BAB II GENEALOGI JAMAAH AN-NADZIR
A. Letak Geografis
Pada bagian ini akan dipaparkan lokasi letak geografis Jamaah an-Nadzir. Letak geografis Jamaah an-Nadzir ini menjadi penting karena letak geografis tersebut tidak
hanya sekadar menjadi data informatif saja, tetapi oleh Jamaah an-Nadzir lokasi tempat bermukim mereka tersebut dikonstruksi sedimikan rupa untuk merepresentasikan diri
mereka. Lokasi mereka tersebut dikonstruksi menjadi wadah konsep messianistik mereka dan merupakan titik berangkat dari apa yang mereka sebut
sebagai „perjalanan akhir zaman‟.
Komunitas Jamaah an-Nadzir secara geografis terletak di Kelurahan Romanglompoa yang termasuk ke dalam wilayah administratif kecamatan
Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Kelurahan ini memiliki luas wilayah kurang lebih 252.950 Ha. Wilayah Kecamatan Bontorannu di sebelah utara
berbatasan dengan kecamatan Somba Opu dan Kecamatan Pattalassang, sebelah timur berbatasan dengan kelurahan Bontomanai, sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan
Borongloe, sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Somba Opu. Wilayah komunitas An-Nadzir terletak di bagian Timur Kabupaten Gowa dengan jarak tempuh
kurang lebih tujuh kilometer dari ibukota Kabupaten Gowa, Sungguminasa. Berdasarkan data penelitian Mustaqim Pabbaja yang dilakukan di kantor
kelurahan Romanglompoa pada April tahun 2012, penduduk kelurahan Romanglompoa secara keseluruhan berjumlah 5549 jiwa, dengan perbandingan jumlah penduduk
menurut jenis kelamin sebanyak 2824 jiwa laki-laki sedangkan wanita berjumlah 2725 jiwa. Jumlah kepala keluarga secara keseluruhan 1586 kk, dengan perbandingan dua
lingkungan yaitu Romanglompoa berjumlah 904 kk, sedangkan lingkungan Mawang berjumlah 682 kk.
41
Akses menuju daerah pemukiman Komunitas Jamaah an-Nadzir sebenarnya cukup mudah karena jaraknya yang tidak terlalu jauh dari pusat kota. Pemukiman An-
Nadzir hanya berjarak sekitar kurang lebih 20 kilometer dari pusat Kota Makassar, sementara dari ibukota Kabupaten Gowa pemukiman ini hanya berjarak sekitar 7
kilometer. Untuk sampai ke pemukiman Jamaah an-Nadzir dibutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit dari kota Makassar dengan menggunakan kendaraan roda dua, hanya
saja, sebagian jalanan menuju pemukiman ini masih belum diaspal. Jamaah an-Nadzir bertempat tinggal di belakang Sekolah Tinggi Pertanian dan
Perikanan STPP Gowa di sekitar danau Mawang yang berada di dekat kaki Gunung Bawakaraeng
42
. Sebelum memasuki lingkungan area Jamaah an-Nadzir ini kita harus melewati sebuah bangunan kecil dari kayu yang mereka sebut sebagai posko An-Nadzir.
Di tempat ini ditugaskan seorang anggota jamaah untuk mengidentifikasi setiap orang selain anggota jamaah dan warga sekitar yang ingin memasuki wilayah Jamaah an-
Nadzir. Tidak seorang pun yang bukan anggota jamaah dapat masuk ke wilayah mereka dan memperoleh informasi lebih dalam tentang Jamaah an-Nadzir tanpa terlebih dahulu
melewat i proses „interogasi‟ di tempat ini. Untuk mendapatkan informasi dari anggota
41
Mustaqim, Pemberdayaan Sosial-Ekonomi Sebagai Strategi Penanganan Gerakan Islam Non- Maenstream
42
Salah satu gunung yang terkenal di Sulawesi Selatan. Gunung ini banyak dimitoskan oleh orang-orang lokal sebagai gunung keramat yang merupakan tempat para wali-wali Allah bersemayam. Bahkan ada
beberapa komunitas religius tertentu yang datang ke gunung ini untuk melakukan ritual dan ibadah tertentu.
