2.2. Adaptasi Perubahan Lingkungan dan Sistem Penghidupan
2.2.1. Adaptasi dalam Teori Ekologi Budaya Konsep adaptasi yang berkaitan dengan perubahan lingkungan pada dimensi
manusia selalu mengarah pada suatu proses, tindakan, atau outcome dari suatu sistem rumah tangga, komunitas, kelompok, sektor, wilayah, negara untuk lebih
dapat mengatasi, mengelola, atau menyesuaikan terhadap perubahan kondisi, tekanan, hazard, resiko, atau bahkan peluang Smit dan Wandel, 2006. Lebih
spesifik Forsyth 2003 menggunakan istilah environmental adaptation dalam menjelaskan adaptasi komunitas lokal masyarakat dalam cakupan yang lebih
kecil dalam merespon perubahan lingkungan. Strategi adaptasi yang dijalankan oleh komunitas lokal, boleh jadi tidak sejalan dengan kebijakan yang diambil
pemerintah dalam merespon isu perubahan lingkungan dalam skala global.
Jauh sebelum Forsyth 2003 maupun Smit dan Wandel 2006, Julian H. Steward telah menulis tentang adaptasi dalam teori ekologi budaya cultural
ecology. Pendekatan multilinier dan sosiologi sejarah untuk menelusuri perubahan lingkungan yang spesifik lokal serta kaitannya dengan perubahan
pengaturan penghidupan, sejalan dengan konsep adaptasi dalam teori ekologi budaya cultural ecology dari Julian Steward. Pikiran Steward ini diikuti oleh
ilmuwan-ilmuwan di Universitas Chicago, dan menghasilkan pula beberapa aliran, menurut Putra 1994 setidaknya ada 4, yaitu: 1 pendekatan etnoekologi,
2 pendekatan ekologi silang budaya cross cultural ecological approach, 3 pendekatan ekosistemik kultural, dan 4 pendekatan ekosistemik materialistik.
Pendekatan yang populer dan berkembang hingga saat ini adalah pendekatan ekosistemik materialistik, pendekatan ini berkembang menjadi antropologi
ekologi baru atau lebih dikenal dengan ekologi manusia human ecology.
Julian H. Steward Steward, 1955; Rambo, 1983 memandang bahwa budaya suatu masyarakat tumbuh dan berkembang dari proses adaptasi terhadap
kondisi lingkungan bio-fisik dan perubahan-perubahannya. Pusat dari perkembangan budaya tersebut adalah pengaturan-pengaturan teknologi dan
ekonomi tekno-ekonomi yang disebutnya sebagai inti budaya culture core. Inti budaya akan menjadi pemandu prilaku anggota-anggota masyarakat dalam
menjalankan aktivitas subsisten dan dalam mengembangkan budaya di luar inti budaya. Budaya selain inti budaya culture non core adalah budaya immaterial
yang mendukung tumbuh kembangnya inti budaya, antara lain: religi, nilai-nilai, seni, bahasa, dan ritual.
Sanderson 1993 menggolongkan kebudayaan material sebagai infrastruktur material teknologi, ekonomi, ekologi, demografi, sedangkan
Steward 1955 menggolongkan sebagai culture core tekno-ekonomi, demografi. Kebudayaan non material terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, hukum, dan kebiasaan, Sanderson 1993 menyebutnya sebagai superstruktur ideologis, sedangkan Steward 1955 menggunakan istilah non
culture core.
Hal-hal mendasar yang harus ada dalam ekologi budaya menurut pandangan Julian H. Steward Steward, 1955, Rambo, 1983, adalah:
Analisis hubungan timbal-balik antara teknologi dan lingkungan. Teknologi dapat berupa eksploitatif teknologi dan produktif teknologi yang merupakan
bagian dari material culture. Analisis bentuk-bentuk prilaku yang berkaitan dengan eksploitasi pada suatu
area dengan menggunakan teknologi tertentu. Penentuan sejauhmana bentuk-bentuk prilaku tersebut berhubungan dengan
aspek-aspek budaya yang lainnya pendekatan holistik. Proses adaptasi dilihat pada aras yang berbeda-beda dan dilihat dalam suatu
perkembangan sejarah. Proses adaptasi yang bersifat spesifik lokal, dapat dibedakan berdasarkan aras keluarga, aras komunitas, dan aras negara. Adaptasi
seperti ini merupakan ciri dari evolusi multiliner yang dikembangkan Steward di dalam ekologi budaya Steward, 1955, Zimmerer, 2004. Konsep utama dalam
ekologi budaya yang dikembangkan oleh Julian H. Steward adalah sosialisasi, adaptasi, perilaku, inti budaya culture core, non inti budaya culture non core,
dan evolusi multilinier.
