Dinamika Konstuksi Pemerintahan Islam di Sulawesi Selatan

Muhammad saja. Seorang Imam tidak perlu adil, bijak, atau tanpa dosa maksum dalam hidupnya. Seorang imam juga tidak perlu orang yang paling unggul pada zamannya, asalkan seseorang itu merdeka, dewasa, tidak gila dan memiliki kemampuan mengatur urusan sehari-hari Negara, maka ia berhak dipilih menjadi imam. Dalam Sunni juga terdapat doktrin bahwa kelaliman imam tidak dapat dijadikan sebagai pembenaran untuk menurunkannya, meskipun dalam faktanya doktrin ini tidak terlalu ditaati oleh kaum muslim. Mungkin doktrin tersebut diciptakan oleh masa-masa imperium tertentu untuk memapankan kekuasaan dengan dalih demi stabilitas. Pemaparan panjang lebar konsep imamah baik dari perspektif Syiah maupun Sunni saya anggap penting sebagai jalan untuk memahami unsur konstruksi imamah yang dibangun Jamaah an-Nadzir. Bagaimanapun juga, konstruksi imamah an-Nadzir yang tidak bisa dipisahkan dengan bangunan messianisme mereka dibangun melalui modifakasi konsep imamah Sunni dan Syiah. Meski konsep imamah Sunni dan Syiah mempunyai perbedaan fundamental, namun Jamaah an-Nadzir tidak meniru secara persis salah satu dari konsep imamah tersebut melainkan mengakomodasi keduanya untuk membentuk konsep imamah mereka secara khas. Hal ini sepertinya dilakukan untuk membedakan diri sekaligus juga menegasikan kedua kelompok besar Islam tersebut karena bagaimanapun Jamaah an-Nadzir tidak merasa sebagai salah satu bagian dari keduanya.

B. Dinamika Konstuksi Pemerintahan Islam di Sulawesi Selatan

Pengaruh Islam di Sulawesi Selatan yang baru memeluk agama tersebut pada awal abad ketujuh belas 152 telah menancapkan pengaruh sangat kuat dengan menjadi salah bagian tatanan adat masyarakat Bugis-Makassar. Norma-norma adat yang disebut panngadakkangpanngadderreng dilebur bersama dengan norma-norma agama yang disebut sara‟ berasal dari kata syariat yang berarti tatanan hukum-hukum Islam. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap norma-norma agama pada akhirnya menjadi identik dengan pelanggaran terhadap adat. Integrasi ajaran Islam ke dalam adat istiadat dan kehidupan masyarakat menyebabkan sendi-sendi adat istiadat menjadi sebagai berikut; ada‟. rapang, wari, bicara, dan aspek hukum Islam nyaitu sara‟ 153 . Fakta bahwa Islam telah mempunyai pengaruh sangat besar pada pusat-pusat perdagangan dan perniagaan yang terletak di sepanjang wilayah nusantara semisal, Malaka, Sumatera, Jawa Timur, dan kepulauan Maluku memberi peran sangat besar dalam proses Islamisasi masyarakat Bugis-Makassar lewat perjumpaan mereka dengan para pedagang Arab maupun melayu, namun demikian proses Islamisasi di Makassar – dalam konteks ini adalah kerajaan kembar Gowa-Tallo –adalah sebuah proses kompleks yang tidak dapat disimplifikasi ke dalam satu sebab besar dan tunggal karena Islamisasi bukanlah sebuah proses yang berjalan selangkah demi selangkah yang secara otomatis 152 Para Ahli berselisih mengenai tahun yang dianggap menandai masuknya Islam di Sulawesi Selatan. Ada yang menyebut tahun 1603, 1605, dan 1606 Masehi sebagai tahun masuknya Islam di Makassar. J. Noorduyn dalam menyikapi berbagai perbedaan penyebutan tahun masuknya Islam di Makassar menyimpulkan