Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Zat Pengatur Tumbuh

Di Indonesia perbanyakan anggrek kuping gajah belum pernah dilakukan, khususnya dengan teknik kultur jaringan. Sehingga, berbagai informasi mengenai perbanyakan anggrek dengan kultur jaringan ini belum ada. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan penelitian awal dalam upaya memperbanyak anggrek kuping gajah melalui kultur jaringan. Menurut Wetherell 1982, tahap awal yang harus dilakukan dalam kegiatan kultur jaringan adalah sterilisasi eksplan. Sterilisasi ini dilakukan untuk mensucihamakan dan membebaskan eksplan dari mikroorganisme, sehingga bisa ditumbuhkan dalam media kultur dengan kondisi yang aseptik. Menurut Sandra dan Medi 2002, sterilisasi merupakan permasalahan utama yang menentukan keberhasilan kultur jaringan, terutama sterilisasi eksplan yang berasal dari luar atau lapang. Jika sterilisasi gagal maka kegiatan selanjutnya tidak bermanfaat. 1

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh dari beberapa perlakuan sterilisasi terhadap eksplan anggrek kuping gajah dalam kultur in vitro.

1.3 Manfaat Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi awal mengenai sterilisasi eksplan yang sesuai, sehingga ke depan bisa dilakukan penelitian kultur jaringan dengan tujuan pengembangan ke arah pemuliaan dan perbanyakan. Setelah perbanyakan berhasil dilakukan maka diharapkan dapat merubahmenghapus status anggrek kuping gajah dari CITES Apendiks II atau Genting Endangered menjadi CITES Non Apendiks. 1 Sandra, E. dan L. Medi. Garis Besar Bahan Kuliah Pelatihan Kultur Jaringan. Unit Kultur Jaringan Laboratorium Konservasi Tumbuhan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor, 2002, hal 16. II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anggrek Kuping Gajah Bulbophyllum beccarii Rchb.f

2.1.1 Taksonomi

Taksonomi dari anggrek kuping gajah Bulbophyllum beccarii Rchb.f menurut Tjitrosoepomo 1988 adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisio : Magnoliophyta Klas : Liliopsida Ordo : Asparagales Famili : Orchidaceae Genus : Bulbophyllum Spesies : Bulbophyllum beccarii Gambar 1 Anggrek kuping gajah Bulbophyllum beccarii Rchb.f Sumber : The Wikimedia Foundation Inc. 2006.

2.1.2 Morfologi

Anggrek kuping gajah merupakan tumbuhan pemanjat sempurna dan termasuk jenis efipit. Diameter umbi batang semu rhizome mencapai 2.5-20 cm, gemuk, memanjat dengan bentuk melingkar spiral di pohon. Akar banyak sepanjang rhizome dengan diameter 1-3 mm. Umbi semu pseudobulbs panjangnya 18-19 cm secara terpisah. Daun panjangnya bisa mencapai 26-50 x 18.5-38 cm. Tangkai bunga panjangnya 12-43 x 7-14 cm dengan dihiasi banyak bunga yang rapat. Bunga 2 x 1.5 cm dengan bau yang kurang sedap, berwarna ungu kehitam-hitaman. Bakal buah panjangnya 2-3 cm. Kelopak tengah panjangnya 1.2 x 0.4-0.45 cm. Kelopak sisi kiri panjangnya 1.5-1.6 x 0.5-0.7 cm triangular-ovate. Tajuk bunga panjangnya 0.9-1 x 0.25-0.3 cm. Bibir bunga 0.5-0.6 cm, 0.3 lebar pada dasar. Tiang mercu bunga 3-3.5 mm, pollen berjumlah empat Handoyono dan Prasetya 2006; Hawkes 1965; Wood 1997. Untuk bagian-bagian anggrek dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Bagian-bagian anggrek kuping gajah Bulbophyllum beccarii Rchb.f Keterangan gambar : A. Akar G. Bibir bunga lip B. Daun H. Bakal buah pedicel with ovary C. Bunga I. Tiang mercu bunga column D. Kelopak tengah dorsal sepal J. Tudung kepala sari anther-cap E. Kelopak sisi kiri lateral sepal K. Polen pollinia F. Tajuk bunga petal

2.1.3 Habitat dan Ekologi Anggrek kuping gajah tumbuh di hutan tanah podsol bersama genus

Dacrydium, Rhododendron, Tristania, dan lain-lain; hutan rawa tanah gambut bersama spesies Shorea albida, hutan dataran rendah Dipterocarpaceae dengan ketinggian 600 m dpl, serta di hutan kerangas Chan et. al. 1994; Hawkes 1965; Wood 1997.