Teori ekologi budaya mengasumsikan bahwa budaya tidak lagi dapat dipandang hanya sebagai suatu sistem yang terbentuk dari praktek-praktek terpola
atas sikap dan nilai-nilai yang diyakini bersama. Budaya juga terbentuk dari prilaku manusia dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungannya. Perubahan
budaya dapat dilacak melalui penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan terhadap perubahan lingkungan oleh masyarakat pada berbagai aras. Penyesuaian yang
dilakukan diawali dengan perubahan teknologi dan pengaturan yang bersifat produktif, diikuti oleh pengaturan dalam pengorganisasian masyarakat dan aspek-
aspek demografi Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Ilustrasi Teori Adaptasi Ekologi Budaya Steward, 1955; Richerson
et al. 1996
Sosialisasi dalam adaptasi ekologi budaya dipandang sebagai proses dimana manusia berusaha menyerap isi kebudayaan yang berkembang di tempat
kelahirannya, terutama yang berkaitan dengan non inti budaya religi, nilai-nilai bersama, ritual, bahasa, seni, dan adat-istiadat. Sanderson 1993 berpendapat
bahwa proses sosialisasi sangat penting dilihat dalam transmisi budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya, namun Steward 1955 memandang bahwa dalam
ekologi budaya sosialisasi harus disandingkan dengan adaptasi. Manusia bertindak dan berpikir dengan cara tertentu karena telah disosialisasikan dalam
budaya yang mereka terima, serta dengan cara mereka beradaptasi pada lingkungannya.
Konsep adaptasi adaptation harus dibedakan dengan kondisi dimana masyarakat telah beradaptasi adaptedness. Pembedaan tersebut penting, karena
dalam penerapannya kedua konsep ini dapat sejalan dan dapat pula tidak. Adaptedness adalah kondisi dimana suatu masyarakat telah beradaptasi,
sedangkan adaptation adalah suatu cara dimana masyarakat mengelola atau merespon lingkungannya Sanderson, 1993; Steward, 1955; Smith Wandel,
2006. Aktivitas Menongkah dapat dipandang sebagai suatu sistem penghidupan yang paling baik bagi komunitas Suku Duano, dimana mereka telah beradaptasi
adaptedness dengan lingkungan laut dalam perjalan sejarah mereka. Penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan lingkungan sosial dan bio-fisik
terus berlangsung pada aras rumah tanggaindividu, sehingga menghasilkan adaptasi yang lebih baru daripada yang lebih baik pada aktivitas menongkah.
Menongkah dalam pandangan teori ekologi budaya merupakan aktivitas subsisten dengan pengaturan-pengaturan tekno-ekonominya, budaya immaterial
akan tumbuh dan berkembang dari aktivitas ini, begitupun prilakutindakan aktor akan diatur dan diorientasikan pada kedua hal tersebut. Menongkah akan
berkembang menjadi budaya seputar pengaturan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi sumberdaya yang dimanfaatkan atau dipertukarkan. Konsep inti
budaya dalam teori ekologi budaya, dalam penelitian ini disamakan atau disandingkan dengan konsep budaya bernafkah livelihood culture. Menongkah
juga akan mendorong tumbuhnya budaya immaterial, misalnya ritual menongkah atau tari menongkah dan lainnya.
Perubahan sosial dan perubahan sistem penghidupan masyarakat komunitas lokal yang dijelaskan dalam teori ekologi budaya Steward, 1955;
Richerson et al., 1996; Rambo, 2004, memiliki kelemahan jika digunakan untuk menjelaskan proses adaptasi masyarakat asli yang telah berinteraksi luas dengan
dunia luar. Budaya-budaya yang tumbuh dan berkembang dari proses adaptasi sebagaimana yang dijelaskan oleh Steward 1955, tidak lagi steril dari proses
tradisionalisasi Li, 2002 atau yang diistilahkan Kahn 2002 sebagai kulturisasi pembudayaan.
