Konstruksi Messianisme Jamaah AN-NADZIR di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

(1)

ix

Manusia selalu merasa ada yang kurang dari dirinya dan terus menerus berusaha dipenuhi. ‘Kekurangan’ tersebut bisa disebabkan oleh kesenjangan ekonomi, politik, budaya, agama yang dianggap tidak ideal. Kekurangan tersebut menghadirkan rasa tidak puas yang pada akhirnya melahirkan resistensi melalui berbagai cara. Salah satu kelompok yang merasa tidak puas atau menganggap realitas hidup saat ini bukanlah realitas yang ideal dan ‘semestinya ada’ adalah Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Ketidakpuasaan Jamaah an-Nadzir disebabkan konstruksi mereka tentang bagaimana seharusnya kehidupan beragama dalam Islam menurut imaji mereka yang semakin tergerus oleh arus modernisasi dan sekularisasi. Ketidakpuasan tersebut mendorong Jamaah an-Nadzir untuk membentuk sebuah komunitas mandiri di mana mereka dapat menjalankan apa yang mereka yakini secara bebas.

Gerakan yang diusung oleh Jamaah an-Nadzir sangat kental dengan unsur messianisme. Messianisme adalah sebuah gerakan yang mengharapkan dan berusaha mewujudkan ‘pemerintahan ideal’ setelah zaman yang dianggap bobrok di bawah kepemimpinan tokoh tertentu yang dianggap sebagai perwujudan kehendak ilahi. Messianisme an-Nadzir didasarkan pada klaim teologi Islam. Komunitas an-Nadzir meyakini dan sekaligus mengklaim bahwa mereka sedang mempersiapkan kedatangan sosok mesias Islam, Imam Mahdi. Imam Mahdi dalam konstruksi jamaah dibuat berbeda dengan konstruksi kelompok Islam lainnya. Di sini, mereka menambahkan unsur narasi lokal, seperti penghubungan sosok Imam Mahdi dengan tokoh lokal Kahar Muzakkar dan pendiri komunitas, Kyai Samsuri Abdul Madjid.

Messianisme an-Nadzir dalam penilitian ini akan dipandang dari perspektifinvention of tradition

untuk menelusuri sejauh mana gagasan messianisme an-Nadzir hadir sebagai sebuah kreasi. Kreasi messianisme Jamaaah an-Nadzir tidak bisa dilepaskan dari konsep-konsep mesianisme yang telah mapan. Penelitian ini juga berusaha menelusuri dan menunjukkan kompleksitas relasi wacana/kekuasaan yang terdapat dalam berbagai konsep messianisme, sebab bagaimana pun juga messianisme merupakan sebuah medan kontestasi di mana makna terus menerus dipertarungkan.


(2)

x ABSTRACT

Human being always feels that there is something missing, so they try to fullfil it. It can be caused of economic, political, religious and cultural disparity. It causes dissatisfaction that in turn stimulates resistance in many ways. One such dissatisfied community with the dissatisfaction is an-Nadzir community, who lives in Gowa District, South Sulawesi. They are not satisfied with the Islamic religious condition. This dissatisfaction is stimulated by their perspective on the ideal image of religious society, and for them, the Islamic religious condition nowadays is too much influenced by the modernity and secularity. As a result, they have built an autonomous community, in which they can freely live the life based on what they believe.

The movement is dominated by messianism movement. Messianism is a movement that tries to implement ideal governance, since they claim that the world has degenerated under the figure of the representation of God in the world. An-Nadzir messianism is based on an Islamic theological claim. They believe that the savior messiah, Imam Mahdi, would appear in this world, and they have to prepare for it. The Imam Mahdi concept is constructed differently from the other constructions. The Imam Mahdi concept is contextualized with local story. It is connected to the figure of Kahar Muzakkar and the founding father of the community, Kyai Samsuri Abdul Madjid.

In this thesis, An-Nadzir messianism is viewed from the perspective of “invention of tradition”, to investigate the emergence of an-Nadzir as a creation. The an-Nadzir messianism construction is closely related to the other established concepts of messianism. This research tries to investigate as well as to show the complexity, the power/knowledge relation of the messianism concepts. It is finally to show that messianism is an arena of ongoing contestation/negotiation for truth.

Key words: Religious Movement, Messianism, Construction, Invention, Power/Knowledge Relation.


(3)

i

DI KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN

TESIS

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniaora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh:

I M R A N

116322014

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2014


(4)

ii

TESIS

KONSTRUKSI MESSIANISME JAMAAH AN-NADZIR

DI KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN

Oleh: I M R A N 116322014

Telah disetujui oleh

Albertus Bagus Laksana, S.J, S.S, Ph.D. ………


(5)

iii

TESIS

KONSTRUKSI MESSIANISME JAMAAH AN-NADZIR

DI KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN

Oleh: I M R A N 116322014

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis Pada tanggal 14 Juli 2014

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Tim Penguji

Ketua : Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J. ………

Sekertaris : Dr. Katrin Bandel ………

Anggota :

1. Albertus Bagus Laksana, S.J, S.S, Ph.D. ……….

2. Dr. Stanislaus Sunardi ……….

3. Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J. ……….

Yogyakarta, 11 Agustus 2014 Direktur Program Pascasarjana


(6)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : I M R A N

NIM : 116322014

Program : Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas : Universitas Sanata Dharma Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis

Judul : Konstruksi Messianisme Jamaah An-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan

Pembimbing : Albertus Bagus Laksana, S.J, S.S, Ph.D. Tanggal diuji : 14 Juli 2014

Adalah benar-benar hasil karya saya.

Di dalam skripsi/ karya tulis/ makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya tanpa memberikan pengakuan kepada penulis aslinya.

Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora (M.Hum)yang telah saya peroleh.

Yogyakarta, 11 Agustus 2014 Yang memberikan pernyataan


(7)

v

KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : I M R A N

NIM : 116322016

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

KONSTRUKSI MESSIANISME JAMAAH AN-NADZIR DI KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 11 Agustus 2014 Yang menyatakan


(8)

vi

PENGANTAR

Ketika saya pertama kali akan melakukan penelitian pada jamaah an-Nadzir, messianisme bukanlah tema utama penelitian ini. Tema penelitian saya saat itu berjudul

Representasi dan Politik Identitas Jamaah An-Nadzir di Sulewesi Selatan. Konsentrasi penilitian saya ubah setelah melakukan observasi lapangan di mana saya menemukan bahwa keseluruhan wacana dan praktik teologi jamaah an-Nadzir diikat dan berpusat pada sebuah semangat messianistik. Perubahan tema penilitian ini tidak lepas dari arahan bapak St. Sunardi yang membantu saya melihat sentralitas semangat messianisme tersebut. Perubahan tema tersebut sebenarnya tidak menghilangkan topik awal tentang representasi dan politik identitas, sebab bagaimanapun juga messianisme adalah pembentukan sebuah wacana yang sarat dengang representasi dan politik identitas.

Wacana messianisme Islam sangat erat kaitannya dengan Islam Syiah. Literatur menyangkut messinanisme Islam sangat banyak ditulis dalam kerangka teologi Syiah. Bagaimana tidak, dalam doktrin Syiah messianisme atau mahdisme merupakan fondasi keyakinan (Aqidah). Syiah meyakini bahwa setelah nabi terdapat para pemimpin terpilih (imam) yang bertugas menjadi penjaga risalah ilahi, kepemimpinan tersebut berakhir pada Imam Mahdi yang gaib pada sekitar tahun 250 hijriah dan dipercayai akan muncul kembali pada waktu yang telah ditentukan Tuhan.

Hubungan erat antara wacana messianisme dalam Islam yang menjadi tema utama penelitian ini dan teologi Syiah melahirkan sebuah pengalaman psikologis bagi saya –saya belum berani menyebutnya sebagai pengalaman spiritual. Saya adalah


(9)

vii

seseorang yang tumbuh dalam tradisi pesantren. Enam tahun masa sekolah mulai dari madrasah Tsanawiyah (SMP) sampai Madrasah Aliah saya tempuh di pondok pesantren Darud Dakwah Wal Irsyad al-Ikhlas Takkalasi, kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Pesantren saya tersebut seperti kebanyakan pesantren di Indonesia beraliran Sunni. Praktis seluruh pengetahuan teologis saya dibentuk dari konstruksi teologi Ahlus Sunnah.

Sejak di pesantren saya telah bertemu dengan wacana Syiah melalui berbagai kitab kuning, tapi itu dilakukan dalam rangka menolak klaim-klaim Syiah. Penelitian ini seperti yang saya katakan sebelumnya sangat erat dengan teologi Syiah mengharuskan saya untuk membaca literatur-literatur tersebut dari sudut pandang baru dan berbeda. Pengalaman membaca tersebut membuat saya menyadari kompleksitas sejarah Islam dari masa lalu sampai hari ini. Harus saya akui bahwa saya menaruh simpati pada teologi Syiah –sebab saya belum yakin untuk mengatakan bahwa saya Syiah-.

Pengalaman ini saya sampaikan hanya untuk jujur tentang bagaimana pengalaman saya melakukan penelitian ini. Namun demikian, simpati tersebut tidak akan membuat penelitian lebih condong untuk mendukung klaim salah satu sekte atau bersifat tidak netral. Sama sekali tidak. Toh lagi pula tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai kampanye atas sebuah konstruksi teologi tertentu, bahkan penelitian ini dimaksudkan untuk memperlihatkan unsur-unsur kreasi dan relasi wacana/kekuasaan dalam pelbagai klaim teologis.

Terima kasih yang sebesar-besarnya harus saya sampaikan kepada pembimbing tesis saya, Romo Bagus Laksana. berkat bimbingan, masukan dan arahan beliau tesis ini


(10)

viii

mendapatkan pola dan logikanya. Kepada seluruh dosen Ilmu Religi dan Budaya, bapak St. Sunardi, Romo Subanar, Romo Beny H. Juliawan, bapak George Junus Aditjonro, Mbak Katrin Bandel, dan bapak A. Supratiknya, Romo Haryatmoko, berkat mereka semua horizon pengetahuan saya menjadi semakin bertambah.

Terima kasih juga saya haturkan kepada teman-teman seangkatan di IRB, Arham Rahman, Kurniasih, Vini Oktaviani Handayani, Wahmuji, Frans Pangrante, Lamser, Doni Agung Setiawan, dan teman-teman lain yang tidak sempat saya sebutkan satu per satu. Peran mereka sangat besar selama saya menempuh studi bukan hanya sebagai teman nongkrong, tetapi juga sebagai parner diskusi yang langsung maupun tidak langsung memberi kontribusi terhadap penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada pihak Lembaga Penyalur Dana Pendidikan (LPDP) yang telah bersedia mendanai penelitian ini.

Akhirnya, inilah tesis saya, harapan saya tesis ini dapat memberi kontribusi dalam dinamika ilmu pengetahuan khususnya untuk bidang kajian budaya danreligious studies.

Yogyakarta, 7 Juli 2014

Penulis imran


(11)

ix

Manusia selalu merasa ada yang kurang dari dirinya dan terus menerus berusaha dipenuhi. ‘Kekurangan’ tersebut bisa disebabkan oleh kesenjangan ekonomi, politik, budaya, agama yang dianggap tidak ideal. Kekurangan tersebut menghadirkan rasa tidak puas yang pada akhirnya melahirkan resistensi melalui berbagai cara. Salah satu kelompok yang merasa tidak puas atau menganggap realitas hidup saat ini bukanlah realitas yang ideal dan ‘semestinya ada’ adalah Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Ketidakpuasaan Jamaah an-Nadzir disebabkan konstruksi mereka tentang bagaimana seharusnya kehidupan beragama dalam Islam menurut imaji mereka yang semakin tergerus oleh arus modernisasi dan sekularisasi. Ketidakpuasan tersebut mendorong Jamaah an-Nadzir untuk membentuk sebuah komunitas mandiri di mana mereka dapat menjalankan apa yang mereka yakini secara bebas.

Gerakan yang diusung oleh Jamaah an-Nadzir sangat kental dengan unsur messianisme. Messianisme adalah sebuah gerakan yang mengharapkan dan berusaha mewujudkan ‘pemerintahan ideal’ setelah zaman yang dianggap bobrok di bawah kepemimpinan tokoh tertentu yang dianggap sebagai perwujudan kehendak ilahi. Messianisme an-Nadzir didasarkan pada klaim teologi Islam. Komunitas an-Nadzir meyakini dan sekaligus mengklaim bahwa mereka sedang mempersiapkan kedatangan sosok mesias Islam, Imam Mahdi. Imam Mahdi dalam konstruksi jamaah dibuat berbeda dengan konstruksi kelompok Islam lainnya. Di sini, mereka menambahkan unsur narasi lokal, seperti penghubungan sosok Imam Mahdi dengan tokoh lokal Kahar Muzakkar dan pendiri komunitas, Kyai Samsuri Abdul Madjid.

Messianisme an-Nadzir dalam penilitian ini akan dipandang dari perspektifinvention of tradition

untuk menelusuri sejauh mana gagasan messianisme an-Nadzir hadir sebagai sebuah kreasi. Kreasi messianisme Jamaaah an-Nadzir tidak bisa dilepaskan dari konsep-konsep mesianisme yang telah mapan. Penelitian ini juga berusaha menelusuri dan menunjukkan kompleksitas relasi wacana/kekuasaan yang terdapat dalam berbagai konsep messianisme, sebab bagaimana pun juga messianisme merupakan sebuah medan kontestasi di mana makna terus menerus dipertarungkan.


(12)

x ABSTRACT

Human being always feels that there is something missing, so they try to fullfil it. It can be caused of economic, political, religious and cultural disparity. It causes dissatisfaction that in turn stimulates resistance in many ways. One such dissatisfied community with the dissatisfaction is an-Nadzir community, who lives in Gowa District, South Sulawesi. They are not satisfied with the Islamic religious condition. This dissatisfaction is stimulated by their perspective on the ideal image of religious society, and for them, the Islamic religious condition nowadays is too much influenced by the modernity and secularity. As a result, they have built an autonomous community, in which they can freely live the life based on what they believe.

The movement is dominated by messianism movement. Messianism is a movement that tries to implement ideal governance, since they claim that the world has degenerated under the figure of the representation of God in the world. An-Nadzir messianism is based on an Islamic theological claim. They believe that the savior messiah, Imam Mahdi, would appear in this world, and they have to prepare for it. The Imam Mahdi concept is constructed differently from the other constructions. The Imam Mahdi concept is contextualized with local story. It is connected to the figure of Kahar Muzakkar and the founding father of the community, Kyai Samsuri Abdul Madjid.

In this thesis, An-Nadzir messianism is viewed from the perspective of “invention of tradition”, to investigate the emergence of an-Nadzir as a creation. The an-Nadzir messianism construction is closely related to the other established concepts of messianism. This research tries to investigate as well as to show the complexity, the power/knowledge relation of the messianism concepts. It is finally to show that messianism is an arena of ongoing contestation/negotiation for truth.

Key words: Religious Movement, Messianism, Construction, Invention, Power/Knowledge Relation.


(13)

xi DAFTAR ISI

JUDUL TESIS ……….. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. ii

PENGESAHAN ……… iii

PERNYATAAN ……… iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ………... v

KATA PENGANTAR ……….. vi

ABSTRAK ……… ix

ABSTRACT ……….. x

DAFTAR ISI ……… xi

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ……… 1

B. TEMA ………... 12

C. RUMUSAN MASALAH ……… 12

D. TUJUAN PENELITIAN ……… 13

E. MANFAAT PENELITIAN ……… 14

F. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS ……….. 15

F.1. Tinjauan Pustaka ………. 15

F.2. Kerangka Teori ……… 20

G. METODE PENELITIAN ………... 36

H. PENGOLAHAN DATA ……….. 38


(14)

xii BAB II

GENEALOGI JAMAAH AN-NADZIR

A. Letak Geografis ……… 39

B. Sejarah Kemunculan An-Nadzir ……… 42

C. Politik Interaksi Keseharian ... 52

D. Paham (Interpretasi) Teologis : Upaya kembali Kepada Yang “Asli” ... 62

BAB III KONSTRUKSI WACANA MESSIANISME JAMAAH AN-NADZIR A. Messianisme dalam Berbagai Konstruksi .……… 75

B. Messianisme di Indonesia ………... 88

C. Konstruksi Messianisme Jamaah an-Nadzir ……… 98

BAB IV KONTRUKSI KEPEMIMPINAN JAMAAH AN-NADZIR A. Konstruksi Kepemimpinan Islam: Sebuah Polemik ……… 121

B. Dinamika Konstuksi Pemerintahan Islam di Sulawesi Selatan ………… 135

C. Konstruksi Sistem Kepemimpinan Jamaah An-Nadzir ……… 149

BAB V PENUTUP A. Messianisme = Revivalisme? ……… 166

B. Messianisme Sebagai Medan Kontestasi ………. 168


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Proses liberalisasi dan globalisasi dalam berbagai bentuk yang sedang melanda seluruh penjuru dunia serta berdampak pada seluruh aspek kehidupan manusia membuat beberapa kalangan meramalkan bahwa kehidupan manusia akan terbawa pada arus kehidupan yang lebih sekular. Manusia cenderung akan meninggalkan agama atau setidak-tidaknya era ini akan ditandai dengan berkurangnya aspek religiusitas umat manusia. Namun, ramalan tersebut sepertinya tidak sepenuhnya tepat jika kita tempatkan dalam konteks masyarakat Indonesia. Globalisasi ternyata tidak serta merta membuat masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang lebih sekular, beberapa fenomena bahkan menunjukkan bahwa terjadi semacam penguatan aspek religuitas dan gerakan-gerakan keagamaan pada masyarakat.

Fenomena penguatan atau kebangkitan gerakan keagamaan sebenarnya bukanlah fenomena khas Indonesia. Di tempat lain fenomena yang demikian itu juga dapat dengan mudah dijumpai. Hal ini boleh jadi adalah respon terhadap modernisasi yang disikapi secara beragam oleh berbagai pihak. Bagi kaum Modernis, sekularisasi terhadap dimensi kehidupan manusia dianggap sebagai jalan menuju pencerahan umat manusia dari belenggu fenomena agama yang „terbelakang‟, „tahayyul‟ atau „reaksioner‟. Sebaliknya oleh kelompok yang menolak ide modernitas (termasuk oleh sebagian kelompok agama), modernisasi (sekularisasi) dianggap sebagai penyebab utama dekadensi nilai-nilai agama, baik dalam ranah masyarakat maupun dalam ranah individu. Meskipun terlihat saling bertentangan, namun relasi kedua kelompok ini


(16)

sepertinya tidak sekadar dalam bentuk pengingkaran satu sama lain, tetapi juga terdapat adaptasi dan negosiasi di antara keduanya.

Bagaimana asal-usul kebangkitan agama ini bisa muncul? Peter L Berger dalam artikelnya „The Desecularization Of The World‟1 mengajukan dua jawaban. Pertama, modernitas cenderung memporak-porandakan kepastian-kepastian yang telah diterima secara taken for granted oleh masyarakat sepanjang zaman. Tindakan ini amat tidak disukai oleh penganut agama yang tidak bersikap toleran serta gerakan-gerakan keagamaan yang menghendaki kepastian tersebut dapat dipertahankan. Kedua, kenyataan bahwa pandangan sekuler tentang realitas memperoleh tempat sosial yang penting dalam kultur elit, sehingga menimbulkan kemarahan dari kalangan yang tidak ikut ambil bagian, dan kalangan yang merasa hal tersebut akan menimbulkan pengaruh buruk.

Selain fenomena penguatan keagamaan, salah satu fenomena yang menarik adalah munculnya aliran-aliran keagamaan yang lebih beragam. Hal ini disebabkan keleluasaan untuk berkumpul dan berpendapat yang sudah dapat dilakukan secara lebih terbuka oleh masyarakat setelah sekian lama dibungkam dan dikekang rezim Orde Baru pimpinan Soeharto. Namun pertumbuhan keberagaman aliran dan penafsiran yang berkaitan dengan persoalan keagamaan tersebut bukannya tanpa persoalan. Kehadiran berbagai aliran baru (sebagian bahkan telah ada sebelum reformasi) seringkali tidak dibarengi dengan kedewasaan untuk saling menerima perbedaan. Kelompok minoritas seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan diskriminatif. Beberapa

1

Lih, Peter L Berger, Kebangkitan Agama Menantang Politik Dunia, Penerbit Ar-Ruzz, Yogyakarta, 2003 Hlm 32


(17)

komunitas agama non-mainstream bahkan didefinisikan sebagai aliran sesat oleh komunitas dominan/ mainstream atau oleh institusi Negara. Tidak hanya itu, komunitas yang didefinisikan sesat tersebut bahkan kerap kali mendapatkan perlakuan kekerasan yang mengancam keselamatan hidup mereka. Sebut saja penyerangan, pengusiran, dan kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah di berbagai daerah di Indonesia atau penyerangan yang menyebabkan kerugian material dan korban jiwa terhadap komunitas Syiah di Sampang, Madura oleh kelompok tertentu dengan dalih bahwa hal itu dilakukan sebagai tindakan protektif „terhadap keyakinan yang benar‟.

Terlepas dari segala macam pembelaan yang diutarakan setiap kali terjadi konflik berbau agama (baik antar kelompok seagama maupun antar agama) yang sering dianggap hanya merupakan rekayasa konflik dan untuk kepentingan politis tertentu, namun hal yang sepertinya sulit dipungkiri adalah bahwa benih kebencian terhadap kelompok yang „berbeda‟ memang sungguh ada dan telah ditanamkan baik secara sadar maupun tidak sadar. Sebab provokasi tidak akan berhasil dengan mudah jika benih-benih kebencian tidak ada. Sebagian besar penganut agama masih tidak bisa menerima kelompok lain yang „berbeda‟ dengan kelompoknya. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada jarak antara ajaran agama yang katanya membawa spirit perdamaian dengan tindakan „beragama‟2.

Fenomena lain yang muncul belakangan- walaupun sebenarnya fenomena ini bukanlah sesuatu yang benar-benar baru- adalah munculnya komunitas-komunitas agama dengan semangat messianistik. Gerakan messianistik adalah sebuah gerakan

2Lih, Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi‟, Gramedia, Jakarta, 2010,Hlm 83


(18)

keagamaan yang merindukan datangnya juru selamat untuk menyelamatkan kehidupan manusia dan menegakkan hukum Tuhan secara menyeluruh. Dalam beberapa penelitian terdahulu, gerakan agama yang berorientasi messianistik kerap dihubungkan dengan keadaan sosial masyarakat yang carut marut (baik dari segi sosial, ekonomi politik, dan agama). Gerakan messianistik juga dalam arti tertentu kerap dianggap sarat dengan semangat revolusioner dan olehnya itu dianggap sangat berpotensi mengancam stabilitas kekuasaan pemerintah3.

