6. Larva mengalami pendewasaan di dalam paru-paru 10 –14, menembus
dinding alveoli, naik ke saluran pernafasan dan akhirnya terlelan kembali. Ketika mencapai usus halus, larva tumbuh menjadi cacing dewasa. Waktu
yang diperlukan mulai tertelan telur infeksi sampai menjadi cacing dewasa sekitar 2 sampai 3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup 1 sampai 2 tahun dalam
tubuh Bruckner , 2006
b. Trichuris trichiura Cacing Cambuk
Manusia adalah hospes utama cacing Trichuris trichiura. Cara infeksi adalah langsung, tidak diperlukan hospes perantara. Bila telur yang telah berisi embrio
tertelan manusia, larva yang menjadi aktif akan keluar di usus halus masuk ke usus besar dan menjadi dewasa dan menetap. Cacing ini dapat hidup beberapa tahun di
usus besar hospes. Telur yang infektif bila tertelan manusia menetes menjadi larva di usus halus. Larva menembus dinding usuu halus menuju pembuluh darah atau saluran
limpa kemudian terbawa oleh darah sampai ke jantung menuju paru-paru Onggowaluyo, 2002. Siklus hidup cacing Trichuris trichiura, yaitu:
Gambar 2.2. Siklus hidup Trichuris trichiura
Universitas Sumatera Utara
Kelainan patologis yang disebabkan oleh cacing dewasa terutama terjadi karena kerusakan mekanik di bagian mukosa usus dan respons alergi. Keadaan ini
erat hubungannya dengan jumlah cacing, lama infeksi, umur dan status kesehatan umum dari hospes penderita. Gejala yang ditimbulkan oleh cacing cambuk biasanya
tanpa gejala pada infeksi ringan. Pada infeksi menahun dapat menimbulkan anemia, diare, sakit perut, mual dan berat badan turun Onggowaluyo, 2002.
Penyebaran geografis T.trichuira sama A. lumbricoides sehingga seringkali kedua cacing ini ditemukan bersama-sama dalam satu hospes. Frekuensinya di
Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan, frekuensinya antara 30 - 90 . Angka infeksi tertinggi ditemukan pada anak–anak. Faktor terpenting dalam
penyebaran trikuriasis adalah kontaminasi tanah dengan tinja yang mengandung telur. Telur berkembang baik pada tanah liat, lembab dan teduh Onggowaluyo, 2002.
c. Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus Cacing Tambang
Cacing dewasa hidup di dalam usus halus manusia, Cacing melekat pada mukosa usus dengan bagian mulutnya yang berkembang dengan baik. Infeksi pada
manusia dapat terjadi melalui penetrasi kulit oleh larva filariorm yang ada di tanah. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina
mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti hurup S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur
hidup cacing tambang dimulai dari keluarnya telur cacing bersama feses, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rhabditiform. Dalam
Universitas Sumatera Utara
waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, larva
ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan larynk. Dari larynk, larva ikut tertelan
dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan Gandahusada dkk,
2004. Gambaran umum siklus hidup cacing Ancylostoma duodenale dan Necator americanus dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 2.3. Siklus hidup Hookworm A.duodenale dan N.americanus
Keterangan :
Larva cacing tambang pada suhu hangat dan lembab mengalami pertumbuhan dalam 3 tahap. Pada tahap ahir, larva-larva ini akan naik ke permukaan tanah. Dengan
bentuk tubuh yang runcing di bagian atas, larva ini akan masuk menembus kulit dan ikut ke dalam aliran darah sampai ke organ hati. Melalui pembuluh darah larva ini
Universitas Sumatera Utara
akan terbawa ke paru-paru. Larva cacing tambang kemudian bermigrasi ke bagian kerongkongan dan kemudian tertelan. Larva kemudian menuju usus halus dan
menjadi dewasa dengan menghisap darah penderita. Cacing tambang bertelur di usus halus yang kemudian dikeluarkan bersama dengan feses ke alam dan akan menyebar
kemana-mana Albert, 2006. Gambaran klinis walaupun tidak khas, tidak cukup mendukung untuk
memastikan untuk dapat membedakan dengan anemia karena defisiensi makanan atau karena infeksi cacing lainnya. Diagnosa terakhir ditegakkan dengan menemukan telur
cacing pada feses penderita. Secara praktis telur cacing Ancylostoma duodenale tidak dapat dibedakan dengan telur Necator americanus. Untuk membedakan kedua spesies
ini biasanya dilakukan tekhnik pembiakan larva Onggowaluyo, 2002.
