Konstruksi Kepemimpinan Islam: Sebuah Polemik

Pada akhirnya bab ini akan memaparkan konsep kepemimpinan politik dan telogis yang diterapkan oleh Jamaah an-Nadzir, hal-hal yang mempengaruhi konsep tersebut, kreasi an-Nadzir terhadap konsep kepemimpinan imamah yang merupakan sebuah bagian yang tidak terpisahkan dari konstruksi messianisme mereka.

A. Konstruksi Kepemimpinan Islam: Sebuah Polemik

Perpecahan umat dalam sejarah Islam pertama-tama bukanlah perpecahan yang disebabkan oleh perbedaan interpretasi teologis melainkan disebabkan karena perbedaan pandangan politik dalam membangun ummah dan sistem kepemimpinan seperti apa yang seharusnya diterapkan oleh umat Islam pasca meninggalnya Muhammad. Perbedaan pandangan tersebut –yang pada mulanya adalah masalah politik- pada akhirnya meluas ke ranah teologi dan melahirkan berbagai macam penafsiran teologi dalam Islam. Umat manusia sebagai mahluk sosial, di sepanjang sejarah dan di berbagai letak geografis, memiliki kecenderungan untuk hidup berkelompok. Dalam proses hidup sebagai sebuah kelompok masyarakat, manusia cenderung untuk menamai kelompok masyarakat tersebut dengan nama-nama tertentu. Nama yang diberikan mengandaikan adanya konsepsi dan pandangan kelompok-kelompok tersebut terhadap imaji mereka mengenai kehidupan sosial dan konsep-konsep terapan yang mereka sepakati dalam rangka menggapai kehidupan sosial yang mereka cita-citakan. Islam menyebut kesatuan kelompok mereka sebagai ummah. Ali Syariati dalam bukunya Ummah dan Imamah mengontestasikan kata ummah tersebut dengan beragam kata dalam berbagai bahasa yang memiliki kedekatan makna dengan kata ummah, semisal nation bangsa, qabilah kabilah, so cietyjama‟ah masyarakat, tha‟ifah kelompok, race ras dan seterusnya. Bagi Syariati, istilah ummah jauh melampaui istilah-istilah lain yang telah disebutkan. Istilah ummah secara prinsipil berarti jalan yang terang. Artinya, sebuah kelompok manusia yang sedang menuju ke jalan tertentu. Dengan demikian, kepemimpinan dan teladan, jalan dan tempat yang dilalui, tercakup pula dalam istilah ummah ini. Dengan berpijak pada pengertian itu, maka keturunan, tanah air, perkumpulan, kebersamaan baik dalam tujuan, profesi, ras, status sosial, dan gaya hidup yang dipandang sebagai pengikat paling dasar dan sakral antar individu tidak termasuk dalam hubungan tadi. Satu-satunya pengikat paling penting yang mempersatukan individu-individu dalam konsep ummah Islam adalah pilihan jalan yang mereka lalui. Singkatnya, ummah adalah sekumpulan manusia yang memilih jalan yang sama demi menuju suatu tujuan 136 . Gerakan yang mengarah ke tujuan bersama itulah yang menjadi landasan ideologis dalam konsep ummah. Konsep ummah dalam pandangan Islam dengan demikian bersifat kosmopolitan. Yang ingin dicapai oleh ummah adalah sebuah kekerabatan umat manusia yang melampaui batas-batas teritorial, keturunan, profesi, suku dan ras. Ummah –dari manapun anggotanya berasal– disatukan dalam kesamaan jalan yang dipilih aqidah, jalan yang dimaksud disini adalah ajaran Islam yang telah disampaikan Muhammad melalui risalah kenabiannya sebagai sebuah sarana pemersatu. Sisi kosmopolitan konsep ummah inilah yang menjadikannya melampaui istilah lain dalam pandangan Syariati, sebab istilah-istilah yang disebutkan terdahulu seluruhnya mengisyaratkan adanya kelompok manusia yang menonjolkan bentuk, karakteristik, dan 136 Lih Ali Syariati, Ummah dan Imamah, Rausyan Fikr, 2012, hlm 44-45. kondisi-kondisi lokalnya. Semua istilah tersebut bagi Syariati bersifat statis dan tidak mengandung unsur gerakan. Sedangkan ummah sebagai sebuah istilah sudah merupakan sebuah istilah yang dinamis. Kedinamisan konsep ummah terletak pada tujuan yang hendak dicapai, keberadaan tujuan mempersatukan setiap anggota yang memilih „jalan‟ yang sama untuk