Li 2002 menjelaskan bahwa proses tradisionalisasi menunjuk pada suatu upaya penataan adat secara sistematis yang dilakukan oleh negara. Proses seperti
ini telah berlangsung sejak era kolonial dan berlanjut dalam modernitas Indonesia. Berbagai tradisi dan kebiasaan adat ditata secara sistematis oleh para pakar dan
pejabat, dan selanjutnya dipakai sebagai dasar dalam menjalankan pemerintahan. Kelompok-kelompok yang mengalami penataan adat secara sistematis melihat
bahwa kebiasaan mereka diambil dari kenyataan sehari-hari, kemudian disusun dan diangkat sebagai hukum untuk ditegakkan oleh para tetua adat. Li 2002
selanjutnya memberikan kesimpulan bahwa tradisi dan keanekaragaman budaya pada masyarakat tradisi di Indonesia terbentuk melalui proses adaptasi ekosistem,
transmisi budaya, dan penataan adat tradisionalisasi secara bersamaan.
Kesimpulan yang diberikan oleh Li 2002 didukung oleh fakta empiris yang ditemukan oleh Kahn 2002 pada petani Minangkabau, Schrauwers 1998;
2002 pada peladang masyarakat To Pamona, dan Ruiter 2002 pada petani kebun Batak Karo. Kahn 2002 menemukan bahwa jenis-jenis hirarki sosial yang
timbul di pedalaman Sumatera masyarakat Minangkabau sangat berkaitan bukan sekedar dengan tradisi yang telah ada, tetapi juga dengan proses pembentukan
negara modern dan investasi asing.
Schrauwers 1998; 2002 menjelaskan bahwa tradisi bertukar tenaga kerja yang dilakukan oleh peladang berpindah masyarakat To Pamona merupakan
budaya yang tumbuh dari campur tangan pemerintah dan gereja pada upacara bertukar hadiah; bahasa daerahnya posintuwu dengan kekerabatan yang tumbuh
dari budaya rumah panjang. Selanjutnya Ruiter 2002 menggambarkan bahwa terbentuknya budaya pertanian menetap padi dan karet masyarakat Karo di
pinggiran perkebunan kolonial di dataran tinggi Langkat, karena adanya kepentingan politik pemerintah kolonial untuk mempertahankan masyarakat Karo
di sekitar perkebunan dan sikap hidup orang Karo yang menolak menjadi karyawan upahan di perkebunan.
Perubahan lingkungan tidak saja berkaitan dengan adaptasi dan budaya bernafkah. Perubahan lingkungan juga menyebabkan penyesuaian-penyesuaian
dalam pengaturan penghidupan pada semua aras. 2.2.2. Penyesuaian Pengaturan Penghidupan pada Berbagai Aras
Pengaturan penghidupan pada berbagai aras, mulai dari komunitas, rumah tangga, dan individu, menjadi perhatian yang sangat penting dalam studi
perubahan lingkungan dan penghidupan. Kemampuan suatu komunitas, rumah tangga, atau individu dalam mengatur dan mengorganisasikan cara, teknik, dan
strategi dalam merespon perubahan lingkungan, dalam upaya mempertahankan eksistensi kehidupannya, penting untuk diungkap dalam penelitian ini.
Pengaturan aktivitas nafkah pada berbagai aras menunjukkan realitas sosial yang berbeda-beda. Johnson 1988 menyatakan terdapat 4 tingkatan realitas
sosial yang berbeda secara analitis dan menjadi fokus perhatian yaitu aras individual, aras antarpribadi interpersonal, aras struktur sosial, dan aras budaya.
Realitas sosial pada aras individual menempatkan individu sebagai fokus perhatian dalam analisis, termasuk sub-arasnya yaitu perilaku, tindakan sosial,
persepsi, motivasi, dan rasionalitas. Aktivitas nafkah pada aras individual tentunya berkaitan dengan hal-hal tersebut, antara lain tindakan ekonomi,
motivasi berusaha, dan rasionalitas ekonomi. Ritzer Ritzer Goodman, 2004 memandang bahwa pada aras ini realitas sosial sebagai suatu definisi sosial,
sosiologi Weberian banyak bermain pada aras ini.
Aras antar pribadi menempatkan interaksi antar pribadi sebagai fokus perhatian, meliputi komunikasi simbolis, penyesuaian timbal balik, kerja sama
antar pribadi, koflik antar pribadi, dan pola adaptasi bersama. Fokus sosiologi nafkah pada aras ini adalah aktivitas nafkah rumah tangga atau strategi nafkah
livelihood strategy rumah tangga.
Realitas sosial pada aras struktur sosial memusatkan perhatian pada pola- pola tindakan dan jaringan-jaringan interaksi yang disimpulkan dari pengamatan
terhadap keteraturan dan keseragaman yang terdapat dalam suatu waktu dan