bahwa tahun 1605 sebagai tahun di mana Islam dijadikan sebagai agama kerajaan Gowa- Tallo. Menurut Noorduyn, meski berbeda-berbeda dalam penyebutan tahun, namun catatan-catatan sejarah baik dari sumber-sumber Makassar maupun sumber Belanda menyebutkan tanggal yang sama yaitu pada tanggal 22 September atau bertepatan dengan 9 Jumadil Awwal Hijriah. Mengingat jumlah hari dalam penanggalan Hijriah yang terdiri dari 354 hari sementara penanggalan Masehi terdiri dari 365 atau 366 maka tidak mungkin dalam 2 tahun tanggal pada kedua system penanggalan tersebut jatuh pada pecan yang sama. Tanggal 22 September9 Jumadil Awal hanya cocok dengan tahun 1605. Lih, Noorduyn, Islamisasi Makasaar, Bhratara, 1972. 153 Lih Suriadi Mappangara dan Irwan Abbas, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan, Lamacca Press, 2003, hlm 13. dapat dimengerti dalam satu sebab saja. Pada kenyataannya, Islam berhasil mengkonversikan hampir seluruh masyarakat nusantara bahkan sampai ke pelosok pedalaman, tidak hanya terbatas pada daerah pesisir yang menjadi pusat lalu lintas perdagangan. Cerita tentang masuknya Islam sebagaimana berkembang dalam cerita rakyat banyak dibumbui dengan kesan-kesan mitologis supranatural. Salah satu dari versi tersebut menceritakan tentang ihwal kedatangan Datuk ri Bandang ke pelabuhan Tallo dengan menumpang perahu ajaib. Setelah mendarat di pantai Makassar, Datuk ri Bandang bergegas dan melaksanakan Shalat. Gerakan Shalat Datuk ri Bandang menggemparkan rakyat Tallo karena dianggap sebagai gerakan yang asing dan aneh. Kejadian tersebut akhirnya disampaikan kepada Raja Tallo, Mangkubumi kerajaan Gowa I Mallingkang Daeng Mannyonri Karaeng Katangka. Raja Tallo pun bergegas untuk menemui Datuk ri Bandang, namun di tengah jalan dia dicegat oleh orang tua yang menanyakan ke mana Raja hendak pergi. Orang tua tersebut kemudian menuliskan sebuah rajah yang ternyata adalah dua kalimat syahadat di tangan Baginda Raja Tallo untuk diperlihatkan kepada Datuk ri Bandang. Melihat tulisan tersebut, Datuk ri Bandang takjub dan mengatakan bahwa orang tua yang menemui Raja tak lain dan tak bukan adalah perwujudan dari Nabi Muhammad sendiri. Kejadian tersebut membuat Raja Tallo mantap untuk memilih agama baru tersebut, Islam. Pertemuan ant ara Raja Tallo dan „Nabi Muhammad‟ dalam bahasa Makassar disebut sebagai „mangkasaraki Nabbiya ri Tallo‟ yang artinya nabi menampakkan dirinya di Tallo. Sebagian kelompok masyarakat di Makassar memberi interpretasi kalimat itu sebagai dasar penamaan kota Makassar, tetapi interpretasi ini agak sulit dibuktikan secara ilmiah mengingat nama Makassar telah dikenal sejak abad XII sebagaimana tertulis dalam buku Nagarakertagama, karangan Prapanca 154 . Cerita di atas mengesankan bahwa Islam adalah agama baru yang asing dan tidak dikenal Sultan ataupun rakyat sebelumnya. Padahal dapat dipastikan bahwa Karaeng dan sebagian besar rakyat khususnya mereka yang bermukim di daerah pesisir sedikit banyak telah mengenal Islam melalui perjumpaan dengan para saudagar- saudagar Arab dan Melayu yang beragama Islam. Bahkan sebelum Raja Tallo memeluk Islam, di Makassar telah terdapat sebuah masjid yang dibangun pemukiman orang- orang melayu yang beragama Islam. Pelabuhan