Aspek Ekologikal Livelihood place
1722 1932
1960 1970
2001 2005
2013
Ekosistem laut Ekosistem pesisir
Ekosistem muara-pantai Ekosistem muara-pantai + daratan
Perairan
Penurunan kualitas perairan
Kedalaman sungai
Pendangkalan
Pantai
Abrasi
Lahan tanah
Erosi, penurunan tutupan lahan, delta semakin luas
Hutan rawa gambut, mangrove
Konversi hutan rawa gambut, mangrove rusak, konservasi mangrove
Konservasi mangrove
Ikan, udang, cumi
Penurunan Stok
Aspek sosiokultural Kelembagaan
1722 1932
1960 1970
2001 2005
2013
Non formal Formal dan non formal
Norma sosial
Tidak tertulis Tidak tertulis dan tertulis, bersumber dari nilai bersama Suku Duano dan negara
Lapisan sosial
Berdasarkan keturunan Berdasarkan keturunan, kepemilikan aset ekonomi, pendidikan
Struktur agraria
Feodal Kolonial
Sosialis Kapitalis
Neo-kapitalis
Struktur demografi
Endogami, fertilitas dan mortalitas sebanding, sea nomads
Endogami+eksogami, migrasi antar desa, fertilitas lebih tinggi dari mortalitas
Pemanfaatan Ekosistem lokal
Comunity dominant State
dominant Private dominant
Co-management
Pengetahuan lokal
Mistis, mitos, tradisi Tradisi +
religi Tradisi, religi, modernisasi perikanan
Tradisi, religi, sustainability
Ideologi
Kerajaan Malaka-Siak-Indragiri, Islam
Indonesia, Pancasila
Pertumbuhan, Pasar kapitalisme semu Konservasionis, Eco-populisme,
Neo-kapitalisme, indigenisme
Sistem nilai
Islam-Melayu Islam, Melayu, Bhineka Tunggal Eka
Perubahan Lingkungan
1722 1932
1960 1970
2001 2005
2013 Tonggak Sejarah
Gambar 5.1. Tonggak-tonggak Sejarah Perubahan Lingkungan Suku Duano
Sejak tahun 1722, Livelihood place Suku Duano mengalami perubahan, mereka berpindah ke perairan dangkal di antara pulau kecil dan terpencil. Suku
Duano berpindah-pindah di perairan yang termasuk dalam wilayah Kerajaan Siak yang dipimpin oleh Raja Kecil. Wilayah perairan yang menjadi kekuasaan
Kerajaan Indragiri juga sering dilalui oleh Suku Duano, yaitu perairan Selat Berhala, karena wilayah kedua kerajaan tersebut saling berbatasan. Pengaruh
ideologi yang dipegang oleh kerajaan islam dan nilai-nilai dari falsafah melayu sangat mempengaruhi lingkungan sosial Suku Duano.
Livelihood place Suku Duano kembali mengalami perubahan pada tahun 1930-an. Tepatnya sejak tahun 1932 dengan diangkatnya Ismail sebagai Panglima
Raja untuk wilayah Concong Laut oleh Raja dari Kerajaan Indragiri. Suku Duano mulai membangun pemukiman di wilayah pulau Concong Laut, meskipun rumah-
rumah yang dibangun lebih berfungsi sebagai tempat mereka menetap selama cuaca di laut tidak bersahabat. Suku Duano lebih banyak melakukan aktivitas
nafkah di wilayah pesisir Selat Berhala, dan sering pula masuk ke sungai dan anak-anak sungai DAS Indragiri.
Tonggak sejarah penting perubahan lingkungan Suku Duano selanjutnya adalah pada tahun 1960-an. Perubahan sosiokultural sangat dominan sejak
dimukimkannya Suku Duano di desa-desa muara-pantai Kabupaten Indragiri Hilir sejak tahun 1960. Melalui program PKMT, negara melakukan penataan sosial,
ekonomi, dan politik terhadap Suku Duano. Perubahan dalam ideologi, sistem nilai, pengetahuan lokal, pola pemanfaatan ekosistem, struktur demografi, struktur
agraria, dan kelembagaan terjadi dalam lingkungan sosial Suku Duano. Livelihood place Suku Duano berubah dari ekosistem pesisir menjadi ekosistem muara
pantai.