2.1.2. Dampak Infeksi Kecacingan pada Anak
Kecacingan jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung, namun sangat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing gelang yang berat
akan menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak. Infeksi cacing tambang Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus mengakibatkan anemia defesiensi besi, sedangkan Trichuris trichiura menimbulkan morbiditas yang tinggi Soedarto, 1999.
Berbagai penelitian membuktikan bahwa sebagian kalori yang dikonsumsi manusia tidak dimanfaatkan badan karena adanya parasit dalam tubuh. Pada infeksi
ringan akan menyebabkan gangguan penyerapan nutrien lebih kurang 3 dari kalori
Universitas Sumatera Utara
yang dicerna, pada infeksi berat 25 dari kalori yang dicerna tidak dapat dimanfaatkan oleh badan. Infeksi Ascaris lumbricoides yang berkepanjangan dapat
menyebabkan kekurangan kalori protein dan diduga dapat mengakibatkan defisiensi
vitamin A Hidayat, 2002.
Pada infeksi Trichuris trichiura berat sering dijumpai diare darah, turunnya berat badan dan anemia. Diare pada umumnya berat sedangkan eritrosit di bawah 2,5
juta dan hemoglobin 30 di bawah normal. Anemia berat ini dapat terjadi karena infeksi Trichuris trichiura mampu menghisap darah sekitar 0,005 mlharicacing
Gandahusada dkk, 2004.
Infeksi cacing tambang umumnya berlangsung secara menahun, cacing tambang ini sudah dikenal sebagai penghisap darah. Seekor cacing tambang mampu
menghisap darah 0,2 ml per hari. Apabila terjadi infeksi berat, maka penderita akan kehilangan darah secara perlahan dan dapat menyebabkan anemia berat
Gandahusada dkk, 2004.
2.1.3. Transmisi Telur Cacing ke Tubuh Manusia
Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi telur A.lumbricoides dan T.trichiura dari tanah kepada manusia melalui tangan dan kuku
yang tercemar telur cacing, lalu masuk kemulut melalui makanan Mahfuddin, 1994.
Agustina 2000 mendapatkan bahwa ada hubungan yang erat antara tanah dan kuku yang tercemar telur A.lumbricoides dan kejadian askariasis pada anak balita
di Kecamatan Paseh Jawa Barat.
Universitas Sumatera Utara
Transmisi telur cacing, selain melalui tangan, ini dapat juga melalui makanan dan minuman, terutama makanan jajanan yang tidak dikemas dan tidak tertutup rapat.
Telur cacing yang ada di tanahdebu akan sampai pada makanan tersebut, jika diterbangkan oleh angin, atau dapat juga melalui lalat yang sebelumnya hinggap di
tanahselokanair limbah sehingga kaki-kakinya membawa telur cacing tersebut
Helmy, 2000.
Transmisi melalui sayuran yang dimakan mentah tidak dimasak dan proses membersihkannya tidak sempurna juga dapat terjadi, terlebih jika sayuran tersebut
diberi pupuk dengan tinja segar. Di beberapa negara penggunaan tinja sebagai pupuk
harus diolah dahulu dengan bahan kimia tertentu berupa desinfestasi Brown, 1979. 2.1.4. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan
Secara Nasional di Indonesia upaya pencegahan dan pemberantasan Infeksi Kecacingan sudah dilakukan sejak tahun 1975 dengan kebijakan pemberantasan
terbatas pada daerah tertentu karena biaya yang tersedia terbatas. Pada Pelita V dan VI Program pemberantasan penyakit kecacingan meningkat kembali karena pada
periode ini lebih memperhatikan pada peningkatan perkembangan dan kualitas hidup anak Dirjen P2M PL, 1998. Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan
pada umumnya adalah dengan pemutusan rantai penularan, yang antara lain dilakukan dengan pengobatan massal, perbaikan sanitasi lingkungan dan hygiene
perorangan serta pendidikan kesehatan Soedarto, 1991. Penyakit cacingan dapat terjadi sebagai berikut Nadesul, 1997.
Universitas Sumatera Utara
a. Biasakan mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan, gunakan
sabun dan bersihkan bagian kuku yang kotor. b.
Biasakan menggunting kuku secara teratur seminggu sekali. c.