Makassar di masa abad ketujuh belas memang menjadi salah satu pelabuhan yang ramai dan sibuk apalagi setelah kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Raja Gowa saat itu membuka akses seluas-luasnya terhadap lalu lintas perdagangan di perairan Makassar bagi siapapun. Hal tersebut dapat kita lihat kutipan pernyataan Sultan Alauddin yang terkenal dalam menanggapi pemintaan Belanda VOC kepada Sultan untuk melarang kapal-kapal Portugis melakukan aktivitas perdagangan di pelabuhan Makassar. Tuhan menciptakan tanah dan laut; tanah yang Dia bagi di antara umat manusia dan laut di mana Dia memberi kesamaan. Saya Raja Gowa belum pernah mendengar bahwa ada orang yang dilarang untuk mengarungi lautan. 155 Proses Islamisasi Sulawesi Selatan tidak bisa dibicarakan tanpa menyebutkan peran vital tiga datuk mubaligh dari Minangkabau. Mereka adalah Abdul Makmur 154 Lih, Ahmad Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI sampai Abad XVI, Yayasan Obor, 2005, hlm 98. 155 Lih, Anthony Reid, Pluralism an Progress in Seventeenth- Century Makassar, Published by KITLV, hlm 436 Khatib Tunggal Datuk ri Bandang, Sulaiman Khatib Sulung Datuk Patimang, dan Abdul Jawad Khatib Bungsu atau lebih dikenal dengan nama Datuk ri Tiro. Meski sebelum ketiga datuk tersebut komunitas Melayu telah lama ada di Makassar, namun mereka tidak mampu mengkonversikan raja-raja Gowa menjadi Muslim. Barulah melalui peran ketiga datuk, raja Gowa-Tallo berhasil dikonversikan ke dalam Islam. Kedatangan para mubaligh Minangkabau ini juga sekaligus untuk mengimbangi misi Katolik di Sulawesi Selatan 156 . Sebelum memeluk Islam, orang-orang Bugis-Makassar telah mempunyai agama lokal yang meraka anut. Agama lokal pra-Islam tersebut juga tidak bisa dengan dimensi kekuasaan karena kepercayaan lokal tersebut menjadi penopang kekuasaan para raja dan bangsawan di Sulawesi Selatan. Dalam masyarakat Bugis-Makassar raja diidentifikasi dalam hal fungsinya sebagai penjamin spiritual dan kesejahteraan material seluruh masyarakat. Dia dianggap sebagai perantara penting hubungan antara umat manusia di muka bumi ini dan para dewa atau Tuhan dari „alam atas‟ dan di sisi lain, raja juga berfungsi sebagai alat rakyat dalam mempertahankan adat, atau hukum dan kearifan lokal masyarakat 157 . Kedudukan raja yang tinggi tersebut tidak bisa dilepaskan dari konstruksi mitologis yang dipercayai oleh masyarakat Bugis-Makassar. Dalam mitologi orang Bugis, bumi dijelaskan pada awalnya berada dalam kekacauan. Para dewa dan dewi dari „alam atas‟ memutuskan untuk mengirim Batara Guru, putra tertua dari dewa utama, To 156 Lih, Ahmad Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI sampai Abad XVI, Yayasan Obor, 2005, hlm 89. 157 Lih, Leonard Y. Andaya, Kingship-Adat Rivalry and the Role of Islam in South Sulawesi, Published by Cambridge University Press, hlm 22. Palanroe Sang Pencipta, juga dikenal sebagai To Patotoe, untuk mengubah kekacauan ini menjadi tempat hunian bagi manusia. We Nyilitimo, putri dari dewa utama dari Dunia Bawah, bersama dengan lima putri yang lebih rendah, didelegasikan untuk melayani sebagai sahabat dan istri bagi Batara Guru di bumi. Mereka bertemu di Ware, Luwu dan memulai peradaban yang menyebar