2.1.4 Penyebaran

Anggrek kuping gajah tersebar di Brunei, Borneo Kalbar merupakan spesies endemik, Sabah di daerah Nabawan bagian atas sungai Kinabatangan, dan Sarawak Taman Nasional Bako, distrik Betong, hutan Saribas Chan et. al. 1994; Handoyono dan Prasetya 2006; Hawkes 1965; Wood 1997. 2.2 Kultur Jaringan 2.2.1 Pengertian Kultur Jaringan Kultur jaringan tissue culture adalah suatu teknik mengisolasi bagian- bagian tanaman sel, sekelompok sel, jaringan, organ, protoplasma, tepung sari, ovari dan sebagainya, ditumbuhkan secara tersendiri, dipacu untuk memperbanyak diri, akhirnya diregenerasikan kembali menjadi tanaman lengkap yang mempunyai sifat sama seperti induknya dalam suatu lingkungan yang aseptik bebas hama dan penyakit. Selanjutnya Teknik ini juga disebut kultur in vitro in vitro culture yang artinya kultur di dalam wadah gelas Nugroho dan Sugito 2002; Wattimena et al. 1992. Menurut Albert et al. 1994 pakar biokimia dan pakar biologi berpendapat bahwa in vitro mengacu pada reaksi-reaksi biokimia yang berlangsung di luar sel hidup. Sedangkan in vivo mengacu ke reaksi-reaksi yang berlangsung dalam sebuah sel hidup. Menurut Wetherell 1982 bahwa sel atau jaringan tanaman pada dasarnya dapat ditanam secara terpisah dalam suatu kultur in vitro. Sel dan jaringan yang ditanam dengan cara ini, memiliki kemampuan untuk regenerasi bagian-bagian yang diperlukan dalam upayanya untuk bisa tumbuh dengan normal, membentuk kembali menjadi tumbuhan yang utuh. Dengan kata lain bahwa di dalam masing- masing sel tumbuhan mengandung informasi genetik dan atau sarana fisiologis tertentu yang mampu membentuk tanaman lengkap bila ditempatkan pada lingkungan yang sesuai. Kemampuan inilah yang kemudian dikenal sebagai totipotensi. Kultur jaringan terdiri atas beberapa tahap kegiatan. Profesor Murashige dari Universitas California membagi kultur in vitro dalam tiga tahap. Tahap I yang juga di sebut sebagai tahap persiapan eksplan, di mana eksplan disucihamakan dan dibebaskan dari mikroorganisme, selanjutnya ditumbuhkan dalam media kultur dengan kondisi yang aseptik. Tahap II yaitu tahap penggandaan propagul dengan cara meningkatkan jumlah cabang asiler ataupun pembentukan tunas- tunas baru. Tahap III adalah tahap pendewasaan lebih lanjut dari calon tanaman dengan merangsang pembentukan akar dan pertumbuhan aklimatisasi. Tahap III ini juga disebut sebagai tahap penyesuaian atau tahap pra tanam Wetherell 1982. Tahapan-tahapan ini kemudian disempurnakan oleh Deberg dan Maena 1981 dalam Wattimena et al.1992 menjadi 5 tahap, yaitu: 1 Seleksi tanaman induk, 2 Pemantapan kultur aseptik, 3 Produksi propagul, 4 Persiapan planlet sebelum diaklimatisasi, dan 5 Aklimatisasi planlet. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis tanaman dalam kultur jaringan dapat digolongkan menjadi 4 golongan utama, yaitu: 1. Genotipe dari sumber bahan tanaman yang digunakan 2. Media, mencakup tentang komponen penyusun media dan juga zat pengatur tumbuh tanaman yang digunakan 3. Lingkungan tumbuh tanaman yaitu keadaan fisik tempat kultur ditumbuhkan 4. Fisiologi jaringan tanaman sebagai eksplan. Kempat faktor tersebut dapat berinteraksi satu dengan yang lainnya Wattimena et al. 1992.

2.2.2 Kultur Jaringan Anggrek

Penelitian kultur jaringan anggrek yang pertama kali dipublikasikan adalah hasil percobaan George Morel pada tahun 1960 yang dilakukan untuk mendapatkan tanaman Cymbidium bebas virus Bergman 1972 dalam Wattimena et al.1986. Sejak dipublikasikannya percobaan tersebut, pemakain kultur jaringan untuk perbanyakan vegetatif anggrek semakin pesat perkembangannya Wattimena et al.1986. Pada tahun 1964, sebuah perusahaan anggrek di Perancis berhasil memproduksi klon-klon anggrek secara komersial. Perusahaan tersebut juga menggunakan istilah mericlon bagi tanaman anggrek hasil perbanyakan lewat kultur jaringan seperti yang disarankan oleh Gordon Dilon sebelumnya Bertsch 1967 dalam Wattimena et al.1986.