Tidak membiasakan diri menggigit kuku jemari tangan atau menghisap jempol.
d. Tidak membiasakan bayi dan anak-anak bermain-main di tanah.
e. Tidak membuang kotoran di kebun, parit, sungai atau danau dan biasakan
buang kotoran di jamban. f.
Biasakan membasuh tangan dengan sabun sehabis dari jamban g.
Biasakan tidak jajan penganan yang tidak tertutup atau terpegang-pegang tangan.
h. Di wilayah yang banyak terjangkit penyakit kecacingan, periksakan diri ke
puskesmas terlebih ada tanda gejala kecacingan. i.
Segera mengobati penyakit cacing sampai tuntas j.
Penyakit cacing berasal dari telur cacing yang tertelan dan kurangnya kebersihan diri dan lingkungan yang tidak baik.
k. Biasakan makan daging yang sudah benar-benar matang dan bukan yang
mentah atau setengah matang. l.
Biasakan berjalan kaki kemana-mana dengan memakai alas kaki. m.
Obat cacing hanya diberikan kepada orang yang benar-benar mengidap penyakit kecacingan
Universitas Sumatera Utara
n. Biasakan makan lalap mentah yang sudah dicuci dengan air bersih yang
mengalir. Penanggulangan infeksi cacing usus tidak mudah karena keterkaitan dengan
masalah lingkungan. Pemberian obat-obatan hanya bersifat mengobati tetapi tidak memutuskan mata rantai penularan. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut dapat
dilakukan melalui kegiatan terpadu yang mencakup pengobatan massal, penyuluhan kesehatan, peningkatan status gizi, perbaikan sanitasi lingkungan dan hygiene
perorangan serta partisipasi masyarakat Hadidjaja, 1994. Menurut Sasongko 2007 kunci pemberantasan cacingan adalah memperbaiki
higiene dan sanitasi lingkungan. Misalnya, tidak menyiram jalanan dengan air got. Sebaiknya, bilas sayur mentah dengan air mengalir atau mencelupkannya beberapa
detik ke dalam air mendidih. Juga tidak jajan di sembarang tempat, apalagi jajanan yang terbuka. Biasakan pula mencuci tangan sebelum makan, bukan hanya sesudah
makan. Dengan begitu, rantai penularan cacingan bisa diputus.Pada saat bersamaan, anak-anak yang menderita cacingan harus segera diobati. Namun, meski semua anak
sudah minum obat cacing, tak berarti masalah cacingan akan selesai saat itu juga. Pemberantasan kecacingan adalah kerja gotong royong yang butuh waktu bertahun-
tahun. Negara maju sepenti Jepang pun pernah dibuat sibuk oleh ulah para cacing perut ini. Setelah kalah oleh Sekutu saat Perang Dunia II, Jepang jatuh menjadi
negara miskin. Karena miskin, masyarakat menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk pertanian. Akibatnya, penularan cacing menjadi tak terkendali, sampai
menyerang 80 penduduk
Universitas Sumatera Utara
2.2. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kecacingan.
Secara epidemiologi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian kecacingan, salah satunya adalah faktor manusia Soedarto, 1991 dijelaskan sebagai
berikut :
2.2.1. Faktor Manusia 2.1.1. Hygiene Perorangan
Entjang 2001 usaha kesehatan pribadi Hygiene perorangan adalah upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya meliputi:
a. Memelihara kebersihan
b. Makanan yang sehat c.
Cara hidup yang teratur d.
Meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani e.
Menghindari terjadinya penyakit f.
Meningkatkan taraf kecerdasan dan rohaniah g.
Melengkapi rumah dengan fasilitas-fasilitas yang menjamin hidup sehat h.
Pemeriksaan kesehatan Onggowaluyo 2002 kuku yang terawat dan bersih juga merupakan cerminan
kepribadian seseorang, kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat melekatnya berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan mikro organisme
diantaranya bakteri dan telur cacing. Penularan kecacingan diantaranya melalui tangan yang kotor, kuku yang kotor yang kemungkinan terselip telur cacing akan
Universitas Sumatera Utara
tertelan ketika makan, hal ini diperparah lagi apabila tidak terbiasa mencuci tangan memakai sabun sebelum makan.
