Messianisme dalam Berbagai Kosntruksi

BAB III KONSTRUKSI WACANA MESSIANISME JAMAAH AN-NADZIR

A. Messianisme dalam Berbagai Kosntruksi

Messianisme adalah gagasan bahwa di akhir zaman, akan muncul seorang pemimpin- spritual dan politik- yang akan mengakhiri penderitaan panjang sebagian besar umat manusia dan membawa kehidupan manusia menuju masa paling gemilang dalam sejarah peradaban manusia, pemimpin tersebut akan memenuhi dunia dengan kesejahterahaan dan keadilan serta memusnahkan kezaliman dan penindasan di seluruh penjuru dunia. Gagasan atau pengharapan terhadap sosok messianis merupakan hal yang telah lama ada. Konsep tentang messianisme adalah konsep universal yang dapat ditemui pada hampir seluruh agama-agama besar dunia, khususnya pada agama-agama samawi –Yahudi, Kristen, Islam. Gagasan messianistik juga terdapat dalam agama Hindu, Buddha, dan Zoroaster. Gagasan messianisme pada setiap agama berbeda-beda dan menunjukkan kekhasannya masing-masing. Orang Yahudi meyakini bahwa mereka sedang menunggu mesias mereka yang belum datang, berbeda dengan Umat Kristen yang sedang menunggu kedatangan kedua Sang Messiah 69 . Umat Hindu menunggu kedatangan „Krishna Kedua‟, penganut agama Buddha menantikan kedatangan tokoh yang serupa dengan Mahatma Gautama, Kaum Sikh mengharapkan kedatangan seorang Guru lagi, sementara Umat Islam menanti kebangkitan tokoh messianik mereka, Imam Mahdi 70 . 69 Lih Sachedina, Islamic Messianism The Idea of Mahdi in Twelver Shiism, State University of New York Press, Albany, 1981, hlm 2 70 Lih Saleh Asyabib Nahdi, Imam Mahdi atau RatuAdil?, Arista Brahmatyasa, 1992, Hlm 1 Pengharapan akan seorang pembebas –meskipun dalam konstruksi yang berbeda- menunjukkan bahwa gagasan messianisme adalah sesuatu yang umum diyakini dalam agama-agama dunia. Istilah Messianisme sendiri merupakan istilah yang sangat dekat dengan doktrin teologi Yahudi-Kristen. Penggunaan istilah tersebut mungkin terasa aneh jika ditempatkan dalam konteks Islam, namun demikian, istilah tersebut tetap sangat mungkin digunakan dalam konteks Islam jika sedari awal kita telah menetapkan dalam arti apa kita menggunakan istilah tesebut. Penggunaan istilah messianisme untuk mengkaji sosok messias Islam Mahdi salah satunya dapat kita lihat dari penilitian Abdulaziz Abdulhussein Sachedina tentang konsep messianistik dalam Islam Syiah Imamiyah 71 . Gagasan messianisme Islam sedikit banyak dipengaruhi ataupun memiliki kesamaan dengan gagasan messianisme Yahudi-Kristen. Bagaimanapun juga, Islam- seperti juga Yahudi-Kristen –mengatakan dan mendasarkan tradisi agamanya pada tradisi monoteisme Nabi Ibrahim. Meskipun kesamaan dengan ide-ide messiah Yahudi- Kristen, gagasan Mahdi yang dimiliki oleh Umat Islam tetap memiliki warna yang khas Islam. Doktrin Islam tentang keselamatan tidak memahami manusia sebagai orang berdosa yang harus diselamatkan melalui regenerasi spiritual. Doktrin keselamatan Islam juga tidak menjanjikan keselamatan dan pengampunan hanya untuk bangsa tertentu dengan jaminan dari realisasi Kerajaan Allah di tanah yang dijanjikan untuk 71 Lih Sachedina, Islamic Messianism The Idea of Mahdi in Twelver Shiism, State University of New York Press, Albany, 1981, hlm 1 sebuah komunitas otonom yang unik 72 . Doktin keselamatan dalam Islam bersifat lebih kosmopolitan, Penekanan dasar keselamatan Islam terletak pada tanggung jawab historis dari pengikutnya melalui pembentukan masyarakat religio-politik yang ideal, sebuah ummah, yang beranggotakan seluruh umat Muslim di setiap penjuru dunia yang percaya pada Allah dan wahyu-Nya melalui Muhammad. Sebelum lebih lanjut membicarakan tentang messianisme Jamaah an-Nadzir – yang menjadi objek material kajian ini- perlu kami tekankan kembali bahwa penelitian ini tidak dimaksudkan untuk mengafirmasi ataupun membenarkan klaim tertentu dari berbagai pihak tentang siapa sosok Imam Mahdi. Penelitian ini juga tidak akan membahas tentang otentitas dalil-dalil hadist yang digunakan oleh berbagai kelompok Islam untuk mereprepsentasikan pemahaman mereka tentang Imam Mahdi. Penelitian ini bukanlah penelitian kajian teologi melainkan dimaksudkan sebagai penelitian kajian budaya. Messianisme dalam hal ini dipandang sebagai sebuah fenomena budaya yang terdapat di masyarakat –dalam hal ini adalah Jamaah an-Nadzir-. Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk membenarkan atau menyalahkan klaim tertentu, melainkan berupaya menelusuri bagaimana konsep tersebut dibangun, hal-hal yang mempengaruhinya, serta bagaimana konsep tersebut dipraktikkan. Sosok messianik dalam teologi Islam adalah seseorang yang dikenal dengan nama al-Mahdi al-Muntadzar. Sejak kapan kepercayaan terhadap Imam Mahdi muncul dan menjadi merata di lingkungan Islam? Menjawab pertanyaan tersebut Ibrahim Amini dalam bukunya 2002:3 menulis bahwa terdapat perselisihan tentang asal-usul kepercayaan terhadap Imam Mahdi. Ada yang menyatakan bahwa ide tentang Imam 72 Ibid hlm 2 Mahdi baru muncul sekitar paruh kedua abad pertama hijriah abad 7 M, masa-masa di mana Umat Islam disibukkan dengan perselisihan internal. Namun demikian, sebagian besar Umat Islam meyakini bahwa gagasan tentang Imam Mahdi telah ada sejak zaman Nabi dimana Nabi Muhammad menyampaikan ihwal tentang kedatangan al-Mahdi lebih dari sekali 73 . Sosok Imam Mahdi adalah sosok yang sangat familiar bagi umat Islam, kebangkitannya dinanti oleh umat Muslim setiap dari setiap generasi. Kemasyhuran Imam Mahdi tesebut diakui oleh sosiolog Islam ternama, Ibn Khaldun. Dalam Muqaddimah Ibn Khaldun mengatakan bahwa gagasan tentang messianisme telah masyhur di kalangan umat Islam sepanjang zaman; bahwasanya pada akhir zaman pasti akan muncul seorang pria dari keluarga Nabi Ahlulbait, yang akan menegakkan agama, menampakkan keadilan, ditaati oleh kaum Muslim, serta menjadi penguasa kerajaan-kerajaan Islam, dia akan disebut al-Mahdi 74 pemimpin yang diberi petunjuk ketuhanan. Meskipun gagasan tentang Imam Mahdi adalah perkara yang familiar bagi Umat Islam, namun interpretasi tentang siapa sosok Mahdi begitu beragam. Sepanjang perjalanan sejarah Islam, telah banyak orang atau kelompok yang mengklaim diri atau pemimpin mereka sebagai sosok Mahdi yang dijanjikan. Beberapa tokoh di masa lalu yang pernah dilekatkan status sebagai Imam mahdi sebagaimana ditulis oleh Ibrahim Amini dalam bukunya adalah Muhammad bin