Politik Interaksi Keseharian GENEALOGI JAMAAH AN-NADZIR

salah alamat, dan bahkan „sebenarnya‟ orang maupun komunitas lain yang mengugat itulah yang dianggap tidak menjalankan Islam secara „kaffah‟.

C. Politik Interaksi Keseharian

Bagian ini akan menjelaskan bagaimana politik identitas yang dibangun oleh Jamaah an-Nadzir berhadapan dengan masyarakat sekitar, pemerintah dan komunitas di luar mereka. Politik identitas ini mencakup bagaimana pola interaksi Jamaah an-Nadzir dengan komunitas di luar mereka serta cara jamaah ini menegosiasikan paham interpretasi teologi mereka yang cukup berbeda. Penilitian ini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai penelitian teologi melainkan sebagai penelitian cultural studies, namun membicarakan Jamaah an-Nadzir tidak bisa dilakukan tanpa membicarakan pemahaman teologi mereka sebab selain memang komunitas ini adalah komunitas agama tetapi yan lebih penting lagi bahwa pemahaman teologis mereka itulah yang menjadi pusat alasan dari seluruh kegiatan jamaah ini, bahkan yang menyangkut hal-hal „sekular‟ sekalipun. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian besar Jamaah an- Nadzir yang bermukim di daerah Mawang bukanlah merupakan warga asli daerah Mawang melainkan para pendatang dari berbagai daerah di Indonesia yang memutuskan unt uk „berhijrah‟ ke Mawang untuk menjalani kehidupan ber-Islam yang lebih sempurna sebagai sebuah jamaah yang utuh. Kedatangan para jamaah yang berasal dari luar desa Mawang pada khususnya atau dari luar Kabupaten Gowa pada umumnya tentunya membuat para jamaah yang merupakan transmigran itu harus berbaur dengan masyarakat setempat. Perjumpaan antara Jamaah an-Nadzir dengan penduduk lokal tentunya melahirkan negosiasi-negosiasi kebudayaan karena tidak sedikit anggota Jamaah an-Nadzir berasal dari luar pulau Sulawesi yang mempunyai latar belakang budaya yang sedikit banyak berbeda dengan budaya masyarakat setempat. Para jamaah dari luar daerah baik dari Sulawesi Selatan sendiri maupun yang berasal dari luar pulau Sulawesi yang memutuskan untuk menjadi jamaah mukim di Mawang semuanya telah meninggalkan pekerjaan dan sebagian besar harta bendanya di tempat asal mereka. Kedatangan mereka ke Mawang adalah dengan status sebagai pengangguran. Namun demikian, keputusan Jamaah an-Nadzir untuk membuat komunitas mandiri di daerah Mawang kelihatannya telah dipersiapkan dengan matang. Selain membeli lahan yang cukup luas untuk digunakan sebagai lahan tempat tinggal, mereka juga membeli lahan untuk digarap sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Di samping bertani sebagai pekerjaan utama sebagian besar jamaah, Jamaah an-Nadzir juga menggarap berbagai usaha di bidang lain. Jamaah an-Nadzir bersifat tertutup atau ekslusif dalam hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan aqidah. Mereka tidak akan meladeni usaha konfortasi dari kelompok-kelompok yang ingin mempermasalahkan interpretasi teologi yang mereka yakini. Mereka juga tidak pernah melakukan upaya- upaya „dakwah‟ atau ajakan kepada masyarakat sekitar ataupun komunitas lain untuk mempercayai dan menjalankan ibadah sebagaimana yang mereka lakukan. Bagi Jamaah an-Nadzir dakwah dengan mengajak atau mendatangi orang lain secara langsung bukanlah prioritas, namun demikian an- Nadzir tetap terbuka kepada siapapun yang datang ke komunitas mereka untuk belajar. Bagi an-Nadzir, cara mereka menampilkan diri dengan pakaian dan semacamnya serta tata cara mereka