Hygiene perorangan sangat berhubungan dengan sanitasi lingkungan, artinya apabila melakukan hygiene perorangan harus diikuti atau didukung oleh sanitasi
lingkungan yang baik, kaitan keduanya dapat dilihat misalnya pada saat mencuci tangan sebelum makan dibutuhkan air bersih, yang harus memenuhi syarat kesehatan.
2.3. Konsep Perilaku.
Notoadmodjo 2005 mendefinisikan perilaku dapat dibatasi sebagai keadaan jiwa berpendapat, berpikir, bersikap dan sebagainya untuk memberikan respon
terhadap situasi diluar subjek tersebut. Respons ini dapat bersifat aktif tindakan dan dapat juga bersifat pasif tanpa tindakan. Bentuk operasional dari perilaku ini dapat
dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu : 1.
Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yakni dengan mengetahui situasi dan rangsangan dari luar.
2. Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu tanggap bathin terhadap keadaan atau
rangsangan dari luar diri subjek atau lingkungan. Dengan demikian, berarti lingkungan akan berperan membentuk perilaku manusia yang hidup
didalamnya. Lingkungan pertama adalah lingkungan alam yang bersifat fisik yang akan mencetak perilaku manusia dengan sifat dan keadaan alam tersebut.
3. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah konkrit yakni berupa
actionperbuatan terhadap situasi atau rangsangan dari luar.
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya perilaku dapat diamati melalui sikap dan tindakan. Namun demikian tidak berarti bahwa bentuk dari perilaku itu hanya dilihat dari sikap dan
tindakannya. Perilaku dapat juga bersifat konvensional, yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi dan motivasi.
Bloom 1956, membedakan bentuk perilaku menjadi 3 macam yakni” cognitive, effective dan psikomotor. Para ahli lain menyebutnya dengan pengetahuan
knowledge, sikap Attitude, dan tindakan practice. Kihajar dewantoro menyebutkan dengan cipta, rasa dan karsa atau perirasa dan peritindakan.
2.3.1. Pengetahuan
Menurut notoadmodjo 2003, Pengetahuan adalah hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan suatu objek tertentu. Pengindraan
terjadi melalui panca indera manusia yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.
Salah satu factor yang menyebabkan terjadinya penularan infeksi cacingan adalah kurangnya pengetahuan tentang infeksi cacingan. Penelitian Wachidanijah
2002, menunjukkan bahwa terdpat kecenderungan makin tinggi pengetahuan semakin baik perilaku dalam hubungannya dengan penyakit kecacingan.
2.3.2. Sikap
Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek Notoatmodjo, 2003. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
sikap adalah tanggapan atau persepsi seseorang terhadap apa yang diketahuinya. Jadi sikap tidak dapat dilihat langsung secara nyata tetapi hanya dapat ditafsirkan sebagai
perilaku yang tertutup. Menurut Allport 1954, seperti yang dikutip dari Notoadmodjo 2003, menjelaskan bahwa sikap terdiri dari 3 komponen pokok yaitu :
1. Kepercayaan keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek
2. Kehidupan emosional atau evaluasi emocional terhadap statu objek
3. kecenderungan untuk bertindak trend to behave.
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh Total Attitude. Dalam penentuan sikap yang utuh ini kemampuan berfikir, keyakinan, dan
emosi memegang peranan penting. Decicion Theory Janis, 1985, dikutip dari Bart, 1994, menganggap bahwa pasien sebgai seorang pengambil keputusan. Hal ini juga
tercermin dalam Conflict Theory dari Janin dan Mann 1997 yang dikutip dari Bart 1994, bahwa pasienlah yang harus memutuskan apakah mereka akan melakukan
suatu tindakan medis.
2.3.3. Tindakan
Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi satu perbuatan nyata. Tindakan juga merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
nyata atau terbuka Notoadmodjo, 2003. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek practice yang dengan mudah dapat
diamati atau dilihat oleh orang lain oleh karena itu disebut juga Over behaviour. Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme
mahluk hidup yang bersangkutan. Oleh sebab itu dari sudut pandang biologis semua
Universitas Sumatera Utara
mahluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Dan yang dimaksud
dengan perilaku pada hakikatbya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan sangat luas antara lain berbicara, menangis,
tertawa, bekerja, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku adalah semua kegiatan atau
aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati olah pihak luar.Notoatmodjo, 2003.