Program modernisasi perikanan yang dikenal dengan revolusi biru yang dimulai pada tahun 1970-an, banyak menyebabkan perubahan lingkungan Suku
Duano baik pada aspek ekologikal maupun sosiokultural. Perubahan tersebut terus terjadi sampai dengan awal-awal era reformasi. Lingkungan bio-fisik yang
berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan aktivitas nafkah Suku Duano mengalami degradasi. Lingkungan sosial Suku Duano yang terdiri dari
infrastruktur sosial, struktur sosial, dan supra-struktur sosial pun turut mengalami perubahan karena kuatnya intervensi negara dan pasar dalam kehidupan mereka.
Perubahan lingkungan kembali terjadi di awal era reformasi. Penguatan nilai-nilai lokal, keberlanjutan, ramah lingkungan, pengelolaan bersama, menjadi
tema-tema penting alam pembangunan nasional, khususnya pertanian dan pedesaan. Degradasi lingkungan bio-fisik di wilayah laut dan pesisir mulai
dibenahi melalui program Marine and Coastal Resources Management Project MCRMP sejak tahun 2001 sampai 2006. Bersamaan dengan pembenahan
lingkungan bio-fisik, aspek sosiokultural Suku Duano juga banyak dipengaruhi oleh ideologi-ideologi konservasionisme, neo-populisme, dan neo-kapitalisme.
Tonggak sejarah penting menjelang berakhirnya program MCRMP adalah program promosi budaya Suku Duano dari pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir.
Program ini mempengaruhi lingkungan sosial Suku Duano, yaitu pada aspek kelembagaan dan norma sosial. Kelembagaan adat Suku Duano semakin
dikuatkan, aturan-aturan dan sanksi yang bersumber dari nilai-nilai lokal semakin
dipatuhi dan menjadi acuan dalam pemilikan, penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber-sumber agraria Suku Duano.
5.1.2. Perubahan Ekologikal
Dimensi perubahan yang terjadi pada lingkungan bio-fisik atau livelihood
place Suku Duano dapat dikelompokkan menjadi perubahan jangka pendek everyday, perubahan temporer episodic, dan jangka panjang systemic.
Pengelompokkan tersebut mengacu pada pengelompokan yang dilakukan oleh Bryant 1998 dan Bryant and Bailey 2000. Beberapa contoh penyebab dari
perubahan lingkungan bio-fisik yang terjadi di berbagai lokasi yang diberikan oleh Bryant 1998 dan Bryant and Bailey 2000, yaitu: perubahan jangka pendek
yang disebabkan oleh erosi tanah, deforestasi, dan salinisasi; perubahan temporer yang disebabkan oleh banjir, angin ribut, badai, dan kekeringan; dan perubahan
jangka panjang yang disebabkan oleh radiasi atau ledakan nuklir, konsentrasi pestisida, dan mutasi genetis.
Beberapa perubahan ekologikal yang disebabkan oleh hal-hal tersebut
terjadi pula pada livelihood place Suku Duano. Livelihood place Suku Duano yang terpenting adalah ekosistem perairan, baik ekosistem sungai maupun
ekosistem muara-pantai, meskipun ekosistem tersebut tidak dapat dipisahkan dari pengaruh ekosistem lain. Perubahan lingkungan bio-fisik yang dirasakan langsung
maupun tidak langsung dan yang disadari maupun yang tidak disadari oleh Suku Duano disajikan pada Tabel 5.1.
Salah satu aspek perubahan ekologikal dari sungai dan muara-pantai di Indragiri Hilir adalah terjadinya penurunan kualitas perairan. Indikasi penurunan
kualitas perairan sungai dapat dilihat dari tingkat kekeruhan, keberadaan sampah, maupun dari parameter fisika-kimia lain yang harus diteliti di laboratorium,
seperti padatan tersuspensi, COD, senyawa fenol, dan kandungan logam berat.