beribadah sudah merupakan „dakwah‟ dan peringatan bagi umat Islam bahwa saat ini umat Islam telah semakin jauh dari ajaran yang telah dinubuatkan oleh Rasulullah. Meskipun eksklusif dalam perkara keyakinan, namun tidak demikian halnya dalam persoalan interaksi sosial. Jamaah an-Nadzir bukanlah komunitas yang mengisolir diri dari masyarakat di luar komunitas mereka. Jamaah an-Nadzir sangat terbuka dan berbaur dengan masyarakat setempat, bahkan dalam banyak hal melakukan berbagai macam kerjasama usaha dengan masyarakat sekitar. Jamaah an-Nadzir juga bukan komunitas yang menolak modernisme dalam pengertian perkembangan dan kemajuan teknologi secara membabi buta. Meski komunitas ini lebih dikenal sebagai komunitas keagamaan, mereka cukup melek ekonomi. Komunitas ini menyadari bahwa ekonomi adalah basis yang sangat penting bagi perkembangan suatu komunitas. Tanpa basis ekonomi yang kuat tentu mereka akan goyah sebagai komunitas yang utuh. Mata pencaharian atau pekerjaan Jamaah an-Nadzir biasanya ditentukan oleh pemimpin mereka yang bernama Daeng Rangka. Daeng Rangka yang merupakan penduduk asli Mawang mempunyai wewenang untuk membagi tugas dan tanggung jawab yang harus diemban oleh setiap anggota jamaah. Hal ini tidak mengherankan sebab Daeng Rangka adalah pemimpin jamaah yang biasa mereka sebut dengan panggilan abah atau panglima. Selain itu, Daeng rangka merupakan putra asli daerah tentunya mengetahui seluk beluk potensi daerah Mawang dan dinamika masyarakatnya adalah sosok tokoh yang dihormati dan disegani di lingkungan Mawang. Jamaah an-Nadzir menjadikan pertanian sebagai tumpuan mata pencaharian utama jamaah. Mereka mengelola lahan pertanian milik sendiri yang telah mereka beli dari penduduk sekitar. Selain itu mereka juga mengelola lahan pertanian milik warga setempat dengan sistem bagi hasil. Jamaah an-Nadzir cukup berhasil mengelola lahan pertanian yang ada di lingkungan Mawang. Lahan-lahan yang sebelumnya merupakan „lahan tidur‟ di tangan Jamaah an-Nadzir berhasil dijadikan sebagai lahan produktif. Keberhasilan Jamaah an-Nadzir di bidang pertanian mendapat apresiasi dari pemerintah setempat dengan menjadikan daerah lingkungan mereka sebagai daerah percontohan di bidang pertanian. Masyarakat setempat yang bekerja sama dengan Jamaah an-Nadzir dengan cara memberikan lahan sawah mereka untuk digarap juga sangat senang. Bagaimana tidak, semenjak tanah mereka dikelola oleh Jamaah an-Nadzir hasil panen mereka menjadi berlipat ganda dibanding sewaktu mereka mengelolalnya sendiri. Keterampilan Jamaah an-Nadzir di bidang pertanian sedikit banyak dikarenakan beberapa anggota jamaah merupakan sarjana pertanian. Beberapa anggota jamaah memang bergelar sarjana bahkan ada juga yang bergelar magister yang rela meninggalkan pekerjaan mereka sebelumnya untuk bergabung dengan Jamaah an-Nadzir lainnya di Mawang. Selain karena hasil panen yang lebih banyak, masyarakat yang dikelola lahan pertaniannya oleh Jamaah an-Nadzir juga senang dengan sistem bagi hasil yang terapkkan oleh Jamaah an-Nadzir. Sistem bagi hasil dalam mekanisme an-Nadzir biasanya dilakukan dengan sistem bagi dua. Sistem bagi dua yang dilakukan oleh Jamaah an-Nadzir diserahkan sepenuhnya kepada pemilik tanah, dan membiarkan mereka membagikan kepada Jamaah an-Nadzir. Berapapun yang diberikan oleh pemilik tanah, itulah yang diterima an-Nadzir. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan kecurigaan dari pemilik tanah dan sekaligus untuk transparansi. Komunitas an-Nadzir mengedepankan sikap kejujuran dan keterbukaan. Sekali lagi kejujuran dan keterbukaan yang mereka terapkan dalam bermuamalat ini adalah upaya menerapkan ajaran Nabi Muhammad dalam segenap urusan mereka, baik dalam hal yang „murni‟ ibadah maupun dalam urusan keduniaan. Praktek muamalat ekonomi yang dicontohkan oleh Jamaah an-Nadzir ini seolah merupakan sebuah bentuk kritik terhadap sistem ekonomi kapitalis yang saat ini menjadi hegemoni di tengah masyarakat yang hanya mementingkan keuntungan semata bahkan bila perlu ditempuh dengan cara-cara yang tidak jujur dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Jamaah an-Nadzir juga mengelola lahan pertambakan. Mereka berhasil mengubah danau Mawang yang sebelumnnya hanya merupakan danau biasa yang tidak produktif menjadi sebuah lahan tambak yang dapat menghidupi komunitas. Dalam mengelola usaha pertanian dan tambak mereka, Jamaah an-Nadzir mengembangkan sistem mina. Sistem mina adalah sistem menanam padi diselingi dengan tambak ikan mas. Sejauh ini usaha mereka cukup berhasil. Pemerintah Kabupaten Gowa bahkan memberi apresiasi yang tinggi dengan menghadiri pesta panen komunitas ini. Dinas perikanan Kabupaten Gowa pun ikut memberi perhatian dengan menghibahkan bibit ikan mas untuk dikelola. Bahkan gubernur pun menyempatkan diri datang dan memberi bantuan bibit ikan. Setelah cukup sukses di bidang pertanian dan pertambakan, komunitas an- Nadzir mulai merambah dunia usaha lain dengan membuka usaha seperti bengkel motor, depot isi ulang air minum, fotocopy, counter HP, membuka pasar tradisional dan usaha jual beli beras. Menariknya unit usaha yang dimiliki oleh komunitas ini yang rata- rata hanya merupakan unit usaha kecil-menengah, namun hampir keseluruhannya mempunyai surat keputusan SK badan hukum. Hal ini mungkin adalah hal biasa, namun kepemilikan badan hukum untuk sebuah unit usaha kecil adalah hal yang jarang diperdulikan oleh masyarakat setempat, apalagi unit usaha milik Jamaah an-Nadzir hanya terletak di daerah pedalaman. Hal ini menunjukkan bagaimana komunitas an- Nadzir adalah komunitas yang sangat paham organisasi, melek ekonomi-politik serta memahami secara sadar cara mereka merepresentasikan diri untuk mempertahankan eksistensi komunitas. Dari keseluruhan hasil usaha yang dikelola oleh anggota Jamaah an-Nadzir, menariknya hasil tersebut tidak dimiliki oleh tiap-tiap anggota yang bekerja itu. Keuntungan dari setiap hasil kerja anggota jamaah dikelola oleh sebuah baitul mal, baitul mal inilah yang mengurus peruntukan hasil kerja anggota jamaah. Sebagian besar hasil kerja dibagikan kembali kepada anggota keluarga berdasarkan proporsi kebutuhan mereka. Sebagian lagi disimpan untuk keperluan komunitas. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa komunitas Jamaah an-Nadzir sangat terbuka dalam hal interaksi sosial dengan komunitas di luar kelompok mereka. Hal tersebut dibuktikan dengan kegiatan muamalat mereka yang mau tidak mau tentunya melibatkan masyarakat sekitar dan komunitas lain. Interaksi mereka dengan komunitas lain tidak hanya terbatas pada persoalan muamalat saja, namun juga dalam interaksi sosial lainnya. Jamaah an-Nadzir senantiasa turut terlibat membantu kegiatan masyarakat maupun pemerintah setempat. Keterbukaan Jamaah an-Nadzir terhadap masyarakat dan komunitas lain, membuat beberapa masyarakat sekitar tertarik menjadi anggota Jamaah an-Nadzir secara sukarela karena Jamaah an-Nadzir