Hanafiyyah yang dianggap sebagai al- Mahdi oleh sebagian kaum Muslim. Ia diyakini masih hidup dan menghuni eksistensi 73 Lih Ibrahim Amini, Imam Mahdi: Penerus Kepemimpinan Ilahi, Islamic center, 2002, hlm 3 74 Lih Ibn Khaldun, Muqaddimah, Pustaka Firdaus, 2008, hlm 386 gaib di Gunung Radwah. Dia akan bangkit lagi di masa depan dan akan memenuhi bumi dengan keadilan dan persamaan. Sebuah kelompok yang disebut al-Jarudiyah di antara kaum Zaidiyah percaya bahwa Muhammad bin Abdullah bin Hasan adalah Mahdi, dan ia dalam persembunyiannya 75 . Bahkan seorang khalifah Abbasyiah bernama Muhammad bin Abu Ja‟far al-Mansur menggelari dirinya sebagai al-Mahdi untuk meraih simpati masyarakat pada saat itu 76 . Membicarakan tentang konsep tokoh messianistik dalam Islam sangat sulit dilepaskan dari dimensi politis karena bangunan konstruksi messianisme kelompok- kelompok Islam biasanya sangat dipengaruhi oleh afiliasi politik mereka. Bahkan, perpecahan Islam pada awalnya bukanlah karena perbedaan interpretasi teologis melainkan perbedaan pandangan politik dalam membangun ummah pasca meninggalnya Muhammad. Pada fase awal Islam, messianisme menguat- sebelumnya telah dinyatakan bahwa gagasan messianik telah ada semenjak zaman Nabi- khususnya setelah pembantaian cucu Muhammad, Husain bin Ali di padang Karbala. Hal ini adalah respon terhadap para pemimpin imperium Islam yang dianggap tidak adil dan telah membawa Islam keluar dari spirit awal yang dibawa Muhammad sehingga masyarakat merindukan sosok ideal yang mereka harap akan membawa kesatuan ummah dan menegakkan keadilan. Pada umumnya umat Islam meyakini bahwa sosok Imam Mahdi yang dijanjikan di akhir zaman adalah keturunan Nabi Muhammad ahlul bait dari pernikahan putrinya 75 Ibid hlm 31 76 Lih Armstrong Islam: Sejarah singkat, jendela, 2003, hlm 63 Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib 77 . Meski demikian, sosok al-Mahdi secara ril masih seringkali menuai perbedaan dan perdebatan. Perbedaan ini sekali lagi tidak bisa dilepaskan dari pilihan politik- dan teologi- yang mereka anut yang menimbulkan perbedaan dalam konstruksi tentang siapa sosok al-Mahdi. Perbedaan konstruksi messianik tersebut terlihat jelas pada dua sekte Islam terbesar, Sunni dan Syiah. Kelompok Sunni- secara umum- hanya mempercayai bahwa figur Imam Mahdi yang dijanjikan berasal dari keturunan Nabi, namun tidak secara pasti menentukan siapa sosok Imam Mahdi, bahkan mereka memercayai bahwa Imam Mahdi belum lahir dan belum pernah eksis di dunia ini 78 . Selain itu, juga terdapat kelompok Sunni yang meyakini bahwa sosok Messiah pada akhir zaman adalah Yesus Isa ibn Maryam. Kepercayaan terhadap sosok mesias dalam kelompok Sunni tidak menempati posisi yang teramat penting sebagaimana dipahami kelompok Syiah –meski demikian kepercayaan terhadap Imam mahdi dalam Sunni tetaplah penting khususnya jika dikaitkan dengan keimanan terhadap hari kiamat- yang menjadikannya sebagai basis aqidah. Sementara itu, konstruksi messianisme kelompok Islam Syiah mengambil dimensi yang berbeda dengan kelompok Islam Sunni. Konsep messianisme kelompok Syiah sendiri terbagi-bagi dalam banyak versi. Namun, dalam tulisan ini hanya akan