ke seluruh Sulawesi dan ke tempat lain. Setelah beberapa jangka waktu Batara Guru dan istrinya kembali ke alam atas, meninggalkan anak-anak mereka untuk menguasai bumi 158 . Dalam kerajaan Bugis-Makassar, manusia yang diutus untuk mengakhiri periode kekacauan di muka bumi disebut To Bugis Tu Makassar Manurung, atau orang yang turun dari alam atas secara tiba-tiba. Semua kerajaan di Sulawesi Selatan mengklaim kerajaan mereka diawali dengan pemerintahan seorang Tu Manurung. Sumber-sumber lokal tidak banyak menerangkan secara pasti mengenai kapan periode Tu Manurung ini terjadi. Keturunan dari para Tu Manurung ini yang kemudian menjadi raja-raja di Sulawesi Selat an‟. Kisah kedatangan Tu Manurung biasanya disertai dengan objek-objek pusaka yang disebut Gaukeng atau regalia. Regalia pada perkembangannya menjadi semacam legimatimator kedudukan raja. Raja yang dilantik tanpa regalia tersebut akan dianggap tidak sempurna kedudukannya sebagai seorang raja. Dari sini konsep Tu Manurung masyarakat Bugis-Makassar ini seperti saya sebutkan pada bagian sebelumnya sangat kental dengan semangat messianistik. Penjelasan singkat mengenai unsur-unsur mitologis yang membentuk kerajaan- kerajaan Sulawesi Selatan di masa lalu khususnya kerajaan Gowa-Tallo yang merupakan kerajaan terbesar dan memegang peranan paling penting dalam proses 158 Ibid hlm 23 Islamisasi masyarakat Sulawesi Selatan dengan menjadikan Islam sebagai agama Negara memberikan gambaran kepada kita bagaimana mitos tersebut kental dengan kultus individu yang direpresentasikan melalui tokoh Tu Manurung. Mitos mengenai asal-usul manusia dan pemerintahan kerajaan di Sulawesi Selatan yang dikonstruksi sebagai hasil campur tangan para Dewa yang mengirim anaknya ke muka bumi untuk mengatasi kekacauan dan menempatkan keturunannya sebagai penguasa mengesankan usaha untuk mengklaim bahwa pemerintahan di tempat tersebut merupakan pemerint ahan „ilahiah‟, dan bahwa penguasa adalah „bayang-bayang‟ dan representasi dari kehendak yang Maha kuasa. Pemaparan mengenai kepercayaan mitologis masyarakat Sulawesi Selatan menurut saya penting untuk memperlihatkan sisi politis penerimaan agama Islam karena agama Islam masih memiliki kedekatan konstruksi dalam hal regulasi kekuasaan dengan konstruksi mitologis masyarakat setempat yang digantikannya. Tanpa berusaha mereduksi pengalaman spiritual pengalaman Raja Gowa-Tallo dan masyarakat Sulawesi Selatan masa lalu yang melakukan konversi menjadi Muslim, namun penerimaan agama Islam sebagai agama Negara tidak bisa dilepaskan dari muatan-muatan politis. Konon, sebelum memilih Islam, Raja Tallo, Mangkubumi kerajaan Gowa bingung apakah harus memilih menjadi Katolik yang merupakan agama orang-orang Portugis atau memilih menjadi Muslim yang merupakan agama orang- orang Melayu. Menurut salah satu versi cerita mengenai proses awal Islamisasi di Gowa, bahwa untuk mengatasi kebimbangan raja terhadap kedua agama tersebut, raja Tallo meminta didatangkan paderi Portugis dari Malaka dan ulama Islam dari Aceh. Siapapun yang terlebih dahulu sampai maka agamanya yang akan dianut raja dan rakyatnya. Pada akhirnya ulama Islamlah menurut versi ini yang terlebih dahulu sampai ke Makassar 159 . Penerimaan Islam