Jamaah an-Nadzir mengenai komunitasnya dapat dikatakan cukup sulit karena semua akses informasi harus terlebih dahulu mendapat restu dari pimpinan jamaah, wawancara
dengan anggota jamaah pun hanya dapat dilakukan dengan orang tertentu karena tidak semua anggota jamaah bersedia diwawancarai. Hal ini mungkin dilakukan oleh Jamaah
an-Nadzir untuk mencegah potensi perbedaan informasi yang keluar tentang komunitas mereka.
Jamaah an-Nadzir membagi wilayah aktivitas mereka dalam dua tempat yaitu wilayah pondok dan wilayah markas. Wilayah pondok adalah wilayah pemukiman yang
dikhususkan bagi anggota jamaah yang telah berkeluarga dan kaum perempuan. Wilayah pondok berada di sebelah utara dekat perbukitan kampung Batua dan
sekitarnya. Luas wilayah yang dijadikan sebagai pondok atau pemukiman sekitar 10 ha. Sedangkan wilayah Markaz adalah pusat aktivitas sosial keagamaan komunitas
Jamaah an-Nadzir yang biasanya dipenuhi dengan para anggota Jamaah dewasa, pemuda, dan anak-anak laki-
laki. Wilayah „markaz‟ ini berada di pinggir danau Mawang. Di tempat ini terdapat sebuah surau yang didirikan di atas danau Mawang
sebagai pusat ibadah dan pendidikan bagi anak-anak mereka. Sekitar 50 meter dari surau terdapat sebuah rumah kecil yang mereka sebut kantor. Bangunan ini digunakan
untuk menerima tamu sekaligus juga sebagai dapur umum. Di wilayah „markaz‟ juga
terdapat beberapa tenda yang dipakai oleh para pemuda untuk bermalam. Jamaah an- Nadzir memang memisahkan tempat menginap antara laki-laki pemuda yang belum
menikah dan anak-anak dan perempuan sebelum usia mereka memasuki fase akil baligh
43
. B.
Sejarah Kemunculan An-Nadzir.
Bagian ini akan menjelaskan awal kemunculan Jamaah an-Nadzir di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan. Selain itu, juga akan dijelaskan pasang surut
perkembangan Jamaah an-Nadzir dalam mempertahankan eksistensi komunitas mereka. Pada subbab ini juga akan dipaparkan bagaimana komunitas ini membangun konstruksi
identitas mereka, pilihan cara Jamaah an-Nadzir menampilkan diri serta sistem yang mereka bangun dalam komunitas mereka yang dipandang agak berbeda dengan
kebanyakan masyarakatkomunitas lainnya. Komunitas Jamaah an-Nadzir muncul dan berkembang melalui kedatangan
seorang da‟i Malaysia kelahiran Dumai, Pekanbaru bernama Kiai Samsuri Abdul Madjid sekitar tahun 1998 yang melakukan perjalanan dakwah ke berbagai wilayah di
Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan, khususnya di kota Makassar dan Kabupaten Luwu. Kiai Samsuri menitikberatkan dakwahnya pada pemurnian aqidah dan sunnah
serta pengembalian akhlak kaum Muslim sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah.
Sebelum menggunakan nama An-Nadzir kelompok ini bernama jamaah Jundullah, akan tetapi, pada tahun 2001 penggunaan nama Jundullah tersebut mendapat
gugatan dari Agus Dwi Karna yang merupakan aktivis Laskar Jundullah, sebuah Laskar yang dibentuk oleh Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam KPPSI yang
43
Wawancara dengan Ismail kepala dapur umum An-Nadzir
mengklaim telah lebih dahulu menggunakan nama Jundullah. Akibat gugatan tersebut jamaah ini kemudian berganti nama menjadi yayasan An-Nadzir pada tahun 2002.