dikemukakan konstruksi pemahaman messianistik Syiah Itsna Asyariyah Syiah Imam 77 Meskipun demikian tetap ada sekelompok kecil orang yang mengklaim diri Al-mahdi walau bukan berasal dari itrah-garis keturunan- Nabi Muhammad. Salah satu contohnya adalah khalifah Abbasiyah yang telah sebutkan. Bahkan ada beberapa hadis yang dibuat untuk menguatkan wacana tersebut. Namun demikian hal itu tidak menjadi konsentrasi dalam penelitian ini. 78 Lih Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah?, Lentera Hati, 2007, hlm 128 Dua Belas atau juga dikenal dengan nama Syiah Imamiah yang merupakan kelompok Syiah mayoritas saat ini. Berbeda dengan kelompok Sunni, dalam paham Syiah kepercayaan tentang sosok messiah merupakan hal yang sangat penting dan mendasar. Kepercayaan terhadap sosok messiah al-Mahdi menempati posisi yang penting dalam Syiah karena perkara itu merupakan salah satu fondasi keimanan mereka, khususnya yang berkaitan dengan masalah imamah –lebih jauh mengenai persoalan imamah akan dipaparkan dalam bab selanjutnya. Syiah yang merupakan sebuah kelompok –awalnya politik lalu juga menjadi teologis- loyalis Ali bin Abi Thalib ketika terjadi fitnah 79 dan persilihan pada abad-abad permulaan sejarah Islam meyakini bahwa sosok Imam Mahdi yang dijanjikan adalah keturunan nabi yang berasal dari hasil perkawinan putrinya Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib. Secara lebih spesifik kaum Syiah Imamiah menyatakan bahwa Imam Mahdi berasal dari keturunan Husain- karena Fatimah dan Ali juga punya anak laki-laki lain bernama Hasan- dan merupakan keturunan kesembilan dari cucu Rasulullah yang syahid di padang Karbala tersebut. Konstruksi tentang asal usul keturunan ini menjadi penting dalam Syiah Imamiyah karena konstruksi tentang garis keturunan tersebut menjadi pembeda dengan sekte Syiah lainnya, dan secara lebih luas membedakan konstruksi messianisme mereka dengan kelompok Islam lainnya. Bagi kaum Syiah Imamiah, Imam Mahdi telah dilahirkan ke dunia ini dan telah eksis. Al-Mahdi al-Muntazar merupakan Imam kedua belas mereka. Beliau bernama 79 Istilah ini digunakan oleh Armstrong dalam bukunya Islam; Sejarah Singkat, Jendela, 2003. Muhammad ibn Hasan al-Askari yang digelari al-Mahdi 80 . Beliau adalah anak laki-laki dari Imam kesebelas mereka, Imam Hasan al-Askari. Klaim Mahdi Syiah ini seringkali diragukan oleh pihak lain karena kurangnya saksi selain dari pihak Syiah yang menyaksikan dan mengetahui tentang kelahiran dan masa kecil Imam Mahdi tersebut. Namun demikian, pihak Syiah berargumen bahwa kelahiran Imam Mahdi memang harus dirahasiakan saat itu oleh ayahnya untuk menjaga keselamatan jiwa Imam mengingat kondisi politik saat itu yang tidak berpihak dan membahayakan bagi kaum Syiah- apatah lagi para Imam dan keluarganya- di bawah imperium dua dinasti awal Islam, yaitu dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang tidak segan memenjarakan bahkan membunuh para ahlulbait apabila dianggap berpotensi mengganggu stabilitas kekuasaan 81 . Syiah Imamiyah percaya tentang adanya imam-imam yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad atau Imam sebelumnya. Namun dalam penetapan jumlah, kriteria, dan