senantiasa bergerak, berpindah, berhijrah untuk terus menjaga agar cita-cita dan tujuan komunitas dapat diraih. Sebagai sebuah kelompok masyarakat, konsep ummah tentu tidak bisa terwujud tanpa adanya kepemimpinan kolektif. Dengan kata lain, ummah hanya bisa eksis dengan adanya kepemimpinan imamah yang kuat. Tidak mungkin ada ummah yang kuat tanpa kepemimpinan imamah kuat. Dalam sejarah Islam, wacana kepemimpinan- entah disebut dengan istilah imamah, khilafah, atau istilah lainnya- merupakan wacana yang sangat kontroversial pasca meninggalnya Nabi Muhammad sampai-sampai konsepsi mengenai kepemimpinan tersebut digiring pada absah tidaknya cara beragama seseorang. Dua sekte besar Islam, Sunni dan Syiah bertentangan dalam mengkonstruksi gagasan mengenai konsep kepemimpinan Islam setelah meninggalnya Muhammad. Bahkan, perbedaan konstruksi tersebut menjadi salah satu penyebab utama kedua kelompok saling menegasikan. Konstruksi kepemimpinan Islam Syiah lazim dikenal dengan istilah imamah. Dalam pandangan Syiah, imamah adalah manifestasi dari risalah kepemimpinan dan bimbingan individu dan masyarakat yang bertujuan untuk mengarahkan kehidupan umat dari realitas yang „kini ada‟ menuju „ realitas yang seharusnya ada‟ semaksimal yang bisa dilakukan 137 . Upaya mencapai kehidupan yang idealisasi tersebut tidak didasarkan pada keinginan pribadi Imam, melainkan atas dasar konsep baku yang menjadi kewajiban bagi Imam lebih dari individu lainnya. Inilah yang membedakan imamah dengan kepemimpinan diktator. Konsep baku yang dimaksud harus dijalankan oleh imam adalah konsep kehidupan ilahiah yang telah mewujud dalam kitab suci dan wahyuilham yang diperoleh dari Tuhan. Pengertian imam bersifat lebih umum dibanding pengertian pemimpin politik, penguasa, raja, ketua partai dan istilah-istilah lain yang mungkin memiliki kedekatan makna dengan kata imam. Istilah imam merupakan ungkapan dari perwujudan manusia yang membentuk ruh, moral, dan cara hidupnya sebagai petunjuk bagi umat manusia tentang bagaimana seharusnya menjadi manusia dan bagaimana seharusnya hidup itu 138 . Konsep imamah sebagaimana dijelaskan menunjukkan bagaimana pentingnya kedudukan imamah dalam konstruksi aqidah Syiah yang menjadi salah satu fondasi keimanan menurut paham mereka. Seorang imam dalam konstruksi Syiah bukan hanya merupakan pemimpin dalam persoalan-persoalan keagamaan umat, tetapi juga bertanggung jawab menjadi pemimpin dalam perkara-perkara keduniawian misalnya dalam hal-hal yang menyangkut urusan ekonomi-politik umat 139 . Imam sebagaimana nabi dalam paham Syiah seharusnya menjadi pemimpin dan pembimbing umat dalam dua dimensi kehidupan, agama dan politik meskipun sejarah mencatat bahwa dari dua belas Imam Syiah hanya Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali dalam periode singkat yang pernah memegang jabatan sebagai khalifah. Muhammad 137 Ibid hlm 88 138 Ibid hlm, 131 139 Lih Murtadha Muthahhari, Imamah dan Khilafah, Rausyan Fikr institute, 2012, hlm 82. sebagai seorang Nabi adalah pemimpin spiritual umat Islam tetapi pada saat yang sama juga merupakan seorang panglima perang yang tak segan turun ke medan perang dan berada di garis depan pertempuran. Selain itu nabi juga terlibat dan menjadi aktor utama strategi politik umat dalam menghadapi segala macam potensi ancaman terhadap umat Islam. singkatnya, dalam pemahaman Syiah, kepemimpinan imamah melingkupi hal- hal administratif kekuasaan dan spiritual, keduanya merupakan hal yang tidak terpisah dari tanggung jawab keimaman meski dimensi spiritual adalah hal yang lebih utama. Idealisasi kelompok Syiah terhadap sosok Nabi Muhammad sebagai sosok pemimpin yang melingkupi kehidupan spiritual dan admistrasi pemerintahan umat mengisyaratkan bahwa mereka menolak pemisahan antara agama dan Negara. Dalam pandangan