3. Mainstream Nature Tourist, yaitu wisatwan yang ingin mendapatkan
pengalaman yang lain daripada yang telah didapatkan sebelumnya. Seperti, mengunjungi taman Gorilla di Rwanda, Afrika atau mengunjungi hutan
Amazonia di Amerika Selatan. 4.
Cassual Nature Tourist, yaitu wisatawan yang menginginkan pengalaman menikamti alam sebagai bagian dari perjalanan yang lebih besar. “ Lindberg,
1995
2. 4 Krisis Keanekaragaman Hayati di Indonesia
Krisis keanekaragaman hayati di Indonesia termasuk dalam kategori parah dan membutuhkan perhatian dan tindakan lebih serius untuk mengatasinya. Bahkan,
beberapa spesies telah punah untuk selamanya, seperti Harimau Jawa dan Harimau Bali Panthera Tigris. Survei terakhir yang dilakukan oleh PHPA dan WWF
menegaskan bahwa setidaknya pada tahun 1976 masih terdapat tiga harimau Jawa di Taman Nasional Meru Betiri. Namun, semakin lama tidak ada bukti-bukti yang
meyakinkan tentang keberadaannya sehingga diyakini spesies ini telah punah. Beberapa spesies masih bertahan dalam kelompok-klompok kecil, yang
habitatnya telah terfragmentasi. Monitoring terhadap kekayaan hayati saat ini, telah dilakukan secara intensif. Data yang didapatkan sering menunjukkan bahwa kekayaan
hayati semakin terancam, meskipun terdapat pada daerah konservasi, seperti Taman Nasional. Banyak contoh menunjukkan bahwa meskipun kawasan lindung dengan
seperangkat undang-undang dan peraturan yang menyertainya, tidak berarti bahwa diversitas spesies yang ada di dalamnya terlindungi dengan baik. Contoh kasus pada
Tabel 1.1 ini setidaknya menunjukkan jenis-jenis burung yang hilang dan lebih langka dijumpai di Gede Pangrango.
Sebenarnya, usaha-usaha perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia telah diperkirakan sejak lama. Tahun 1929, dalam suatu kongres
Ilmu Pengetahuan wilayah Pasifik yang diadakan di Jawa, menyatakan bahwa perlindungan alam di India-Belanda sebutan untuk wilayah Indonesia saat itu, harus
segera dilakukan secara serius. Peraturan yang mengatur perlindungan alam, pertama dibuat tahun 1909 dan mulai diimplementasikan 01 Januari 1910. Namun, bisa jadi
peraturan ini hanya “terdengar” di Jawa dan Madura, sementara perburuan satwa saat itu juga terjadi di Borneo dan wilayah lainnya. Sat itu, kegiatan berburu merupakan
kegiatan wisata yang sangat digemari dan mulai diatur dalam regulasi tahun1909. saat itu, Surat Izin Berburu mulai diperkenalkan dan dikeluarkan Peraturan Tahun 1924
juga menyatakan secara tegas mengenai hewan-hewan apa saja yang boleh diburu. Contoh-contoh kepunahan dan kecenderungan kepunahan spesies telah
diketahui dengan baik, terutama di pulau Jawa. Namun demikian, tidak berarti bahwa pulau dan kawasan lainnya bebas dari ancaman kepunahan dan kemiskinan
keanekaragaman hayati. Perubahan luas tutupan hutan di Pulau Jawa merupkan cermin, bagaimana pertumbuhan kawasan sangat mempengaruhi laju degradasi hutan.
Tabel 1.2 menunjukkan bahwa kasus Jawa Timur sejumlah hutan masa pemukiman dan pertanian di Jawa Timur. Saat ini, kebanyakan sisa hutan telah ditetapkan sebagai
kawasan lindung dengan berbagai kategori seperti, Taman Nasional, Cagar Alam atau Taman Hutan Raya. Tabel jenis Burung Hilang dan Lebih Langka ditemukan di
bagian Timur Taman Nasional Gede Pangrango Tahun 1949 dan 1985. Tabel 1.1 Burung Jenis hilang dan langka
No. Hilang
Lebih Langka 1
2 3
4 5
6 7
8 9
Gosong Maluku Mentok Rimba
Bangau Tong tong Kasuari Glambir Ganda
Malao Senkawor Kua Kerdil Kalimantan
Mentok Rimba Thokrotor Sumatera
Burung Bidadari Elang Jawa
Merak Jawa Kakatua Kecil Jambul Kuning
Jalak Bali Elang Flores
Burung Hantu Trulek Jawa
Beo Nias Enggang
Burung Pelatuk Bawang
Contoh Penyusutan Luas dan Tiga Habitat dengan Kekayaan Hayati yang Berpotensi untuk Kegiatan Pariwisata di Indonesia.
Tabel 1.2
Habitat Lahan Asli Km2
Persen yang tersisa Hutan Rawa air tawar
Hutan hujan pegunungan Hutan Bakau
103.054 206.233
50.800 46.8
77.1 43.9
Data di atas merupakan kondisi pada awal tahun 1980. selanjutnya, luasan habitat tersebut semakin menyusut.
2. 5 Wisata dan Konservasi