sifat-sifat imam kaum Syiah berbeda. Syiah Itsna Asyariyah meyakini adanya dua belas Imam, kesemuanya memiliki garis keturunan yang bersambung hingga Sayyidina al- Husain, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra, Putri Muhammad. Berikut adalah urutan imam-imam sebagaimana diyakini oleh kelompok Syiah Istna Asyariyah : 1. Ali ibn Abi Thalib 23 SH- 40 H 2. Hasan ibn Ali az-Zaki 2 H-50 H 3. Husain ibn Ali Sayyid asy-Syuhada 3-61 H 80 Imam Mahdi dalam Syiah dikenal dengan berbagai macam gelar seperti al-Hujjah, al-Qasim al- Muntazar, Shahib az-Zaman, namun yang paling populer adalah gelar al-Mahdi. 81 Lih Baqir Shadr, Imam Mahdi Sebagai Simbol Perdamaian Dunia, penerbit al-Huda, 2004, hlm 132 4. Ali ibn al-Husain Zainal Abidin 38 – 95 H 5. Abu Ja‟far Muhammad bin Ali al-Baqir 57-114 H 6. Abu Abdullah Ja‟far bin Muhammad al-Shadiq 83-148 H 7. Abu Ibrahim Musa bin Ja‟far al-Kadzim 128 – 183 8. Abu Hasan Ali ibn Musa ar-Ridha 148-203 H 9. Abu Ja‟far Muhammad bin Ali al-Jawad 195-220 H 10. Abu Hasan Ali bin Muhammad al-Hadi 212-254 H 11. Abu Muhammad al-Hasan bin Ali al-Askari 232-260 H 12. Abu al-Qasim Muhammad bin al-Hasan al-Mahdi. 255 H - Dari pemaparan singkat di atas, jelaslah bahwa Syiah Imamiyah meyakini bahwa Imam Mahdi telah lahir dan telah eksis di dunia ini. Imam Mahdi dalam versi Syiah dilahirkan pada ta nggal 15 Sya‟ban tahun 255 Hijriah menurut pendapat yang masyhur 82 . Namun demikian, revolusi politik dan sosial yang menjadi tugas Imam belum dapat dijalankan saat itu karena usianya yang masih muda dan waktu tersebut belumlah waktu yang ditentukan untuk al-Mahdi oleh Tuhan. Imam Mahdi dalam kepercayaan Syiah Imamiah mengalami dua masa kegaiban yaitu ghaib kubra gaib panjang dan ghaib shugra gaib pendek. Kegaiban pendek Imam Mahdi dimulai sejak wafat ayahnya, Imam Hasan al-Askari pada tahun 260 Hijriah 83 . Selama periode kegaiban pendek tersebut, tugas keimaman al-Mahdi terhadap kaum Syiah beliau wakilkan melalui perantara yang dipilih olehnya. Ghaib Shugra berakhir seiring dengan wafatnya perantara terakhir Imam yaitu Abu al-Hasan Ali as- Samary yang wa fat pada tanggal 15 Sya‟ban 329 Hijriah. Dengan demikian periode kegaiban pendek Imam mahdi berlangsung selama 70 tahun. 82 Lih Anwar Muhammad Aris Ed, Teladan Abadi Imam Mahdi, penerbit al-Huda,2007, hlm 147 83 Ibid hlm 178-179. Dengan berakhirnya periode Ghaib Shugra, Imam Mahdi dalam pandangan Syiah Imamiyah memasuki periode Ghaib Kubra. Kegaiban panjang ditandai melalui wafatnya perantara terahkir sementara Imam tidak menunjuk pengganti untuk menjadi perantara baru antara Imam dan kaum Syiah. Periode ini akan berlangsung tanpa batas waktu yang ditentukan. Imam Mahdi baru akan muncul pada waktu yang dikehendaki oleh Tuhan. Kebangkitan Imam Mahdi, mesias Islam, setelah kegaiban panjang, merupakan konsekuensi langsung dari doktrin ghayba. Doktrin kegaiban mengandaikan atau mengharuskan adanya kebangkitan kembali. Okultasi, seberapa pun panjang waktunya, masih keadaan sementara untuk Imam Kedua Belas Syiah dalam rangka konsolidasi posisinya sebelum ia bangkit sebagai pemulih kemurnian Islam. Doktrin kegaiban ini menurut Sachedina mempunyai dua tujuan: pertama, doktrin ini menjadi penghibur para pengikut Imam Syiah sekaligus menjaga harapan pemulihan pemerintahan Islam yang murni melalui al-Mahdi. kedua, doktrin tersebut dapat membenarkan keterlambatan kebangkitan Imam karena tanda-tanda yang diramalkan tentang kemenangan Mahdi, belum terpenuhi 84 . Periode kegaiban panjang Imam Mahdi –versi Syiah- yang telah berlangsung sangat lama membuat cerita ini terkesan mirip dongeng atau legenda yang sulit ditemui dalam kehidupan nyata. Bagaimana mungkin seorang manusia bisa hidup lebih dari 1000 tahun? Hal ini pulalah yang membuat kaum Sunni –yang mempercayai akan kemunculan Imam Mahdi- menolak klaim kaum Syiah yang mereka anggap kurang 84 Lih Sachedina, Islamic Messianism The Idea of Mahdi in Twelver Shiism, State University of New York Press, Albany, 1981, hlm 151 logis. Namun demikian, tuduhan tersebut dijawab oleh ulama-ulama Syiah bahwa umur panjang Imam Mahdi adalah sesuatu hal yang mungkin secara logis dan teoritis. Argumentasi mereka berusaha diperkuat melalui beberapa contoh penelitian sains dan argumen filosofis, namun hal tesebut tidak akan saya jelaskan pada tulisan ini. 85 Hal lain yang juga menjadi polemik adalah waktu dan tempat kebangkitan Imam Mahdi. Sebagaian besar kelompok Islam –baik Sunni maupun Syiah- tidak menentukan secara pasti kapan waktu kebangkitan al-Mahdi yang mereka yakini. Ketidaktetapan waktu tersebut menimbulkan berbagai spekulasi mengenai waktu kebangkitan al-Mahdi di kalangan umat Islam. Dalam tradisi Syiah, mayoritas meyakini bahwa hari kebangkitan Imam Mahdi akan bertepatan dengan hari kesepuluh bulan Muharram, yaitu hari Asyura, yang akan jatuh pada hari Sabtu, di salah satu tahun ganjil dari kalender hijrah 86 . Pilihan hari ini menunjukan sisi politis doktrin tersebut sebab Asyura menempati posisi yang signifikan dalam sejarah Syiah. Itu adalah hari di mana al-Husain, keluarga dan pengikutnya menjadi martir karena pembantaian pasukan Yazid bin Muawiyah. peringatan Asyura oleh komunitas Syiah menunjukkan bahwa „Asyura‟ tidak hanya sebagai peringatan kesedihan mereka untuk penderitaan yang diderita oleh keluarga Nabi, tetapi juga kerinduan mereka untuk keturunan Imam ini untuk bangkit melawan keadaan sosial yang tak tertahankan dan membangun hukum yang adil dan setara. 85 Untuk informasi tentang argumentasi para ulama Syiah terkait umur panjang Imam Mahdi bisa dilihat salah satunya pada buku Imam Mahdi Sebagai Perdamaian Dunia yang disusun oleh Muhammad Baqir ass-Shadr dkk, diterbitkan oleh penerbit al-Huda. 86 Ibid hlm 157 Hal yang juga dispekulasikan adalah tempat kemunculan Imam Mahdi. Ada beberapa versi kaum Syiah mengenai tempat kemunculan al-Mahdi, ada yang menyebut al-Mahdi akan muncul di Karbala, ada pula yang menyebut Kufah tempat ibukota Ali, namun yang paling masyhur adalah bahwa Imam Mahdi akan muncul dari Mekkah 87 . Pilihan-pilihan tempat tersebut sekali lagi erat kaitannya dengan sejarah dan muatan politis. Karbala, sebagaimana kita tahu adalah tempat di mana al-Husain –putra Ali dan cucu Nabi- beserta keluarga dan pengikutnya dibunuh. Kufah adalah kota yang dijadikan Ali bin Abi Thalib sebagai ibukota negara ketika