berkaiatan erat dengan kesadaran para penguasa Sulawesi Selatan bahwa Islam adalah kekuatan dinamis dan kuat. Hal tersebut dibuktikan melalui kerajaan Islam seperti kerajaan Ternate, Sulu, dan kerajaan Aceh yang sangat terpengaruh oleh kerajaan Mughal di India yang kebesarannya telah sampai ke telinga para penguasa Makassar. Pengaruh Islam juga sangat kental dalam bahasa Melayu yang menjadi lingua franca perdagangan di seluruh Nusantara 160 . Dari ketiga datuk yang menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan, salah satu dari mereka menyebarkan Islam melalui pendekatan esetoris Syariah atau praktik ortodoks hukum Islam, sementara yang lain menyebarkan Islam melalui pendekatan sufi atau mistisisme Islam. Para penguasa Bugis-Makassar terpengaruh dua bentuk kesadaran Islam ini, baik pemahaman pada wahyu kenabian yang dipahami dalam syariah dan teologi maupun dari mistikus sufi yang mengaku dapat mengetahui yang Real atau al- Haqq Tuhan yang tidak dapat diketahui melalui permukaan agama syariah, tetapi melalui pengalaman langsung dengan Tuhan 161 . Konsep sufi yang berkembang di Makassar dan umumnya pada kerajaan- kerajaan Islam di Nusantara adalah konsep raja sebagai Insan Kamil at au „manusia sempurna. konsep ini secara sangat eksplisit memberikan legitimasi dukungan teologis kepada para raja atau sultan. Salah satu pendukung konsep ini adalah ulama terkenal 159 Lih Suriadi Mappangara dan Irwan Abbas, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan, Lamacca Press, 2003, hlm 83. 160 Lih, Leonard Y. Andaya, Kingship-Adat Rivalry and the Role of Islam in South Sulawesi, Published by Cambridge University Press, hlm 31. 161 Ibid hlm 34 Hamzah Pansuri yang sempat bermukim selama beberapa waktu di Aceh. Dalam salah satu karyanya, Hamzah Pansuri mengungkapkan kecenderungannya terhadap konsepsi penguasa sufi. Penguasa alam semesta, hanya raja, pusat alam semesta, yang paling agung, kesempurnaan yang lengkap. Salah satu pilihan Allah, sempurna dalam persekutuan dengan-Nya, Raja yang paling bijaksana dan sempurna untuk memecat 162 . Konsep sufi yang aplikatif tersebut dan ketenaran kerajaan-kerajaan Islam nusantara tentunya menjadi salah satu alasan penerimaan Islam oleh kerajaan Gowa- Tallo. Dengan menjadi Muslim, Sultan memperoleh berbagai keistemaan dan keunggulan atas seluruh manusia rakyat karena dikonst ruksi sebagai „wakil Tuhan di bumi‟. Konsep „insan kamil‟ versi ini membangun konstruksi bahwa Tuhan memilih dua kelas anak manusia yang Dia beri keunggulan atas manusia lainnya, kedua kelompok manusia tersebut adalah para nabi dan para raja. Untuk membimbing manusia mengenal-Nya, Tuhan mengirimkan para nabi. Sementara untuk menjamin kesejahteraan dan kebijaksanaan-Nya, Tuhan mengirim para raja. Seorang sultan harus dicintai dan diikuti. Membenci raja dianggap perbuatan yang salah, bersengketa dengannya adalah sesuatu yang tidak dibenarkan. Untuk memperkuat klaim seperti ini biasanya dinukilkan kutipan ayat suci yang menyebutkan tent ang „keharusan taat kepada Allah, Rasulullah, dan para pemegang otoritas 163 penguasa, raja, sultan, atau semacamnya. Propaganda keharusan untuk taat pada pemangku otoritas seperti ini bahkan masih digunakan sampai saat ini. 