MANFAAT PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS

3. Menjelaskan bagaimana metode kepemimpinan yang dibangun dan dilaksanakan oleh Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Bagian ini dimaksudkan untuk melihat pola kepemimpinan yang terdapat dalam komunitas ini. Hal ini penting mengingat pola kepemimpinan biasanya memegang peranan sentral dalam gerakan- gerakan messianistik seperti ini.

E. MANFAAT PENELITIAN

Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Perkembangan khasanah Ilmu pengetahuan humaniora khususnya kajian budaya. Penelitian ini diharapkan akan memperkaya eksplorasi terhadap komunitas-komunitas minoritas dengan menggunakan pendekatan penelitian dengan perspektif kajian budaya di Indonesia. 2. Masyarakat luas pada umumnya agar dapat lebih bijak menanggapi berbagai perbedaan dan pluralitas dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. 3. Penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi penelitimahasiswa lain yang ingin mengangkat topik serupa terutama untuk hal-hal yang tidak dibahas secara komperehensif dalam penelitian ini.

F. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS

F.1. Tinjauan Pustaka Sebagaimana telah disinggung sebelumnya pada bagian latar belakang tentang beberapa penelitian baik yang mengkaji komunitas an-Nadzir maupun komunitas minoritas lain di Sulawesi Selatan. Bagian ini akan memaparkan kelebihan dan kelemahan dari setiap penelitian ini. Bagian ini juga akan menunjukkan perbedaan dan kekhasan penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Pertama, penelitian yang dilakukan Saprillah dengan judul „Jamaah an-Nadzir, Membangun Arus Membangun Kemandirian‟. Penelitian ini menggambarkan sejarah kemunculan, pola hidup dan bagaimana paham keagamaan khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan syariat oleh Jamaah an-Nadzir. Kelemahan penelitian terletak pada inkonsistensi argumentasinya. Sebagai contoh, di awal tulisan penulis menyanjung pola pendidikan yang diterapkan oleh Jamaah an-Nadzir sebagai sebuah metode alternatif dan kreatif serta dapat keluar dari logika mainstream bagaimana masyarakat menilai pendidikan formal sebagai jaminan kesuksesan hidup, namun di akhir dia merekomendasikan Pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional sebagai upaya untuk menjawab keraguan komunitas ini terhadap pentingnya pendidikan melalui jalur sekolah formal. Inkonsistensi lain adalah pemaparannya tentang pentingnya pluralitas dan kedewasaan menerima perbedaaan, namun lagi-lagi di akhir tulisannya dia beranggapan bahwa komunitas ini bisa menjadi ancaman terhadap „Islam‟ di masa depan. Penulis seperti hanya ingin menjadi legitimasi baru terhadap wacana mainstream. Hal ini mungkin disebabkan karena penulis adalah peneliti Litbang Departemen Agama, tulisan seperti ini biasanya dimaksudkan untuk kepentingan pengeluaran kebijakan pembinaan keagamaan di masyarakat. 8 Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Taufan dengan judul „Tinjauan Sosiologi Hukum Jamaah an-Nadzir‟. Penelitian ini memfokuskan diri pada aspek sosiologi hukum Jamaah an-Nadzir yang dipertentangkan atau diperhadapkan dengan hukum positif dan hukum Islam. Penelitian yang dilakukan oleh Taufan ini juga ingin meneliti sejauh mana Jamaah an-Nadzir melenceng atau tidak dari kategori benar- sesatnya paham tafsir keagamaan- dalam konteks ini adalah agama Islam- yang telah dibakukan oleh Majelis Ulama Indonesia MUI sebagai pihak yang dianggap berwenang 9 . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Jamaah an-Nadzir bukanlah sebuah komunitas yang mengembangkan paham aliran sesat jika merujuk pada kriteria sesat yang ditetapkan MUI. Perbedaan yang terdapat dalam paham dan praktik keagamaan merupakan sesuatu yang hanya bersifat furu‟iyah, bukan sesuatu yang ushuliyah. Taufan juga mengatakan bahwa keberadaan komunitas ini jika ditinjau dari perspektif hukum positif adalah sah karena Negara melalui konstitusi menjamin warga Negara untuk menganut agama dan kepercayaannya secara tulus tanpa paksaan dari siapapun dan golongan apapun. Aliran baru seperti an-Nadzir dilihat oleh Taufan sebagai sebuah revisi, kritik atau bahkan sebagai titik balik dari ajaran induknya. Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Mustaqim Pabbaja dengan judul Gerakan Islam Non Mainstream, Studi Tentang Jamaah an-Nadzir Di Sulawesi Selatan ‟. 8 Lih Saprillah, Jamaah an-Nadzir , Membangun Arus Membangun Kemandirian‟, Jurnal Alqurba 9 Lih Taufan,Tinjauan Sosiologi Hukum Jamaah an-Nadzir ‟, Universitas Islam Negeri Alauddin, 2012. Penelitian ini memfokuskan diri pada dimensi sosial-ekonomi Jamaah an-Nadzir sebagai strategi pemberdayaan Jamaah. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa gerakan pemberdayaan sosial-ekonomi Jamaah an-Nadzir lebih berorientasi pada kesalehan sosial dan keselamatan individual untuk mencapai kesejahteraan sosial. Penegakkan syariat dan hukum Tuhan harus dimulai dari masing-masing individu dan kelompok. Berdasarkan hal tersebut Jamaah an-Nadzir tidak mengganggap pendirian negara Islam sebagai sesuatu yang penting. Sikap anti pendirian negara Islam menurut Mustaqim merupakan sikap positif dari gerakan An-Nadzir. Jamaah ini tidak menjadikan pendirian negara Islam sebagai agenda perjuangan, dan karena itu mereka menolak penggunaan jalur politik, tetapi mereka lebih menitikberatkan nilai Islam pada kepentingan sosial ekonomi. Perjuangan penegakan syariat Islam dianggapn sebagai perjuangan individual karena keselamatan akhirat memang bersifat nafsi-nafsi atau individual. 10 Jamaah an-Nadzir dianggap sukses menjalankan sebuah sistem ekonomi mandiri yang berbasis pada pengembangan ekonomi kreatif. Keberhasilan Jamaah an- Nadzir itu tidak hanya sebatas pada komunitas mereka tetapi juga memberi banyak manfaat terhadap masyarakat sekitar yang tanahnya mereka kelola. Jamaah an-Nadzir disukai karena mereka menerapkan prinsip-prinsip kenabian dalam perkara muamalat mereka. Selain penelitian terdahulu tentang Jamaah an-Nadzir, pada bagian ini juga akan disebutkan beberapa penelitian dengan tema gerakan messianistik yang telah dilakukan sebelumnya. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Vittorio Lanternari dalam bukunya The Religion of the Oppressed: A Study of Modern Messianic Cults 10 Lih Mustaqim Pabbaja, „Gerakan Islam Non Mainstream, Studi Tentang Jamaah an-Nadzir Di Sulawesi Selatan‟, Universitas Gadja Mada, 2013. pada bagian „Messianic Movement in Asia and Indonesia‟. Penelitian ini mengidentifikasi kemunculan orang-orang kharismatik yang mengombinasikan antara gagasan mitos tradisional lokal dengan ide-ide messianisme Islam 11 . Peran para orang kharismatik yang biasanya adalah pemimpin agama ini sangat sentral karena orang-orang itulah yang berkeliling melakukan agitasi ke masyarakat. Para pemimpin agama ini umumnya menyebarkan isu anti Belanda. Kebencian terhadap penjajah Belanda semakin diperkuat dengan ide perang suci untuk mengusir penjajah sekaligus juga dalam rangka mewujudkan ide messianisme yang mereka yakini. Gerakan messianik yang diteliti oleh Lanternari yang mengambil setting masyarakat Indonesia Jawa ini kebanyakan dilakukan oleh kelompok petani. Kedatangan juru selamat yang dijanjikan diramalkan akan didahului oleh bencana, kerusuhan, dan ketidakpastian sosial. Karena kepercayaan dan keinginan yang kuat untuk meraih apa yang diramalkan membuat masyarakat menurut Lanternari dengan mudah mengaitkan sebuah peristiwa untuk dikaitkan dengan apa yang diramalkan. Gerakan messianik di Indonesia mempunyai ciri yang berbeda dengan gerakan messianistik di tempat lain. Perbedaan gerakan messianistik itu terletak pada ketiadaan unsur kristianitas dan tidak adanya peran organisasi gereja dalam gerakan messianisme di Indonesia. Lebih jauh Lanternari mengatakan bahwa elemen messianisme di Indonesia dibentuk oleh inti ajaran pagan- mungkin maksudnya adalah kepercayaan lokal-, unsur Hindu-Budha, doktrin mahdisme Islam dan pesan messianisme baru. 12 11 Lih Lanternari, The Religion of the Oppressed: A Study of Modern Messianic Cults, London. Macgibbon kee,1963, hlm 265 12 I bid ‟ hlm 267 Selanjutnya adalah penelitian tentang konsep Ratu Adil dalam masyarakat Jawa yang dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo. Dalam penelitian ini diberikan berbagai contoh gerakan messianisme di Jawa yang terjadi antara abad 19 dan 20. Gerakan messianistik tersebut kebanyakan didasarkan pada berbagai versi ramalan Prabu Jayabaya. 13 Salah satunya dan yang paling terkenal adalah pemberontakan Pangeran Diponegoro yang mengklaim diri sebagai Erucakra. Ciri khas ramalan-ramalan juru selamat Jawa menurut Sartono meskipun pada dasarnya bersifat non-Islam, namun memuat unsur eskatologi Islam. Hal ini menunjukkan adanya negosiasi antara kepercayaan lokal dan Islam. 14 Kedatangan juru selamat di Jawa diramalkan akan ditandai dengan bencana- bencana alam, dekadensi moral dan kemelaratan di kalangan masyarakat. Kedatangan sang mesias akan mengakhiri ketidakadilan dan memulihkan keharmonisan. Sang mesias akan menghalau penguasa yang lalim Belanda dan mendirikan Negara yang adil di mana masyarakat akan hidup sejahtera dengan makanan dan pakaian yang melimpah. Sang mesias juga akan menghapuskan wajib kerja dan wajib pajak yang besar dan memberatkan rakyat. Gerakan messianistik yang terjadi di banyak tempat di Jawa antara abad 19 dan 20 berlangsung di bawah penjajahan Belanda maka gerakan messianistik yang terjadi saat itu juga memunculkan gejala nativisme sebagai reaksi terhadap kekuasaan asing kulit putih. Kekuasaan orang asing dianggap mengancam pengertian tentang identitas Jawa- khususnya di kalangan petani- karena meningkatnya hegemoni politik dan 13 Seorang raja Kediri, jawa timur, yang hidup sekitar abad kedua belas 14 Liha t Sartono, Ratu Adil, Sinar Harapan, 1984, hlm 58 kekuasaan asing. Pada masa itu, bukan hanya Belanda yang dimusuhi dan dibenci, tetapi juga kalangan etnis Cina dan kalangan pribumi yang berkomplot dengan Belanda karena akses mereka yang lebih luas dan besar terhadap pengelolaan sumber daya alam. Para nativis mengharapkan dan membayangkan kedatangan suatu masyarakat di mana orang kulit putih terusir dan sekutu-sekutu pribumi mereka digulingkan. Penelitian ini secara spesifik mengambil aspek yang berbeda. Penelitian ini ingin melihat bagaimana ideologi messianistik yang dipahami, direkonstruksi dan dijalankan oleh Jamaah an- Nadzir yang ada di kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Penelitian ini juga ingin menelusuri apa yang berbeda dalam messianisme mereka dengan gerakan messianisme yang sudah pernah ada. Penelitian ini difokuskan pada tema tentang aspek messianisme yang terdapat dalam komunitas Jamaah an-Nadzir. Penelitian tentang tema messianisme pada Jamaah an-Nadzir sepanjang penulusuran saya belum pernah diteliti secara mendalam oleh para peneliti terdahulu. Penelitian terdahulu tentang Jamaah an- Nadzir, jikalau pun menyebut tentang aspek messianistiknya sepertinya hanya diperlakukan sebagai data penunjang dan dibicarakan secara sekadarnya saja. Oleh karena itu, penelitian ini ingin memfokuskan diri untuk menelusuri aspek messianistik seperti apa yang dikonstruksi oleh komunitas an-Nadzir, bukan dalam kerangka justifikasi benar-sesat melainkan melihat kompleksitas wacana dan unsur-unsur yang membangunnya. F.2. Kerangka Teori Kerangka teori yang akan digunakan sebagai sudut pandang dalam penelitian ini adalah konsep mengenai „The Invention of Tradition‟ bila dialih bahasakan ke dalam Bahasa Indonesia mungkin bisa kita sebut „penciptaan tradisi‟. Salah satu buku yang memfokuskan penelitian dan elaborasinya terhadap konsep „the Invention oh Tradition‟ dan berbagi contohnya di berbagai negara adalah sebuah buku berjudul The Invention of Tradition. Buku yang dieditori oleh Eric Hobsbawm dan Terence Ranger merupakan kumpulan esai tentang berbagai penelitian dengan tema „invention of tradition‟ yang dilakukan di berbagai daerah dan negara. Walau dilakukan di berbagai negara, namun buku ini tampaknya lebih berfokus pada negara-negara bekas jajahan Inggris seperti India, Afrika, Skotlandia dan sebagainya. Konsep invention of tradition bukanlah sebuah konsep yang sangat „teoritis‟ jika dibandingkan dengan teori besar seperti psikoanalisa, poskolonialisme dan sebagainya. Konsep ini hanya seperti sebuah batasan dan fokus penelitian. Dalam pengantarnya pada buku tersebut Eric Hobsbawm menjelaskan tentang konsep „invention of tradition‟ sebagai “Invented tradition” is taken to mean a set of practices, normally governed by overtly or tacitly accepted rules and of a ritual or symbolic nature, which seek to inculcate certain values and norms of behaviour by repetition, which automatically implies continuity with the past. In fact, where possible, they normally attempt to establish continuity with a suitable historic past. 15 Penjelasan Hobsbawm tersebut menunjukkan bahwa „Invented Tradition‟ yang terjadi di berbagai tempat bukanlah praktek natural, melainkan sebuah praktek yang memang sengaja disusun sedemikian rupa untuk maksud - kebanyakan sangat bersifat politis- dan dalam kurun waktu tertentu. Menariknya, „penciptaan tradisi‟ tersebut senantiasa mengandaikan keterhubungan atau kontinuitas dengan masa lalu. Artinya, 15 Lih Eric Hobsbawm Terence Ranger, The Invention Of Tradition, Cambridge University Press, 1983, hlm 1 masa lalu berusaha dimaknai ulang pada masa sekarang. Masa lalu dimaknai kembali untuk menyusun kondisi yang diekspektasikan pada masa sekarang dan masa depan. Pemaknaan kembali ini- yang tentunya sekali lagi sarat nuansa politis- sangat memungkinkan terjadinya pertarungan wacana dalam rangka merebut atau memapankan makna tertentu. Buku The Invention of Tradition berusaha menunjukkan bahwa banyak „tradisi‟ di berbagai tempat di dunia yang diklaim sebagai tradisi yang asli, kuno, sudah ada sejak dulu, sebenarnya adalah sebuah hal yang masih baru-dalam hal waktu kemunculannya –dan merupakan hasil ciptaan- dalam arti tidak sepenuhnya „asli‟. Hal ini salah satunya dapat kita lihat dalam Penjelasan Hugh Trevor-Roper tentang „invented tradition‟ yang dia teliti di Skotlandia. Esai Hugh Trevor-Roper ini sangat dekat dengan definisi Hobsbawm tentang konsep „Invented Tradition‟ pada pengantar buku. Dalam esainya, The Invention of Tradition: The Highlander Tradisi Skotlandia, Trevor-Roper mengeksplorasi cara-cara di mana Skotlandia berusaha untuk melestarikan warisan mereka dalam menghadapi peryatuan dengan Inggris. Secara khusus, ia meneliti asal-usul Skotlandia dan pakaian tradisional mereka, untuk menemukan bahwa kedua hal ini sebagian besar adalah hasil kreasi, tetapi diterima dengan cepat dan dikultuskan oleh masyarakat Skotlandia sebagai budaya asli Skotlandia. Hugh Trevor-Roper memfokuskan penelitiannya pada pakaian traditional Skotlandia yang disebut „kilt‟ pakaian traditional yang bentuknya agak mirip rok yang oleh masyarakat Skotlandia pada saat ini dianggap sebagai sebuah identitas nasional mereka, sebagai sesuatu yang ‟asli‟ Skotlandia dan sudah ada sejak dulu. Hugh menunjukkan bahwa apa yang mereka klaim kuno itu sebenarnya adalah hal baru- dalam kemunculannya-, karena itu baru muncul sekital akhir abad 18 dan awal abad 19 16 . Hugh Trevor-Roper memperlihatkan bagaimana konstruksi budaya Skotlandia dibangun. Menurut Trevor-Roper, penciptaan tradisi Highland Skotlandia terjadi dalam tiga tahap. Pertama, terdapat pemberontakan budaya melawan Irlandia: hal ini menyebabkan terjadinya perampasan budaya Irlandia dan penulisan ulang sejarah awal Skotlandia, yang berpuncak pada klaim „kurang ajar‟ bahwa Scotlandia adalah „ibu- bangsa ‟ dan asal-usul budaya Irlandia. Kedua, terdapat penciptaan tradisi Skotlandia yang baru, diwacanakan sebagai sesuatu yang kuno, asli dan khas. Ketiga, ada proses dimana tradisi-tradisi baru tersebut disebarkan ke wilayah-wilayah lain di Skotlandia 17 . Melalui penjelasan tentang bagaimana dinamika dan hegemoni wacana yang tedapat dalam ide tentang „kilt‟ pada masyarakat Skotlandia, Hugh sepertinya ingin menunjukkan bahwa „kilt‟ bukan hanya sesuatu yang baru tetapi juga tidak sepenuhnya asli dan khas Skotlandia sebagaimana yang diterima dan diyakini oleh masyarakat Skotlandia. Penelitian lain yang mengkaj i praktek „penciptaan tradisi‟ adalah penelitian yang dilakukan oleh Bernard S. Cohn. Dalam esainya yang berjudul „Representing Authority in Victorian India‟ Bernard mengeksplorasi cara-cara kolonial Inggris di India sekitar abad 18 dalam merekayasa dan menciptakan representasi otoritas baru yang berusaha mereka ambil alih dari raja-raja lokal India. 16 Hugh Trevor-Roper, The Invention of Tradition: The Highland Tradition of Scotland dalam buku The Invention of Tradition, Cambridge University Press, 1983, hlm 16. 17 Ibid, hlm 16. Fokus Bernard terhadap bagaimana representasi otoritas dibangun pada masa penjajahan Inggris di India adalah untuk menunjukkan kompleksitas pembentukan dan perubahannya dari waktu ke waktu. Pada saat penjajahan Inggris terhadap India, pemerintah Inggris berusaha mengkodifikasi konsep tentang tatanan otoritas yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara masyrakat India, penguasa-penguasa lokal dalam relasi mereka dengan pemerintah kolonial Inggris 18 . Inggris, yang memulai pemerintahan mereka sebagai „outsider, tiba-tiba memposisikan diri menjadi „insider dengan menjadikan India sebagai wilayah kedaulatan Inggris. Untuk memperoleh simpati masyarakat India –khususnya para raja-raja lokal-, Inggris meyakinkan masyarakat India bahwa di bawah kekuasaan mereka, hak, martabat dan kontrol atas wilayah akan dihormati oleh pemerintah kolonial. Inggris juga menjanjikan penegakan hukum yang adil serta kebebasan untuk menjalankan keyakinan dan agama masing- masing mengingat India adalah sebuah wilayah dengan kepercayaan agama dan budaya yang berbeda-beda. Lebih dari itu, Inggris menjanjikan kemajuan ekonomi, sebuah hal yang sebenarnya menjadi konsen utama Inggris di India. Upaya kodifikasi tentang representasi otoritas ini dimanifestasikan dalam berbagai ritual dan simbol. Misalnya melalui pembedaan pakaian dan pengaturan posisi dalam ritual yang menunjukkan hirarki kedudukan seseorang. Semakin dekat posisitempat seseorang dengan tempat raja diatur dengan cara barisan memanjang menandakan bahwa hirarki sosialnya semakin tinggi. Pada fase awal upaya representasi otoritas ini, Inggris masih banyak harus bernegosiasi dengan adat kerajaan Mughal yang sangat kental. Namun, setelah kegagalan upaya pemberontakan tahun 1857 yang 18 Bernard S. Cohn, „Representing Authority in Victorian India‟ dalam buku The Invention of Tradition, Cambridge University Press, 1983, hlm 165 menyebabkan akhir kekaisaran Mughal dan membuat hegemoni Inggris menjadi semakin kuat, Inggris kemudian mengangkat diri sebagai satu-satunya pusat kekuasaan dan otoritas. Inggris menetapkan sebuah tatanan sosial baru dimana kriteria kebangsawanan diatur oleh kolonial Inggris berdasarkan pendapatan dan tingkat loyalitas mereka kepada kerajaan Inggris 19 . Pada fase di mana hegemoni Inggris sudah menguat, pemerintah Inggris berusaha melakukan proses penyatuan seluruh raja-raja lokal di bawah hegemoni mereka dan untuk menjamin loyalitas raja-raja lokal tersebut terhadap Inggris. Raja-raja lokal mengambil peran yang penting karena mereka adalah adalah simbol komunitas, klan, bahkan keragaman agama dan budaya. Penyatuan ini dipandang penting karena meskipun Inggris menguasai India, namun masyarakat India hanya loyal kepada raja- raja lokal mereka, bukan kepada pemerintah kolonial. Memastikan loyalitas para raja lokal berarti garansi pula terhadap loyalitas masyarakat. Proses penyatuan ini dilakukan lewat berbagai pertemuan dan ritual yang sarat simbolkodifikasi. Proses-proses kodifikasi representasi otoritas inilah yang oleh Bernard dipandang sebagai sebuah praktek „invention of tradition‟. Penelitian yang tampaknya agak sedikit menyimpang dari definisi Hobsbawm adalah penelitian David Cannadine yang berjudul, The Context, Performance and Meaning of Ritual: The British Monarchy and the Invention of Tradition, c. 1820-1977 Mungkin penting bahwa Cannadine menempatkan penemuan tradisi dalam tanda kutip, karena artikel ini memaparkan tradisi baru yang „diciptakan‟ di Inggris, dan lebih lanjut artikel ini mengupas tentang perubahan persepsi kerajaan Inggris. Cannadine 19 Ibid, hlm 180. menekankan cara bahwa tradisi secara aktual seputar upacara kerajaan mengalami sedikit perubahan, misalnya, keluarga kerajaan terus menggunakan kereta kuda yang ditarik sebagai sarana transportasi bahkan setelah kebanyakan orang lain sudah menggunakan mobil. Persepsi penggunaan kereta, bagaimanapun, berubah secara drastis –di mana kereta kerajaan sebelumnya dipandang sebagai kendaraan yang biasa, lalu kemudian digunakan untuk melambangkan kekunoan dengan penggunaan kereta tersebut. Sementara praktik tradisi itu sendiri tidak banyak berubah, makna dari tradisi yang mengalami banyak perubahan. Inilah yang menjadi letak perbedaan penelitian Cannadine dengan penelitian lain di dalam buku ini, jika yang lain meneliti bagaimana praktek tradisi „diciptakan‟, maka Cannadine menunjukkan aspek lain dari „invented tradition‟ di mana praktik tradisinya masih sama, namun pemaknaannya yang sudah diubah. Konsep „Invention of Tradition‟ inilah yang akan saya gunakan sebagai kerangka dalam melihat fenomena messianisme yang terdapat pada Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa. Messianisme adalah gerakan yang mengamsumsikan bahwa di akhir zaman- banyak yang mengatakan akhir zaman itu adalah masa sekarang ini- akan datang seorang mesias yang akan mengeluarkan manusia dari belenggu penderitaan dan akan membawa manusia menuju masa gemilang yang dipenuhi dengan limpahan kesejahteraan serta penegakan keadilan yang merata bagi seluruh umat manusia. Gerakan messianisme dalam banyak kasus sangat berasosiasi dengan gerakan keagamaan. Gerakan messianisme yang berbasis agama seperti pernah dipandang sinis- mungkin juga masih- oleh kaum modernis karena dianggap sebagai sesuatu yang bersifat tahayyul, fantasi, kesadaran palsu, dan dogmatis 20 . Namun demikain, kiranya gerakan messianis yang berbasis agama sekalipun saat ini tidak dapat lagi dipandang sebagai gerakan keagamaan semata, karena dalam gerakan tersebut juga terdapat dimensi sekuler dan simbolis yang sangat kental seperti politik, ekonomi, bahkan budaya. Konsep „Invention of Tradition‟ akan digunakan untuk melihat bagaimana messianisme Jamaah an-Nadzir dikonstruksi, bagaimana relasi konsep messianisme Jamaah an-Nadzir dengan konsep-konsep messianistis lain yang telah ada sebelumnya, sejauh mana konsep-konsep tersebut mempengaruhi mereka serta bagaimana konsep tersebut dimodifikasi untuk menetapkan konsep messianisme tersendiri yang „khas‟ an- Nadzir. Penelitian ini juga akan melihat bagaimana konsep tersebut dipraktekkan dalam kehidupan mereka dan tantangan, serta hubungannya dengan masa lalu yang direpresentasikan melalui penciptaan simbol-simbol dan narasi yang mereka bangun. Membicarakan konsep messianisme dan bagaimana hal tersebut dikonstruksikan sepertinya tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang konstruksi identitas. Richard Beardsworth dengan mengutip Derrida dalam essaynya „The Messianic Now: A Secular Response ‟ mengatakan bahwa messianisme sebagai sebuah identitas- salah satu hal yang menandai kebangkitan agama abad XX-XXI- sangat mungkin kemunculannya disebabkan oleh kontaminasi identitas yang menyebabkan adanya keinginan untuk kembali ke identitas awal yang dianggap ideal. Bagi Derrida sebagaimana disebutkan 20 Lih Arthur Bradley and Paul Fletcher, „The Politics to Come: A History of Futurity‟ dalam „The Politics to Come:Power, Modernity and the Messianic ‟, Continum, 2010 hlm 2 Beardsworth, sebenarnya tidak ada kebangkitan agama sebab agama hanya bisa dimulai dan dimulai kembali 21 . Konsep identitas yang dipahami dalam ilmu budaya sebagai sesuatu yang selalu berada dalam konstruksi, senantiasa dalam proses dan tidak pernah sempurna kiranya sejalan dengan konsep „Invention of Tradition‟ yang melihat bahwa banyak praktik budaya adalah hasil dari proses „penciptaan‟ yang dilakukan secara terus menerus. Kedua konsep ini juga mengandaikan adanya imaji terhadap „other‟ dalam konstruksi tersebut dan kontinuitas dengan masa lalu. Di Indonesia, terdapat beberapa penelitian yang dapat dilihat sebagai penelitian dengan konsep „invention of tradition‟ atau menggunanakan konsep-konsep yang mirip dengan konsep „invention of tradition‟ meskipun menggunakan bahasa atau istilah yang berbeda. Salah satu dari penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Jhon Pemberton pada masyarakat Jawa melalui bukunya „On the Subject of Java‟. Pemberton sendiri dalam bukunya tidak pernah menyatakan tentang konsep invention of tradition secara ekspilisit, namun demikian, hal tersebut bukan berarti bahwa penelitian Pemberton tersebut tidak dapat dipandang sebagai penelitian dengan konsep invention of tradition. Kedekatan penelitian Pemberton dengan konsep „invention of tradition‟ sudah dapat kita lihat dari subjudul bukunya On The Subject Of Java yang menunjukkan bahwa Pemberton sejak awal telah menempat kejawaan bukan sebagai sesuatu yang sudah terberi meskipun pastinya banyak klaim tentang keaslian, kekunoan dan sebagainya melainkan sesuatu yang sudah melalui pelbagai macam 21 Lih Richard Beardsworth, The Messianic Now: A Secular Response dalam The Politics to Come: A History of Futurity, Continum, 2010 hlm 18. pembentukan atau konstruksi. Kedekatan dengan konsep „invention of tradition‟ semakin dipertegas melalui pernyataan Pemberton pada bagian pendahuluan bukunya Walau saya menelaah dalam-dalam manuskrip-manuskrip Jawa dari beberapa abad yang lalu, saya tidak melakukannya dalam rangka menulis sejarah dari, misalnya Jawa abad kesembilan belas melainkan saya lakukan itu dalam upaya untuk menulis mengarungi balik arus kronologi, ke belakang sampai ke wacana mengenai asal-usul yang memengaruhi masa kini Orde Baru 22 . Penegasan Pemberton tentang fokus penelitiannya tersebut memperlihatkan bahwa seperti halnya konsep „invention of tradition‟ yang memandang sejarah masa lalu atau lebih tepatnya konstruksi tentang masa lalu kerap dihubungkan dan digunakan secara politis untuk membentuk masyarakat masa kini. Pemberton juga menggunakan pandangan yang demikian itu dalam konteks bagaimana Orde Baru berusaha merekonstruksi konsep-konsep kejawaan tertentu secara politis selama periode kekuasaan mereka. Objek penelitian Pemberton adalah Jawa khususnya Jawa tengah dan secara lebih spesifik banyak berkaitan dengan kesultanan Surakarta dari rentan abad kedelapan belas sampai dengan masa-masa kejayaan Orde Baru sekitar tahun 1980an. Sekali lagi, hal ini tidak cukup hanya dipahami dalam kerangka kronologis karena data-data yang disajikan Pemberton memperlihatkan bagaimana wacana tentang apa yang disebut „Jawa‟, „tradisi‟, „ritual‟ digunakan untuk proyek politis khususnya oleh rezim Orde Baru. Pada bab-bab awal bukunya, Pemberton berargumentasi bahwa apa yang disebut „Jawa‟ yang adiluhung merupakan hasil dari sebuah kontruksi panjang, berubah-ubah 22 Lih Jhon Pemberton, „On The Subject Of Java, Mata Bangsa, 2003, hlm 36 dan terkadang penuh dengan intrik. Pembentukan „Jawa‟ pun dipengaruhi oleh berbagai mac am unsur dari „luar‟. Bagaimanapun, pengalaman sebagai masyarakat kolonial menjadikan „Jawa‟ mengalami perjumpaan budaya yang memberi banyak pengaruh dalam pembentukan apa yang disebut „Jawa‟ itu sendiri. Salah satu efek dari perjumpaan tersebut dapat kita lihat pada busana. Sebagaimana dicontohkan pemberton dalam bukunya, Dengan inspirasi yang cemerlang, pangeran itu mengambil gunting dan memotong buntut dari pakaian resmi Belanda rokkie Walandi sehingga terdapat ruangan di punggung guna menyelipkan sebuah keris yang anggun. Dia memakai kain batiknya yang terbagus bukan celana panjang dan menciptakan mode terbaru untuk Surakarta tahun 1870an 23 . Kutipan di atas menceritakan kreasi penciptaan busana oleh Mangkunegara IV ketika dia diundang menghadiri upacara pembukaan pesanggrahan Pakubuwana. Jas itu menjadi busana yang dipilih bagi pengantin-pengantin laki-laki priayi pada pergantian abad dua puluh yang ingin mencapai , puncak- puncak baru pristise „Jawa‟. Setelah beberapa lama, jas yang dipribumikan ini menjadi busana ritual yang disyaratkan untuk pengantin laki- laki Jawa Tengah „tradisional‟, sebagai gambaran-gambaran dari subjek- subjek kultural yang dimaksudkan untuk memunculkan kembali wibawa „Jawa‟ 24 . Apa yang dilakukan oleh Mangkunagara adalah sebuah upaya menciptakan sebuah identitas baru mandiri cara Jawi karena merasa identitas dirinya berbeda dengan kolonial Belanda cara Walandi meski tetap menggunakan yang disediakan oleh Belanda tersebut rokkie Walandi namun diberi sebuah konstruksi makna baru. 23 Ibid, Hlm 152 24 Ibid, hlm 152 Praktik yang dilakukan oleh Mangkunagara kurang lebih mempunyai kesamaan dengan cara an-Nadzir membangun konstruksi messianisme mereka. Meski Nampak banyak dipengaruhi oleh konsep messianisme yang umum dalam Islam khususnya konsep messianisme Syiah, namun an-Nadzir memberikan sebuah konstruksi makna baru pada konsep messianisme tersebut dan dengannya membentuk identitas messianisme an-Nadzir yang mandiri. Pemberton juga banyak memberi focus penelitiannya pada bagaimana Orde Baru memainkan wacana seputar apa yang disebut „tradisi‟. Rezim Orde Baru pimpinan Soeharto menurut Pemberton memang berusaha mewacanakan penguatan kembali „tradisi‟ tetapi harus dalam bingkai regulasi Orde Baru. Orde Baru menggalakkan sekaligus mengontrol apa yang disebut „tradisi‟. Sebagai contoh, praktik upacara bersih desa yang dekat dengan nuansa mistis tetap dianjurkan, tetapi ritual rebutan yang merupakan rangkaian bahkan dianggap sebagai klimaks upacara dihilangkan karena dianggap berpotensi mwnimbulkan kerusuhan 25 . Era rezim Orde Baru memang ditandai oleh „kediaman massif‟, dalam ukuran Orde Baru, Indonesia yang tentram adalah yang hening tanpa insiden. Kerangka Invention of Tradition yang digunakan dalam penelitian ini akan berusaha dilengkapi dengan konsep wacana Foucauldian karena konsep Invention of Tradition dirasa terlalu deskriftif. Konsep wacana Foucauldian dimaksudkan untuk melihat secara kritis bagaimana wacana messianisme dibentuk dan relasi-relasi kekuasaan-pengetahuan yang menyertainya. Bagaimanapun messianisme adalah sebuah 25 Ibid Hlm 34-347 medan wacana liar di mana komunitas-komunitas yang terlibat di dalamnya saling menegasikan demi mengafirmasi klaim kebenaran konstruksi wacana mereka. Analisis wacana Foucault tidak mendekati wacana dari sisi orang yang mengucapkannya atau struktur formalnya melainkan dari kaidah-kaidah yang membuat wacana itu dipakai. Foucault tidak mencari kekuatan fasis wacana dalam bahasa melainkan dalam wacana dan di luar wacana. Dia tertarik pada gejala mengapa dalam sejarah muncul wacana yang mendorong orang untuk mengucapkannya terus- menerus 26 . Pendekatan ini pada intinya ingin memeriksa peristiwa-peristiwa sejarah dalam kaitannya dengan cara orang mengalami dirinya sendiri the constitution of the self 27 . Kebanyakan penelitian Foucault berkaitan dengan sejarah seperti penelitiannya terhadap bagaimana konstruksi wacana seksualitas dan sejarah kelahiran penjara, namun Foucault tidak hanya memahami sejarah semata sebagai sebuah peristiwa kronologis melainkan peristiwa-peristiwa tersebut difokuskan pada bagaiamana relasi rezim kekuasaan-pengetahuan-kenikmatan yang menopang wacanaperistiwa sejarah tersebut 28 . Penelitian Foucault tentang sejarah seksualitas bukan merupakan sejarah representasi melainkan bagaimana seksualitas berusaha diatur sedemikian rupa untuk menghasilkan kepatuhan terhadap wacana tertentu. Pemikiran Foucault memang tidak bisa dilepaskan dari persoalan relasi kekuasaan. kalau orang biasanya berbicara tentang kekuasaan dan Negara, sekarang 26 Hang out mata kuliah, St. Sunardi, Teori Wacana dalam The History of Sexsuality, hlm 2 27 Ibid hlm 4 28 Lih Foucault, The History of Sexuality, Vol I: An Introduction, New York, Vintage, 1978 hlm11 tentang kekuasaan dan subjek. Berlawanan dengan pandangan Marxis, Foucault menentang paham kekuasaan dari atas oleh pusat kekuasaan Negara. Tekanan pada hubungan kekuasaan tidak mengacu pada sistem umum dominasi oleh suatu kelompok terhadap kelompok yang lain. Melainkan beragamnya hubungan kekuasaan. Syarat- syarat kemungkinan pemahaman kekuasaan tidak terpusat pada satu titik atau sumber otoritas 29 . Menurut Foucault, kita seharusnya bersikap nominalis dalam memandang kekuasaan. kekuasaan bukanlah lembaga, kekuasaan bukan pula sebuah struktur, bukan semacam daya yang terdapat pada beberapa orang. Kekuasaan adalah nama yang diberikan kepada suatu situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu 30 . Kekuasaan yang di maksudkan Foucault bukan Kekuasaan dengan huruf besar sebagai himpunan lembaga dan perangkat yang menjamin kepatuhan warga negara 31 . Biasanya kekuasaan disamakan dengan dengan milik. Kuasa dianggap sebagai sesuatu yang dapat diperoleh, disimpan, dibagi, ditambah, atau dikurangi. Tetapi dalam pandangan Foucault, kekuasaan bukanlah sesuatu yang dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain dan senatiasa mengalami pergeseran 32 . Menurut Foucault kekuasaan ada di mana-mana, bukan karena kekuasaan mencakupi segala hal, namun karena kekuasaan datang dari mana-mana. Dengan memahami kekuasaan sebagai sesuatu yang tersebar, maka relasi kekuasaan dapat ditemui dalam berbagai interaksi masyarakat dan kegiatan sosial seperti sekolah, rumah sakit, penjara dan sebagainya. 29 Lih, Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, hlm 2 . 30 Lih Foucault, The History of Sexuality, Vol I: An Introduction, New York, Vintage, 1978 hlm 93. 31 Ibid hlm 92 32 Lih, K. Bertens, Filsafat Barat Perancis, Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm 320 Pelaksanaan kekuasaan bukan pertama-tama melalui kekerasan atau masalah persetujuan Hobbes, Locke, tetapi seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, rayuan, atau melalui paksaan dan larangan. Jadi kekuasaan pertama-tama bukan represi Freud, Reich atau pertarungan kekuatan Machiavelli, Marx dan bukan pula fungsi dominasi suatu kelas yang didasarkan pada penguasaan atas ekonomi atau manipulasi ideologi Marx. Foucault mengatakan kekuasaan harus dipahami pertama-tama banyak dan beragamnya hubungan-hubungan kekuatan yang melekat pada bidang hubungan-hubungan tersebut dan organisasinya. Kekuasaan berarti perang bisu, yang menempatkan konflik dalam berbagai institusi sosial, dalam ketidaksetaraan ekonomi, dalam bahasa, dan bahkan dalam tubuh kita masing-masing 33 . Selain mengatakan bahwa kekuasaan sesuatu yang lebih dipraktikkan daripda dimiliki dan tersebar, Foucault juga mengatakan bahwa di mana pun kekuasaan berada, selalu ada resistensi yang menyertainya 34 . Perlawanan tersebut tidak berada pada posisi di luar kekuasaan. perlawan ada karena kekuasaan itu sendiri. Berkaitan dengan penelitian ini apa yang dipraktikkan Jamaah an-Nadzir sangat mungkin dilihat sebagai sebuah bentuk resistensi terhadap wacana Islam dominan. Foucault mengoreksi imaji negatif yang sering dilekatkan pada kekuasaan sebagai sesuatu yang dilaksanakan dengan cara-cara represif, menyensor, mengabstraksi dan menyembunyikan. Bagi Foucault, kekuasaan tidak hanya represif tetapi juga produktif. Kekuasaan memproduksi realitas, kekuasaan memproduksi ruang lingkup 33 Lih, Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, hlm 4. 34 Lih Foucault, The History of Sexuality, Vol I: An Introduction, New York, Vintage, 1978 hlm 95 objek dan ritus-ritus kebenaran. Kekuasaan dalam mekanisme disiplinnya menghasilkan individu dan pengetahuan 35 . Lalu apa yang menjadi sasaran kekuasaan? menurut Foucault, sasaran kekuasaan adalah tubuh. Tubuh di manipulasi, dilatih, dikoreksi, dibuat menjadi patuh, bertanggungjawab, menjadi terampil dan meningkat kekuatannya 36 . Tubuh selalu menjadi objek sasaran kuasa baik dalam arti anatomi metafisik seperti yang dibuav oleh para dokter maupun filsuf, maupun dalam arti „teknis politis‟ yang mau mengatur, mengontrol atau mengoreksi segala aktivitas tubuh. Kuasa dari masa ke masa selalu menyentuh tubuh, hanya cara, ukuran, dan sasaran kontrolnya saja yang selalu berubah- ubah 37 . Membicarakan konsep kekuasaan Foucault tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan. Antara pengetahuan dan kekuasaan terdapat relasi yang saling mengandaikan. Tidak ada praktik pelaksanaan kekuasaan yang tidak memunculkan pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang di dalamnya tidak mengandung relasi kuasa 38 . Pengetahuan adalah cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subjek. Foucault mendefenisikan strategi kekuasaan sebagai yang melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui terumus dalam pengetahuan. Bahasa menjadi alat untuk mengartikulasikan kekuasaan pada saat 35 Lih, Foucault, Discipline and Punish; the Birth of the Prison, Vintage Books, 1995, hlm 194 36 Ibid hlm 12 37 Lih Sunu Hardiyanta, Disiplin Tubuh; Bengkel Individu Modern, LKIS, 1997, hlm 75 38 Discipline and Punish; the Birth of the Prison, Vintage Books, 1995, hlm 27 kekuasaan harus mengambil bentuk pengetahuan, karena ilmuilmu terumus dalam bentuk pernyataan-pernyataan 39 . Disiplin dan norma menjadi konsep kunci dalam mekanisme kekuasaan. Kekuasaan ingin mencapai tubuh yang selalu patuh. Untuk kepentingan tersebut diperlukan sebuah penerapan disiplin yang sistematis. Sistematisasi tersebut mendapatkan bentuknya melalui model penjara panoptik. Bangunan panoptikon merupakan bangunan besar, berbentuk melingkar dengar menara pengawas terdapat di tengah-tengahnya. Melalui mekanisme panoptik, pengawas dapat secara terus menerus memantau individu tanpa pernah dilihat oleh mereka yang diawasi. Model ini menciptakan dalam diri subjek perasaan senantiasa diawasi. Pada akhirnya orang menciptakan pengawas dari dalam dirinya sendiri Agama merupakan salah satu lembaga produksi kekuasaan-pengetahuan yang dahsyat, terutama dalam masyarakav seperti Indonesia. dia tidak bisa dilepaskan dari mekanisme dan teknik kekuasaan normatif dan disipliner. Agama mengatur individu dan masyarakat melalui penyeragaman baik perilaku, bahasa, pakaian, maupun ritus. Melalui teknik itu akan dihasilkan identitas yang memudahkan pencapaian baik dari pemeluknya, maupun ketakutan dari mereka yang tidak termasuk bagiannya 40 . G. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan field research dan akan dilakukan dengan pengambilan data di lapangan yang terkait konsep-konsep messianistis dan pengamalannya dalam keseharian. Metode yang digunakan dalam 39 Lih, Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, hlm 5 40 Ibid hlm 9 dipakai dalam pendekatan ini seperti indepth interview wawancara mendalam, dan observasi lapangan. Penelitian ini akan menggunakan lived experience and discourse. Pendekatan ini dipilih karena aspek lived experience akan memfokuskan penelitian ini pada pengalaman subjekpelaku dalam kaitannya dengan kekuatan diskursus yang bekerja di lingkungan sosialnya. Adapun metodologi penelitian akan dijabarkan sebagai berikut: 1. Data dan Sumber Data Data dalam penelitian ini adalah informasi tentang konsep-konsep messianistik yang dirumuskan, diyakini dan dijalankan oleh Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Data yang ditemukan akan dianalisis berdasarkan pendekatan dan perspektif teoretik yang digunakan untuk menemukan aspek- aspek yang menjadi fokus penelitian. Sumber data dalam penelitian ini adalah komunitas Jamaah an-Nadzir yang ada di Kabupaten Gowa, masyarakat sekitar dan institusi keagamaan setempat yang bersentuhan dan mempunyai pengalaman langsung dengan Jamaah an-Nadzir. 2. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data, akan digunakan tiga cara: 2.1. Observasi Observasi dilakukan untuk melihat secara faktual sasaran yang diteliti. Observasi yang dimaksudkan adalah mengamati pihak-pihak yang tepat dan mempunyai keterkaitan dengan objek penelitian. 2.2. Wawancara Wawancara dalam penelitian ini akan dilakukan dengan subjek penelitian yang terdiri dari anggota Jamaah an-Nadzir sendiri, masyarakat sekitar Jamaah an-Nadzir dan institusi pemerintah yang berkaitan dengan Jamaah an-Nadzir. Metode ini berpretensi menelusuri informasi sedalam-dalamnya sehingga apa yang diharapkan bisa ditemukan. 2.3. Dokumentasi Dokumentasi dimaksudkan untuk mengumpulkan data-data berupa catatan- catatan peristiwa baik yang berupa tulisan, gambar, data visualisasi dan sebagainya. H. Pengolahan Data Data-data yang nantinya diperoleh dari penelitian lapangan dengan cara yang telah dijelaskan dalam metodologi penelitian observasi, wawancara, dan dokumentasi kemudian akan dianalisis lebih jauh untuk menemukan konsep messianistik seperti apa yang ditemukan dalam penelitian. I. Sistematika Penulisan Penelitian ini direncanakan akan terdiri dari lima bab. Bab I dari penelitian ini berisikan bab pendahuluan. Bab II direncanakan akan memuat tentang tinjauan historis keberadaan komunitas Jamaah an-Nadzir di kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan sekaligus menjawab rumusan masalah pertama. Bab III Akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua dari rencana penelitian ini. Bab IV akan diusahakan untuk menjawab rumusan masalah ketiga dari penelitian, dan bab IV atau bab terakhir berisi kesimpulan dan saran penelitian.

BAB II GENEALOGI JAMAAH AN-NADZIR