Syiah, pemisahan antara agama dan Negara bukan sebuah praktik yang didasarkan pada ajaran Islam sebagaimana dicontohkan oleh Muhammad, meskipun kebanyakan praktik seperti itu diterapkan dibanyak Negara-negara berpenduduk mayoritas muslim saat ini. Dikotomi ulama-umara pemimpin spiritual-pemerintah dinilai bukan praktik Islam, melainkan produk sejarah Islam 140 . Sebab dengan pemisahan tugas tersebut sang Imam hanya akan tampil sebagai pemimpin agama tempat umat mengembalikan segala persoalan-persoalan keagamaan tetapi tidak punya otoritas dalam regulasi kekuasaan politik. Pandangan Syiah yang demikian ini tidak terlepas dari keberatan Syiah mengenai suksesi kepemimpinan pasca meninggalnya Muhammad yang dianggap tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga membawa konsekuensi sejarah Islam melenceng dari spirit dan cita-cita yang dibawa oleh Muhammad. 140 Lih Ali Syariati, Ummah dan Imamah, Rausyan Fikr institute, 2012, hlm 44-45 Dalam doktrin teologi syiah, Manusia membutuhkan imam yang terpelihara dari dosa dan menjadi penjaga hukum syariat bagi mereka, mengingatkan mereka untuk menghormati syariat dengan jalan memberitakan pahala yang dijanjikan Allah bagi yang menaatinya dan ancaman siksaan bagi mengingkarinya. Kebutuhan manusia akan Imam serupa dengan kebutuhan manusia terhadap sosok nabi yang memberitahukan perbedaan antara hal-hal yang diperboleh dan hal-hal yang dilarang 141 . Keberadaan seorang imam dalam pandangan Syiah adalah sesuatu yang wajib ada seperti keharusan Tuhan mengutus seorang Rasul kepada umat manusia, sebab tidak mungkin Tuhan menuntut ketaatan manusia tanpa mengirimkan nabi yang mengabarkan perintahNya. Imamah adalah persoalan mendasar agama dalam doktrin Syiah. Dari sudut pandang Syiah, imamah adalah bentuk dari pemerintahan Tuhan. Jabatan imamah sama dengan kenabian. Maka, ia merupakan perintah Tuhan dalam penunjukannya, sebagaimana dalam kenabian. Akan tetapi, terdapat perbedaan yang utama antara kenabian dan imamah. Kenabian adalah pendirian risalah, sedangkan imamah adalah penjaga bagi risalah tersebut 142 . Doktrin Syiah yang menempatkan imam dalam posisi yang sangat tinggi tersebut – hampir sederajat dengan kenabian- ditolak oleh kelompok Sunni, dalam pandangan mereka, kelompok Syiah terlalu berlebih-lebihan dalam merepresentasikan kemuliaan Ali bin Abi Thalib dan anak keturunannya ahlulbait. Fungsi kenabian dan keimaman dalam doktrin Syiah bisa saja bergabung dalam diri satu orang ataupun terpisah. Seseorang bisa saja adalah seorang nabi dan Imam dalam arti sebagai regulator dan pembawa risalah seperti Ibrahim dan Muhammad, 141 Lih Haidar Amuli, dari Syariat Menuju Hakikat, Mizan, 2005, hlm 207 142 Lih, Mujtaba Musawi, Teologi Islam Syiah ; kajian Tekstuan Rasional Prinsip-prinsip Islam, penerbit Al-Huda. 2004. Hlm 239 namun tidak semua nabi adalah juga sekaligus imam, pun tidak semua imam adalah Nabi. Menurut Syiah, sudah jelas bahwa akhir kenabian adalah kenabian Muhammad. Sekarang tidak ada lagi nabi dan tidak ada lagi agama baru yang akan dibawa oleh manusia siapapun, hanya ada satu agama dan itu adalah Islam. Namun demikian berakhirnya masa kenabian tidak berarti kepemimpinan Tuhan juga berakhir. Berkaitan dengan doktrin keimaman sebagai hal yang serupa dengan kenabian, Syiah mengajukan argumentasi bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Sepanjang hidupnya, Muhammad telah mengajarkan seperangkat aturan hidup yang lengkap. Namun apakah sepanjang sejarah hidupnya Nabi telah menyampaikan semua ajaran Islam kepada umat secara umum. Masa 23 tahun kenabian dianggap tidak cukup bagi nabi untuk menyampaikan seluruh hukum Islam kepada seluruh Muslimin. Jika Nabi Muhammad yang semasa hidupnya begitu memperhatikan tindakan-tindakan alami seperti makan, minum, dan tidur dan memberi ratusan perintah berkaitan dengan perkara-perkara tersebut, lalu bagaimana mungkin dia bisa begitu lalai atau mendiamkan perkara penting dengan tidak mempersiapkan calon penggantinya di mana masa depan umat dan agama yang telah dirintisnya dipertaruhkan 143 . Oleh karena itu, pastilah ada satu atau lebih dari kalangan sahabat Nabi yang memperoleh pengetahuan lengkap mengenai Islam langsung dari Nabi dan dalam posisi untuk menerangkan ajaran Islam setelah dia meninggal dengan cara seperti yang dilakukan Nabi Muhammad semasa hidupnya. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa Nabi menerima 143 Lih, Allamah Tha bathaba‟I, Islam Syiah; Asal-Usul dan Perkembangannya, Grafiti pers. 1989. hlm 202 wahyu langsung dari Allah, sedangkan mereka para imam mendaptakan pengetahuan ini melalui Nabi Muhammad 144 . Seorang imam dalam paham Syiah merupakan pengejewantahan perintah Tuhan. Para imam adalah hujjah bukti keagungan dan karunia Allah bagi umat manusia yang pada awalnya telah diwujudkan melalui pesan kenabian dan kitab-kitab suci. Syiah mempercayai bahwa setiap zaman sampai hari kiamat pasti akan ditandai oleh keberadaan Imam- sebagai hujjah Tuhan entah dia hadir secara fisik atau gaib 145 . Konsep Syiah ini sangat dekat dengan konsep sufi tentang Insan Kamil atau „manusia sempurna‟. Rumi pernah menyebutkan bahwa di setiap zaman ada seorang wali, qaim penguasa zaman. Di setiap zaman ada seorang manusia sempurna yang memiliki seluruh keunggulan manusiawi. Tidak ada zaman tanpa keberadaan manusia sempurna yang sering digambarkan sebagai quthb kutub, poros, otoritas. Sebagai penjaga risalah kenabian dan hujjah dari Allah yang merupakan tugas yang sangat berat, seorang imam dalam paham Syiah haruslah maksum terpelihara dari kemungkinan berbuat salah dan dosa sebagaimana kemaksuman para nabi dan rasul 146 . Kemaksuman imam adalah sesuatu yang bersifat otomatis. Jika imamah sebagai sesuatu yang melengkapi kenabian untuk tujuan menerangkan agama secara mendetail, maka sudah tentu keberadaan imam merupakan keniscayaan dan imam itu harus maksum sebagaimana para nabi. Syiah tidak menerima gagasan bahwa kemaksuman imam bukan hal mendasar dengan dalih bahwa imam pemimpin dapat diperingatkan atau 144 Lih Murtadha Muthahhari, Imamah dan Khilafah, Rausyan Fikr Institute, 2012, hlm 84 145 Pembagian hadir dan gaib dilakukan untuk mengakomodasi konsep Syiah tentang Imam Mahdi yang dalam pandangan mereka sedang berada dalam proses kegaiban. Manusia sempurna yang menjadi penguasa zaman saat ini dalam konstruksi Syiah adalah imam Mahdi dalam periode kegaiban tersebut. 146 Lih Murtadha Muthahhari, Imamah dan Khilafah, hlm 88 diluruskan oleh umat apabila dia cenderung untuk melakukan kekeliruan, sebab kewajiban umat adalah mengikuti imam, bukan membimbingnya. Di sinilah kemaksuman imam mengambil peran penting dalam konstruksi imamah Syiah, tidak dapat dibayangkan seseorang yang diutus Tuhan untuk memandu umat manusia memerlukan bimbingan dan dapat berbuat keliru atau dosa. Sebab tidak mungkin Tuhan memerintahkan untuk taat pada seseorang yang tidak suci dan berpotensi melakukan dosa. Dengan mengklaim bahwa imamah adalah bentuk pemerintahan ilahiah mengisyaratkan bahwa pengetahuan sang imam juga merupakan pengetahaun dari sumber ilahi, meski para imam tidak menerima wahyu yang juga berakhir seiring berakhirnya periode kenabian. Murtadha Muthahhari mengutip perkataan imam Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa pengetahuan masuk ke mereka- para imam- sehingga mereka mempunyai pengetahuan mendalam tentang kebenaran. Dengan kata lain pengetahuan mereka bersifat intuitif, bukan hasil belajar, bebas dari kesalahan dan kekeliruan 147 . Dengan konstruksi seperti itu, akal, kehendak, pertimbangan pribadi nampaknya merupakan sesuatu yang agak asing dalam