tidak pernah melakukan usaha propaganda kepada orang lain untuk bergabung ataupun ikut mempercayai keyakinan mereka. Tidak hanya membangun relasi yang baik dengan pemerintah, Jamaah an-Nadzir juga membangun relasi yang sangat baik dengan unsur pemerintah mulai dari tingkat desa sampai ke tingkat provinsi. Di tingkat desa mereka secara aktif melaporkan perkembangan keberadaan jumlah jamaah mereka yang menetap di daerah administrtif Mawang. Selain itu, mereka juga aktif membantu kegiatan desa dan kecamatan seperti ikut terlibat menjadi panitia pengamanan pemilu dan sebagainya. Interaksi dan hubungan baik yang dijalin oleh Jamaah an-Nadzir tidak berhenti hanya pada tingkat pemerintah desa, tetapi juga dengan unsur pemerintahan yang lebih luas. Hal ini dibuktikan dengan kerjasama mereka dengan pemerintah kabupaten. Jamaah an-Nadzir oleh pemerintah Kabupaten Gowa dipercaya untuk mengelola danau Mawang dan lahan perkebunan milik pemerintah setempat. Keberadaan lokasi pemukiman Jamaah an-Nadzir yang terletak di belakang sebuah sekolah tinggi pertanian milik pemerintah dianggap membawa dampak yang baik bagi keamanan lingkungan setempat. Sebelum Jamaah an-Nadzir tinggal di sana, daerah Mawang dikenal sebagai daerah rawan tindak kejahatan seperti penodongan, perampokan dan tindak kejahatan lainnya. Namun semenjak keberadaan Jamaah an-Nadzir di daerah tersebut tindak kejahatan yang demikian tersebut sudah tidak pernah terjadi lagi. Sebagai komunitas Islam yang agak berbeda dengan komunitas Islam kebanyakan khususnya yang ada di Indonesia baik dalam hal cara mereka merepresentasikan diri secara fisik maupun dalam persoalan interpretasi teologis, Jamaah an-Nadzir mau tidak mau harus berhadapan dengan institusi keagamaan pemerintah Departemen Agama sebagai representasi wakil pemerintah yang berwenang dalam perkara-perkara keagamaan di masyarakat. Dengan institusi agama tersebut, Jamaah an-Nadzir membuka diri untuk berdialog. Dialog dimaksudkan oleh Jamaah an-Nadzir sebagai media untuk menjelaskan dan mengklarisifikasi keyakinan dan praktek ber-Islam mereka yang oleh banyak orang secara sepihak dianggap menyimpang ataupun diklaim sesat. Jamaah an-Nadzir berusaha menunjukkan bahwa seperti umat Islam lainnya, keyakinan dan praktik ibadah mereka yang dianggap berbeda sebenarnya juga didasarkan pada al-Quran dan hadist nabi, dua rujukan utama umat Islam. Dari hasil berbagai rangkaian dialog yang dilakukan jamaah an-Nadzir dengan Departemen agama, akhirnya Departemen Agama sampai pada kesimpulan bahwa sampai saat ini Jamaah an-Nadzir tidak bisa dikatakan sesat. Pernyataan Departemen Agama yang terkesan mendua dan masih menyimpan nada curiga bahwa tidak menutup kemungkinan Jamaah an-Nadzir di masa depan masih dapat berpotensi menerapkan paham-paham yang dianggap melenceng dari nilai- nilai keIslaman yang „benar‟. Bagaimana pun representasi yang dilakukan oleh institusi agama milik Negara tersebut, namun Departemen Agama memberi apresiasi yang baik terhadap dampak baik yang dibawa oleh An-Nadzir semenjak keberadaan mereka di daerah Mawang. Menurut Departemen Agama, keberadaan Jamaah an-Nadzir di kawasan tersebut membuat praktik-praktik kemusyrikan yang biasanya dilakukan oleh masyarakat setempat seperti membawa sesajen dan memotong hewan kurban di tempat-tempat yang dianggap keramat dan suci perlahan-lahan mulai ditinggalkan hingga saat ini tidak terdapat lagi ritual-ritual semacam itu. Bagusnya mereka merubah banyak praktek musyrik dan tidak memaksakan pemahaman mereka pada masyarakat. Dulu di Mawang itu kan ada batu yang dianggap keramat. Orang-orang di sini sebut saukang namanya. Disitu orang bawa makanan, potong hewan dan batu itu dijadikan sesembahan. Itu yang dirubah Jamaah an-Nadzir. Sekarang tempat itu dijadikan sebagai tempat makan-makan bahkan dijadikan tempat shalat. 