beliau menjadi Amirul Mu‟minin. Periode kepemerintahan Ali merupakan periode yang idealisasi kaum Syiah. Sementara Makkah, adalah kota di mana Islam Lahir, Makkah juga menjadi simbol penyatuan umat. Sebelum kedatangan Imam Mahdi, keadaan dunia ini diramalkan akan dipenuhi dengan berbagai gejolak sosial, keterpurukan ekonomi dan dekandensi moral yang membuat keadaan masyarakat menjadi kacau balau. Imam Mahdi akan muncul untuk memenuhi dunia dengan keadilan dan kesetaraan melalui penegakan hukum- hukum Tuhan setelah sebelumnya dunia ini dipenuhi dengan ketidakadilan dan penindasan. Dia akan mengalahkan pasukan-pasukan musuh dan hukum-hukum Thogut. Bersama dengan Isa ibn Maryam akan membunuh Dajjal, bahkan Nabi Isa Yesus akan shalat di belakang Imam Mahdi yang menandakan afirmasi terhadap ketokohan ilahi al- Mahdi dan klaim Islam bahwa mereka adalah agama samawi yang paling „benar‟ di mata Tuhan. 87 Ibid hlm 160 Kemunculan sang messiah Imam Mahdi –yang selalu dimohonkan agar dipercepat kemunculannya dalam banyak doa-doa kaum Syiah- akan mengakhiri inferioritas kaum Syiah dari segi politik dan hegemoni kekuasaan. Syiah Imamiyah Istna Asyariyah yang mendapatkan bentuk defenitifnya melalui Imam Ja‟far as-Shadiq memang menyarankan pengikutnya untuk melakukan taqiyaah semacam „politik bisu‟ menghadapi represi daulah Umayyah dan Abbasiyah pada saat itu. „Politik bisu‟ tersebut dilakukan untuk menyelamatkan kaum Syiah dari kemusnahan, karena serangkaian upaya pemberontakan fisik secara langsung terhadap imperium Islam saat itu terbukti tidak berhasil. „Politik bisu‟ tersebut akan senantiasa dilakukan sampai sang Messiah, Imam Mahdi al-Muntazar yang dijanjikan akan datang dan mengakhiri penindasan yang mereka alami serta mengembalikan Islam pada masa kejayaan seperti ketika Muhammad masih hidup. Ketidakjelasan ataupun keluwesan berkaitan dengan perkara waktu dan tempat kebangkitan Imam Mahdi membuat banyak orang maupun kelompok melakukan spekulasi mengenai hal tersebut. Banyak argumentasi digunakan untuk menguatkan klaim tersebut, baik yang terkesan hanya konstruksi mitos maupun klaim yang berusaha nampak ilmiah. Salah satu contohnya adalah apa yang dilakukan oleh Jaber Bolushi melalui buku kontroversialnya, Oktober 2015 Imam Mahdi Akan Datang. Dalam usahanya meramalkan waktu kedatangan Imam Mahdi, Bolushi menggunakan metode al-jumal al-taqlidi dan jumal al-shagir, yaitu sebuah mekanisme hitung-hitungan yang berkembang dalam tradisi bahasa Arab. Ini salah satu peninggalan klasik dalam sejarah Arab tentang bagaimana menyingkap angka yang tersembunyi di balik huruf dan kalimat. Dengan itu, kita dapat menyingkap petunjuk rahasia yang tersembunyi dalam kata-kata 88 . Al-jumal al-taqlidi dan jumal al-shagir berisi rumus lengkap angka nilai sebuah huruf. Dengan menggunakan rumus tersebut, dapat dihitung nilai sebuah kalimat. Caranya dengan menjumlahkan nilai setiap kalimatnya. Dengan menggunakan ayat-ayat Alquran tertentu yang dianggap berkaitan dengan Mahdi untuk kemudian dihitung berdasarkan metode di atas. Bolushi sampai pada kesimpulan yang sangat spekulatif bahwa Imam Mahdi akan muncul pada oktober 2015. 89

B. Messianisme di Indonesia