menolong dan memelihara anak-anak atau bayi-bayi terlantar Zaini, 2002:55.
2.2. Tinjauan Umum Mengenai Pengangkatan Anak
2.2.1. Sejarah Pengangkatan Anak Di Indonesia
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW tidak ditemukan ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau anak angkat. Masalah yang
diatur dalam BW hanya ketentuan mengenai pengakuan anak di luar kawin, yaitu seperti yang diatur dalam Buku 1 Bab 12 bagian ketiga BW, tepatnya
pada pasal 280 sampai pasal 289 yang substansinya mengatur tentang pengakuan terhadap anak di luar kawin. Mengingat kebutuhan masyarakat
tentang pengangkatan anak menunjukkan angka yang meningkat, di samping kultur budaya masyarakat Indonesia asli dan masyarakat keturunan Tionghoa
telah lama mempraktekkan pengangkatan anak, maka Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad yang isinya mengatur secara khusus
tentang lembaga pengangkatan anak guna melengkapi Hukum Perdata Barat. Adopsi menurut Mr. C. Van Vollenhoven dalam “Het Adatrecht van
Nederlandsch- Indie”, Brill, Leiden, 1931, Jilid II halaman 61 dan seterusnya
menjelaskan bahwa adopsi ialah pengambilan anak laki-laki. Maksudnya untuk menjelaskan bahwa hukum yang berlaku bagi orang Cina adalah sifat
“Kebapakan” Kamil, 2010:20
Konsepsi pengangkatan anak di Jawa terletak pada kenyataan bahwa adopsi bukan kewajiban, tetapi suatu hak, yang bukan saja oleh pihak laki-laki
menurut hukum “kebapakan”,tapi juga oleh suami dan istri bersama-sama menurut jiwa hukum “keibu-bapakan” dibenarkan mengambil seorang anak
laki-laki maupun perempuan untuk dijadikan anak angkatnya, dan anak angkat itu tidak perlu mempunyai klan yang sama dengan orang tua angkatnya.
Pengangkatan anak pada masa Kolonial merupakan suatu kebutuhan masyarakat dan menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan, karena
menyangkut kepentingan orang-perorangan dalam keluarga. Pada dasarnya lembaga pengangkatan anak adopsi merupakan bagian dari hukum yang
hidup dalam masyarakat. Pemerintah Hindia-Belanda berusaha untuk membuat suatu aturan yang tersendiri tentang adopsi ini, maka dikeluarkan
oleh Pemerintah Hindia-Belanda Staatblad Nomor 129 Tahun 1917, yang mengatur tentang pengangkatan anak. Dalam Staatblad tersebut, khusus Pasal
5 sampai Pasal 15 yang mengatur masalah pengangkatan anak adopsi bagi golongan masyarakat Tionghoa. Sejak itulah Staatblad 1917 Nomor 129
menjadi ketentuan hukum tertulis yang mengatur pengangkatan anak adopsi bagi kalangan masyarakat Tionghoa, dan tidak berlaku bagi masyarakat
Indonesia asli, maka bagi masyarakat Indonesia asli berlaku hukum adat yang termasuk didalamnya adalah ketentuan hukum Islam Kamil, 2010:23.
2.2.2. Pengertian Pengangkatan Anak