Menurut pengakuan Lukman Bakti Taufan 147: 2012, setelah mendapat gugatan karena pemakaian nama Jundullah tersebut, Syamsuri Abdul Madjid melakukan
munajat untuk meminta petunjuk kepada Allah. Setelah bermunajat, dia membuka Al- Quran dan menemukan kata An-Nadzir. Dia lalu bermunajat lagi dan kembali membuka
Al-Quran dan menemukan kata yang sama. Hal itu terjadi sebanyak tiga kali sehingga kyai Samsuri menyimpulkan bahwa nama tersebut merupakan nama yang diridhai oleh
Allah untuk digunakan. Nama An-Nadzir juga dianggap sejalan dengan misi kenabian yang pernah dijalankan oleh Rasulullah sebagai pemberi peringatan kepada manusia.
Sejak saat itu dia mengirim pesan singkat ke berbagai media untuk menyatakan bahwa nama Jundullah tidak lagi digunakan oleh komunitasnya dan segala hal yang terkait
dengan nama tersebut tidak ada lagi sangkut pautnya dengan jamaah pimpinan Samsuri. Dia dan jamaahnya tidak lagi bertanggung jawab jika terdapat masalah di kemudian hari
terkait dengan nama Jundullah. Kata an-Nadzir
sendiri secara etimologis berarti pemberi sebagai „pemberi peringatan‟. Jamaah an-Nadzir melalui semangat yang terkandung dari namanya
menurut mereka berusaha menyeru dan mengajak umat Islam untuk kembali kepada ajaran nabi Muhammad yang „murni‟. Menurut Jamaah an-Nadzir, ajaran Islam saat ini
dinilai tidak lagi „murni‟ karena telah bercampur baur dan dipengaruhi oleh banyak hal
di luar Islam.
Komunitas an-Nadzir memiliki jaringan ke berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Jakarta, Medan, Banjarmasin, Batam, Dumai, Batubara, Bogor, dan di berbagai
daerah di Sulawesi Selatan. Khusus di Sulawesi Selatan, perkembangan awal An-Nadzir dimulai di tanah Luwu. Terutama ketika Abah Syamsuri Madjid masih eksis melakukan
dakwah keagamaan di Luwu, pengikut An-Nadzir mulai berkembang di Kota Palopo dan beberapa tempat di Kabupaten Luwu. Namun, ketika kegiatan dakwah Abah
Syamsuri Madjid mulai jarang dilakukan, bahkan setelah ia meninggal dunia pada tahun 2006, Komunitas an-Nadzir di Luwu mengalami stagnasi. Puncaknya, ketika
pemerintah daerah mengeluarkan surat keputusan untuk menghentikan segala bentuk aktivitas an-Nadzir di tanah Luwu dengan berbagai pertimbangan lihat hasil penelitian
Balai Litbang Agama tentang komunitas An-Nadzir di Luwu tahun 2006
44
. Setelah mengalami stagnasi karena pelarangan aktivitas oleh institusi pemerintah
dan meninggalnya Kiai Samsuri Abdul Madjid selaku pemimpin mereka, Jamaah an- Nadzir mau tidak mau harus mencari lokasi baru jika mereka ingin eksistensi jamaahnya
tidak terhenti. Para pengikut Jamaah an-Nadzir kemudian mencari lahan untuk mendirikan perkampungan mereka secara mandiri. Kehadiran perkampungan mandiri
merupakan sesuatu yang sangat penting menurut mereka, sebab kehadiran perkampungan mandiri menjadi salah satu jaminan Jamaah an-Nadzir dapat
menjalankan ibadah dengan t enang, nyaman dan aman dari „gangguan‟ dan ancaman
pihak luar. Jamaah dalam pengertian An-Nadzir bukan hanya sekedar sekumpulan orang
yang berkumpul di waktu tertentu seperti jamaah mesjid atau jamaah pengajian. Jamaah
44
Lih Saprillah hlm 3
yang sesungguhnya menurut mereka adalah sekelompok orang yang hidup bersama selama 24 jam dalam sehari semalam untuk merintis dan menegakkan nilai-nilai
keselamatan Islam sebagaimana yang diajarkan Rasulullah. Untuk mewujudkan cita- cita mereka itulah sangat diperlukan sebuah pemukiman mandiri di mana mereka bisa
mengorganisir jamaah mereka dengan baik.