Namun demikian, apakah gerakan agama yang messianistik selalu muncul sebagai respon atas ketidakjelasan kondisi sosial masyarakat? Apakah semua gerakan messianistik secara reduksionis dapat dikatakan berpretensi mengganggu kemapanan kekuasaan? Kompleksitas dalam gerakan messianistik inilah yang ingin saya coba telusuri melalui aspek-aspek gerakan messianistik yang terdapat dalam komunitas Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Gerakan messianistik sendiri bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia. Berbagai macam gerakan messianistik telah dikenal oleh masyarakat nusantara bahkan ketika Indonesia sebagai Negara belum ada. Masyarakat Jawa misalnya telah mengenal konsep Ratu Adil yang biasanya dihubungkan dengan ramalan dari Prabu Jayabaya tentang keadaan masa depan masyarakat Jawa4. Masyarakat di Sulawesi Selatan yang menjadi lokasi penelitian ini juga telah mengenal konsep messianisme sejak lama lewat konsep to- manurung. Konsep tentang to- manurung ini sendiri sebenarnya tidak serta

3

Lih Sartono, Ratu Adil, Sinar Harapan, 1984, hlm 10 4

Lih Sartono Kartodirdjo, Catatan Tentang Segi-segi Messianistis dalam Sejarah Indonesia, Universitas Gadja Mada, 1959, hlm 7


(19)

merta mengandung arti messianis, namun dalam perkembangannya konsep to-manurung sangat kental dengan unsur-unsur messianistik.

Konsep To manurung sendiri merupakan konsep yang erat kaitannya dengan sejarah terbentuknya kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan (Kerajaan Gowa, Bone, Soppeng). Kedatangan to manurung di Sulawesi Selatan digambarkan oleh lontara5sebagai sesuatu yang dihajatkan, antara lain untuk mengakhiri keadaan yang sedang kacau balau6. Pengharapan tentang datangnya to-manurung seringkali muncul apabila masyarakat berhadapan dengan ketidakpastian sosial yang berlangsung secara terus menerus. Konsep ataupun gerakan yang bersifat messianistik seperti ini di Sulawesi Selatan mengalami metafora setelah perjumpaan antara unsur kepercayaan lokal dengan unsur eskatologi Islam. Hal yang sama sepertinya juga berlaku dalam konsep Ratu Adil masyarakat Jawa, bahkan dalam arti tertentu konsep tentang Ratu adil di Jawa sedikit lebih kompleks karena mempertemukan unsur kepercayaan/kebudayaan lokal yang bertemu dengan konsep Hindu-Budha dan konsep eskatologi Islam.

Komunitas Jamaah an-Nadzir adalah kelompok Islam minoritas yang terdapat di wilayah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Jamaah an-Nadzir yang berasal dari berbagai daerah dan latar belakang tersebut memilih bertempat tinggal sebagai sebuah komunitas mandiri di tempat yang cukup terpencil tepatnya di tepi danau Mawang, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan sekitar 20 Kilometer dari kota Makassar. Selain di Kabupaten Gowa, Komunitas an-Nadzir memiliki jaringan di berbagai daerah

5

Manuskrip sejarah yang biasanya berkaitan dengan masyarakat, tokoh, atau sejarah kerajaan yang ditulis dalam aksara lokal

6

Lih Mattulada, LATOA: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Hasanuddin University Press, 1995, hlm 416


(20)

di Indonesia, mulai dari Jakarta, Medan, Banjarmasin, Batam, Dumai, Batubara, Bogor, dan di berbagai daerah di Sulawesi Selatan.7

Jamaah an-Nadzir di Indonesia didirikan oleh Kyai Syamsuri Abdul Madjid pada tahun 1998 yang melakukan perjalanan dakwah ke berbagai daerah di Indonesia termasuk di Sulawesi Selatan, khususnya di Makassar dan di Luwu. Menariknya, Kyai Syamsuri Abdul Madjid oleh anggota Jamaah an-Nadzir kerap dikaitkan sebagai sosok titisan Kahar Muzakkar, tokoh pejuang gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan. Di awal keberadaannya, Jamaah an-Nadzir ini sempat menimbulkan kecurigaan dari berbagai pihak, bahkan kepolisian dan intelejen sempat mendatangi komunitas mereka karena dicurigai melakukan praktik terorisme ataupun menyebarkan ajaran „sesat‟.

Anggapan bernada miring tersebut dikarenakan Jamaah an-Nadzir ini memiliki kekhasan yang membedakannya atau dianggap berbeda dengan umat Muslim pada umumnya. Kekhasan itu salah satunya berasal dari tampilan fisik mereka yang berbeda. Jamaah an-Nadzir yang bermukim di Desa Mawang (sebagian Jamaah tidak bermukim pada pemukiman komunitas) diwajibkan memanjangkan rambut dan mewarnainya, selain itu mereka juga lebih sering menampilkan diri dengan memakai sorban hitam. Tak ketinggalan, mereka juga memakai celak. Sedang kaum muslimah an-Nadzir menggunakan jilbab besar disertai kain cadar penutup muka, namun tidak sedikit juga muslimah an-Nadzir yang hanya mengenakan jilbab biasa seperti kebanyakan wanita muslim pada umumnya. Tata cara berpakaian seperti ini bahkan telah mereka terapkan pada anak-anak mereka sejak dini. Tata cara berpakaian dan penampilan fisik yang

7

Nusantaraislam.blogspot.com. Menengok Perkampungan Jamaah An Nadzir di Sulsel. Diakses tanggal 6 Juni 2012


(21)

berbeda dengan penampilan umat Islam pada umumnya dalam pandangan jamaah ini disandarkan pada hadits-hadits shohih dalam rangka melaksanakan sunnah rasul.

Kekhasan Jamaah an-Nadzir tidak hanya terletak pada penampilan fisik dan tafsiran teologi mereka tetapi juga cara hidup dan pola ekonomi mereka. Komunitas an-Nadzir berusaha mengembangkan sebuah pola ekonomi mandiri untuk menghidupi dan membiayai komunitas mereka. Komunitas ini menyadari bahwa ekonomi yang kuat dapat menjadi landasan komunitas agar tetap utuh, apalagi komunitas ini kebanyakan adalah pendatang yang meninggalkan daerah dan pekerjaan mereka sebelumnya untuk hidup sebagai sebuah komunitas. Hal ini membuat pengelolaan ekonomi sangat dibutuhkan demi kelanjutan hidup komunitas.

Pada awalnya, komunitas an-Nadzir lebih banyak bergerak di bidang pertanian dan pertambakan serta budi daya ikan. Jamaah an-Nadzir sejauh ini berhasil mengembangkan kedua sektor tersebut. Keberhasilan mereka mengelola pertanian dan perikanan membuat sebagian masyarakat setempat tertarik bekerja sama dengan komunitas ini dengan memberikan lahan mereka untuk dikelola oleh Jamaah an-Nadzir dengan sistem bagi hasil. Komunitas an-Nadzir juga mulai merambah dunia usaha dengan membuka beberapa usaha seperti bengkel sepeda motor, warung pulsa dan handphone, usaha depot air galon, dan membuka pasar tradisional. Usaha ekonomi mandiri ini tidak hanya mereka peruntukkan kepada komunitas saja tetapi juga untuk masyarakat umum yang ada di sekitar daerah Mawang. Menariknya mata pencaharian jamaah ini tidak bersifat individu, namun merupakan pekerjaan jama‟ah. Seluruh potensi usaha kreatif dilakukan atas nama komunitas dan keuntungan dari usaha tidak


(22)

menjadi milik individu-individu melainkan diperuntukan untuk pengembangan komunitas.

Sisi lain yang menarik dari jamaah ini adalah metode pendidikan dan pembelajaran yang mereka terapkan pada anak-anak mereka. Jamaah an-Nadzir mengembangkan sistem pendidikan mandiri kepada anak-anak mereka. Mereka tidak memasukkan anak-anak ke sekolah-sekolah formal baik negeri maupun swasta. Mereka mengambil alih pendidikan anak-anak mereka dengan mengadakan pendidikan sendiri dengan menggunakan tenaga pengajar dari kalangan mereka sendiri. Mereka hanya mengajarkan Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Hafalan Alqur‟an dalam sebuah madrasah dengan tetap menerapkan disiplin waktu. Pola pendidikan an-Nadzir ini sedikit banyak mirip dengan pola pendidikan ala pesantren tradisional.

Sistem pendidikan seperti ini tidak menyediakan ijazah sebagaimana layaknya sekolah-sekolah formal. Mereka sendiri tidak memproyeksikan anak-anak mereka untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Mereka hanya mempersiapkan anak-anak mereka sebagai pelanjut dari cita-cita komunitas di masa depan. Melalui sistem pendidikan yang seperti ini, Jamaah an-Nadzir mendekonstruksi pemikiran mainstream tentang pendidikan. Mereka seakan merevisi pandangan konvensional bahwa mereka tidak akan bisa hidup “layak” tanpa bantuan sistem pendidikan formal. Jamaah an-Nadzir membuktikan bahwa sebuah komunitas dapat “melanjutkan hidup” tanpa harus terjebak dalam sistem pendidikan formal yang telah tergerus dalam logika pasar kapitalisme.


(23)

Membicarakan sebuah komunitas agama (Islam) minoritas di Indonesia sepertinya tidak lengkap tanpa membicarakan aspek tafsiran teologi yang mereka yakini. Persoalan penafsiran keagamaan yang berbeda inilah yang kerap menjadi musabab utama perlakuan diskriminatif dan pelabelan hal-hal tertentu pada mereka. Namun, pembicaraan tentang hal ini tidak dalam rangka meneguhkan atau melemahkan argumen komunitas tertentu. Semua keunikan itu akan lebih dipandang sebagai sebuah bentuk politik identitas yang ditujukan untuk kepentingan dan maksud tertentu dari komunitas tersebut.

Komunitas Jamaah an-Nadzir seringkali dianggap sebagai komunitas revivalis atau fundamentalis karena cara mereka menafsirkan teks-teks suci (Al-Quran dan Hadist) yang dianggap sangat skriptualis dan tekstual. Praktik-praktik keagamaan mereka termasuk konstruksi identitas dan tampilan fisik mereka biasanya dijadikan sebagai landasan dari pelabelan revivalis mereka.

Salah satu yang membedakan Jamaah an-Nadzir dengan umat Islam kebanyakan adalah cara mereka merayakan bulan suci Ramadhan. Pada bulan suci Ramadhan Jamaah an-Nadzir hanya melaksanakan ibadah puasa dan meniadakan ibadah shalat tarawih di malam hari. Peniadaan ini dalam pandangan Jamaah an-Nadzir karena ditakutkan shalat tarawih akan dianggap wajib. Mereka merujuk kepada nabi yang semasa hidupnya hanya melakukan ibadah tarawih pada malam ke 23, 25, dan 27 bulan Ramadhan. Dalam pandangan an-Nadzir umat Islam sekarang ini seakan-akan menjadikan ibadah shalat tarawih sebagi sebuah kewajiban.