Tingkat kekeruhan sungai di lokasi penelitian yaitu Sungai Concong secara visual dapat dilihat ketika perjalanan dari dan ke lokasi penelitian. Perairan
Sungai Concong berwarna coklat muda dan terlihat partikel-partikel halus berupa lumpur yang teraduk di dalam air sungai. Kekeruhan perairan di muara dan laut
jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan perairan Sungai Concong. Semakin menjauh dari sungai menuju ke laut lepas, warna coklat perairan terlihat semakin
cerah.
Informasi yang diperoleh dari masyarakat setempat bahwa kondisi Sungai Concong, muara, dan laut saat ini jauh lebih keruh dari sebelum-sebelumnya.
Penurunan kualitas perairan Sungai Concong juga diindikasikan oleh banyaknya sampah-sampah yang hanyut di sepanjang sungai, baik sampah domestik dari
penduduk yang tinggal di sepanjang DAS maupun rating-ranting kayu.
AHG 36 tahun yang sehari-hari mengemudikan speedboat speed pancung dari rute Concong Luar-Tembilahan pulang-pergi. Beliau telah mondar-
mandir Concong Luar-Tembilahan sejak berusia 18 tahun sebagai ABK, sampai saat ini menjadi nakhoda. Keterangan yang diberikan oleh AHG bahwa “....dahulu
jika musim hujan, perairan yang dilaluinya terlihat lebih cerah, tetapi saat ini jika hari hujan justru perairan bertambah keruh.”
Tabel 5.1. Perubahan Ekologikal dari Livelihood Place Suku Duano
Perubahan Lingkungan Bio-fisik
Dimensi Perubahan
Indikasi Ekosistem Sungai
1. Penurunan kualitas perairan
1. Jangka pendek
everyday
1. Kekeruhan, dan padatan tersuspensi melebihi baku mutu
air bagi biota sungai, banyaknya sampah di sungai
2. Pendangkalan 2. Jangka
pendek everyday
2. Data kedalaman lama tidak cocok lagi dengan pengamatan
terbaru
Ekosistem Muara-Pantai 1. Penurunan kualitas
perairan 1. Jangka
pendek everyday
1. Kekeruhan, padatan tersuspensi, COD, senyawa
fenol, dan kandungan logam berat melebihi baku mutu air
bagi biota laut
2. Erosi pantai 2. Jangka
pendek everyday
2. Runtuhnya tebing pantai, pantai
semakin landai
3. Rusaknya hutan mangrove
3. Jangka pendek
everyday
3. Kerapatan hutan yang semakin
jarang
4. Pendangkalan 4. Jangka
pendek everyday
4. Data kedalaman lama tidak cocok lagi dengan pengamatan
terbaru
5. Delta semakin luas 5. Jangka
pendek everyday
5. Munculnya tanah timbul, delta,
dan pulau kecil baru Ekosistem lainnya daratan
1. Berkurangnya tutupan lahan
1. Jangka pendek
everyday
1. Bertambahnya lahan-lahan
kritis
2. Konversi hutan menjadi perkebunan
2. Jangka pendek
everyday
2. Perkebunan kelapa sawit
semakin luas
Sumber: Diolah dari Pengamatan Lapangan, Wawancara, dan Data Sekunder AHG juga menyatakan, bahwa “....dahulu pada saat musim gelombang
tinggi, rute yang diambil adalah jalur dalam menyusuri sungai concong untuk menghindari hempasan gelombang, sehingga keselamatan dan kenyamanan
selama perjalanan dapat terjaga. Saat ini pikir-pikir dahulu jika hendak melalui jalur dalam, walaupun aman dari gelombang, tetapi banyak sampah-sampah yang
hanyut disepanjang sungai. Perjalanan melalui jalur dalam harus dilalui dengan hati-hati untuk menghindari sampah-sampah dan kayu-kayu yang hanyut.
Sampah-sampah yang hanyut dapat terbelit di baling-baling, atau kayu yang hanyut dapat menghantam pancung. Perjalanan melalui jalur dalam menjadi jauh
lebih lama, sehingga kurang menguntungkan. Perbedaan antara jalur dalam dan jalur luar yang dulunya satu jam, sekarang dapat mencapai 2 sampai 2,5 jam.”