2.2.3 Media Kultur

Keberhasilan dalam teknologi serta penggunaan metode in vitro terutama disebabkan pengetahuan yang lebih baik tentang kebutuhan hara sel dan jaringan yang dikulturkan. Hara terdiri dari komponen yang utama dan komponen tambahan. Komponen utama meliputi garam mineral, sumber karbon gula, vitamin dan pengatur tumbuh. Komponen lain seperti senyawa nitrogen organik, berbagai asam organik, metabolit dan ekstrak tambahan tidak mutlak, tetapi dapat menguntungkan ketahanan sel dan perbanyakannya Wetter dan Constabel 1991. Media hara dapat berbentuk padat, semi padat dan cair Wattimena et al. 1992. Komposisi formulasi dari suatu media, harus mengandung nutrien esensial makro dan mikro serta sumber tenaga. Zat-zat tersebut bisa dicampur sendiri dari bahan dasarnya atau diperoleh sudah dalam bentuk campuran. Biasanya ditambah zat pengatur tumbuh, seperti hormon-hormon dan penyangga misalnya agar. Banyak formulasi media yang ada, masing-masing berbeda dalam hal kuantitas maupun kualitas komponennya. Dari sekian banyak formulasi yang ada, beberapa buah diantaranya telah sering dipakai. Antara lain seperti yang telah dikemukakan oleh Toshio Murashige dan dipublikasikan oleh Murashige dan Skoog pada tahun 1962 Wetherell 1982. Media yang dipakai dalam kultur jaringan telah banyak dikembangkan oleh beberapa peneliti. Di dalam media tersebut biasanya terkandung senyawa- senyawa kimia yang diperlukan oleh jaringan tanaman Drew 1980 dalam Wattimena et al.1986. Senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam media disusun dalam perimbangan tertentu. Perimbangan yang tepat dari senyawa penyusun tersebut perlu dan menentukan tipe pertumbuhan yang akan terbentuk dari eksplan yang ditanam Drew 1980; Murashige 1977a dalam Wattimena et al.1986. Setiap media kultur mempunyai kespesifikan yang tertentu. Media Murashige dan Skoog MS merupakan media kultur yang umum digunakan para ahli karena dapat dipakai untuk mengulturkan berbagai macam tanaman, termasuk anggrek. Sementara itu, media Vacin dan Went VW merupakan media kultur yang khusus dipergunakan untuk anggrek Sandra 2003. Keistimewaan medium MS adalah kandungan nitrat, kalium, dan amoniumnya yang tinggi Wetter dan Constabel 1991. Dewasa ini beberapa media kultur jaringan dapat dibeli dalam bentuk bubuk yang telah dipersiapkan. Tergantung dari jenisnya, media kultur jaringan ada yang hanya mengandung garam mikro serta vitamin, ada juga yang lengkap sampai hormon dan gula Nugroho dan Sugito 2002.

2.2.4 Lingkungan Tumbuh dalam Kultur Jaringan

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam lingkungan tumbuh kultur jaringan yaitu cahaya, temperatur, dan keadaan udara ruang kultur. Dari penelitian yang ada dapat menunjukkan bahwa pada umumnya cahaya dapat memperbaiki pertumbuhan. Dengan adanya cahaya dapat dihasilkan tanaman yang hijau dan berdaun normal Murashige 1977b dalam Wattimena et al.1986. Intensitas cahaya yang rendah dapat mempertinggi embriogenesis dan organogenesis. Pembentukan kalus maksimum sering terjadi di tempat yang lebih gelap Hendaryono dan Wijayani 1994. Menurut Wetherell 1982 bahwa sebagai sinar tiruan yang banyak disukai dalam penumbuhan tanaman adalah lampu- lampu fluorensi. Hal ini disebabkan lampu-lampu jenis itu selain mampu memancarkan sinar yang lebih merata, juga mempunyai kemampuan mengubah energi listrik menjadi energi cahaya yang tiga kali lebih besar daripada lampu biasa. Kekuatan penyinaran lampu fluorensi antara 100-400 foot candle 1000- 4000 lux. Bila dipakai lampu fluorensi putih standar digunakan lampu yang berkekuatan 40 watt, dengan jarak 50-60 cm dari rak kultur. Waktu penyinaran yang paling baik berlangsungnya “foto periode” selama 16 jam. Temperatur ruang kultur terdiri dari suhu dan kelembaban relatif. Suhu ruang kultur biasanya dijaga berkisar antara 20 -28 C. Pada beberapa tanaman, temperatur ruangan berpengaruh pada proses morfogenesis yang terjadi dari jaringan yang ditanam Wattimena et al.1986. Suatu kondisi dimana suhu yang dibuat berbeda untuk periode masa gelap dan periode terang, dengan membuat suhu pada periode gelap lebih rendah dari periode terang berpengaruh baik bagi beberapa spesies Wetherell 1982. Suatu wadah kultur yang tertutup rapat akan jenuh oleh uap air. Bila kelembaban ruangan udara rendah, penguapan air dari media kultur akan terlalu besar. Dalam hal ini kelembaban ruang kultur perlu dinaikan, tetapi kelembaban ruang kultur yang tinggi akan menyebabkan terjadinya terjadinya pertumbuhan mikroba diluar wadah kultur dan alat-alat Wetherell 1982. Kelembaban relatif RH lingkungan biasanya mendekati 100. RH sekeliling kultur mempengaruhi pola pengembangan. Jadi, pengaturan RH pada keadaan tertentu memerlukan suatu bentuk diferensiasi khusus Hendaryono dan Wijayani 1994. Keadaan udara ruang kultur berpengaruh terhadap perkembangan kultur jaringan yang dilakukan. Gas-gas yang dikeluarkan oleh jaringan tanaman misalnya etilen, akan terkumpul dalam botol kultur dan dapat menghambat pertumbuhan jaringan. Sedangkan keadaan udara ruang kultur di luar botol jika tidak bersih dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi pada kultur yang disimpan Wattimena et al.1986. Menurut Wetherell 1982 bahwa udara dalam ruang kultur perlu dijaga supaya tetap bersih dan bebas dari debu. Terutama karena adanya pertukaran udara dalam wadah kultur dengan udara dalam ruang kultur. Supaya dapat terjadi pertukaran udara yang bebas dari debu, maka diperlukan terjadinya aliran udara yang bertekanan dari dalam ke luar. Tanaman in vitro sangat peka terhadap polusi, gas-gas, dan lain-lain. Maka perlu juga diperhatikan bahwa tanaman harus terhindar dari pengaruh asap, gas yang berasal dari cat, etilen, belerang oksida, ozon, dan polutan lain yang dapat mengganggu pertumbuhan.