(24)

Hal lain yang menarik dari komunitas ini dan berbeda dengan kebanyakan orang Islam di Indonesia adalah mengenai penentuan waktu shalat. Dalam penentuan waktu shalat mereka tidak berpatokan pada jam (walaupun mereka tidak serta merta menolak penggunaan jam) melainkan lebih berpatokan pada tanda-tanda alam. Salah satu perbedaan mencolok adalah tidak seperti mayoritas umat Islam yang melaksanakan shalat isya di malam hari mereka melaksanakan shalat isya pada dini hari antara pukul 03.00-04.00. Bagi mereka waktu itu adalah waktu yang utama (afdhal) dan mereka tidak merasa berat apalagi terbebani melaksanakannya di waktu tersebut.

Komunitas Jamaah an-Nadzir menolak memasukkan diri dalam klasifikasi Syiah maupun Sunni, dua sekte aliran yang paling dominan dalam Islam. Mereka bukan Syiah maupun Sunni. Jamaah an-Nadzir mengklaim bahwa mereka adalah Ahlul Bait. Dalam Islam dominan Ahlul Bait biasanya digunakan sebagai istilah untuk merujuk pada keturunan atau keluarga nabi. Bagi Jamaah an-Nadzir Ahlul Bait adalah orang-orang yang melaksanakan sunnah nabi mulai dari sunnah yang kecil hingga sunnah yang besar. Itu berarti Ahlul Bait adalah orang yang meletakkan nabi sebagai teladan dalam segala hal. Komunitas an-Nadzir mencoba merebut ruang dan makna tentang siapa Ahlul Bait sesungguhnya dengan berupaya keras mempraktikkan kehidupan Nabi dan sahabatnya, dan berupaya menerjemahkan keseluruhan praktik ibadah mereka sebagai bagian dari “asli” nabi dalam kehidupan sehari-hari.

Komunitas an-Nadzir juga meyakini konsep tentang „messianisme‟. Messianisme adalah suatu pandangan yang mengandaikan munculnya seorang „mesias‟ atau penyelamat umat yang akan mengeluarkan manusia dari kondisi sosial yang sedang mengalami degradasi. Sang mesias selalu memberikan harapan akan kehidupan baru


(25)

yang lebih layak. Lebih dari itu, Sang mesias pun menampilkan legitimasi ketuhanan pada dirinya, misalnya sebagai penerima wahyu dari Tuhan.

Jamaah an-Nadzir meyakini mesias menurut mereka adalah Imam Mahdi. Imam Mahdi adalah keturunan atau keluarga nabi yang diramalkan akan muncul pada akhir zaman. Menurut Jamaah an-Nadzir Imam Mahdi telah turun dan membawa peringatan kepada umat Islam. Menariknya, Imam Mahdi sebagaimana diyakini oleh Komunitas an-Nadzir adalah Kahar Muzakkar yang mewujud dalam diri Abah Syamsuri Madjid (pendiri An-Nadzir). Jamaah an-Nadzir meyakini bahwa Kahar Muzakkar atau Abah Syamsuri Madjid telah mengalami tiga kali gaib. Gaib Sugra ketika dia masih kecil, kemudian gaib di La Solo (ketika dia dianggap mati), dan terakhir dia terhijab tahun 2006 (tahun meninggalnya Abah Syamsuri Madjid). Oleh karena Imam Mahdi telah muncul, maka kehidupan manusia saat ini menurut Jamaah ini telah memasuki fase akhir zaman.

Rencana penelitian ini dimaksudkan untuk menelusuri seperti apa aspek-aspek gerakan messianistik yang terdapat pada komunitas Jamaah an-Nadzir di kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk melihat bagaimana ideologi messianistik tersebut dirumuskan dan dijalankan serta aspek-aspek yang membedakannya dengan gerakan-gerakan messianistik lainnya.

Penelitian terkait keberadaan komunitas Jamaah an-Nadzir sendiri sudah pernah dilakukan oleh beberapa orang untuk kepentingan yang beragam. Salah satu penelitian tentang Jamaah an-Nadzir pernah dilakukan oleh Saprillah, peneliti Balai Litbang Departemen Agama kota Makassar. Penelitian tersebut diterbitkan oleh Jurnal al-Qurba. Penelitian Saprillah berjudul „Jamaah an-Nadzir, Melawan Arus Membangun


(26)

Kemandirian‟. Penelitian lain yang bersifat lebih akademis dilakukan oleh Muhammad Taufan dengan judul „Tinjauan Sosiologi Hukum Jamaah an-Nadzir‟ dan penelitian yang dilakukan oleh Mustaqim Pabbaja dengan judul „Gerakan Islam Non Mainstream, Studi Tentang Jamaah an-Nadzir Di Sulawesi Selatan‟. Dua penelitian terakhir merupakan penelitian untuk kepentingan disertasi.

Rencana penelitian ini ingin menelusuri bagaimana Jamaah an-Nadzir merumuskan paham messianistik mereka dan bagaimana paham atau keyakinan tersebut dijalankan atau dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk melihat bagaimana kompleksitas wacana yang membangun konsep messianistik yang mereka pahami, keadaan sosial yang menjadi tempat kemunculannya serta metode kepemimpinan yang mereka terapkan.

B. TEMA

Adapun tema penelitian ini adalah „Aspek-aspek Messianistik pada Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan‟.

C. RUMUSAN MASALAH

Arah penelitian ini sebagaimana telah sedikit banyak dipaparkan dalam latar belakang dimaksudkan untuk menelusuri aspek-aspek messianisme dari komunitas Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah keadaan lingkungan sosial yang melahirkan gerakan messianistik tersebut?


(27)

2. Seperti apa ideologi messianistik yang dipahami dan dikonstruksi oleh Jamaah an-Nadzir dan digunakan untuk apa?

3. Seperti apakah bentuk kepemimpinan (leadership) yang dikembangkan oleh komunitas Jamaah an-Nadzir yang ada di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan?

D. TUJUAN PENELITIAN

Merujuk pada rumusan masalah di atas maka adapun tujuan dari penelitian adalah:

1. Menelusuri bagaimanakah kondisi sosial yang melahirkan gerakan messianistik yang dipahami oleh komunitas Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Bagian ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana latar belakang sosial yang sedikit banyak melatar belakangi munculnya gerakan messianistik sebagaimana dipahami oleh komunitas ini.

2. Mengurai seperti apa ideologi messianistik yang dipahami, dikembangkan dan dijalankan oleh Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Bagian ini dimaksudkan untuk menelusuri perbedaan-perbedaan konsep tentang messianistik yang dipahami oleh komunitas ini. Bagian ini juga dimaksudkan untuk memperlihatkan kekhasan dari paham messianistik Jamaah an-Nadzir dibandingkan dengan ideologi messianistik yang dipahami oleh komunitas lain.


(28)

3. Menjelaskan bagaimana metode kepemimpinan yang dibangun dan dilaksanakan oleh Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Bagian ini dimaksudkan untuk melihat pola kepemimpinan yang terdapat dalam komunitas ini. Hal ini penting mengingat pola kepemimpinan biasanya memegang peranan sentral dalam gerakan-gerakan messianistik seperti ini.

E. MANFAAT PENELITIAN

Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Perkembangan khasanah Ilmu pengetahuan humaniora khususnya kajian budaya. Penelitian ini diharapkan akan memperkaya eksplorasi terhadap komunitas-komunitas minoritas dengan menggunakan pendekatan penelitian dengan perspektif kajian budaya di Indonesia.

2. Masyarakat luas pada umumnya agar dapat lebih bijak menanggapi berbagai perbedaan dan pluralitas dalam dinamika kehidupan bermasyarakat.

3. Penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti/mahasiswa lain yang ingin mengangkat topik serupa terutama untuk hal-hal yang tidak dibahas secara komperehensif dalam penelitian ini.


(29)

F. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS

F.1. Tinjauan Pustaka

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya pada bagian latar belakang tentang beberapa penelitian baik yang mengkaji komunitas an-Nadzir maupun komunitas minoritas lain di Sulawesi Selatan. Bagian ini akan memaparkan kelebihan dan kelemahan dari setiap penelitian ini. Bagian ini juga akan menunjukkan perbedaan dan kekhasan penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

Pertama, penelitian yang dilakukan Saprillah dengan judul „Jamaah an-Nadzir,

Membangun Arus Membangun Kemandirian‟. Penelitian ini menggambarkan sejarah kemunculan, pola hidup dan bagaimana paham keagamaan khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan syariat oleh Jamaah an-Nadzir. Kelemahan penelitian terletak pada inkonsistensi argumentasinya. Sebagai contoh, di awal tulisan penulis menyanjung pola pendidikan yang diterapkan oleh Jamaah an-Nadzir sebagai sebuah metode alternatif dan kreatif serta dapat keluar dari logika mainstream bagaimana masyarakat menilai pendidikan formal sebagai jaminan kesuksesan hidup, namun di akhir dia merekomendasikan Pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional sebagai upaya untuk menjawab keraguan komunitas ini terhadap pentingnya pendidikan (melalui jalur sekolah formal). Inkonsistensi lain adalah pemaparannya tentang pentingnya pluralitas dan kedewasaan menerima perbedaaan, namun lagi-lagi di akhir tulisannya dia beranggapan bahwa komunitas ini bisa menjadi ancaman terhadap „Islam‟ di masa depan. Penulis seperti hanya ingin menjadi legitimasi baru terhadap wacana mainstream. Hal ini mungkin disebabkan karena penulis adalah peneliti Litbang


(30)

Departemen Agama, tulisan seperti ini biasanya dimaksudkan untuk kepentingan pengeluaran kebijakan pembinaan keagamaan di masyarakat.8

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Taufan dengan judul „Tinjauan Sosiologi Hukum Jamaah an-Nadzir‟. Penelitian ini memfokuskan diri pada aspek sosiologi hukum Jamaah an-Nadzir yang dipertentangkan atau diperhadapkan dengan hukum positif dan hukum Islam. Penelitian yang dilakukan oleh Taufan ini juga ingin meneliti sejauh mana Jamaah an-Nadzir melenceng atau tidak dari kategori benar-sesatnya paham tafsir keagamaan- dalam konteks ini adalah agama Islam- yang telah dibakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai pihak yang dianggap berwenang9.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Jamaah an-Nadzir bukanlah sebuah komunitas yang mengembangkan paham aliran sesat jika merujuk pada kriteria sesat yang ditetapkan MUI. Perbedaan yang terdapat dalam paham dan praktik keagamaan merupakan sesuatu yang hanya bersifat furu‟iyah, bukan sesuatu yang ushuliyah. Taufan juga mengatakan bahwa keberadaan komunitas ini jika ditinjau dari perspektif hukum positif adalah sah karena Negara melalui konstitusi menjamin warga Negara untuk menganut agama dan kepercayaannya secara tulus tanpa paksaan dari siapapun dan golongan apapun. Aliran baru seperti an-Nadzir dilihat oleh Taufan sebagai sebuah revisi, kritik atau bahkan sebagai titik balik dari ajaran induknya.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Mustaqim Pabbaja dengan judul Gerakan Islam Non Mainstream, Studi Tentang Jamaah an-Nadzir Di Sulawesi Selatan‟.

8

Lih Saprillah, Jamaah an-Nadzir, Membangun Arus Membangun Kemandirian‟, Jurnal Alqurba 9


(31)

Penelitian ini memfokuskan diri pada dimensi sosial-ekonomi Jamaah an-Nadzir sebagai strategi pemberdayaan Jamaah. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa gerakan pemberdayaan sosial-ekonomi Jamaah an-Nadzir lebih berorientasi pada kesalehan sosial dan keselamatan individual untuk mencapai kesejahteraan sosial. Penegakkan syariat dan hukum Tuhan harus dimulai dari masing-masing individu dan kelompok. Berdasarkan hal tersebut Jamaah an-Nadzir tidak mengganggap pendirian negara Islam sebagai sesuatu yang penting. Sikap anti pendirian negara Islam menurut Mustaqim merupakan sikap positif dari gerakan An-Nadzir. Jamaah ini tidak menjadikan pendirian negara Islam sebagai agenda perjuangan, dan karena itu mereka menolak penggunaan jalur politik, tetapi mereka lebih menitikberatkan nilai Islam pada kepentingan sosial ekonomi. Perjuangan penegakan syariat Islam dianggapn sebagai perjuangan individual karena keselamatan akhirat memang bersifat nafsi-nafsi atau individual.10 Jamaah an-Nadzir dianggap sukses menjalankan sebuah sistem ekonomi mandiri yang berbasis pada pengembangan ekonomi kreatif. Keberhasilan Jamaah an-Nadzir itu tidak hanya sebatas pada komunitas mereka tetapi juga memberi banyak manfaat terhadap masyarakat sekitar yang tanahnya mereka kelola. Jamaah an-Nadzir disukai karena mereka menerapkan prinsip-prinsip kenabian dalam perkara muamalat mereka.

Selain penelitian terdahulu tentang Jamaah an-Nadzir, pada bagian ini juga akan disebutkan beberapa penelitian dengan tema gerakan messianistik yang telah dilakukan sebelumnya. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Vittorio Lanternari dalam bukunya The Religion of the Oppressed: A Study of Modern Messianic Cults

10

Lih Mustaqim Pabbaja,„Gerakan Islam Non Mainstream, Studi Tentang Jamaah an-Nadzir Di Sulawesi


(32)

pada bagian „Messianic Movement in Asia and Indonesia‟. Penelitian ini mengidentifikasi kemunculan orang-orang kharismatik yang mengombinasikan antara gagasan mitos tradisional lokal dengan ide-ide messianisme Islam11.

Peran para orang kharismatik yang biasanya adalah pemimpin agama ini sangat sentral karena orang-orang itulah yang berkeliling melakukan agitasi ke masyarakat. Para pemimpin agama ini umumnya menyebarkan isu anti Belanda. Kebencian terhadap penjajah (Belanda) semakin diperkuat dengan ide perang suci untuk mengusir penjajah sekaligus juga dalam rangka mewujudkan ide messianisme yang mereka yakini. Gerakan messianik yang diteliti oleh Lanternari yang mengambil setting masyarakat Indonesia (Jawa) ini kebanyakan dilakukan oleh kelompok petani. Kedatangan juru selamat yang dijanjikan diramalkan akan didahului oleh bencana, kerusuhan, dan ketidakpastian sosial. Karena kepercayaan dan keinginan yang kuat untuk meraih apa yang diramalkan membuat masyarakat menurut Lanternari dengan mudah mengaitkan sebuah peristiwa untuk dikaitkan dengan apa yang diramalkan.

Gerakan messianik di Indonesia mempunyai ciri yang berbeda dengan gerakan messianistik di tempat lain. Perbedaan gerakan messianistik itu terletak pada ketiadaan unsur kristianitas dan tidak adanya peran organisasi gereja dalam gerakan messianisme di Indonesia. Lebih jauh Lanternari mengatakan bahwa elemen messianisme di Indonesia dibentuk oleh inti ajaran pagan- mungkin maksudnya adalah kepercayaan lokal-, unsur Hindu-Budha, doktrin mahdisme (Islam) dan pesan messianisme baru.12

11

Lih Lanternari, The Religion of the Oppressed: A Study of Modern Messianic Cults, London. Macgibbon & kee,1963, hlm 265


(33)

Selanjutnya adalah penelitian tentang konsep Ratu Adil dalam masyarakat Jawa yang dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo. Dalam penelitian ini diberikan berbagai contoh gerakan messianisme di Jawa yang terjadi antara abad 19 dan 20. Gerakan messianistik tersebut kebanyakan didasarkan pada berbagai versi ramalan Prabu Jayabaya.13 Salah satunya dan yang paling terkenal adalah pemberontakan Pangeran Diponegoro yang mengklaim diri sebagai Erucakra. Ciri khas ramalan-ramalan juru selamat Jawa menurut Sartono meskipun pada dasarnya bersifat non-Islam, namun memuat unsur eskatologi Islam. Hal ini menunjukkan adanya negosiasi antara kepercayaan lokal dan Islam.14

Kedatangan juru selamat di Jawa diramalkan akan ditandai dengan bencana-bencana alam, dekadensi moral dan kemelaratan di kalangan masyarakat. Kedatangan sang mesias akan mengakhiri ketidakadilan dan memulihkan keharmonisan. Sang mesias akan menghalau penguasa yang lalim (Belanda) dan mendirikan Negara yang adil di mana masyarakat akan hidup sejahtera dengan makanan dan pakaian yang melimpah. Sang mesias juga akan menghapuskan wajib kerja dan wajib pajak yang besar dan memberatkan rakyat.

Gerakan messianistik yang terjadi di banyak tempat di Jawa antara abad 19 dan 20 berlangsung di bawah penjajahan Belanda maka gerakan messianistik yang terjadi saat itu juga memunculkan gejala nativisme sebagai reaksi terhadap kekuasaan asing kulit putih. Kekuasaan orang asing dianggap mengancam pengertian tentang identitas Jawa- khususnya di kalangan petani- karena meningkatnya hegemoni politik dan

13

Seorang raja Kediri, jawa timur, yang hidup sekitar abad kedua belas 14


(34)

kekuasaan asing. Pada masa itu, bukan hanya Belanda yang dimusuhi dan dibenci, tetapi juga kalangan etnis Cina dan kalangan pribumi yang berkomplot dengan Belanda karena akses mereka yang lebih luas dan besar terhadap pengelolaan sumber daya alam. Para nativis mengharapkan dan membayangkan kedatangan suatu masyarakat di mana orang kulit putih terusir dan sekutu-sekutu pribumi mereka digulingkan.

Penelitian ini secara spesifik mengambil aspek yang berbeda. Penelitian ini ingin melihat bagaimana ideologi messianistik yang dipahami, direkonstruksi dan dijalankan oleh Jamaah an- Nadzir yang ada di kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Penelitian ini juga ingin menelusuri apa yang berbeda dalam messianisme mereka dengan gerakan messianisme yang sudah pernah ada. Penelitian ini difokuskan pada tema tentang aspek messianisme yang terdapat dalam komunitas Jamaah an-Nadzir. Penelitian tentang tema messianisme pada Jamaah an-Nadzir sepanjang penulusuran saya belum pernah diteliti secara mendalam oleh para peneliti terdahulu. Penelitian terdahulu tentang Jamaah an-Nadzir, jikalau pun menyebut tentang aspek messianistiknya sepertinya hanya diperlakukan sebagai data penunjang dan dibicarakan secara sekadarnya saja. Oleh karena itu, penelitian ini ingin memfokuskan diri untuk menelusuri aspek messianistik seperti apa yang dikonstruksi oleh komunitas an-Nadzir, bukan dalam kerangka justifikasi benar-sesat melainkan melihat kompleksitas wacana dan unsur-unsur yang membangunnya.

F.2. Kerangka Teori

Kerangka teori yang akan digunakan sebagai sudut pandang dalam penelitian ini adalah konsep mengenai „The Invention of Tradition‟ (bila dialih bahasakan ke dalam


(35)

Bahasa Indonesia mungkin bisa kita sebut „penciptaan tradisi‟). Salah satu buku yang memfokuskan penelitian dan elaborasinya terhadap konsep „the Invention oh Tradition‟ dan berbagi contohnya di berbagai negara adalah sebuah buku berjudul The Invention of Tradition. Buku yang dieditori oleh Eric Hobsbawm dan Terence Ranger merupakan kumpulan esai tentang berbagai penelitian dengan tema „invention of tradition‟ yang dilakukan di berbagai daerah dan negara. Walau dilakukan di berbagai negara, namun buku ini tampaknya lebih berfokus pada negara-negara bekas jajahan Inggris (seperti India, Afrika, Skotlandia dan sebagainya).

Konsep invention of traditionbukanlah sebuah konsep yang sangat „teoritis‟ jika dibandingkan dengan teori besar seperti psikoanalisa, poskolonialisme dan sebagainya. Konsep ini hanya seperti sebuah batasan dan fokus penelitian. Dalam pengantarnya pada buku tersebut Eric Hobsbawm menjelaskan tentang konsep „invention of tradition‟ sebagai

“Invented tradition” is taken to mean a set of practices, normally governed

by overtly or tacitly accepted rules and of a ritual or symbolic nature, which seek to inculcate certain values and norms of behaviour by repetition, which automatically implies continuity with the past. In fact, where possible, they normally attempt to establish continuity with a suitable historic past.15

Penjelasan Hobsbawm tersebut menunjukkan bahwa „Invented Tradition‟ yang terjadi di berbagai tempat bukanlah praktek natural, melainkan sebuah praktek yang memang sengaja disusun sedemikian rupa untuk maksud - kebanyakan sangat bersifat politis- dan dalam kurun waktu tertentu. Menariknya, „penciptaan tradisi‟ tersebut senantiasa mengandaikan keterhubungan atau kontinuitas dengan masa lalu. Artinya,

15

Lih Eric Hobsbawm & Terence Ranger, The Invention Of Tradition, Cambridge University Press, 1983, hlm 1


(36)

masa lalu berusaha dimaknai ulang pada masa sekarang. Masa lalu dimaknai kembali untuk menyusun kondisi yang diekspektasikan pada masa sekarang dan masa depan. Pemaknaan kembali ini- yang tentunya sekali lagi sarat nuansa politis- sangat memungkinkan terjadinya pertarungan wacana dalam rangka merebut atau memapankan makna tertentu.

Buku The Invention of Tradition berusaha menunjukkan bahwa banyak „tradisi‟ di berbagai tempat di dunia yang diklaim sebagai tradisi yang asli, kuno, sudah ada sejak dulu, sebenarnya adalah sebuah hal yang masih baru-dalam hal waktu kemunculannya –dan merupakan hasil ciptaan- dalam arti tidak sepenuhnya „asli‟. Hal ini salah satunya dapat kita lihat dalam Penjelasan Hugh Trevor-Roper tentang

„invented tradition‟ yang dia teliti di Skotlandia. Esai Hugh Trevor-Roper ini sangat dekat dengan definisi Hobsbawm tentang konsep „Invented Tradition‟ pada pengantar buku. Dalam esainya, "The Invention of Tradition: The Highlander Tradisi Skotlandia," Trevor-Roper mengeksplorasi cara-cara di mana Skotlandia berusaha untuk melestarikan warisan mereka dalam menghadapi peryatuan dengan Inggris. Secara khusus, ia meneliti asal-usul Skotlandia dan pakaian "tradisional" mereka, untuk menemukan bahwa kedua hal ini sebagian besar adalah hasil kreasi, tetapi diterima dengan cepat dan dikultuskan oleh masyarakat Skotlandia sebagai budaya asli Skotlandia.