162 Ibid hlm 34 163 Q.S an-Nisa ayat 59 Kedudukan raja di kerajaan Gowa yang disebut „Sombayya‟ memiliki kekuasaan yang sangat luas. Rakyat kerajaan Gowa memandang Sombaya sebagai titisan dewata yang „berdarah putih‟ yang merupakan anak keturunan tumanurung 164 . Gagasan ini memperlihatkan kemiripan dengan gagasan mengen ai „insan kamil‟ Islam yang memberikan kedudukan istimewa kepada para sultan. Dengan melakukan konversi ke dalam Islam, raja Sulawesi Selatan tidak akan kehilangan konstruksi kewibawaannya yang sebelumnya disediakan melalui mitos-mitos lokal, malah semakin ditinggikan. Jika sebelum terjadinya Islamisasi raja dipandang sebagai bayang-bayang Tuhan, setelah Islamisasi raja direpresentasikan sebagai wakil Tuhan di bumi. Sebagai wakil Allah di bumi, seorang penguasa muslim Sultan, berdiri di puncak struktur administrasi Islam, yang membentang mulai dari istana, pusat-pusat kota sampai ke sudut terkecil di seluruh penjuru wilayahnya. Konsep Islam sufi ini nampak mengakomodasi konsep kepemimpinan Sunni maupun Syiah. Meskipun tidak seperti Syiah yang menggambungkan peran sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin politik, namun pengklaiman raja sebagai wakil Tuhan adalah usaha untuk mendapatkan legitimasi religius bahwa pemerintahan sang raja adalah pemerintahan yang didasarkan pada pemerintahan dan kehendak ilahiah. Bagaimanapun interpretasi sufistik memang seringkali dianggap memiliki kedekatan dengan kontruksi interpretasi teologi Syiah. Dari sini kita dapat melihat bagaimana wacana pengetahuan –dalam konteks ini adalah wacanapengetahuan religius- dan kekuasan –meminjam bahasa Foucault- adalah sesuatu yang saling mengandaikan dan 164 Lih, Suriadi Mappangara dan Irwan Abbas, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan, Lamacca Press, 2003, hlm 84 tidak bisa dipisahkan, kedauanya hadir secara bersamaan dan saling menopang untuk mewujud dalam sebuah praktik sosial tertentu dalam berbagai ranah. Konsep „insan kamil‟atau „manusia sempurna‟ yang dalam sangat populer pada kerajaan-kerajaan Islam nusantara masa lalu mungkin tidak lepas dari pengaruh aliran filsafat timur yang dibangun atas landasan pensakralan tokoh-tokoh, wali-wali, dewa- dewa, atau para guru-guru sufi. Gagasan mengenai „insan kamil‟ biasanya disandarkan pada tokoh-tokoh besar filsuf dan atau para guru-guru besar sufi semisal al-Farabi, Imam Gazali, Ibn Taimiyah Ibn Arabi, al-Jilli dan tokoh-tokoh besar lainnya. Perwujudan insan kamil yang dianggap sempurna mewujud dalam diri dan kepribadian Nabi Muhammad. Namun posisi tersebut juga dapat diraih atau setidaknya didekati oleh manusia lain dengan mencontoh dan meneladani sosok dan kepribadian Muhammad. Manusia sempurna merupakan copy nuskha Tuhan. Tuhan menciptakan manusia dalam bayangan diri-Nya 165 . Untuk menggapai posisi tersebut dibutuhkan latihan penyucian diri secara terus-menerus. Konsep yang kelihatannya sangat bersifat teologis dan personal juga digunakan dalam wacana kekuasaan. konsepsi ini diantaranya diperkenalkan oleh al-Gazali dan Ibn Taimiyah. Al-Gazali berpendapat bahwa raja at au imam merupakan „bayangan Tuhan di bumi‟. Kekuasaan imam adalah kekuasaan yang muqaddas yang disucikan yang harus dihormati dan ditaati oleh setiap rakyat. Al-Gazali mengemukakan bahwa untuk menjadi imam raja seseorang haruslah memenuhi beberapa persyaratan yaitu: dewasa, berakal, merdeka sempurna penglihatan dan pendengarannya. Sementara Ibn Taimiyah mengatakan bahwa raja sesungguhnya 165 Lih, M. Dawam Rahardjo ed, Insan Kamil; Konsepsi Manusia Menurut Islam, Grafiti Pres, 1985, hlm112. adalah bayangan Tuhan di muka bumi 166 . Konsep raja sebagai „bayangan Tuhan‟ menurut Milner merupakan pengaruh dari pengaruh pemikiran politik Islam Persia. Konsep ini telah diterapkan oleh para raja-raja Babilonia pra-Islam yang mempengaruhi raja-raja Persia dan kemudian mempengaruhi Islam. Konsep semacam ini pernah juga dipropagandakan oleh rezim pemerintahan Bani Abbasiyah 167 . Setelah memeluk Islam, Raja Gowa merasa wajib untuk menyebarkan Islam ke seluruh Sulawesi selatan. Beberapa kerajaan seperti kerajaan Sawitto dan Mandar menerima ajakan tersebut secara damai. Namun tidak demikian halnya dengan kerajaan Tellumpoccoe yang terdiri dari kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo yang menolak ajakan untuk menganut agama Islam dari Raja Gowa. Terhadap kerajaan Tellumpoccoe ini Gowa menyatakan perang suci atau dalam bahasa Makassar dikenal sebagai bundu sallang perang untuk mengislamkan ketiga kerajaan tersebut. Di sinilah sisi politis penerimaan Islam sekali lagi mendapatkan tempat, penolakan terhadap ajakan menjadi Islam memberikan Gowa alasan untuk menginvasi ketiga kerajaan Bugis tersebut yang merupakan saingan terberat mereka dalam menancapkan hegemoni di seluruh jazirah Sulawesi Selatan. Setelah melalui serangkaian serangan, berturut-turut Soppeng akhirnya takluk dan menerima Islam pada tahun 1609, kerajaan Wajo takluk pada tahun 1610, sementara Bone takluk setahun setelahnya. Berkaitan dengan aspek politis invasi Gowa tersebut Noorduyn berkomentar, 166 Lih, Suriadi Mappangara dan Irwan Abbas, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan, Lamacca Press, 2003, hlm 158-159. 167 Lih A.C. Milner, Islam and the Muslim State, dalam M.B Hooker ed, Islam in South-East Asia, E.J Brill, 1988, hlm 37 Bagi Gowa, arti pengiriman pasukan itu bukan hanya soal memenuhi kewajiban suci. Dalam hal ini Gowa berhasil menaklukkan kerajaan Bugis secara t elak… dan terutama Bone, musuh lamanya di semenanjung itu 168 . Ada beberapa model kekuasaan yang politis yang pernah berkembang di Sulawesi Selatan di mana wacana Islam dan kompleksitas kekuasaan saling mengandaikan. Salah satunya adalah konsep Insan Kamil yang telah dibahas yang dijadikan raja-raja Sulawesi Selatan sebagai untuk melegitimasi diri di mata rakyat dan untuk menjalin baru dengan penguasa-penguasa Islam lain diseluruh kepulauan Asia Tenggara. Model kedua mewujud dalam keunggulan spiritual yang berada dalam diri orang-orang suci kosmopolitan, berbeda dengan yang pertama, orang-orang kharismatik ini sering lahir dari keluarga biasa yang menjaga jarak dengan pusat-pusat kekuasaan politisi korup. Mereka mengejar pengetahuan dan kekuasaan bukan dengan mendaki hierarki lapisan sosial, namun lewat perjalanan melampaui dunia demi mencari pengetahuan universal. Salah sat u „orang suci‟ semacam ini adalah Syekh Yusuf al- Makassari 169 . Sampai