Hasil pengamatan secara visual dan wawancara dengan masyarakat tersebut, sejalan dengan hasil studi yang dilakukan oleh beberapa peneliti kelautan dan
perikanan di Indragiri Hilir. Hilmi 2010 menyatakan bahwa tingkat kekeruhan perairan di Indragiri Hilir pada berbagai titik sampling berkisar antara 20-97 NTU
dengan padatan tersuspensi berkisar antara 60-750 mgl. Kondisi kekeruhan dan padatan tersuspensi ini melebihi baku mutu air untuk kegiatan budidaya perikanan
maupun taman laut konservasi berdasarkan Kepmen No. 2MENLHI1988.
Kondisi fisika-kimia perairan Concong yang harus dilakukan pengujian di laboratorium dapat ditelusuri dari hasil studi Nasution 2009, dimana suhu
perairan berkisar antara 29-30,3°C, pH berkisar antara 7-7,3, DO berkisar antara 4,1-4,3 ppm, salinitas berkisar antara 24,3-28,6
o oo
, dan kecerahan berkisar antara 38,3-42 cm. Kondisi tersebut masih aman untuk perairan estuaria asalkan tidak
terdapat senyawa beracun di perairan. Perubahan lingkungan bio-fisik perairan juga terjadi dalam bentuk abrasi
dan sedimentasi. Sedimen yang ditemukan di muara-pantai Indragiri Hilir adalah lanau, pasir, dan lumpur yang diakibatkan oleh proses fluvial. Sedimen-sedimen
telah membentuk beting pada muara sungai dan di sekitar pantai. Terbentuknya beting tersebut menurut hasil penelitian dari PKSPL IPB Bapedalda Kab. Inhil
PKSPL IPB, 2002 diakibatkan oleh tingginya volume sedimen yang berasal dari sungai, serta energi gerak air tidak mampu menyebarkan sedimen. Tingginya laju
eksresi di daerah ini, khususnya pada sistem muara Sungai Indragiri dan Sungai Gangsal, telah menyebabkan beting berubah menjadi delta ataupun pulau-pulau
kecil di muara sungai.
Pendangkalan shoaling yang mengakibatkan tanah timbul beting sangat jelas terlihat pada citra landsat Gambar 5.2. Daerah yang dangkal di perairan
pesisir dapat dikenali dengan warna biru keunguan sedangkan bagian dalam berwarna hitam Bapedalda Kab. Inhil PKSPL IPB, 2002. Salah satu indikasi
yang menunjukkan terjadinya pendangkalan adalah kedalaman alur pelayaran yang diterbitkan dinas hidro-oseanografi TNI-AL sudah tidak sesuai lagi,
terutama pada alur ke arah laut dari muara sungai. Bagian alur pelayaran yang mengalami pendangkalan adalah wilayah pantai dari muara sungai Indragiri dan
sungai Kuala Enok.
Perubahan yang cukup penting dari lingkungan bio-fisik ekosistem muara di Indragiri Hilir adalah kondisi hutan mangrove yang berada dalam kondisi
mengkhawatirkan. Studi yang dilakukan oleh Hilmi pada tahun 2005 menunjukkan bahwa dari 121.535,31 ha luasan hutan mangrove di Indragiri Hilir,
yang termasuk dalam kategori rusak seluas 66.355,11 ha 54,60 dan rusak berat seluas 55.180,19 ha 45,40. Angka ini menunjukkan tidak ada lagi hutan
mangrove yang termasuk dalam kategori baik atau kerapatan padat. Kerusakan mangrove terjadi hampir merata di seluruh wilayah pesisir Indragiri Hilir, yang
diindikasikan oleh kerapatan sedang dan sangat jarang Hilmi, 2010. Luas hutan mangrove pada tahun 2005 tersebut, jika dibandingankan dengan data tahun 2012
saat ini sangat jauh berkurang, yaitu dari 121.535,31 ha menjadi 63.534,01 ha atau sekitar 52.