45
Setelah melalui berbagai dialog akhirnya daerah Mawang dipilih sebagai tempat bermukim baru Jamaah an-Nadzir. Sepanjang penelitian saya terdapat berbagai alasan
mengapa Mawang dipilih sebagai basis perkumpulan mereka. Alasan yang pertama lebih bersifat
„rasional‟ dibanding alasan lainnya yang lebih sarat dengan upaya mistifikasi daerah Mawang it
u sendiri. Alasan yang lebih „rasional‟ terlihat dari argumentasi Ustadz Lukman Bakti
46
dalam acara silaturahmi Jamaah an-Nadzir sebagaimana yang dikutip Taufan 2012: 153.
“…Bukan karena saya orang Sulawesi dan bukan karena saya dekat di Mawang, lalu saya katakan Mawang sangat kaya. Pertama, secara geografis,
sumber daya alamnya adalah pertanian. Kemudian berbicara dari segi kapasitas, kita bisa akses dengan harga yang masih minim dibandingkan
dengan daerah-daerah lain. Kedua, dari segi integrasi lokasi, kita bisa bebaskan sampai beberapa hektar dalam satu lahan yang tidak terpisah-pisah.
Berarti kita bisa mendapatkan akses lokasi yang menyatu, tidak parsial dengan harga yang masih bisa dijangkau. Ketiga, faktor iklimnya. Adapun
resistensi masyarakat Insya Allah itu bisa dieliminir dengan pemberian pemahaman-pemahaman yang tidak memberikan suatu bentuk pemaksaan
atau bentuk pengajakan kepada mereka. Yang terpenting, saya bilang, di sini ada tokoh. Di sini ada tokoh kita, walaupun orangnya muda, tapi sangat
dituakan dalam pandangan siapapun. Dia secara biologis, secara logika, secara otak saya bilang, dia cukup dewasa. Itulah sahabat kita ustadz
Rangka. Dia memang tokoh di Kabupaten Gowa ini. Nah, Alhamdulillah Allah telah memberikan kepadanya satu kekuatan.
45
Wawancara dengan salah satu anggota Jamaah bernama Arif
46
Salah seorang unsur pimpinan Jamaah an-Nadzir. Dia adalah seorang insinyur pertanian lulusan salah satu perguruan tinggi di makassar.
Argumentasi lain yang tampaknya dibangun dalam upaya memistifikasi Mawang sebagai tempat yang sakral saya temukan dalam berbagai wawancara dengan
beberapa anggota jamaah. Menurut mereka Mawang adalah tempat pertama di muka bumi. Pemaknaan seperti ini mereka kaitka
n dengan arti kata „mawang‟ yang dalam bahasa Makassar berarti „terapung‟ atau „muncul‟. Lebih jauh mereka memitoskan
Mawang secara khusus dan Kabupaten Gowa secara umum sebagai „Qum‟ yang akan
menjadi tempat kemunculan Imam Mahdi yang akan menegakkan panji-panji kebenaran hukum Tuhan
47
. Jamaah an-Nadzir sendiri mulai menempati daerah Mawang sebagai basis utama
pembangunan Jamaah mereka pada tahun 2006. Di tempat ini mereka mengelola lahan seluas sekitar 20 Ha. Lahan sebesar itu mereka gunakan untuk berbagai kepentingan di
antaranya sebagai lahan pemukiman, lahan pertanian, budidaya ikan, sarana ibadah, tempat berdagang dan lain-lain.