Hugh Trevor-Roper memfokuskan penelitiannya pada pakaian traditional Skotlandia yang disebut „kilt‟(pakaian traditional yang bentuknya agak mirip rok)yang oleh masyarakat Skotlandia pada saat ini dianggap sebagai sebuah identitas nasional mereka, sebagai sesuatu yang ‟asli‟ Skotlandia dan sudah ada sejak dulu. Hugh


(37)

menunjukkan bahwa apa yang mereka klaim kuno itu sebenarnya adalah hal baru- dalam kemunculannya-, karena itu baru muncul sekital akhir abad 18 dan awal abad 1916.

Hugh Trevor-Roper memperlihatkan bagaimana konstruksi budaya Skotlandia dibangun. Menurut Trevor-Roper, penciptaan tradisi Highland Skotlandia terjadi dalam tiga tahap. Pertama, terdapat pemberontakan budaya melawan Irlandia: hal ini menyebabkan terjadinya perampasan budaya Irlandia dan penulisan ulang sejarah awal Skotlandia, yang berpuncak pada klaim „kurang ajar‟ bahwa Scotlandia adalah „ ibu-bangsa‟ dan asal-usul budaya Irlandia. Kedua, terdapat penciptaan tradisi Skotlandia yang baru, diwacanakan sebagai sesuatu yang kuno, asli dan khas. Ketiga, ada proses dimana tradisi-tradisi baru tersebut disebarkan ke wilayah-wilayah lain di Skotlandia17. Melalui penjelasan tentang bagaimana dinamika dan hegemoni wacana yang tedapat dalam ide tentang „kilt‟ pada masyarakat Skotlandia, Hugh sepertinya ingin menunjukkan bahwa „kilt‟ bukan hanya sesuatu yang baru tetapi juga tidak sepenuhnya asli dan khas Skotlandia sebagaimana yang diterima dan diyakini oleh masyarakat Skotlandia.

Penelitian lain yang mengkaji praktek „penciptaan tradisi‟ adalah penelitian yang dilakukan oleh Bernard S. Cohn. Dalam esainya yang berjudul „Representing Authority

in Victorian India‟ Bernard mengeksplorasi cara-cara kolonial Inggris di India sekitar abad 18 dalam merekayasa dan menciptakan representasi otoritas baru yang berusaha mereka ambil alih dari raja-raja lokal India.

16

Hugh Trevor-Roper, The Invention of Tradition: The Highland Tradition of Scotland dalam buku The Invention of Tradition, Cambridge University Press, 1983,hlm 16.

17


(38)

Fokus Bernard terhadap bagaimana representasi otoritas dibangun pada masa penjajahan Inggris di India adalah untuk menunjukkan kompleksitas pembentukan dan perubahannya dari waktu ke waktu. Pada saat penjajahan Inggris terhadap India, pemerintah Inggris berusaha mengkodifikasi konsep tentang tatanan otoritas yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara masyrakat India, penguasa-penguasa lokal dalam relasi mereka dengan pemerintah kolonial Inggris18. Inggris, yang memulai pemerintahan mereka sebagai „outsider', tiba-tiba memposisikan diri menjadi „insider' dengan menjadikan India sebagai wilayah kedaulatan Inggris. Untuk memperoleh simpati masyarakat India –khususnya para raja-raja lokal-, Inggris meyakinkan masyarakat India bahwa di bawah kekuasaan mereka, hak, martabat dan kontrol atas wilayah akan dihormati oleh pemerintah kolonial. Inggris juga menjanjikan penegakan hukum yang adil serta kebebasan untuk menjalankan keyakinan dan agama masing-masing mengingat India adalah sebuah wilayah dengan kepercayaan agama dan budaya yang berbeda-beda. Lebih dari itu, Inggris menjanjikan kemajuan ekonomi, sebuah hal yang sebenarnya menjadi konsen utama Inggris di India.

Upaya kodifikasi tentang representasi otoritas ini dimanifestasikan dalam berbagai ritual dan simbol. Misalnya melalui pembedaan pakaian dan pengaturan posisi dalam ritual yang menunjukkan hirarki kedudukan seseorang. Semakin dekat posisi/tempat seseorang dengan tempat raja (diatur dengan cara barisan memanjang) menandakan bahwa hirarki sosialnya semakin tinggi. Pada fase awal upaya representasi otoritas ini, Inggris masih banyak harus bernegosiasi dengan adat kerajaan Mughal yang sangat kental. Namun, setelah kegagalan upaya pemberontakan tahun 1857 yang

18

Bernard S. Cohn,„Representing Authority in Victorian India‟ dalam buku The Invention of Tradition,


(39)

menyebabkan akhir kekaisaran Mughal dan membuat hegemoni Inggris menjadi semakin kuat, Inggris kemudian mengangkat diri sebagai satu-satunya pusat kekuasaan dan otoritas. Inggris menetapkan sebuah tatanan sosial baru dimana kriteria kebangsawanan diatur oleh kolonial Inggris berdasarkan pendapatan dan tingkat loyalitas mereka kepada kerajaan Inggris19.

Pada fase di mana hegemoni Inggris sudah menguat, pemerintah Inggris berusaha melakukan proses penyatuan seluruh raja-raja lokal di bawah hegemoni mereka dan untuk menjamin loyalitas raja-raja lokal tersebut terhadap Inggris. Raja-raja lokal mengambil peran yang penting karena mereka adalah adalah simbol komunitas, klan, bahkan keragaman agama dan budaya. Penyatuan ini dipandang penting karena meskipun Inggris menguasai India, namun masyarakat India hanya loyal kepada raja-raja lokal mereka, bukan kepada pemerintah kolonial. Memastikan loyalitas para raja-raja lokal berarti garansi pula terhadap loyalitas masyarakat. Proses penyatuan ini dilakukan lewat berbagai pertemuan dan ritual yang sarat simbol/kodifikasi. Proses-proses kodifikasi representasi otoritas inilah yang oleh Bernard dipandang sebagai sebuah praktek „invention oftradition‟.

Penelitian yang tampaknya agak sedikit menyimpang dari definisi Hobsbawm adalah penelitian David Cannadine yang berjudul, " The Context, Performance and Meaning of Ritual: The British Monarchy and the 'Invention of Tradition', c. 1820-1977" Mungkin penting bahwa Cannadine menempatkan 'penemuan tradisi' dalam tanda kutip, karena artikel ini memaparkan tradisi baru yang „diciptakan‟ di Inggris, dan lebih lanjut artikel ini mengupas tentang perubahan persepsi kerajaan Inggris. Cannadine

19


(40)

menekankan cara bahwa tradisi secara aktual seputar upacara kerajaan mengalami sedikit perubahan, misalnya, keluarga kerajaan terus menggunakan kereta kuda yang ditarik sebagai sarana transportasi bahkan setelah kebanyakan orang lain sudah menggunakan mobil. Persepsi penggunaan kereta, bagaimanapun, berubah secara drastis –di mana kereta kerajaan sebelumnya dipandang sebagai kendaraan yang biasa, lalu kemudian digunakan untuk melambangkan kekunoan dengan penggunaan kereta tersebut. Sementara praktik tradisi itu sendiri tidak banyak berubah, makna dari tradisi yang mengalami banyak perubahan. Inilah yang menjadi letak perbedaan penelitian Cannadine dengan penelitian lain di dalam buku ini, jika yang lain meneliti bagaimana praktek tradisi „diciptakan‟, maka Cannadine menunjukkan aspek lain dari „invented

tradition‟ di mana praktik tradisinya masih sama, namun pemaknaannya yang sudah diubah.

Konsep „Invention of Tradition‟ inilah yang akan saya gunakan sebagai kerangka dalam melihat fenomena messianisme yang terdapat pada Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa. Messianisme adalah gerakan yang mengamsumsikan bahwa di akhir zaman- banyak yang mengatakan akhir zaman itu adalah masa sekarang ini- akan datang seorang mesias yang akan mengeluarkan manusia dari belenggu penderitaan dan akan membawa manusia menuju masa gemilang yang dipenuhi dengan limpahan kesejahteraan serta penegakan keadilan yang merata bagi seluruh umat manusia.

Gerakan messianisme dalam banyak kasus sangat berasosiasi dengan gerakan keagamaan. Gerakan messianisme yang berbasis agama seperti pernah dipandang sinis- mungkin juga masih- oleh kaum modernis karena dianggap sebagai sesuatu yang


(41)

bersifat tahayyul, fantasi, kesadaran palsu, dan dogmatis20. Namun demikain, kiranya gerakan messianis yang berbasis agama sekalipun saat ini tidak dapat lagi dipandang sebagai gerakan keagamaan semata, karena dalam gerakan tersebut juga terdapat dimensi sekuler dan simbolis yang sangat kental seperti politik, ekonomi, bahkan budaya.

Konsep „Invention of Tradition‟ akan digunakan untuk melihat bagaimana messianisme Jamaah an-Nadzir dikonstruksi, bagaimana relasi konsep messianisme Jamaah an-Nadzir dengan konsep-konsep messianistis lain yang telah ada sebelumnya, sejauh mana konsep-konsep tersebut mempengaruhi mereka serta bagaimana konsep tersebut dimodifikasi untuk menetapkan konsep messianisme tersendiri yang „khas‟ an-Nadzir. Penelitian ini juga akan melihat bagaimana konsep tersebut dipraktekkan dalam kehidupan mereka dan tantangan, serta hubungannya dengan masa lalu yang direpresentasikan melalui penciptaan simbol-simbol dan narasi yang mereka bangun.

Membicarakan konsep messianisme dan bagaimana hal tersebut dikonstruksikan sepertinya tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang konstruksi identitas. Richard Beardsworth dengan mengutip Derrida dalam essaynya„The Messianic Now: A Secular Response‟ mengatakan bahwa messianisme sebagai sebuah identitas- salah satu hal yang menandai kebangkitan agama abad XX-XXI- sangat mungkin kemunculannya disebabkan oleh kontaminasi identitas yang menyebabkan adanya keinginan untuk kembali ke identitas awal yang dianggap ideal. Bagi Derrida sebagaimana disebutkan

20

LihArthur Bradley and Paul Fletcher, „The Politics to Come: A History of Futurity‟ dalam The Politics to Come:Power, Modernity and the Messianic‟, Continum, 2010hlm 2


(42)

Beardsworth, sebenarnya tidak ada kebangkitan agama sebab agama hanya bisa dimulai dan dimulai kembali21.

Konsep identitas yang dipahami dalam ilmu budaya sebagai sesuatu yang selalu berada dalam konstruksi, senantiasa dalam proses dan tidak pernah sempurna kiranya sejalan dengan konsep „Invention of Tradition‟ yang melihat bahwa banyak praktik budaya adalah hasil dari proses „penciptaan‟ yang dilakukan secara terus menerus. Kedua konsep ini juga mengandaikan adanya imaji terhadap „other‟ dalam konstruksi tersebut dan kontinuitas dengan masa lalu.

Di Indonesia, terdapat beberapa penelitian yang dapat dilihat sebagai penelitian dengan konsep „invention of tradition‟ atau menggunanakan konsep-konsep yang mirip dengan konsep „invention of tradition‟ meskipun menggunakan bahasa atau istilah yang berbeda. Salah satu dari penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Jhon Pemberton pada masyarakat Jawa melalui bukunya „On the Subject of Java‟.

Pemberton sendiri dalam bukunya tidak pernah menyatakan tentang konsep invention of tradition secara ekspilisit, namun demikian, hal tersebut bukan berarti bahwa penelitian Pemberton tersebut tidak dapat dipandang sebagai penelitian dengan konsep invention of tradition. Kedekatan penelitian Pemberton dengan konsep

„invention of tradition‟ sudah dapat kita lihat dari subjudul bukunya On The Subject Of Java yang menunjukkan bahwa Pemberton sejak awal telah menempat kejawaan bukan sebagai sesuatu yang sudah terberi (meskipun pastinya banyak klaim tentang keaslian, kekunoan dan sebagainya) melainkan sesuatu yang sudah melalui pelbagai macam

21

Lih Richard Beardsworth, The Messianic Now: A Secular Response dalam The Politics to Come: A History of Futurity, Continum, 2010hlm 18.


(43)

pembentukan atau konstruksi. Kedekatan dengan konsep „invention of tradition‟ semakin dipertegas melalui pernyataan Pemberton pada bagian pendahuluan bukunya

Walau saya menelaah dalam-dalam manuskrip-manuskrip Jawa dari beberapa abad yang lalu, saya tidak melakukannya dalam rangka menulis sejarah dari, misalnya Jawa abad kesembilan belas melainkan saya lakukan itu dalam upaya untuk menulis mengarungi balik arus kronologi, ke belakang sampai ke wacana mengenai asal-usul yang memengaruhi masa kini Orde Baru22.

Penegasan Pemberton tentang fokus penelitiannya tersebut memperlihatkan bahwa seperti halnya konsep „invention of tradition‟ yang memandang sejarah masa lalu atau lebih tepatnya konstruksi tentang masa lalu kerap dihubungkan dan digunakan secara politis untuk membentuk masyarakat masa kini. Pemberton juga menggunakan pandangan yang demikian itu dalam konteks bagaimana Orde Baru berusaha merekonstruksi konsep-konsep kejawaan tertentu secara politis selama periode kekuasaan mereka.

Objek penelitian Pemberton adalah Jawa khususnya Jawa tengah dan secara lebih spesifik banyak berkaitan dengan kesultanan Surakarta dari rentan abad kedelapan belas sampai dengan masa-masa kejayaan Orde Baru (sekitar tahun 1980an). Sekali lagi, hal ini tidak cukup hanya dipahami dalam kerangka kronologis karena data-data yang disajikan Pemberton memperlihatkan bagaimana wacana tentang apa yang disebut „Jawa‟, „tradisi‟, „ritual‟ digunakan untuk proyek politis khususnya oleh rezim Orde Baru.

Pada bab-bab awal bukunya, Pemberton berargumentasi bahwa apa yang disebut „Jawa‟ yang adiluhung merupakan hasil dari sebuah kontruksi panjang, berubah-ubah

22


(44)

dan terkadang penuh dengan intrik. Pembentukan „Jawa‟ pun dipengaruhi oleh berbagai macam unsur dari „luar‟. Bagaimanapun, pengalaman sebagai masyarakat kolonial menjadikan „Jawa‟ mengalami perjumpaan budaya yang memberi banyak pengaruh dalam pembentukan apa yang disebut „Jawa‟ itu sendiri. Salah satu efek dari perjumpaan tersebut dapat kita lihat pada busana. Sebagaimana dicontohkan pemberton dalam bukunya,

Dengan inspirasi yang cemerlang, pangeran itu mengambil gunting dan memotong buntut dari pakaian resmi Belanda (rokkie Walandi) (sehingga terdapat ruangan di punggung guna menyelipkan sebuah keris yang anggun). Dia memakai kain batiknya yang terbagus (bukan celana panjang) dan menciptakan mode terbaru untuk Surakarta tahun 1870an23.

Kutipan di atas menceritakan kreasi penciptaan busana oleh Mangkunegara IV ketika dia diundang menghadiri upacara pembukaan pesanggrahan Pakubuwana. Jas itu menjadi busana yang dipilih bagi pengantin-pengantin laki-laki priayi pada pergantian abad dua puluh yang ingin mencapai , puncak-puncak baru pristise „Jawa‟. Setelah beberapa lama, jas yang dipribumikan ini menjadi busana ritual yang disyaratkan untuk pengantin laki-laki Jawa Tengah „tradisional‟, sebagai gambaran-gambaran dari subjek-subjek kultural yang dimaksudkan untuk memunculkan kembali wibawa „Jawa‟24

. Apa yang dilakukan oleh Mangkunagara adalah sebuah upaya menciptakan sebuah identitas baru mandiri (cara Jawi) karena merasa identitas dirinya berbeda dengan kolonial Belanda (cara Walandi) meski tetap menggunakan yang disediakan oleh Belanda tersebut (rokkie Walandi) namun diberi sebuah konstruksi makna baru.

23

Ibid, Hlm 152 24


(45)

Praktik yang dilakukan oleh Mangkunagara kurang lebih mempunyai kesamaan dengan cara an-Nadzir membangun konstruksi messianisme mereka. Meski Nampak banyak dipengaruhi oleh konsep messianisme yang umum dalam Islam (khususnya konsep messianisme Syiah), namun an-Nadzir memberikan sebuah konstruksi makna baru pada konsep messianisme tersebut dan dengannya membentuk identitas messianisme an-Nadzir yang mandiri.

Pemberton juga banyak memberi focus penelitiannya pada bagaimana Orde Baru memainkan wacana seputar apa yang disebut „tradisi‟. Rezim Orde Baru pimpinan Soeharto menurut Pemberton memang berusaha mewacanakan penguatan kembali „tradisi‟ tetapi harus dalam bingkai regulasi Orde Baru. Orde Baru menggalakkan sekaligus mengontrol apa yang disebut „tradisi‟. Sebagai contoh, praktik upacara bersih desa yang dekat dengan nuansa mistis tetap dianjurkan, tetapi ritual rebutan yang merupakan rangkaian bahkan dianggap sebagai klimaks upacara dihilangkan karena dianggap berpotensi mwnimbulkan kerusuhan25. Era rezim Orde Baru memang ditandai oleh „kediaman massif‟, dalam ukuran Orde Baru, Indonesia yang tentram adalah yang hening tanpa insiden.

Kerangka Invention of Tradition yang digunakan dalam penelitian ini akan berusaha dilengkapi dengan konsep wacana Foucauldian karena konsep Invention of Tradition dirasa terlalu deskriftif. Konsep wacana Foucauldian dimaksudkan untuk melihat secara kritis bagaimana wacana messianisme dibentuk dan relasi-relasi kekuasaan-pengetahuan yang menyertainya. Bagaimanapun messianisme adalah sebuah

25


(46)

medan wacana liar di mana komunitas-komunitas yang terlibat di dalamnya saling menegasikan demi mengafirmasi klaim kebenaran konstruksi wacana mereka.

Analisis wacana Foucault tidak mendekati wacana dari sisi orang yang mengucapkannya atau struktur formalnya melainkan dari kaidah-kaidah yang membuat wacana itu dipakai. Foucault tidak mencari kekuatan fasis wacana dalam bahasa melainkan dalam wacana dan di luar wacana. Dia tertarik pada gejala mengapa dalam sejarah muncul wacana yang mendorong orang untuk mengucapkannya terus-menerus26. Pendekatan ini pada intinya ingin memeriksa peristiwa-peristiwa sejarah dalam kaitannya dengan cara orang mengalami dirinya sendiri (the constitution of the self)27.

Kebanyakan penelitian Foucault berkaitan dengan sejarah seperti penelitiannya terhadap bagaimana konstruksi wacana seksualitas dan sejarah kelahiran penjara, namun Foucault tidak hanya memahami sejarah semata sebagai sebuah peristiwa kronologis melainkan peristiwa-peristiwa tersebut difokuskan pada bagaiamana relasi rezim kekuasaan-pengetahuan-kenikmatan yang menopang wacana/peristiwa sejarah tersebut28. Penelitian Foucault tentang sejarah seksualitas bukan merupakan sejarah representasi melainkan bagaimana seksualitas berusaha diatur sedemikian rupa untuk menghasilkan kepatuhan terhadap wacana tertentu.

Pemikiran Foucault memang tidak bisa dilepaskan dari persoalan relasi kekuasaan. kalau orang biasanya berbicara tentang kekuasaan dan Negara, sekarang

26

Hang out mata kuliah, St. Sunardi, Teori Wacana dalam The History of Sexsuality, hlm 2 27

Ibid hlm 4 28


(47)

tentang kekuasaan dan subjek. Berlawanan dengan pandangan Marxis, Foucault menentang paham kekuasaan dari atas oleh pusat kekuasaan Negara. Tekanan pada hubungan kekuasaan tidak mengacu pada sistem umum dominasi oleh suatu kelompok terhadap kelompok yang lain. Melainkan beragamnya hubungan kekuasaan. Syarat-syarat kemungkinan pemahaman kekuasaan tidak terpusat pada satu titik atau sumber otoritas29. Menurut Foucault, kita seharusnya bersikap nominalis dalam memandang kekuasaan. kekuasaan bukanlah lembaga, kekuasaan bukan pula sebuah struktur, bukan semacam daya yang terdapat pada beberapa orang. Kekuasaan adalah nama yang diberikan kepada suatu situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu30.

Kekuasaan yang di maksudkan Foucault bukan Kekuasaan dengan huruf besar sebagai himpunan lembaga dan perangkat yang menjamin kepatuhan warga negara31. Biasanya kekuasaan disamakan dengan dengan milik. Kuasa dianggap sebagai sesuatu yang dapat diperoleh, disimpan, dibagi, ditambah, atau dikurangi. Tetapi dalam pandangan Foucault, kekuasaan bukanlah sesuatu yang dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain dan senatiasa mengalami pergeseran32. Menurut Foucault kekuasaan ada di mana-mana, bukan karena kekuasaan mencakupi segala hal, namun karena kekuasaan datang dari mana-mana. Dengan memahami kekuasaan sebagai sesuatu yang tersebar, maka relasi kekuasaan dapat ditemui dalam berbagai interaksi masyarakat dan kegiatan sosial seperti sekolah, rumah sakit, penjara dan sebagainya.

29

Lih, Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, hlm 2 . 30

Lih Foucault, The History of Sexuality, Vol I: An Introduction, (New York, Vintage, 1978) hlm 93. 31

Ibid hlm 92 32


(48)

Pelaksanaan kekuasaan bukan pertama-tama melalui kekerasan atau masalah persetujuan (Hobbes, Locke), tetapi seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, rayuan, atau melalui paksaan dan larangan. Jadi kekuasaan pertama-tama bukan represi (Freud, Reich) atau pertarungan kekuatan ( Machiavelli, Marx) dan bukan pula fungsi dominasi suatu kelas yang didasarkan pada penguasaan atas ekonomi atau manipulasi ideologi (Marx). Foucault mengatakan kekuasaan harus dipahami pertama-tama banyak dan beragamnya hubungan-hubungan kekuatan yang melekat pada bidang hubungan-hubungan tersebut dan organisasinya. Kekuasaan berarti perang bisu, yang menempatkan konflik dalam berbagai institusi sosial, dalam ketidaksetaraan ekonomi, dalam bahasa, dan bahkan dalam tubuh kita masing-masing33.

Selain mengatakan bahwa kekuasaan sesuatu yang lebih dipraktikkan daripda dimiliki dan tersebar, Foucault juga mengatakan bahwa di mana pun kekuasaan berada, selalu ada resistensi yang menyertainya34. Perlawanan tersebut tidak berada pada posisi di luar kekuasaan. perlawan ada karena kekuasaan itu sendiri. Berkaitan dengan penelitian ini apa yang dipraktikkan Jamaah an-Nadzir sangat mungkin dilihat sebagai sebuah bentuk resistensi terhadap wacana Islam dominan.

Foucault mengoreksi imaji negatif yang sering dilekatkan pada kekuasaan sebagai sesuatu yang dilaksanakan dengan cara-cara represif, menyensor, mengabstraksi dan menyembunyikan. Bagi Foucault, kekuasaan tidak hanya represif tetapi juga produktif. Kekuasaan memproduksi realitas, kekuasaan memproduksi ruang lingkup

33

Lih, Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, hlm 4. 34


(1)

Pada akhirnya messianisme adalah sebuah medan kontestasi yang sangat

terbuka. Berbagai macam interpretasi dan klaim menjadi sesuatu yang sulit dihindari.

Sebagai sebuah medan kontestasi, messianisme menghadirkan berbagai macam wacana

dan relasi kekuasaan. Wacana dan kekuasaan yang saling mengandaikan tersebut

berusaha mendisplinkan orang-orang yang terlibat dalam dinamika wacana/kekuasaan

tersebut188. Messianisme an-Nadzir adalah sebuah usaha penciptaan sebuah wacana/kekuasaan di antara konsep messiniasme lainnya. Seperti kata Michel Foucault,

kekuasaan itu tersebar di mana-mana, bukan sesuatu yang dimiliki. Messianisme

an-Nadzir juga dapat dipandang sebagai perlawanan atas wacana messianisme yang telah

lebih dulu mapan. Seperti ungkapan Foucault, where there is power, there is

resistance189.

Sebagai sebuah wacana-pengetahuan, messianisme an-Nadzir selain sebagai

bentuk resistensi terhadap wacana-wacana messianisme kelompok mainstream, juga

merupakan sebuah bentuk produksi pengetahuan. Produksi pengetahuan an-Nadzir

melalui konstruksi messianisme mereka menghasilkan hal-hal yang produktif –meski dari sisi yang berbeda mungkin dianggap berpotensi destruktif- seperti menghasilkan

bentuk kesalehan religious dan tubuh yang patuh di antara anggota jamaah mereka yang

merupakan tuntutan dan konsekuensi dari konsep messianistik tersebut.

Penelitian ini diharapkan dapat menerangi penelitian-penelitian dengan tema

messianistik atau gerakan keagamaan lainnya yang saat ini seperti menemukan nafasnya

kembali di tengah kejenuhan terhadap arus modernisasi dan sekularisasi sehingga

penilitian ini tidak hanya berhenti di tataran lokal sebagai informasi akan adanya

188

Lih, William E. Deal and Timothy K. Beal, Theory for Religious Studies, Routledge, 2005, hlm 72 189

Lih, Michel Foucault, The History of Sexsuality, Vol I: An Introduction(New York, Vintage, 1978) hlm 95


(2)

gerakan messianistik di daerah tertentu. Penelitian ini juga dapat berguna untuk melihat

sisi politis dari berbagai macam klaim dan praktik yang disandarkan pada sebuah

konsep atau wacana messianistik yang kerap muncul bahkan dalam perkara sekuler


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran

Abdullah, Hamid. 1985.Manusia Bugis Makassar, Jakarta. Inti Idayu Press.

Adonis, 2007. Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam Jilid II. Yogyakarta. PT LKiS

Pelangi Aksara.

Affifi, A.E, 1995. A Mistical Philosopy of Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Jakarta. PT Gaya Media Pratama.

Ali, Ameer. 2008.the Spirit of Islam,Yogyakarta.Penerbit Navila.

Al-Jundi, Sayyid Muhammad, 2010. Pemuda Bani Tamim Perintis Jalan Imam Mahdi .

Makassar. Penerbit Bumi Tarbiyah Bumi Allah Indonesia.

Amini, Ibrahim. 2002Imam Mahdi: Penerus Kepemimpinan Ilahi,Jakarta. Islamic Center. Amuli, Haidar. 2005.Dari Syariat Menuju Hakikat,Bandung. Mizan.

Aris, Muhammad, Anwar (Ed). 2007Teladan Abadi Imam Mahdi,Jakarta. Penerbit al-Huda.

Armstrong, Karen. 2003.Islam: Sejarah Singkat,Yogyakarta. Jendela.

Berger, Peter (ed), 2003.Kebangkitan Agama Menantang Politik Dunia. Yogyakarta. Penerbit Ar-Ruzz.

Bertens, K. 2001.Filsafat Barat Perancis.Jakarta. Gramedia Pustaka Utama,.

Bolushi, Jaber. 2006.Oktober 2015 Imam Mahdi Akan Datang, Jakarta. Papyrus Publishing. Bradley, Arthur and Fletcher, Paul (Eds), 2010.The Politics to Come: A History of Futurity.

London. Continuum International Publishing Group.

Deal, William E, and Beal, Timothy K.. 2005. Theory for Religious Studies, New York. Routledge.

Foucault, Michel. 1995. Discipline and Punish; the Birth of the Prison, New York. Vintage Books.

Foucault, Michel. 1978.The History of Sexuality, Vol I: An Introduction. New York. Vintage. Gibson, Thomas. 2012. Narasi Islam dan Otoritas di Asia Tenggara, Makassar. Penerbit

Ininnawa.

Gibson, Thomas.2009.Kekuasaan Raja, Syeikh dan Ambtenaar,Makassar. Penerbit Ininnawa. Hall, Stuart, 1994. ‘The Question of Cultural Identity’, The Polity Reader in Cultural Theory,

Polity Press, Cambridge.

Hardiyanta, Sunu. 1997.Disiplin Tubuh; Bengkel Individu Modern,Yogyakarta. LKiS Haryatmoko, 2010. ‘Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi’.Jakarta,


(4)

Harvey, Sillars. 1989. Pemberontakan Kahar Muzakkar; Dari Tradisi ke DI/TII, Jakarta . Pustaka Utama Grafiti.

Hobsbawm, Eric & Ranger, Terence (Eds). 2000. The Invention Of Tradition, Cambridge, Great Britain: Cambridge University Press.

Ibrahim, Ahmad dkk. 1989.Islam di Asia Tenggara; Perspektif Sejarah. Jakarta. LP3ES Kartodirdjo, Sartono. 1984.Ratu Adil.Jakarta. Sinar Harapan.

Kartodirdjo, Sartono, 1959. ‘Catatan Tentang Segi-Segi Messianistis Dalam Sejarah Indonesia’.Yogyakarta. Penerbit Universitas Gadjah Mada

Khaldun, Ibn. 2008. Muqaddimah,Jakarta. Pustaka Firdaus.

Lanternari, Vittorio,1963. ‘The Religion of the Oppressed: A study of modern messianic cults’.London. Macgibbon & kee

Mappangara, Suryadi & Abbas,Irwan. 2003. Sejarah Islam di Sulawesi Selatan, Makassar. Lamacca Press.

Mattulada, 1995. LATOA: Satu Lukisan Analitis terhadap Antropolgi Politik Orang Bugis’.

Makassar. Hasanuddin University Press.

Milner, A.C. 1988. Islam and the Muslim State, dalam M.B Hooker (ed), Islam in South-East Asia, Leiden. E.J Brill.

Musawi, Mujtaba. 2004. Teologi Islam Syiah ; kajian Tekstuan Rasional Prinsip-prinsip Islam, Jakarta. Penerbit Al-Huda.

Muthahhari, Murtadha. 2012. Imamah dan Khilafah, Yogyakarta. Rausyan Fikr institute.

Muthahhari, Murtadha. 1991. Kepemimpinan Islam, Banda Aceh. Penerbit Gua Hira.

Noorduyn, J. 1972.Islamisasi Makasaar, Jakarta. Bhratara.

Leaman, Oliver (ed). 2005.Pemerintahan Akhir Zaman,Jakarta. Penerbit al-Huda.

Pabbaja, Mustaqim, 2013.Gerakan Islam Non Mainstream, Studi Tentang Jamaah an-Nadzir

Di Sulawesi Selatan.Universitas Gadja Mada.

Pamungkas, Ea. 2008. Satria Piningit,Yogyakarta. Navila Idea. Pelras, Christian. 2006.Manusia Bugis, Jakarta, Nalar.

Parekh, Bikhu. 2008.Rethinking Multiculturalism,Yogyakarta. Penerbit Kanisius. Pemberton, Jhon. 2003 .‘JAWA’, On The Subject Of Java. Yogyakarta. Mata Bangsa.

Rahardjo, M. Dawam (ed). 1985. Insan Kamil; Konsepsi Manusia Menurut Islam, Jakarta. PT. Grafiti Pres.

Sachedina, Abdulazis. 1981. Islamic Messianism The Idea of Mahdi in Twelver Shi'ism. Albany. State University of New York Press.


(5)

Saprahillah, Jamaah An-nadzir: Melawan Arus, Membangun Kemandirian, Jurnal Alqurba, Makassar.

Sewang, Ahmad. 2005. Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVI, Jakarta. Yayasan Obor.

Shadr, Baqir dkk. 2004. Imam Mahdi Sebagai Simbol Perdamaian Dunia, Jakarta. Penerbit

al-Huda.

Shihab, Quraish. 2007. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, Tangerang.

Lentera Hati.

Soesetro, D. 1999.Satrio Piningit,Yogyakarta. Media Presindo.

Syariati, Ali. 2012.Ummah dan Imamah,Yogyakarta.Rausyan Fikr.

Taufan, Muhammad, 2012. Tinjauan Sosiologi Hukum Jamaah An-Nadzir. Makassar.

Universitas Islam Negeri Alauddin.

Tuti Artha, Arwan. 2008. Satria Pinilih: Siapa Pantas Jadi Ratu Adil?, Yogyakarta. Galangpress.

Thabasi, Najamuddin. 2010 Laga Pamungkas: Duet Imam Mahdi dan Isa ibn Maryam

Memipin Dunia’. Jakarta. Penerbit Al-Huda.

Thabathaba’I, Allamah. 1989. Islam Syiah; Asal-Usul dan Perkembangannya, Jakarta. Pustaka UtamaGrafiti.


(6)

Sumber Jurnal dan Artikel

Andaya, Leonard Y. Kingship-Adat Rivalry and the Role of Islam in South Sulawesi, Published by Cambridge University Press,

Haryatmoko,Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan,

St. Sunardi, Teori Wacana dalam The History of Sexsuality. Hand out Mata Kuliah, tidak diterbitkan.

Jafar Yahaghi,An Introduction to Early Persian Qur'anic Translations

Reid, Anthony. Pluralism an Progress in Seventeenth-Century Makassar, Published by KITLV

Sumber Internet

http, Kesimpulan Komnas Perempuan dalam Judicial Review UU tentang Pornografi (diakses tanggal 25 April 2013)

http://publikasi.umy.ac.id/index.php/komunikasi/article/view/2036/824. (diakses 7 Juli 2012) Http. Wikipedia.com. Undang-Undang Pornografi (diakses tanggal 25 April 2013)

Harycalonpsikolog.wordpress.com/.../wawancara-dengan-jamaah-an-nadzir (diakses

tanggal 6 Juni 2012).

http://annadzirmawang.blogspot.com/2013/11/pimpinan-nadzir-mawang-deklarasi.html. (diakses tanggal 8 Juni 2014)

Nusantaraislam.blogspot.com. Menengok Perkampungan Jamaah An Nadzir di Sulsel. (diakses tanggal 6 Juni 2012).

Thesaltasin wordpress.com. Lebih Dekat dengan Jamaah An Nadzir-Sulsel . (diakses tanggal 6 Juni 2012).