BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior, bila
mengalami pembesaran, organ ini dapat menjepit uretra pars prostatika dari bagian luar dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari
buli-buli. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram Basuki, 2011.
Kondisi ini dikenal sebagai Beningn Prostate Hyperplasia atau hiperplasia prostat jinak BPH, pembesaran atau hipertrofi prostat. BPH
adalah kondisi patalogis yang paling umum pada pria lanjut usia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria
Rahardjo et al., 1999. Pada tahun 2000 atau millennium tiga angka harapan hidup penduduk dunia baik dari negara maju maupun berkembang
termasuk Indonesia menjadi 80 tahun, oleh karena itu pria yang hidup pada usia tersebut diperkirakan kurang lebih 80 secara histologi akan
mengalami BPH dan diperkirakan 50 nya mempunyai kesempatan untuk terjadinya BPH bergejala. Prevalensi dari BPH bergejala meningkat
dengan bertambahnya umur, usia diantara 40 - 49 tahun sebesar 14, usia diantara 50 - 59 tahun sebesar 24 dan pada usia lebih dari 60 tahun
prevalensinya lebih 45 Singodimedjo, 2000. BPH secara klinis menyebabkan gejala saluran kemih bagian
bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms LUTS dari sedang sampai berat yang terjadi pada kira-kira seperempat dari laki-laki berusia 50
tahun, sepertiga dari laki-laki berusia 60 tahun dan sekitar setengah dari semua laki-laki berusia 80 tahun ke atas. LUTS pada BPH dapat
ditentukan dengan sistem skoring International Prostate Symptoms Score IPSS yang termasuk rasa kencing yang tidak puas, frekuensi,
intermitensi, urgensi, pancaran urin lemah, hesitansi dan nokturia.
Universitas Sumatera Utara
Menurut IPSS keparahan LUTS dibagi dalam derajat ringan, sedang dan berat Bozdar, Memon, Paryani, 2010. Pengobatan BPH
bervariasi dari watchful waiting sampai intervensi bedah hal ini tergantung pada hasil IPSS International Prostate Symptom Score. Nilai IPSS
diantara 0 – 7 termasuk ringan pada umumnya tidak ada terapi hanya
watchful waiting dan dilakukan kontrol sahaja. Nilai IPSS diantara 8 –
18 derajat sedang dilakukan terapi medikamentosa, sedangkan nilai 19 –
35 termasuk derajat berat diperlukan operasi prostatektomi terbuka Open Prostatectomy atau operasi reseksi transuretral Transurethral Resection
of the Prostate Singodimedjo, 2000. Intervensi bedah diindikasikan setelah terapi medis gagal atau terdapat BPH dengan komplikasi, seperti
retensi urin rekuren, gross hematuria berulang, batu vesika urinaria berulang, infeksi saluran kemih yang rekuren dan insufisiensi renal
rekuren Bozdar, Memon, Paryani, 2010. Pada umumnya para spesialis urologi sependapat bahwa apabila
perkiraan berat kelenjar prostate 60 gram ke bawah dilakukan operasi tertutup sedangkan apabila perkiraan berat kelenjar prostat lebih dari 60
gram dilakukan operasi terbuka. Seperti telah diterangkan di atas operasi pasien BPH bergejala baik tertutup maupun terbuka adalah berdasarkan
dari perkiraan berat kelenjar prostat baik yang diperkirakan diperiksa melalui pemeriksaan colok dubur atau dengan pemeriksaan ultrasonografi
Singodimedjo, 2000. Reseksi transuretral prostat atau Transurethral Resection of the
Prostate TURP adalah gold standard dalam perawatan bedah untuk BPH dengan LUTS yang tidak berespon pada pengobatan konservatif. TURP
mengurangi LUTS juga mengurangi skor IPSS dalam 94,7 kasus-kasus klinis BPH dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan BPH. Bozdar,
Memon, Paryani, 2010.
Universitas Sumatera Utara
Menurut
American Urological association AUA
guidelines
2010,
indikasi absolut pembedahan pada BPH adalah sebagai berikut: 1. Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli.
2. Infeksi saluran kemih atau Urinary Tract Infection UTI berulang. 3. Calculi baldder.
4. Gross hematuria berulang. 5. Retensi urine yang berulang.
Perkembangan teknologi membuat seorang urologis mampu mencapai seluruh area sistem urinarius dengan menggunakan endoskopi
yang meminimalkan trauma pada pasien. Prosedur endoskopi pada sistem urinarius memerlukan penggunaan cairan irigasi untuk mendilatasi ruang
mukosa secara halus, membersihkan darah, dan memotong jaringan atau debris untuk membersihkan lapangan operasi. Bozdar, Memon,
Paryani, 2010.
1.2 Rumusan Masalah