9 Daya Tanggap
Berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta, organisasi pelayanan publik merupakan bagian dari daya tanggap negara atau pemerintah
akan kebutuhan vital masyarakat. Oleh sebab itu, kriteria organisasi tersebut secara keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan oleh
organisasi demi memenuhi kriteria daya tanggap ini Dwiyanto, 1995.
2.1.5. Organisasi Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia HNSI
Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia HNSI secara nasional resmi berdiri pada tanggal 21 Mei 1973. Organisasi ini lahir dari pernyataan sikap secara bersama
oleh enam organisasi nelayan sebelumnya, yakni Organisasi Nelayan Golkar, Pungurus pusat SERNEMI Serikat Nelayan Muslimin Indonesia, Pengurus
Besar Serikat Nelayan Islam Indonesia, Gerakan Nelayan Marhein, Karyawan Nelayan Pancasila, dan Dewan Pimpinan Pusat GENSI. Sejak resmi berdiri,
praktis tidak ada lagi organisasi nelayan selain HNSI Daud, 2007. Secara politis, organisasi HNSI pada awalnya didorong atau lebih dikehendaki
untuk melakukan proses dopolitisasi penggabungan terhadap masyarakat nelayan yang sebelumnya terkotak-kotak dalam beberapa kelompok dengan
orientasi kepentingan politik yang berbeda-beda. Setelah proses ini berhasil diprakarsai, dan HNSI terbentuk menjadi sebuah kekuatan yang menghimpun
seluruh nelayan di Indonesia, ternyata dalam perjalanannya hanya menjadi instrumen politik bagi kepentingan rezim Orde Baru. Sehingga eksistensi HNSI
yang diharapkan dapat mengartikulasikan kepentingan nelayan, mengambil prakarsa untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah agar mengakomodir
hukum adat dan memberikan hak-hak ekslusif kepada nelayan selama itu tidak pernah tercapai Daud, 2007.
2.1.6. Peranan Organisasi Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia HNSI
Terpinggirkannya nelayan dalam proses politik dan hukum terjadi karena sangat lemahnya posisi tawar nelayan di mata pemerintah. Pada tingkat politik, nelayan
merupakan aktor terlemah dalam relasi kekuasaan pengelolaan sumberdaya. Secara politik, nelayan tidak berdaya menghadapi industri yang merusak laut
maupun menghadapi kekuatan luar, global, kapital dan negara. Dari aspek hukum lemah karena tidak ada perlindungan terhadap hak-hak komunal pesisir atau
nelayan hukum adat dan kearifan lokal dalam konsep pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan. Bagaimana posisi tawar nelayan tidak menjadi lemah, kalau
produk hukum yang dilahirkan pun mereka nelayan tidak mendapatkan legitimasi Daud, 2007.
Fenomena dan fakta tersebut tentu bisa dipahami karena berkaitan erat dengan strategi dan kebijakan pemerintah masa lalu yang menganaktirikan sumberdaya
pesisir dan lautan. Diperparah dengan konfigurasi kebijakan ekonomi bahwa sumberdaya perikanan laut adalah milik bersama common property, sentralistik
dan mengabaikan pluralisme hukum masyarakat. Kebijakan wilayah pesisir dan lautan yang didasarkan pada doktrin “common property” telah menyebabkan
wilayah laut nasional menjadi arena pertarungan di bawah kekuasaan “hukum samudra”, siapa yang kuat akan keluar sebagai pemenangnya. Konsekuensi
logisnya, selain gagal memberikan perlindungan hukum bagi pelaku-pelaku utama dan sumberdaya alam, juga kerugian yang ditimbulkannya cukup besar baik
secara ekonomi sumberdaya overeksploitasi, ekologis kerusakan ekosistem sumberdaya alam pesisir dan laut perikanan, maupun kemiskinan struktural
yang diderita oleh masyarakat pesisir-nelayan Daud, 2007. Sentralisme kebijakan dan antipluralisme hukum juga tidak kalah destruktifnya.
Keduanya secara sinergis telah menciptakan konflik antar pelaku sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Di mata nelayan tradisional, kebijakan tersebut lebih
dipahami sebagai legalisasi persekongkolan pemerintah dengan pengusaha untuk menguras sumberdaya alam, tanpa memperdulikan kepentingan nelayan. Citra itu
semakin terkukuhkan ketika aparat penegak hukum senantiasa muncul sebagai “pembela dan pelindung” pengusaha apabila terlibat konflik dengan nelayan
Daud, 2007. Sebagai wadah terhimpunnya seluruh kekuatan nelayan, HNSI secara normatif
sesuai dengan semangat Anggaran Dasar pasal 5, bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingan nelayan di seluruh Indonesia, yaitu
mencapai kesejahteraan hidup yang layak dan adil jasmani dan rohaniah bagi masyarakat nelayanpembudidaya ikan khususnya dan rakyat Indonesia pada
umumnya berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Dan untuk mencapai tujuan dimaksud, secara nasional HNSI akan terus melakukan usaha-usaha yang
diantaranya adalah sebagai berikut. 1
Mengadakan modernisasi perikanan dengan memberikan bimbingan dan tuntunan kepada nelayan di bidang penangkapan, pengolahan, dan
pemasaran, serta mendorong terbentuknya koperasi yang bergerak di bidang perikanan.
2 Meningkatkan taraf hidup nelayan, baik jasmani maupun rohani.
3 Meningkatkan partisipasi nelayan dalam mempercepat tercapainya tujuan
pembangunan nasional. 4
Mengadakan kerja sama dengan berbagai badan dan lembaga yang bergerak dalam bidang perikanan, baik dalam maupun luar negeri.
5 Mengusahakan terciptanya iklim kerja yang baik dan memperjuangkan
adanya peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan dan perlindungan hukum bagi kepentingan nelayan, termasuk jaminan hari tua
Pasal 6 AD. Disamping berbagai rekomendasi kebijaksanaan HNSI sebagai masukan kepada pemerintah DKP R.I dalam rangka memajukan
dan mensejahterakan nelayanpembudidaya ikan di seluruh Indonesia Daud, 2007.
Keberpihakan HNSI kepada nelayan tidak hanya sampai di situ. Melalui sidang MPO DPP HNSI pada tanggal 31 Mei 2004 - 2 Juni 2004 mendesak dan
rekomendasi kembali kebijakan yang sudah pernah disampaikan sebagai masukan kepada pemerintah DKP R.I. Desakan atas rekomendasi HNSI yang sudah
direalisasikan, diantaranya adalah: 1
Pelayanan untuk kebutuhan BBM Bahan Bakar Minyak nelayan yang terdiri dari solar, minyak tanah dan bensin hingga mencapai pulau-pulau
terpencil dalam bentuk SPBN Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Nelayan atau SPBU Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum
dengan kemudahan perijinan dari Pertamina. Lebih dari 100 SPBU telah di bangun dekat pelabuhan nelayan, dan telah dilaksanakan tersebar di 44
KabKota di seluruh Indonesia dengan harga yang ditetapkan oleh
pemerintah program ini dirintis sejak tahun 2003 melalui kerja sama DPP HNSI, DKP Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau kecil Ditjen
Perikanan Tangkap dan Pertamina. 2
Meningkatan asuransi nelayan jaminan kesehatan, jaminan keselamatan, jaminan hari tua dalam bentuk asuransi Dana Kesejahteraan Nelayan,
kapal ikan dan alat tangkap ikan. Untuk asuransi dalam bentuk Dana Kesejahteraan Nelayan ini sudah terdistribusi di 11 propinsi di Indonesia,
Dana kesejahteraan nelayan dalam bentuk asuransi ini adalah kerja sama HNSI, Dinas Kelautan dan Perikanan dengan AJB Asuransi Jiwa
Bersama BUMI PUTRA 1912, dan pemegang polisnya adalah Sekretaris Jenderal DPP HNSI.
3 Kemudahan persyaratan dan pelayanan permodalan untuk nelayan dan
pembudidaya ikan dengan bunga yang terjangkau dan ditunjang dengan program kredit secara khusus melalui pembentukan lembaga keuangan
mikro lembaga non Bank. Belakangan kita kenal dengan Lembaga Swamitra Mina Online, Unit Simpan Pinjam USP, BPR Bank
Perkreditan Rakyat Pesisir, dan Baitul Qiradal. Ke-empat lembaga Keuangan Mikro ini di bawah Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir
Mikro Mitra Mina LEPP-M3Koperasi Perikanan. 4
Kapal ikan illegal dan kapal asing yang tertangkap di perairan kita ditenggelamkan dan jika kapalnya ditinggal lari disita oleh negara dan
langsung diserahkan kepada nelayan sesuai kepres 1741998. 5
Desakan HNSI untuk mengamandemen UU No. 221999 UU Perikanan.
6 Pengahapusan keputusan dirjen yang mengamandir kepres No. 391980
dan penghapusan utang nelayan kasus nelayan di Pulau Jawa. 7
Mempertegas kembali akan keberadaan Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia DKP R.I. Keberadaan DKP R.I adalah
sebuah keharusan. Dan masih banyak lagi rekomendasi kebijaksanaan HNSI yang sudah dilakanakan dan diprogram oleh pemerintah DKP R.I,
termasuk implementasi program kerja lima tahunan penguatan internal kelembagaan yang harus dilaksanakan oleh HNSI itu sendiri Daud, 2007.
Sebagai wadah perhimpunan nelayan, HNSI sepakat dan berkomitmen bahwa sudah waktunya masyarakat nelayan diberi otoritas untuk mengolah laut. Karena
masyarakat nelayan punya modal sosial untuk itu. Oleh sebab itu, ini menjadi agenda terpenting, dan HNSI akan terus mendorong pemerintah dalam hal ini
Departemen Keluatan Perikanan DKP Pusat maupun Daerah agar memberikan ruang fasilitas yang memadai teknologi yang tepat guna dan akses
pasar yang terjangkau, peningkatan sumberdaya manusia nelayan, serta keberpihakan hukum agar nelayan menjadi aktor yang berdaya. Dan Undang-
Undang Perikanan No. 31 Tahun 2004 yang baru telah memberikan legitimasi itu. Hal ini menjadi sangat penting dalam konteks ke-Indonesiaan, karena selain
pertimbangan strategis sumberdaya kelauatan dan perikanan kita melimpah, juga karena kekuatan masyarakat nelayan dalam pengelolaan sumberdaya laut
merupakan alternatif dari lemahnya kekuatan negara-daerah pusat dan daerah untuk mengurus laut yang begitu luas dan beragam karakter sumberdayanya
Daud, 2007.
2.2. Landasan Teori 2.2.1. Sikap
Sikap adalah seperangkat pendapat, minat atau tujuan yang menyangkut harapan akan suatu jenis pengalaman tertentu, dan kesediaan dengan suatu reaksi yang
wajar. Dapat juga diartikan sebagai dorongan untuk menilai dalam bentuk kategori baik atau buruk Kartasapoetra dan Hartini, 1992.
Bersamaan dengan tema perluasan cakrawala berpikir untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pemanfaatan sumberdaya laut yang masih potensial, para
pelajar khususnya dan masyarakat pada umumnya harus dibina kesadaran pengetahuan, sikap dan perilakunya agar rasional dan bertanggung jawab.
Masyarakat dan pelajar tidak sekedar baru memiliki cakrawala pemikiran yang luas untuk menggali dan memanfaatkan seoptimal mungkin sumberdaya yang
terdapat di lautan, melainkan semua itu harus disertai kesadaran akan perlunya pola pemanfaatan dan pengelolaan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan
terhadap tetap terjaganya keseimbangan lingkungan laut dan terhadap kesejahteraan individu dan masyarakat, baik bagi generasi masa kini maupun
masa mendatang Kastama, 1997. Menurut Ahmadi 1999 disamping pembagian sikap atas sosial dan individual,
sikap dapat pula dibedakan atas: 1
Sikap Positif Sikap positif yaitu sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan,
menerima, mengakui, menyetujui, serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada.