berbasis ‘Pertanian’. Sedangkan kata ‘agropolis’ berasal dari kata agro dan metropolis, yakni lokasi pusat
pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian. Jadi, pengembangan agropolitan merupakan pengembangan
32 berbagai hal yang dapat memperkuat fungsiperan ’agropolis’ sebagai lokasi
pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian. Tipologi pengembangan disesuaikan dengan karakteristik tipologi
kawasan yang dilayaninya Saefulhakim, 2004. Sitorus dan Nurwono 1998 menjelaskan bahwa persyaratan
terbentuknya Agropolitan adalah kota yang memiliki nilai tambah efisien baik dalam pelayanan jasa-jasa yang mudah dan murah dibandingkan dari
kota terdekat maupun dalam produksi dan pemasaran serta memilliki hinterland
yang kegiatan perekonomian utamanya adalah di bidang agribisnis ada rantai agribisnisnya. Interaksi spasial antar subsistem
agribisnisagroindustri dilakukan melalui peningkatan economic of scope dan economic of scale, bukan ditentukan oleh batas luasan administratifnya,
seperti desakelurahan, kacamatan, atau kabupaten.
Gambar 2. Skema keterkaitan desa dan kota dalam hubungannya dengan
interaksi spasial antar subsistem rantai agribisnisagroindustri akibat peningkatan nilai tambah Saefulhakim, 2004.
AGROPOLITAN
TUJUAN : EFISIEN
PRODUKTIF SUBSISTEM
MEKANISME PENGENDALIAN
SUBSISTEM USAHA TANI PENGGUNAAN TANAH
SUBSISTEM MANAJEMEN
INFORMASI SUBSISTEM
PEMASARAN HASIL
SUBSISTEM PENGOLAHAN
HASIL USAHA TANI Membangun KeterkaitanInteraksi Spasial antar
Subsistem Rantai AgribisnisAgroindustri Peningkatan
Nilai Tambah Lokal Pedesaan
Penguatan Sektor Pedesaan Pembangunan
Desa-Kota Berimbang
TRANSFORMASI PENINGKATAN NILAI TAMBAH ALIRAN FLOW PENGENDALI KEBIJAKSANAAN
ALIRAN FLOW INFORMASI
2.6. Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah