Parameter Ekowisata URAIAN TEORITIS DAN KONSEP EKOWISATA

sumberdaya alam dan kerusakan ekosistem. Dengan demikian, strategi yang dirancang dalam konservasi antara lain adalah pemberdayaan masyarakat lokal.

2.6 Parameter Ekowisata

Defenisi dan operasional wisata alam nature tourism tidak dapat diartikan secara langsung sebagai ekowisata, meskipun wisata alam mempunyai sisi strategis sebagai point untuk memahami ekowisata, Wearning dan Neil menyatakan bahwa ide-ide ekowisata berkaitan dengan wisata yang diharapkan dapat mendukung konservasi lingkungan hidup. Karena tujuannya adalah menciptakan sebuah kegiatan industri wisata yang mampu memberikan peran dalam konservasi lingkungan hidup, seringkali ekowisata dirancang sebagai wisata yang berdampak rendah Low Impact Tourism . Untuk menjawab maksud tersebut, ekowisata dikarakterisasikan dengan adanya beberapa hal berikut: 1. Adanya manajemen lokal dalam pengelolaan 2. Adanya produk perjalanan dan wisata yang berkualitas 3. Adanya penghargaan terhadap budaya 4. Pentingnya pelatihan-pelatihan 5. Bergantung dan berhubungan dengan Sumber Daya Alam dan Budaya 6. Adanya integrasi pembangunan dan konservasi Dalam aktivitasnya, ekowisata harus menjawab dan menunjukkan parameter berikut :

2.6.1 Perjalanan ke Kawasan Alamiah

Kawasan alamiah yang dimaksud adalah kawasan dengan kekayaan hayati dan bentang alam yang indah, unik dan kaya. Kawasan itu dapat berupa Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya, Taman Laut, dan kawasan lindung lainnya.

2.6.2 Dampak yang Ditimbulkan terhadap Lingkungan Rendah

Dampak yang diakibatkan oleh wisata jenis ini, harus ditekan sekecil mungkin. Dampak dapat dihasilkan dari pengelola wisata, wisatawan, pengelola hotel, penginapan, restoran, dan sebagainya. Semua pihak dituntut untuk meminimalkan dampak yang mempunyai peluang, menyebabkan pencemaran dan penurunan mutu habitat atau destinasi wisata.

2.6.3 Membangun Kepedulian terhadap Lingkungan

Tujuan aktivitas ini pada dasarnya untuk mempromosikan kekayaan hayati di habitat aslinya dan melakukan pendidikan konservasi secara langsung. Seringkali kesadaran terhadap lingkungan hidup akan mudah dimunculkan pada pelajaran- pelajaran di luar kelas, karena sentuhan-sentuhan emosional yang langsung dapat diraskan. Dengan demikian, usaha ekowisata harus mampu membawa seluruh pihak yang terlibat dalam ekowisata mempunyai kepedulian terhadap konservasi lingkungan hidup.

2.6.4 Memberikan Dampak Keuntungan Ekonomi Secara Langsung bagi Konservasi

Di banyak kawasan negara berkembang, pembiayaan terhadap kawasan konservasi seringkali rendah sehinga fungsi yang dijalankan tidak maksimal. Penelitian-penelitan untuk menilai sumber daya Taman Nasional bagi kegiatan pariwisata dan penilaian dampak pariwisata terhadap habitat, jarang dilakukan karena keterbatasan sumber daya. Dalam hal ini, ekowisata dengan sebuah mekanisme tertentu, harus mampu menyumbangkan aliran dana dari penyelenggaraannya untuk melakukan konservasi habitat. Tujuan utamanya, yakni memelihara integritas fungsi- fungsi ekosistem dari destinasi wisata. Tidak ada rumus baku atau mekanisme khusus untuk mengembangkan pola ini. Namun banyak contoh dapat digunakan sebagai model, bagaimana seharusnya wisata dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi konservasi.

2.6.5 Memberikan Dampak Keuangan dan Pemberdayaan Masyarakat

Masyarakat lokal harus mendapatkan manfaat dari aktivitas wisata yang dikembangkan, seperti sanitasi, pendidikan, perbaikan ekonomi dan dampak-dampak lainnya. Unit-unit bisnis pendukung wisata seperti pusat penjualan cinderamata, usaha penginapan, restoran, dan lainnya harus dikendalikan oleh masyarakat lokal. Hal itu untuk menjamin keikutsertaan masyarakat lokal dalam pertumbuhan ekonomi setempat karena aktivitas wisata.

2.6.6 Penghargaan terhadap Budaya Setempat

Budaya masyarakat lokal, biasanya untuk bagi wisatawan dan menjadi bagian dari atraksi wisata. Budaya ini telah berkembang dalam jangka waktu yang lama sebagai bagian dari strategi masyarakat lokal untuk hidup dalam lingkungan sekitarnya. Budaya itu harus mendapatkan penghargaan dan pelestariaan, agar kontribusinya bagi konservasi kawasan tetap memainkan peran. Harus diakui bahwa masyarakat lokal dengan budayanya, lebih mengetahui cara berinteraksi dan memafaatkan seumber daya sekitarnya secara bijaksana dan lestari daripada mengambil keputusan yang tinggal jauh dari kawasan hutan.

2.6.7 Mendukung Hak Asasi Manusia dan Gerakan Demokrasi

Pada dasarnya, penduduk setempat merupakan masyarakat yang selama bertahun-tahun telah berinteraksi dengan lngkungan sekitar destinasi wisata. Beberapa kelompok masyarakat secara tradisional masih tergantung kepada sumber daya hutan, pesisir dan laut. Oleh karena itu, penetapan kawasan lindung tidak semata-mata “memagari kawasan dari pengaruh manusia”. Karena secara de facto, masyarakat sekitar mempunyai kekuatan untuk tetap memasuki kawasan dan menggunakan sumber daya alam. Oleh karena itu, melakukan sebuah regulasi dan diskusi-diskusi dengan masyarakat untuk menjamin pemanfaatan secara adil menjadi parameter yang tepat dan berguna untuk menilai keberhasilan ekowisata. Banyak kawasan di belahan dunia menjalankan ekowisata. Kebanyakan dari mereka memanfaatkan kawasan konservasi, seperti Taman Nasional sebagai destinasi atau tujuan alamiah bagi penyelenggara ekowiata. Diskusi-diskusi seputar implementasi dan keberhasilan ekowisata, terus bermunculan. Hal itu disebabkan oleh sulitnya memenuhi seluruh kriteria ideal, untuk mencapai apa yang dimaksud dengan ekowisata. Namun, kebanyakan sepakat bahwa kegiatan ini adalah wisata yang bertanggung jawab, untuk melakukan konservasi dan pendidikan lingkungan hidup, serta memperhatikan tingkat kesejahteraan masyarakat lokal. Semakin populernya kegiatan ekowisata dan sumbangan-sumbangan penting yang diberikan bagi aktivitas konservasi mendorong Persatuan Bangsa-Bangsa lewat badan lingkungan hidup dunia United Nations Environment Programme UNEP Ecotourism 2002. tujuannya yakni mempromosikan ekowisata pada skala internasional dan memberikan wahana dan kesempatan belajar bagi negara-negara yang mempunyai potensi untuk mengembangkan ekowisata di wilayahnya dari negara-negara yang telah sukses menyelenggarakan ekowisata. Pemahaman tersebut menghasilkan sebuah kespakatan untuk diadakannya pertemuan ekowisata dunia, pada bulan Mei di Kanada. Pada tahun yang sama, Indonesia juga menetapkan tahun 2002 sebagai tahun ekowisata Indonesia. Namun, karena keterbatasan-keterbatasan dan alasan sefesiensi, pengembangan ekowisata di Indonesia untuk tahun 2002 memfokuskan diri pada ekowisata di daerah pegunungan. Usaha pengembangan ekowisata di Indonesia, dapat dikatakan masih dalam taraf wacana. Hal itu diindikasikan bahwa sampai saat ini, belum diterbitkan secara tersendiri peraturan perundangan yang mengatur pengembangan ekowisata. Perundang-undangan yang menyangkut penyelenggaraan ekowisata, masih banyak merujuk pada peraturan dan perundangan yang berkaitan dengan wisata alam dan konservasi. Sampai saat ini, kebanyakan ekowisata di Indonesia diadakan di kawasan-kawasan konservasi. Sesuai dengan perundangan yang berlaku, ekowisata yang diselenggarakan harus mengacu kepada kebijakan-kebijakan yang menyangkut kawasan konservasi. Dalam hal ini, yakni UU no. 5 tahun 1990 tentang konservasi sember daya alam hayati dan ekosistemnya. Ada beberapa permasalahan yang timbul dalam pengembangan ekowisata di Indonesia, antara lain sebagai berikut: 1. Belum adanya konsep dan pemahaman yang sama tentang ekowisata oleh para stakebolder yang terlibat. 2. Ekowisata masih sering dijadikan slogan-slogan dan alat-alat promosi. Tetapi pada implementasi sesungguhnya menjadi lemah atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ekowisata yang diisyaratkan. 3. Meskipun kesadaran pemerintah akan pentingnya ekowisata telah ada, komitmen pengembangannya masih sangat lemah. Hal itu sangat jelas pada implementasi di lapangan. 4. Kebijakan yang mengatur dan mendukung saling tumpang tindih sehingga mempengaruhi implementasi di lapangan. 5. Terbatasnya akses informasi, seperti jaringan pasar dan infra struktur yang diperlukan dalam pengelolaan ekowisata. 6. Tebatasnya peran serta masyarakat local dan stakebolder dalam pengembangan ekowisata. 7. Meningkatnya degradasi sumber daya alam yang tidak terkendali 8. Pemandu memiliki keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan dan aspek-aspek pendidikan lingkungan hidup dalam kegiatan ekowisata. 9. Pembangunan yang tidak terkontrol pada destinasi wisata, karena pertumbbuhan jumlah pengunjung membuat implementasi ekowisata menjadi sulit. Permasalahan-permasalahan di atas, idealnya harus dapat diselesaikan untuk mewujudkan pembangunan ekowisata di Indonesia. Kelompok-kelompok pencinta dan pemerhati lingkungan, LSM, pemerhati ekowisata dan stakebolder yang terlibat dalam ekowisata dapat menekan pemerintah karena lemahnya dukungan pemerintah pada tahap implementasi kebijakan ekowisata pada tingkat lokal. Selanjutnya, bantuan-bantuan pemikiran dan aksi nyata untuk mewujudkan komitmen bagai inisiasi dan pembangunan ekowisata dapat dilaksanakan. Perguruan tinggi atau lembaga-lembaga pemberdaya dapat berperan aktif dalam memberdayakan potendsi masyarakat dan stakebolder yang belum optimal untuk mencapai implementasi ekowisata dan melakukan evaluasi terhadap praktik ekowisata dengan sesungguhnya. Tujuannya sangat jelas, yakni bersama-sama mewujudkan pembangunan ekiowisata dengan benar, sebagaimana konsep-konsep yang mendasarinya, yakni mewujudkan pembangunan lokal dengan memperhatikan aspek konservasi sumber daya alam dan menjaga integritas budaya lokal menuju masyarakat berkelanjutan.

BAB III POTENSI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SEBAGAI KAWASAN

EKOWISATA Sebelum Mandailing Natal menjadi sebuah kabupaten, wilayah ini masih termasuk Kabupaten Tapanuli Selatan. Setelah terjadi pemekaran, dibentuklah Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan undang-undang Nomor 12 tahun 1998, secara formal diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9 Maret 1999. Kabupaten Mandailing Natal terletak berbatasan dengan Sumatera Barat, bagian paling selatan dari Propinsi Sumatera Utara. Penduduk asli Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari dua etnis : · Masyarakat etnis Mandailing · Masyarakat etnis Pesisir Masyarakat Mandailing Natal terdiri dari sukuetnis Mandailing, Minang, Jawa, Batak, Nias, Melayu dan Aceh, namun etnis mayoritas adalah etnis Mandailing 80,00 , etnis Melayu pesisir 7,00 dan etnis jawa 6,00 . Etnis Mandailing sebahagian besar mendiami daerah Mandailing, sedangkan etnis melayu dan minang mendiami daerah Pantai Barat.