Hal yang menarik dari Jamaah an-Nadzir adalah latar belakang asal usul mereka yang berbeda-beda yang tentunya menimbulkan pengalaman diasporik di antara mereka.
Para jamaah yang mendiami daerah Mawang ini berasal dari berbagai daerah, etnis, dan latar belakang yang sangat beragam. Kebanyakan Anggota Jamaah an-Nadzir berasal
dari daerah Luwu, Palopo, Bone, dan berbagai wilayah di Sulawesi Selatan, namun sebagian jamaah juga ada yang berasal dari Sumatera, Jawa, Kalimantan dan daerah
lainnya di Indonesia termasuk para penduduk lokal yang beralih menjadi pengikut mereka. Kedatangan mereka sejak tahun 2006 ini bukan dengan dengan cara serentak
47
Wawancara dengan Jamaah bernama Arif
melainkan secara berangsur-angsur hingga menjadi sebuah komunitas yang cukup mapan sekarang ini.
Tindakan para pengikut Jamaah an-Nadzir yang melakukan perjalanan „berhijrah‟ merupakan sebuah tindakan yang sangat revolusioner setidak-tidaknya bagi
mereka sendiri. Bagaimana tidak, para Jamaah an-Nadzir yang memilih untuk bermukim di Mawang ini rela meninggalkan kampung halaman mereka, harta benda,
pekerjaan, bahkan keluarga. Beberapa anggota jamaah pun mengaku bahwa ada di antara mereka yang dikucilkan oleh keluarga karena pilihannya untuk menjadi anggota
Jamaah an-Nadzir. Berdasarkan tempat tinggalnya Jamaah an-Nadzir terbagi dua yaitu jamaah
mukim dan jamaah non mukim. Jamaah non mukim adalah jamaah yang tidak berdomisili di Mawang karena berbagai alasan, sedangkan jamaah mukim adalah yang
berdomisili di Mawang. Jamaah an-Nadzir yang bermukim di Mawang Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan ini dapat dengan mudah dikenali. Hal ini disebabkan tampilan
fisik mereka yang pada umumnya berbeda dengan orang kebanyakan atau umat Islam kebanyakan. Jamaah laki-laki An-Nadzir rata-rata berambut panjang sebahu, selain itu
mereka juga mewarnai rambutnya dengan warna dominan kuning atau merah. Para Jamaah laki-laki juga memelihara jenggot dan memanjangkannya. Ciri khas lain Jamaah
an-Nadzir adalah pakaiannya. Mereka biasanya memakai jubah dan sorban di kepala, serta memakai celak. Cara berpakaian seperti mereka gunakan khususnya jika meraka
akan melakukan ibadah shalat, namun jika sedang beraktivitas, tidak sedikit dari jamaah yang berpakaian biasa saja - tanpa jubah dan sorban-. Sementara itu jamaah
perempuan berpakaian tertutup dengan jilbab besar disertai kain penutup muka. Tata
cara berpakaian dan tampilan fisik seperti ini juga mereka terapkan kepada anak-anak mereka. Selain itu para anggota jamaah yang sudah dewasa juga selalu membawa
badik
48
di balik celana jika mereka bepergian di sekitar wilayah kelurahan yang mereka tempati. Menariknya, kebiasaan membawa senjata tajam ini terkesan dibiarkan dan
dimaklumi oleh aparat keamanan setempat dan dianggap sebagai sesuat u yang „khas‟
An-Nadzir. Tata cara berpakaian dan tampilan fisik seperti ini menurut Jamaah an-Nadzir
merupakan tata cara berpakaian yang terapkan oleh Rasulullah kepada umatnya. Mereka berpakaian seperti itu dalam rangka menjalankan perintah dan sunnah Rasulullah.