52 Hubungan baik an-Nadzir dengan Departemen Agama tidak terbatas dalam dialog persoalan paham keagamaan, di luar itu Jamaah an-Nadzir secara aktif melaporkan catatan peristiwa nikah yang terjadi di komunitas mereka. Tidak hanya sekadar melaporkan sebagai kewajiban administratif, tetapi juga mempercayakan para penghulu nikah Departemen Agama untuk menikahkan anak-anak mereka. Hal ini mungkin terlihat sebagai hal yang lumrah, namun hal ini menjadi tidak biasa apabila dilakukan oleh sebuah komunit as yang menganggap „keislaman‟ mereka lebih baik dibandingkan keislaman komunitas di luar mereka. Hanya saja, untuk urusan pernikahan, sampai saat ini jamaah masih membatasi komunitas mereka untuk menikah hanya antar komunitas saja. Alasannya adalah Jamaah an-Nadzir tidak mau mengambil resiko perbedaan paham keagamaan akan menjadi bumerang, karena bagi Jamaah an- Nadzir pernikahan tidak hanya menyangkut urusan duniawi semata, tetapi juga urusan akhirat. Hal lain yang juga menarik dari Jamaah an-Nadzir adalah keputusan mereka untuk tidak menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah formal baik milik pemerintah maupun swasta. Mereka hanya mengajari anak-anak mereka secara 52 wawancara dengan kepala seksi penerangan masyarkat DEPAG Gowa otodidak. Yang diajarkan pun terbatas pada kemampuan membaca, berhitung, dan baca tulis Al-Quran. Selain itu, sejak kecil anak-anak mereka telah diajarkan kemampuan bercocok tanam, berkebun, dan berniaga sebagai modal untuk bertahan hidup. Menurut Jamaah an-Nadzir, kurikulum sekolah-sekolah yang ada saat ini hanya menjauhkan anak- anak dari kehidupan agama yang „seharusnya‟, lagipula menurut Jamaah an- Nadzir fase hidup yang sedang kita jalani ini adalah fase akhir zaman di mana kehidupan dunia bukan lagi prioritas, kehidupan akhiratlah yang seharusnya dikedepankan dengan menghidupkan kembali kehidupan kenabian sebagaimana yang telah dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW di masa lalu. Hubungan baik yang dipelihara Jamaah an-Nadzir dengan berbagai unsur di luar mereka pemerintah dan masyarakat merupakan salah satu bentuk negosiasi yang mereka lakukan demi kepentingan dan keamanan komunitas mereka. Dengan menjalin hubungan dan interaksi yang baik dengan masyarakat setempat, Jamaah an-Nadzir membuka keran keterbukaan dan komunikasi yang baik sehingga perasaan saling mencurigai satu sama dapat terhindarkan. Dengan hubungan baik ini masyarakat setempat bahkan siap menjadi pelindung jika ada unsur-unsur luar yang ingin mengusik Jamaah an-Nadzir. Hubungan masyarakat di sini dengan Jamaah an-Nadzir sangat baik, bahkan sebagian Jamaah an-Nadzir banyak yang bekerja sebagai penggarap sawah masyrakat. Warga di sini sudah menganggap an-Nadzir sebagai warga kami, bukan orang lain. Kalau ada orang yang mau mengganggu Jamaah an-Nadzir maka warga tidak akan segan membantu. Jamaah an-Nadzir adalah orang- orang baik, mereka bukan orang jahat meskipun mereka berambut panjang dan berpirang. 53 53 wawancara dengan pegawai kelurahan Mawang.

D. Paham interpretasi Teologis : Upaya kembali Kepada Yang “Asli”