saat sosoknya masih sangat dihormati dan dimistifikasi masyarakat Makassar, pusaranya yang dianggap tersebar di berbagai tempat tidak pernah sepi pengunjung. Model ketiga adalah sebuah model mistis Islam yang berusaha meredam kesetiaan terhadap tokoh-tokoh Islam lokal dan menekankan kesetiaan kepada rasul universal Islam, Muhammad. Model ini berkembang pada akhir abad ke 18, sebagian sebagai respon atas meluasnya ekspansi Eropa. Model kesetiaan terhadap Nabi ini diekspresikan melalui berbagai ritual seperti peringatan Maulid dan pembacaan 168 Lih, Ahmad Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI sampai Abad XVI, Yayasan Obor, 2005, hlm 119 169 Lih Thomas, Gibson, Kekuasaan Raja, Syeikh dan Ambtenaar, Ininnawa, 2009, hlm 302 Barazanji, sebuah karya terkenal ditulis oleh Jaffar al-Barazanji yang menceritakan perjalanan hidup Nabi Muhammad dalam bentuk prosa 170 . Pembacaan Barazanji menjadi ritual yang terkandung dalam seluruh siklus hidup orang Bugis-Makassar mulai dari kelahiran sampai kematian. Model keempat adalah pemujaan terhadap tindak jihad di mana kematian dalam peperangan menjadi pilihan bagi mereka yang telah dipermalukan VOC secara tak terperi 171 . VOC dianggap sebagai representasi kekuasaan kafir, tujuan jihad bukan untuk mengalahkan musuh di dunia, melainkan meraih berkah spiritual di hari kemudian. Dalam model seperti perbedaan identitas menjadi ut ama, „aku‟ dan „kamu‟, „kita‟ dan „mereka senantiasa dikontestasikan. Konsep jihad ini pula yang menginspirasi para gerilyawan muslim di bawah panji DITII pimpinan Kahar Muzakkar dari rentang tahun 1950 sampai1965. Model kelima berkembang pada abad ke 19. Masa ini ditandai dengan banyaknya orang-orang Sulawesi Selatan yang sudah bisa mengakses perjalanan ibadah haji, para haji baru tersebut sepulang dari timur tengah mengkritik banyak praktik ritual yang mereka bid‟ah. Model ini terus berkembang sampai abad 20 ketika sistem pendidikan Eropa sudah mulai diperkenalkan di Hindia Belanda. Perkembangan ini membangkitkan pergerakan Islam modernis semisal Muhammadiyah yang melancarkan sikap permusuhan terhadap ritual-ritual tradisional masyarakat yang dianggap mengekalkan sistem kebangsawanan, terhadap persaudaraan sufi tradisional, dan juga terhadap kekuasaan Kolonial Eropa. 170 Ibid, hlm 303 171 Ibid, hlm 304 Model-model penerapan kepemimpinan yang dijelaskan Gibson tersebut senantiasa muncul dalam konteks ritual tertentu. Namun demikian, hal tersebut tidak berarti dalam sebuah periode tertentu dalam sejarah masyarakat yang kompleks seperti masyarakat hanya berlaku sebuah tatanan politik dan kekuasaan tunggal. Ada banyak model dan konstruksi kepemimpinan kekuasaan yang senantiasa bersaing. Model konstruksi kepemimpinan politik dan keagamaan yang diedialisasi sekalipun tidak pernah lepas dari tantangan. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Foucault bahwa setiap usaha pendisiplinan untuk memanpankan bentuk-bentuk kekuasaan pasti akan selalu menemui perlawanan. Lagi pula, pengalaman religius masyarakat Bugis- Makassar dan narasi Islam di Sulawesi Selatan adalah sebuah narasi kompleks yang tidak bisa direduksi dalam satu narasi tunggal.

C. Konstruksi Sistem Kepemimpinan Jamaah an-Nadzir