Argumentasi mengenai cara berpakaian mereka dapat dilihat dari petikan wawancara yang saya lakukan dengan seorang jamaah bernama Ismail yang merupakan salah satu
pengikut awal Jamaah an-Nadzir. Begini, kami di sini itu hanya berusaha menjalankan sunnah Rasulullah.
Dalam menjalankan sunnah rasul itu kami di sini tidak memilih-milih mana sunnah yang ringan atau menguntungkan kami saja. Tata cara berpakaian
seperti ini itu adalah sunnah nabi. Nabi itu ketika memasuki Makkah pada saat Fathul Makkah mengepang dua rambutnya dan mengecat rambutnya.
Bagaimana mungkin nabi bisa mengepang rambutnya kalau rambutnya itu pendek seperti rambutmu. Yang bisa dikepang hanya rambut yang panjang.
Jamaah an-Nadzir melakukan kritik balik terhadap orang-orang yang mengkritik cara berpakaian mereka yang cenderung dianggap esensialis, puritan dan terlalu
skriptualis dalam memaknai teks-teks suci dengan mengatakan bahwa umat Islam saat ini sudah jauh meninggalkan ajaran nabi dalam tata cara berpenampilan. Menurut
Jamaah an-Nadzir saat ini tata cara berpakaian laki-laki dan perempuan Muslim sudah terbalik, di mana laki-laki berpenampilan tertutup sementara para perempuan malah
48
Senjata tajam khas Sulawesi Selatan
berpakaian lebih terbuka. Fenomena yang demikian itu menurut An-Nadzir sudah bertentangan dengan ajaran Islam sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad.
„Keekstreman‟ fashion yang dipilih oleh komunitas Jamaah an-Nadzir sempat menimbulkan kecurigaan berbagai pihak bahwa mereka terkait dengan gerakan radikal
Islam tertentu. Kepolisian daerah Sulawesi Selatan bahkan pernah melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap Jamaah an-Nadzir. Namun dari hasil
penelusuran, kepolisian tidak menemukan adanya bukti atau indikasi bahwa komunitas Jamaah terlibat dalam gerakan terorisme atau gerakan radikal tertentu. Untuk
menghindari fitnah, Jamaah an-Nadzir memeriksa dengan teliti siapa saja yang masuk ke wilayah mereka, mereka bahkan melakukan ronda setiap malam untuk menghidari
upaya tertentu dari pihak manapun yang ingin berniat jahat memfitnah mereka. Perbedaan pilihan busana dan cara menampilkan diri bukan tanpa resiko, dalam
masyarakat multikultur, pakaian seringkali menjadi ajang perjuangan yang paling panas dan keras. Sebagai sebuah simbol identitas budaya yang padat dan kelihatan, pakaian
menjadi permasalahan penting bagi para individu yang terlibat, pakaian membangkitkan segala perilaku kecemasan dan kemarahan yang sadar maupun tidak sadar dalam
masyarakat yang lebih luas.
49
Pakaian sebagai identitas yang tampak secara jelas memang rentan mengundang persoalandipersoalkan. Identitas pakaian yang dipakai
untuk mengafirmasi identitas tertentu untuk membedakan identitas dirikomunitas dengan orang lainkomunitas lain dapat mengundang polemik apabila tidak ditanggapi
secara dewasa.
49
Lih Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism, hlm 322
Di Indonesia, polemik berpakaian sendiri memang kerap menjadi persoalan yang banyak mengundang berbagai respon. Salah satunya adalah pro dan kontra Rancangan
Undang-Undang RUU anti pornografi. Rancangan Undang-Undang Pornografi adalah sebuah produk hukum berbentuk undang-undang yang mengatur mengenai pornografi.
Undang-undang ini disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008
.