2.3 Zat Pengatur Tumbuh

Menurut Hendaryono dan Wijayani 1994, zat pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapt mendukung, menghambat dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan. Zat pengatur tumbuh dalam tanaman terdiri dari lima kelompok yaitu auksin, giberelin, sitokinin, etilen, dan inhibitor dengan ciri khas serta pengaruh yang berlainan terhadap proses fisiologis. Zat pengatur tumbuh angat diperlukan sebagai komponen media bagi pertumbuhan dan diferensiasi. Tanpa penambahan zat pengatur tumbuh dalam media, pertumbuhan sangat terhambat bahkan mungkin tidak tumbuh sama sekali. Pembentukan kalus dan organ-organ ditentukan oleh penggunaan yang tepat dari zat pengatur tumbuh tersebut. Menurut Wattimena et al.1992 dan BPPK DEPHUT 1994 zat pengatur tumbuh auksin mempunyai peran mendorong perpanjangan sel, pembelahan sel, diferensiasi jaringan xilem dan floem, pembentukan akar, pembungaan pada Bromeliaceae, pembentukan buah partenokarpi, pembentukan bunga betina pada tanaman diocious, dominan apikal, respon tropisme, serta menghambat pengguguran daun, bunga dan buah. Menurut Weherell 1982 peran auksin dalam kultur jaringan yang pertama adalah merangsang pertumbuhan pucuk-pucuk baru, dan yang kedua adalah merangsang pembentukan akar. Zat pengatur tumbuh auksin seperti 2.4- Dikloro fenoksiasetat 2.4-D dan Naftalen Asam Asetat NAA merupakan jenis zat pengatur tumbuh yang stabil dibandingkan dengan Indol Asam Asetat IAA. 2.4 Kultur Jaringan sebagai Pelengkap Penyimpanan Plasma Nutfah Langkah pertama menuju konservasi in vitro adalah penyimpanan plasma nutfah Benson 1999. Menurut Suryowinoto 1996, plasma nutfah adalah tanaman yang dahulu pernah dapat memenuhi kebutuhan manusia, tanaman yang sekarang ada dan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan tumbuh- tumbuhan yang diperkirakan nantinya akan berguna untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dipusat-pusat penyimpanan plasma nutfah disimpan biji-biji, bagian vegetatif seperti akar rimpang, umbi atau bagian lain, disimpan selama berbulan- bulan atau bertahun-tahun, tergantung macam tanamannya untuk nantinya dapat ditumbuhkan kembali seperti sediakala. Setelah bioteknologi maju pesat terutama dalam kultur in vitro, maka mulai muncul pemikiran untuk memakai hasil kultur jaringan untuk bahan plasma nutfah yang dipreservasi. Untuk cryopreservation dapat dipakai hasil-hasil kultur jaringan, antara lain plantula, kalus, protocorm like bodies plb, embryoid, hasil kultur sel, protoplas, meristem ujung yang bebas infeksi virus.

2.5 Manfaat Kultur Jaringan Menurut Darmono 2003; Hendaryono dan Wijayani 1994; serta Sandra