Perilaku sehat pada dasarnya adalah respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta
lingkungan Notoatmodjo, 2003. Sebagai contoh perilaku yang berkaitan dengan lingkungan misalnya perilaku seseorang berhubugan dengan pembuangan air kotor
yang menyangkut segi-segi hygiene, pemeliharaan teknik dan penggunaannya. Wachidanijah 2002 menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan makin tinggi
pengetahuan seseorang semakin baik perilaku dalam hubungan dengan penyakit kecacingan. Perilaku masyarakat untuk buang air besar di sembarang tempat dan
kebiasaan tidak memakai alas kaki mempunyai intensitas infeksi cacing tambang pada penduduk di Desa Jagapati Bali, dengan pola transmisi infeksi cacing tersebut
pada umumnya terjadi disekitar rumah Bakta, 1995. Kebiasaan buang air besar di sungai secara menetap ternyata menyebabkan
tinggi infeksi oleh ”Soil-Transmited Helminths” pada masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Perilaku Kesehatan Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah respon seseorang organisme
terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan, atau reaksi manusia baik
bersifat pasif maupun bersifat aktif. Dengan demikian perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok :
1. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Health Maintenance ini terdiri dari 3 aspek
a. Perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan Health promotion
Behavior b.
Perilaku pencegahan dan penyembuhan penyakit Health prevention behavior
c. Perilaku terhadap gizi makanan dan minuman Health nutrion behavior
2. Perilaku pencarian pengobatan Health seeking behavior 3. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan Enviromental health behavior.
2.5. Landasan Teori
Infeksi kecacingan adalah infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah, terutama disebabkan oleh infeksi Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura,
Ancylostoma duodenale, dan Necator americanus. Infeksi dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, terutama di negara berkembang dan beriklim tropis, serta kondisi
sanitasi yang buruk dan kepadatan penduduk. Infeksi terjadi pada saat manusia
Universitas Sumatera Utara
menelan telur melalui makananminumantangan, atau masuk melalui kulit. Intensitas infeksi dapat bersifat ringan, sedang, maupun berat.
FAKTOR GEOGRAFI
KOTADESA
FAKTOR DEMOGRAFI FAKTOR GENETIK
KEPADATAN
PENDUDUK
SOSIOEKONOMI
Gambar 2.4. Kerangka Teori Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Infeksi
Cacing dan Dampak yang Ditimbulkan.
Banyak faktor yang berperan terhadap terjadinya infeksi dan intensitas infeksi, antara lain faktor geografis suatu wilayah, faktor genetik, dan faktor
demografi. Faktor pengetahuan yang tercermin melalui perilaku, dan faktor ada tidaknya interfensi yang telah dilakukan dalam bentuk pendidikan kesehatan,
SANITASI
HIGIENE
PEKERJAAN
UMUR
JENIS KELAMIN
ETNISKULTUR
JUMLAH DALAM
KELUARGA
FAKTOR PENGETAHUAN
DAMPAK
RETARDASI PERTUMBUHAN
DEFISIENSI NUTRISI
PENURUNAN KEMAMPUAN FISIK
PENURUNAN KEMAMPUAN
KOGNITIF
PENURUNAN DAYA TAHAN TUBUH
INFEKSI CACING
FAKTOR INTERFENSI
Universitas Sumatera Utara
khususnya berkaitan dengan mekanisme penularan dan penyebaran infeksi cacing, maupun interfensi dalam bentuk pengobatan turut berperan terhadap prevalensi dan
intensitas infeksi. Kurangnya perhatian terhadap infeksi cacing, karena sangat jarang menimbulkan kematian juga menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan
meningkatnya prevalensi infeksi.
Anak usia sekolah dasar memiliki risiko terbesar untuk terinfeksi. Infeksi
cacing memiliki dampak yang cukup signifikan di dalam mengganggu pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Seorang anak dapat kehilangan kesempatan untuk
menjadi sehat dan bebas dari penyakit. Seorang anak yang merupakan aset masa depan suatu bangsa akan mengalami pertumbuhan yang terputus akibat mekanisme
gangguan yang ditimbulkan oleh cacing yang tersembunyi di dalam tubuhnya. 2.6. Kerangka Konsep
Berdasarkan pada landasan teori di atas, maka pada penelitian ini dirumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut :
Variabel independen Variabel dependen
Kejadian Kecacingan pada murid SD
Perilaku Higienitas Murid SD : 1
Pengetahuan 2
Sikap 3
Tindakan
Gambar 2.6. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian