Konstruksi Sistem Kepemimpinan Jamaah an-Nadzir

Model-model penerapan kepemimpinan yang dijelaskan Gibson tersebut senantiasa muncul dalam konteks ritual tertentu. Namun demikian, hal tersebut tidak berarti dalam sebuah periode tertentu dalam sejarah masyarakat yang kompleks seperti masyarakat hanya berlaku sebuah tatanan politik dan kekuasaan tunggal. Ada banyak model dan konstruksi kepemimpinan kekuasaan yang senantiasa bersaing. Model konstruksi kepemimpinan politik dan keagamaan yang diedialisasi sekalipun tidak pernah lepas dari tantangan. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Foucault bahwa setiap usaha pendisiplinan untuk memanpankan bentuk-bentuk kekuasaan pasti akan selalu menemui perlawanan. Lagi pula, pengalaman religius masyarakat Bugis- Makassar dan narasi Islam di Sulawesi Selatan adalah sebuah narasi kompleks yang tidak bisa direduksi dalam satu narasi tunggal.

C. Konstruksi Sistem Kepemimpinan Jamaah an-Nadzir

Aspek kepemimpinan merupakan hal yang sangat penting dalam komunitas an- Nadzir. Aspek kepemimpinan tersebut bukan hanya dikonstruksi sebagai sesuatu yang harus ada untuk menjamin regulasi kehidupan komunitas sebagaimana lazimnya dalam organisasi-organisasi biasa, tetapi juga berperan menjamin eksistensi Jamaah an-Nadzir dalam menghadapi berbagai ancaman dari luar. Eksistensi dan kestabilan Jamaah an- Nadzir di Mawang kabupaten Gowa dengan berbagai „ketidaklaziman‟ teologi yang mereka yakini dan praktikkan tidak bisa dilepaskan dari peran ketokohan dan kharisma pemimpin jamaah mereka. Lebih dari itu, seperti kebanyakan gerakan messianistik, aspek kepemimpinan adalah bagian tidak terpisahkan dari konstruksi messianistik yang mereka bangun. Melalui pengantar singkat di atas, dapat dilihat bagaimana penting dan vitalnya peran tokoh kharismatik dalam gerakan-gerakan messianistik seperti Jamaah an-Nadzir bahkan sangat sering keberadaan seseorang yang direpresentasikan sebagai tokoh kharismatik supranatural menjadi sebab awal dan mapannya kelompok-kelompok gerakan messianistik. Dalam konteks Jamaah an-Nadzir, usaha representasi diri sebagai tokoh kharismatik dimulai oleh pendiri Jamaah an-Nadzir, Kyai Samsuri Madjid. Dalam berbagai kegiatan dakwahnya di Indonesia, Kyai Samsuri Abdul Madjid menitikberatkan ajarannya pada pemurnian syariat hukum dan aqidah. Dalam pandangan Jamaah an-Nadzir, saat ini ajaran Islam telah banyak diubah dari apa yang telah teladankan oleh Nabi Muhammad. Kyai Syamsuri Abdul Madjid mengklaim bahwa apa yang dia ajarkan adalah upaya untuk menegakkan kembali Hukum Tuhan di muka bumi. Selain penegakan hukum Tuhan, Kyai Samsuri juga menekankan ajarannya pada pemurnian aqidah dan proses manusia mengenal tuhan. Dalam perspektif Kyai Samsuri, kebanyakan umat Islam saat ini hanya mengenal nama-nama dari Tuhan, sementara wujud dan esensi Tuhan mereka tidak kenal, padahal hakikat menjadi Islam menurut Syamsuri 172 –yang kemudian menjadi pemahaman Jamaah an-Nadzir- adalah pengenalan terhadap tuhan. Kyai Samsuri, oleh para anggota Jamaah an-Nadzir disebut dengan panggilan abah atau Imam Besar. Penamaan itu secara nyata menunjukkan bagaimana Kyai Syamsuri yang merupakan founding father komunitas direpresentasikan sebagai puncak dari dinamika kepemimpinan yang dipahami oleh Jamaah an-Nadzir. Lebih dari itu, penamaan tersebut juga merepresentasikan kemuliaan Kyai Samsuri sebagai seorang 172 Dikutip dari salah satu catatan rekaman dakwah Kyai Syamsuri Abdul Madjid pribadi dalam pandangan an-Nadzir. Dia dianggap sebagai pengayom dan pembimbing spiritual komunitas yang tidak terbantahkan. Jamaah an-Nadzir meyakini bahwa pemimpin mereka, kyai Syamsuri Madjid adalah perwujudan sosok Imam Mahdi. Sosok Syamsuri juga dianggap sebagai „reinkarnasi‟ sosok Kahar Muzakkar, yang berarti secara tidak langsung juga mengklaim bahwa Kahar Muzakkar juga adalah sosok Imam Mahdi. Seperti kaum Syiah, An-Nadzir juga meyakini bahwa Imam Mahdi mengalami beberapa tahap kegaiban. Namun demikian, Jamaah an-Nadzir membangun konstruksi wacana kegaiban yang berbeda dengan Syiah meski dengan pola yang mirip. Menurut an-Nadzir, Imam Mahdi pertama kali gaib sewaktu dia masih kecil, lalu kemudian muncul lagi sebagai sosok Kahar Muzakkar, kemudian dalam sosok Kyai Samsuri Madjid. Ketika kyai Samsyuri Meninggal dunia di Jakarta pada Sabtu, 12 Agustus 2006, oleh Jamaah an-Nadzir Kyai Syamsuri tidak disebut meninggal melainkan mereka menyebut pemimpin mereka tersebut „gaib‟. Pemakaian kata gaib tersebut berkaitan erat dengan keyakinan mereka tentang siapa sosok al-Mahdi. Kematian Kyai Syamsuri oleh Jamaah an-Nadzir disebut s ebagai peristiwa „Ghaib Kubra‟. Imam Mahdi menurut an-Nadzir akan muncul kembali dalam wujud aslinya dari arah „timur‟ untuk menegakkan hukum Tuhan dan menebarkan keadilan ilahiah ke seluruh penjuru dunia. Sepeninggal Kyai Syamsuri, Jamaah an-Nadzir dipimpin oleh dua orang murid langsung Kyai Syamsuri yang bernama ustad Lukman Bakti dan ustad Rangka. Ustadz Lukman Bakti lahir di Pattedong, Palopo, 14 Desember 1969. Dia menyelesaikan Sekolah Dasar SD sampai sekolah menengah atas SMA semuanya di kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah. Setamat SMA, dia melanjutkan pendidikannya pada jurusan Adronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Muslim Indonesia dan meraih gelar sarjana pertanian. Sebagai salah satu pimpinan Jamaah an-Nadzir, Ustad Lukman Bakti berperan menjadi representasi atau perwakilan jamaah dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan hubungan jamaah dengan kelompok di luar mereka. Ustad Lukman lah yang senantiasa memberi pernyataan mengenai Jamaah an-Nadzir semisal kepada media atau institusi lainnya. Hal ini mungkin tidak bisa dilepaskan dari pengalamannya semasa kuliah yang aktif dalam berbagai organisasi mahasiswa semisal HMI sehingga oleh anggota Jamaah an-Nadzir dia dianggap dapat menyampaikan gagasan-gagasan komunitas secara retoris. Sementara itu, pemimpin tertinggi Jamaah an-Nadzir adalah ustad Rangka Hanong. Oleh anggota jamaah dia biasanya disebut dengan panggilan „panglima‟ atau „‟abah‟. Ustadz Rangka merupakan penduduk asli Mawang. Sebelum bergabung dengan Jamaah an-Nadzir dia merupakan tokoh masyarakat yang disegani di daerah Gowa. Ustadz Rangka oleh masyarakat setempat dianggap memiliki kekebalan terhadap senjata tajam, wacana tentang kekebalan dirinya terhadap senjata juga kerap dia jadikan sebagai instrumen dalam berdakwah seperti telah disebutkan pada bab sebelumnya. Ketokohan dan kharisma ustad Rangka khususnya sebagai seorang „jawara‟ diakui oleh banyak pihak. Di Mawang itu banyak anak-anak nakal, pemudanya di sana rata-rata bertatto, bahkan ustad Rangka juga dulu itu nakal. Ustad rangka itu, kalau anak-anak nakal sekitar Gowa Takalar Jeneponto, sebut namanya saja mereka takut. 173 Ketokohan dan kharisma ustadz Rangka pula lah yang menjadi alasan rasional Jamaah an-Nadzir menjadikan Mawang sebagai daerah basis komunitas dibanding daerah-daerah lain di Indonesia. Kehadiran tokoh yang disegani masyarakat seperti ustadz Rangka memberi jaminan rasa aman dan kebebasan untuk melaksanakan praktik- praktik keagamaan yang agak „nyentrik‟ seperti Jamaah an-Nadzir tanpa kekhawatiran akan adanya gangguan dan ancaman dari pihak luar atau masyarakat sekitar. Dalam pendeskripsiannya mengenai sosok ustadz Rangka, Mustaqim Pabbaja mengatakan bahwa eksistensi Jamaah an-Nadzir di lingkungan Mawang memang tidak dapat dilepaskan dari peran besar ustad Rangka. Dia merupakan putera asli Mawang dan memiliki tanah yang cukup luas di sekitar danau Mawang. Selain itu, Daeng Rangka dikenal sebagi Tolo atau orang berani, bahkan ustad Rangka juga dianggap memiliki kemampuan untuk menyembuhkan orang yang konon diperolehnya dengan cara gaib. Secara penampilan Daeng Rangka memang terlihat sangar, berbadan besar, dengan gaya bicara yang tegas dan keras 174 . Selain karena ketokohan dan kharisma pribadi ustadz Rangka, stabilitas eksistensi Jamaah an-Nadzir juga disebabkan oleh dukungan dan apresiasi oleh pihak luar khususnya dari institusi pemerintah pemerintah daerah dan DEPAG kabupaten karena komunitas dianggap membawa spirit pembaharuan dan mampu mengubah lingkungan sekitarnya menjadi lebih baik. Sebelum ditinggali oleh Jamaah an-Nadzir, 173 Wawancara dengan Kepala Seksi Penerangan Masyarakat Departemen Agama Kabupaten Gowa 174 Mustaqim Pabbaja, Gerakan Islam Non-Mainstream di Indonesia, Studi Tentang Jamaah an-Nadzir di Sulawesi Selatan, Universitas Gadja Mada, 2013, hlm 67 daerah Mawang merupakan lokasi yang rawan tindak kriminal seperti perampokan atau penodongan, Jamaah an-Nadzir juga dianggap berjasa menghilangkan praktek saukang 175 yang dianggap merupakan perbuatan syirik. Selain itu, keberadaan an- Nadzir dengan segala keterampilan yang mereka miliki telah mengubah tanah sekitar yang sebelumnya hanya lahan mati karena dikeramatkan dan dianggap daerah rawan menjadi lahan produktif dan berdaya guna. Sebagai seorang putra daerah dan tokoh masyarakat setempat, ustadz Rangka berperan mengatur regulasi seluruh anggota Jamaah an-Nadzir. Ustadz Rangka lah yang menentukan tugas dan pekerjaan sehari-hari termasuk mata pencaharian seorang jamaah, khususnya bagi para jamaah yang berasal dari luar kota Gowa atau dari luar provinsi Sulawesi Selatan sebab mereka datang tanpa membawa banyak harta benda serta kebanyakan dari mereka telah meninggalkan pekerjaan mereka sebelumnya untuk bergabung dalam komunitas. Jamaah an-Nadzir membagi dua model komunitas mereka ke dalam dua bentuk perkumpulan. Pertama, berbentuk yayasan. Pola ini digunakan oleh Jamaah an-Nadzir untuk mendapatkan kepastian dan jaminan hukum bagi komunitasnya. Dengan mendaftarkan sebagai sebuah lembaga masyarakat yayasan, komunitas ini mendapatkan pengakuan dan legitimasi dari Negara. Pola taat hukum seperti juga mereka terapkan pada semua bidang usaha mereka. meskipun hanya memiliki usaha 175 Saukang adalah semacam praktik membawa berbagai sesajian atau binatang ternak untuk disembelih ditempat-tempat tertentu yang dianggap keramat dengan maksud untuk mencari berkah dari nenek moyang atau arwah tertentu. Oleh para pemuka agama, praktek ini dianggap sebagai praktik peninggalan masyarakat Sulawesi Selatan pra-Islam yang dikategorikan sebagai praktik syirik. kecil seperti bengkel motor, depot air minum dan koperasi, namun keseluruhan unit usaha tersebut tercatat memiliki Badan Hukum. Pola ini menunjukkan bagaimana komunitas ini sangat mengerti hukum dan sadar politik. Proteksi terhadap stabilitas eksistensi komunitas dari berbagai arah telah mereka pertimbangkan dengan sangat hati-hati sejak dini. Bentuk kedua adalah majelis. Pola kedua ini merupakan inti dari semangat dan cita-cita Jamaah an-Nadzir untuk berkumpul dan mendirikan sebuah komunitas dan wilayah mandiri di mana mereka dapat menjalankan nilai-nilai religious yang mereka yakini. An-nadzir itu dua, ada yayasan dan ada orang yang berkumpul yang disebut majelis. Yayasan ini sebenarnya hanya untuk bingkai karena kita hidup di Negara hukum, yang menuntut kita secara hukum untuk ada legalitas dalam sebuah kelembagaan, jadi an-Nadzir berbentuk yayasan. Sebagai yayasan berpusat di Jakarta, tetapi sebagai majelis berpusat di Makassar tepatnya di sini mawang, secara yayasan kita tetap menggunakan struktur yayasan. Sedangkan majelis tidak dalam bentuk struktur lembaga tetapi dia adalah kumpulan orang-orang yang melakukan baiat sami‟na wa ata‟na terhadap baiatnya 176 . Dalam mengelola dinamika komunitas, Jamaah an-Nadzir menerapkan sebuah si stem kepemimpinan yang mereka sebut „imamah‟. Sistem imamah dalam konteks pemahaman an-Nadzir adalah kepemimpinan spiritual, bukan organisasi. Penekanan Jamaah an-Nadzir pada kepemimpinan spiritual menunjukkan pengaruh dan adopsi dari konsep imamah Syiah. Konstruksi serta cara mereka merepresentasikan sosok pendiri jamaah, kyai Samsuri Abdul Madjid sebagai imam Mahdi menguatkan pengaruh teologi Syiah dalam konsep kepemimpinan an-Nadzir. Sebagaimana imamah Syiah, imamah an-Nadzir cenderung menggunakan perspektif „kapasitas individual‟ dalam melihat dan 176 Dikutip dari wawancara dengan ustad Lukman dalam Mustaqim Pabbaja, Gerakan Islam Non- Mainstream di Indonesia, Studi Tentang Jamaah an-Nadzir di Sulawesi Selatan, Universitas Gadja Mada, 2013, hlm 131 memilih seorang pemimpin. Seorang imam an-Nadzir digelari „imam besar‟, jabatan ini dahulunya dipegang oleh K.H Syamsuri Abdul Madjid. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mustaqim Pabbaja di tahun 2011 menyebutkan bahwa sepeninggal Syamsuri posisi sebagai pemimpin jamaah digantikan oleh kedua muridnya yaitu uztad Rangka dan ustad Lukman. Namun demikian, mereka hanya berperan sebagai regulator kepemimpinan jamaah yang disebut amir, bukan imam atau pemimpin spiritual. Pergantian kepemimpinan menurut Jamaah an-Nadzir tidak didasarkan pada periodisasi tertentu, tetapi kapasitas pemimpin. Hal inilah yang menyebabkan Jamaah an-Nadzir tetap menganggap Syamsuri Madjid sebagai imam besar karena belum ada yang mereka yakini layak menggantikan dan memenuhi kapasitas untuk menjadi seorang imam 177 . Kalau dalam majelis kita, Imam Besar itu masih almarhum. Kami belum melakukan pergantian karena kapasitas di antara kami sadar betul belum ada yang menyamai beliau. Sehingga kami mengamalkan apa yang beliau ajarkan. Tetapi untuk pertanggungjawaban wilayah, peran imam diambil alih oleh amir 178 . Fakta berbeda saya temukan ketika saya melakukan penelitian terhadap komunitas ini pada tahun 2012-2013. Peran sebagai pemimipin spiritual –meski tidak menggunakan gelar sebagai Imam Besar seperti Kyai Samsuri- jamaah mulai dikampanyekan oleh ustadz Rangka. Kampanye ini tidak bisa dilepaskan dari manifestasi nilai-nilai messianistik sebagaimana di pahami Jamaah an-Nadzir. Ustadz Rangka memang tidak mengklaim diri sebagai al-Mahdi, melainkan sebagai sosok Pemuda Bani Tamim yang akan merintis jalan bagi kekuasaan Imam Mahdi. 177 Ibid, hlm 132 178 Ibid, hlm 133 Penyebutan atau pe lekatan panggilan „abah‟ dan panglima terhadap ustadz Rangka yang telah saya sebutkan sebelumnya merupakan sesuatu yang bersifat politis dan merupakan bagian dari representasi praktik messianistis Jamaah an-Nadzir. Gelar „panglima‟ tidak hanya mengandaikan bahwa Jamaah an-Nadzir menganggap ustadz Rangka sebagai pemimpin komunitas biasa tetapi gelar tersebut sangat kental dengan muatan pesan messianistis Jamaah an-Nadzir. Oleh Jamaah an-Nadzir, ustad Rangka dianggap sebagai perwujudan dari Pemuda Bani Tamim yang akan merintis dan melapangkan jalan bagi kekuasaan akhir jaman Imam Mahdi. Dalam berbagai kesempatan, ustad Rangka sendiri seringkali mengklaim dan mendeklarasikan dirinya sebagai Pemuda Bani Tamim. “Aku jamin kamu, apa yang kuajarkan ini adalah kebenaran yang datang dari Allah SWT. Dan sekiranya salah yang kusampaikan ini maka akulah yang bertanggung jawab. Sampaikan kepada dunia dan catat, akulah pemuda bani tamim,” seru Uztad Rangka Hanong dengan suara tinggi di depan jamaah shalat Idul Adha yang dilaksanakan di kebun kelapa sawit Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian STTP Mawang Gowa, Senin 1410. 179 Tapi yakinlah, kaum inilah dari timur yang dirindukan oleh nabimu. ” tandasnya disambut teriakan histeris spiritual jamaahnya. “Dan sampaikan kepada semuanya bahwa yang kamu umat Islam tunggu di akhir jaman Imam Al Mahdi sudah muncul di timur. Aku sahabat Al Mahdi,” Deklarasi ustad Rangka bahwa dirinya adalah Pemuda Bani Tamim merupakan bagaian dari rangkaian konstruksi messianistis Jamaah an-Nadzir mengenai tahapan- tahapan kondisi akhir zaman dalam imaji mereka. kehadiran seorang Pemuda Bani Tamim dalam konstruksi messianistis Jamaah an-Nadzir adalah syarat utama bagi kehadiran sang pembebas yang telah lama dinanti, al-Mahdi. Konstruksi tentang sosok 179 Dikutip dari blog resmi Jamaah an-Nadzir http:annadzirmawang.blogspot.com201311pimpinan- nadzir-mawang-deklarasi.html . kalimat ini juga beberapa kali diucapakan ustad Rangka kepada saya pada saat saya melakukan penelitian lapangan. perintis sebelum kedatangan al-Mahdi Pemuda Bani Tamim sebagaimana konstruksi tentang sosok Imam Mahdi itu sendiri merupakn sebuah wacana yang terus diperebutkan. Olehnya itu, konstruksi Jamaah an-Nadzir mengenai Pemuda Bani Tamim berusaha disesuaikan dengan kondisi sosial dan ciri fisik dari tokoh yang mereka klaim sebagai Pemuda Bani Tamim. Kembali pada persoalan konstruksi kepemimpinan atau imamah, Jamaah an- Nadzir menerapkan sistem baiat untuk menjamin kesetiaan dan kepatuhan seorang anggota jamaah. Kepatuhan dan kesetiaan tersebut mencakup hal-hal yang berkaitan dengan urusan-urusan sekular maupun yang teologis. Bagi Jamaah an-Nadzir, baiat merupakan dasar utama menjadi seorang muslim. Tanpa adanya baiat seseorang tidak dapat menjalankan ibadah dengan keyakinan yang sempurna. Baiat memberikan rasa aman dan menjadi dasar bahwa apa yang diajarkan oleh sang imam adalah kebenaran. Baiat sebenarnya bukanlah hal yang asing dalam wacana Islam. Namun demikian, pemaknaan terhadap fungsi baiat sangat beragam dalam konstruksi kelompok-kelompok Islam. Sebagian kelompok Islam mengkonstruksi bahwa baiat hanya merupakan pernyataan kesetiaan dan pengakuan terhadap kekuasaan para pemimpin sosial dan politik umat. Dalam konstruksi semacam ini, Imam hanya diakui sebagai pemimpin sosial dan politik, tetapi tidak memiliki wewenang sebagai pemimpin spiritual ummah. Sementara itu, sebagian kelompok Islam menganggap baiat adalah pernyataan kesetian kepada Imam sebagai seorang pemimpin baik secara politik maupun spiritual. Dalam konstruksi yang seperti ini, Imam ditempatkan dalam posisi yang sangat istimewa melebihi semua orang, olehnya itu, seorang imam biasanya dikonstruksi memiliki kelebihan-kelebihan supranaturalilahiah. Jamaah an-Nadzir menganggap baiat sebagai pernyataan kepatuhan baik secara politik maupun teologis terhadap seorang Imam. Untuk merasionalkan klaimnya mereka memberikan sebuah argumentasi dalil yang dianggap sebagai legitimasi teologis dari konsep baiat yang mereka yakini. Argumentasi an-Nadzir tentang baiat sebagai sebuah fondasi agama didasarkan pada sebuah ungkapan „tidak ada Islam kecuali berjamaah, tidak ada jamaah tanpa imamah, tidak ada imamah tanpa ketaatan, dan tidak ada ketaatan tanpa baiat. Barangsiapa yang keluar dari jamaah maka dia telah keluar dari Islam 180 . Di sinilah kita sekali lagi melihat bagaimana Jamaah an-Nadzir melakukan kreasi terhadap konsep-konsep yang telah lama ada dan memberikan interpretasi baru yang „khas‟ mereka terhadap konsep tersebut. Ungkapan yang digunakan oleh an- Nadzir sebagai argumentasi konsep imamah mereka adalah ungkapan dari khalifah kedua, Umar bin Khattab. Umar adalah sahabat Nabi yang diedialisasi oleh kelompok Islam Sunni. Berangkat dari hal tersebut, ungkapan Umar bin Khattab tentunya oleh kelompok Sunni tidak dipahami sebagai legitimasi terhadap keistimewaan orang tertentu yang membuat dia punya hak untuk menjadi pemimpin politik sekaligus spiritual. Perkataan Umar oleh kelompok Sunni akan lebih diinterpretasikan bahwa umat Islam seharusnya berusaha menjaga persatuan dan menghindari perselihan politik dengan mendukung suara mayoritas umat Islam jamaah 181 . 180 Wawancara dengan Arif humas Jamaah an-Nadzir 181 Perlu saya tekankan kembali bahwa hal-hal yang berkaitan dengan keaslian hadist baik dari sisi konten maupun sanadnya tidak menjadi konsentrasi penelitian ini, hadist tersebut dikutip hanya karena disampaikan oleh narasumber dan saya anggap penting sebagai data penelitian. Sementara itu, konsep kepemimpinan atau imamah sebagaimana dipahami dan dipraktekkan oleh Jamaah an-Nadzir lebih mirip dengan konsep imamah Syiah yang mengutamakan kultus individu yang dianggap memiliki keutamaan, kemuliaan, dan legitimasi ilahiah untuk menjadi pemimpin manusia dalam segala dimensi kehidupan mereka. Namun demikian, an-Nadzir lebih memilih menggunakan dalil yang memiliki kedekatan dengan teologi Sunni untuk membedakan konstruksi identitas mereka baik dengan kelompok Sunni maupun dengan kelompok Syiah. Pembedaan diri dengan Kelompok Sunni maupun Syiah -meski tetap menggunakan beberapa konsep dari kedua kelompok tersebut- selain bagian dari representasi dan identifikasi identitas, juga merupakan bagian dari konstruksi messianistis Jamaah an-Nadzir. Bagaimanapun wacana messianistis adalah sebuah medan kontestasi di mana di dalamnya setiap kelompok akan saling menegasikan dan mengklaim konstruksi mereka sebagai yang paling benar. Jamaah an-Nadzir mengklaim bahwa pertentangan antara kelompok Sunni maupun Syiah tidak akan bisa diselesaikan oleh kedua kelompok tersebut. Menurut Jamaah an-Nadzir, umat Islam di akhir zaman akan dipersatukan oleh an-Nadzir, termasuk Sunni dan Syiah. Dengan mengatakan hal yang seperti ini, sesungguhnya komunitas ini ingin meneguhkan bahwa kelompok mereka adalah sekte Islam yang paling benar dalam mengimplementasikan ajaran Nabi Muhammad. Kontestasi mengenai siapa kelompok Islam yang paling benar memang telah menjadi medan makna yang terus diperebutkan sejak dulu. Hal ini biasanya didasarkan pada sabda Nabi Muhammhad bahwa sepeninggal dirinya Islam akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu golongan yang masuk surga. Konstruksi tentang kelompok yang satu itulah yang terus menerus diperebutkan. Islam terbagi menjadi 73 golongan, 72 diantaranya ditempatkan di neraka, dan hanya satu yang selamat. Golongan yang selamat ini tidak bercampur baur antara yang hak dan yang batal. Yang satu golongan itu tidak bercampur baur dengan dengan 72 golongan yang lain. Golongan ini adalah dari al-Mahdi. Ini adalah perjalanan akhir zaman, rasullullah bersabda sekiranya Allah akan mengkiamatkan dunia hari ini, maka allah akan menundanya dan mendatangkan dari keturunanku seseorang yang nama orang tuanya sama dengan nama orang tuaku, namanya sama dengan namaku. Dia bergelar al-Mahdi Abdullah. Tapi sebelum kedatangan al- Mahdi kita terlebih dahulu bertemu dengan tokoh sentralisasi akhir zaman yang akan merintis jalan al-Mahdi yaitu Pemuda Bani Tamim 182 . Dalam doktrin imamah Jamaah an-Nadzir, Seorang imam yang dibaiat memberikan garansi bahwa apa yang dia ajarkan pada jamaahnya adalah benar dan berasal dari Tuhan, jika sekiranya apa yang diajarkan tidak benar sementara orang yang berbaiat itu taat kepada sang imam maka sang imamlah yang bertanggung jawab di hadapan Allah untuk membebaskannya dan memikul hukuman dari Tuhan. Itulah baiat , kata Ustadz Rangka 183 . Doktrin baiat yang demikian tersebut menempatkan imam dalam posisi yang sangat tinggi dan istimewa, dia merupakan representasi dari kehendak ilahiah dan wakil Tuhan di bumi. Doktrin ini sangat mirip dengan representasi Syiah mengenai seorang Imam yang dikonstruksi sebagai penjaga risalah kenabian. Seseorang yang mengklaim menjamin apa yang diajarkan adalah benar dari Tuhan, tentu secara tidak langsung mengandaikan bahwa dirinya telah sangat mengenal Tuhan dan merupakan wakilnya. Pola seperti itu adalah pola yang lazim dalam gerakan-gerakan eskatologis 182 Wawancara dengan Ismail anggota Jamaah an-Nadzir 183 Wawancara dengan ustadz Rangka messianisme di mana seseorang mengkalim menerima wahyu dari Tuhan ataupun wangsit dari sang Messias untuk mempersiapkan kedatangannya. Dengan membangun konstruksi imam sebagai wakil Tuhan, An-Nadzir juga mengafirmasi klaim Syiah seputar kemaksuman seorang imam. Kampanye seperti itulah yang dilakukan oleh Kyai Samsuri yang diklaim sebagai perwujudan imam Mahdi, maupun oleh ustadz Rangka yang mengklaim diri sebagai Pemuda Bani Tamim, sang perintis jalan al-Mahdi. Baik kyai Samsuri maupun ustadz Rangka mengklaim serta menjamin apa yang dia ajarkan benar dan siap mempertanggung jawabkannnya di depan Tuhan. Klaim seperti ini pernah disampaikan oleh Rangka ketika mengajak saya shalat magrib berjamaah dengan hanya bertayammum sementara untuk mendapatkan air untuk berwudhu masih sangat mungkin. Praktik ini adalah sebuah praktik yang tidak lazim jika diukur dari pemahaman syariat umat Islam mayoritas. Beliau abah Syamsuri Madjid telah menggaransi kepada kami bahwa kalau yang kuajarkan ini salah maka aku akan bertanggung jawab di hadapan Allah, maka dari itu kami menjalankan apa yang telah diajarkan dan siap mati untuk mempertahankan ajarannya karena kami telah digaransi 184 . Konstruksi an-Nadzir bahwa para pemimpin mereka adalah orang-orang kharismatik yang memiliki legitimasi ilahi merupakan sebuah usaha untuk mendapatkan legitimasi teologis. Hal ini seperti diperlihatkan dalam tulisan ini adalah praktik yang sudah lama ada. Raja-raja terdahulu memodifikasi konsep insan kamil untuk 184 Lih Taufan, Tinjauan Sosiologi Hukum Jamaah an-Nadzir, UIN Alauddin Makassar, tidak diterbitkan, hlm 162 mendapatkan legitimasi teologis atas regulasi kekuasaan mereka dan memapankan kharisma dan wibawa mereka di depan rakyat. Terkait dengan gagasan bagaimana pemerintahan Islam seharusnya berjalan, an- Nadzir memiliki gagasan berbeda dibanding dengan komunitas-komunitas yang mengatasnamakan diri sebagai gerakan Islam yang kerap menuntut pendirian atau pembentukan Negara Islam. Bagi Jamaah an-Nadzir, pendirian Negara Islam tidak menjadi sebuah keharusan, mereka lebih memilih menerapkan konsep-konsep Islam menjadi sebuah praktik dalam komunitasnya sendiri. Yang mau diselamatkan itu adalah batang tubuh individu-individu, bukan bangsa dan Negara. Ngapain kita bikin Negara Islam sementara kita tidak selamat? Tapi biar kita hidup dalam Negara Islam tetapi kita hidup di dalam Islam, selamat itu yang lebih baik 185 . Argumentasi an-Nadzir di atas mungkin sedikit bertentangan dengan argumentasi dan pemahaman mereka bahwa Islam mereka pahami bukan sekadar sebagai agama melainkan sebagai seperangkat hukum. Lalu bagaimana perangkat hukum tersebut dapat terlaksana tanpa adanya sebuah sistem pemerintahan yamg menjamin? Hal ini mungkin dilakukan oleh jamaah an-Nadir untuk memberi kesan bahwa mereka adalah kelompok yang menghargai pluralitas, dan upaya untuk membangun representasi tandingan bahwa Islam sama sekali bukanlah agama kekerasan jika dilihat dari semangat yang dibangun oleh pendirinya, Nabi Muhammad. Hari ini kita paksakan bikin Negara Islam, harus dicantumkan Negara yang berasaskan Islam. Setelah itu apa kita dapat? Kita membom ke sana kemari, kita membunuh ke sana kemari, membuat kekacauan ke sana kemari hanya untuk memenuhi kita punya hasrat untuk berkuasa. Nabi tidak mencontohkan itu. 185 Ibid hlm 163 Meskipun tidak memiliki niatan untuk mendirikan sebuah Negara Islam, bukan berarti Jamaah an-Nadzir tidak memiliki imaji dan hasrat terhadap kekuasaan. Seperti halnya gerakan-gerakan messianistik lainnya, puncak dari gerakan messianistis yang dimajinasikan oleh Jamaah an-Nadzir adalah terbentuknya sebuah pemerintahan global yang akan dipimpin oleh seorang wakil Tuhan Imam Mahdi yang akan menyebarkan keadilan dan kesejahteraan ke seluruh dunia melalui penegakan Hukum Tuhan. Hasrat dan cita-cita messianistik yang mengidamkan sebuah pemerintahan Islam global biasanya dikaitkan dengan konsep ideal masyarakat muslim yang dianggap bertentangan dengan realitas yang ada saat ini. Kesenjangan antara „realitas yang semestinya ada‟ dengan „realitas yang ada‟ ini biasanya diaqnggap karena Islam sudah dipengaruhi oleh konsep asing diluar Islam. Dalam konteks ini, hal- hal yang bersifat Barat –baik kebudayaan maupun pemikirannya- dianggap paling banyak memberi pengaruh yang buruk terhadap dunia Islam. Perbedaan konstruksi identitas antara Barat dan Timur ini semakin meningkat sebab tidak jarang pula dunia Barat merepresentasikan Islam sebagai agama yang kolot, berbahaya dan penuh dengan kekerasan. Kesenjangan tersebut salah satunya berusaha diatasi oleh kelompok-kelompok Islam dengan menyerukan untuk kembali kepada Islam yang „hakiki‟, kembali pada semangat awal Islam. Kelompok-kelompok gerakan messianis merupakan salah satu penganjur gerakan kembali ke „awal‟, ke masa tertentu yang mereka idealkan. Dalam konteks Islam, konsep ini mendapatkan ruangnya dalam eskatologi Islam yang menjanjikan kedatangan tokoh revolusioner dari keturunan Nabi Muhammad yang akan mengembalikan ajaran dan kejayaan umat Muslim sebagaimana yang telah dilakukan Nabi Muhammad di masa lalu. Jika berpatokan pada konsep yang diyakini Syiah dan dalam banyak hal diamini oleh Jamaah an-Nadzir, maka pemerintahan Imam Mahdi yang mereka bayangkan akan dijalankan dengan konsep imamah. Menurut Ali Syariati, Imamah tidak menjadikan sebagai tujuannya penerimaan masyarakat umum atau kepentingan orang-orang elit, melainkan atas asas risalah, sehingga ia memilih „apa yang sudah semestinya. Jadi tidak menjatuhkan pilihan atas dasar „kemaslhatan‟, melainkan atas dasar „hakikat‟ yang dimunculkan oleh ideologi dan risalah yang tidak diyakini kecuali oleh keseluruhan umat 186 . Secara eksplisit konsep imamah di atas sedikit bertentangan dengan konsep kepemimpinan demokratis yang saat ini dianggap sebagai konsep kepemimpinan paling ideal di mana kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, sementara para pemimpin hanya penerima mandat dan pelaksana amanah rakyat. Konsep imamah tersebut lebih mirip dengan konsep kepemimpinan otoriter di mana puncak kepimpinan ada di tangan pemimpin tertinggi yang berhak menetukan segala regulasi dan urusan kenegaraan. Meski memiliki kesamaan khususnya dalam hal kulutus individu, namun konsep imamah diklaim berbeda dengan kepemimpinan oteoriter sebab kepemimpinan otoriter dilandaskan pada pemikiran dan keinginan ideal pemimpin otoriter, sementara dalam imamah, seorang imam bertindak bukan atas keinginan pribadinya melainkan pada apa yang telah tertulis dalam risalah. Singkatnya pemerintahan otoriter adalah bentuk pemerintahan sekuler, sedangkan imamah adalah bentuk pemerintahan religius. 186 Lih, Ali Syariati, Ummah dan Imamah , Rausyan Fikr, 2012, hlm 63 Konsep kepemimpinan yang ditetapkan Jamaah an-Nadzir terhadap komunitas mereka dapat dilihat sebagai sebuah mekanisme pendisiplinan tubuh. Konsep imamah yang disertai dengan baiat dalam hal ini menjadi alat pendisiplinan. Baiat menjadi penjamin ketaatan dan kesetiaaan seluruh anggota jamaah. Seorang anggota jamaah yang memutuskan berbaiat tentunya telah sampai pada keyakinan yang teguh bahwa apa yang dipilih untuk dijalani adalah benar. Keharusan berbaiat untuk menjadi anggota jamaah juga sekaligus berfungsi sebagai unsur panoptik sehingga seseorang menjadi senantiasa taat dan disiplin. Kontruksi kepemimpian Jamaah an-Nadzir bukanlah sesuatu yang sepenuhnya baru, mereka hanya memodifikasi dan menggabungkan unsur-unsur konstruksi kepemimpinan Sunni maupun Syiah. Dengan kreasi mereka tersebut, an-Nadzir tidak hanya sedang berusaha membedakan diri dengan kelompok-kelompok tersebut tetapi juga sekaligus dapat dilihat resistensi dari narasi-narasi kanon Islam yang selama ini dikuasai oleh kedua kelompok tersebut khususnya berkaitan dengan konstruksi kepemimpinan dan interpretasi mengenai hal-hal yang berbau eskatologi Islam – termasuk di dalamnya adalah messianisme. BAB V PENUTUP A. Messianisme = Revivalisme?