50
Undang-undang UU ini oleh para penggugatnya ditentang karena dianggap bahwa akan terlalu jauh mengatur hal-hal yang sangat pribadi dan personal dalam
masyarakat. Undang-undang ini juga berpretensi melahirkan upaya penyeragaman budaya di tengah pluralitas dan keragamaan sosial budaya masyarakat Indonesia.
undang-undang pornografi dianggap satu standar norma dan susila, padahal standar norma dan susila itu berbeda pada setiap tempat dan kebudayaan. UU Pornografi juga
diandaikan menyudutkan kaum perempuan dan anak-anak yang kerap dianggap pemicu dari kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Pengesahan UU ini meletimigasi
stigma diskriminatif tertentu yang dilekatkan terhadap perempuan.
51
Berbagai alasan tersebut di atas membuat beberapa kalangan seperti kalangan pekerja seni, akademisi, budayawan, anggota LSM dengan tegas menolak Rancangan
Undang-Undang tersebut. Beberapa daerah juga dengan tegas menolak UU Pornografi dan menyatakan tidak akan akan menjalankan RUU tersebut jika tetap disahkan menjadi
UU oleh pemerintah. Daerah-daerah yang menolak itu antara lain; Bali, NTT, Sulawesi Utara, Papua Barat, dan Sumatera Utara. Namun demikian, kalangan yang mendukung
50
Http. Wikipedia.com. Undang-Undang Pornografi
51
http , kesimpulan Komnas Perempuan dalam Judicial Review UU tentang Pornografi
UU pornografi juga tidak kalah banyak, beberapa ormas besar bahkan termasuk di dalamnya seperti MUI, ICMI, FPI, Hizbut Tahrir dan lain-lain. Pendapat pro- kontra ini
menimbulkan berbagai aksi massa- baik menolak atau mendukung-, perbedatan dan propaganda yang saling menyerang wacana satu sama lain.
Tata cara berpakaian dan penampilan fisik Jamaah an-Nadzir yang berbeda- ataupun dianggap berbeda- dengan umat Islam kebanyakan juga sempat mengundang
banyak kecurigaan dari masyarakat setempat dan berbagai pihak lain. Bagaimana tidak cara berpakaian Jamaah an-Nadzir berambut panjang dan diwarnai, memakai jubah,
bercadar bagi yang perempuan, serta membawa badik bukanlah cara berpakaian yang lazim di kalangan umat Islam apalagi di lingkungan yang ditinggali komunitas an-
Nadzir yang berada di pelosok desa. Namun demikian Jamaah an-Nadzir mampu menyakinkan masyarakat dan istitusi keagamaan setempat bahwa tata cara berpakaian
mereka itu bukanlah sebuah hal yang bertentangan ataupun menyimpan dari kaidah- kaidah syariat Islam. Bahkan, tata cara berpakaian dan tampilan fisik yang demikian
itulah menurut Jamaah an-Nadzir merupakan manifestasi dari ajaran yang dicontohkan dan dianjurkan oleh Rasulullah tentang cara berpakaian dan berpenampilan yang
sepatutnya diteladani oleh segenap umat Muslim. Bagi Jamaah an-Nadzir meneladani kehidupan sebagaimana yang dicontohkan
nabi adalah sebuah keharusan. Apa yang mereka lakukan adalah menjalanka sunnah Rasullullah secara keseluruhan tanpa memilih-milih secara politis mana sunnah sifatnya
ringan dilakukan ataupun yang berat. Dengan argumentasi seperti itu, komunitas Jamaah an-Nadzir seolah menggugat orang-orang yang memproblematisir tata cara
berpakaian ataupun cara jamaah ini menampilkan diri sebagai sebuah gugatan yang
salah alamat, dan bahkan „sebenarnya‟ orang maupun komunitas lain yang mengugat itulah yang dianggap tidak menjalankan Islam secara „kaffah‟.
C. Politik Interaksi Keseharian