konstruksi imamah yang sangat mengedapankan kultus individu tersebut. Lalu bagaimanakah cara penetapan seseorang menjadi Imam? Kelompok Syiah meyakini bahwa keimaman adalah suatu yang bersifat esensial yang muncul dari diri seseorang. Sumbernya adalah diri imam itu sendiri, dan bukan faktor eksternal semisal pengangkatan atau pemilihan. Seorang imam yang terpilih tetaplah seorang imam meski dia muncul dari balik penjara atau mimbar rasul, baik dia didukung oleh seluruh umat 147 Ibid hlm 180 atau keagungannya hanya diketahui dan diakui oleh tujuh atau delapan kelompok orang saja 148 . Dengan kata lain, seorang manusia tidak memilih imam, mereka hanya dapat mengakui kelayakannya saja sebagai seorang Imam. Hal ini mungkin sedikit lebih sama dengan analogi bahwa seorang sastrawan dengan bakat dan kualitas karyanya yang bagus tetap seorang sastrawan meski hanya sedikit yang mengakui kesastrawanannya. Seorang imam dalam aqidah Syiah tidak diangkat melalui proses pemilihan, pencalonan, pewarisan, atau melalui musyawarah dan konsensus melainkan melalui penunjukan ilahi. Syiah menolak mekanisme pemilihan ataupun otoritas rakyat dalam penentuan Imam karena suara mayoritas tidak menjamin bahwa pemimpin yang terpilih melalui mekanisme tersebut adalah pemimpin yang layak. Pilihan manusia bisa salah, karena itu, jika pemilihan terhadap seorang imam diserahkan pada rakyat, maka pilihan itu akan merusak segenap tatanan moral. Olehnya itu, bimbingan spiritual manusia harus dipercayakan pada orang-orang yang ditunjuk secara ilahiah 149 . Sebagai sebuah persoalan yang mencakup berbagai macam aspek seperti kepemimpinan spiritual dan administrasi kekuasaan, karakteristik, dan tanggung jawab yang pelik dan rumit, maka imamah dalam konstruksi teologi Syiah terbatas hanya pada pribadi-pribadi tertentu sebagaimana halnya dengan kenabian. Berbeda dengan administrasi pemerintahan yang tidak terbatas pada masa, sistem, dan orang-orang tertentu. Bertolak dari sini, maka para washi Rasulullah atau para imam Syiah dalam konstruksi Syiah Imamiyah, hanya berjumlah dua belas Imam, tidak lebih yang berasal dari para ahlulbait dimulai dari Imam Ali bin Abi Thalib dan seterusnya hingga berakhir 148 Lih Ali Syariati, Ummah dan Imamah, hlm 172 149 Lih, Ameer Ali, the Spirit of Islam, Penerbit Navila, 2008, hlm 365 pada Imam Mahdi 250 H- 150 . Dari sini kita dapat melihat dengan jelas betapa kontruksi imamah adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dengan konstruksi messianisme Syiah. Persoalan imamah adalah persoalan yang kompleks dan kontroversial –jika tidak bisa dikatakan suram- dalam sejarah Islam. Persoalan ini adalah penyebab pertama dan utama dalam perselisihan umat Islam. Persoalan ini telah melahirkan pertentangan wacana yang tidak berkesudahan di antara dua kelompok besar Islam, Sunni maupun Syiah. Kelompok Syiah meyakini bahwa Nabi Muhammad sebenarnya telah mempersiapkan dan menunjuk suksesornya sebelum dia meninggal. Orang yang dianggap telah ditunjuk oleh Nabi tersebut adalah Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi. Sementara menurut kelompok Sunni, kepemimpinan Islam tidak harus didasarkan pada prinsip teokrasi dan aristokrasi sebagaimana konsep imamah yang diyakini komunitas Syiah. Banyak peristiwa sejarah maupun teks suci al-Quran maupun hadist yang diklaim oleh kelompok Syiah sebagai bukti pengangkatan Ali sebagai suksesor Nabi. Salah satunya adalah peristiwa Ghadir Khum. Ketika nabi dalam perjalanan pulang dari haji wada ‟ bersama para sahabat, beliau berhenti di sebuah tempat bernama Gahdir Khum dan berkata „barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya maka Ali pun menjadi pemimpinnya, dukunglah orang yang mendukung Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya”. Hadis ini oleh komunitas Syiah dianggap sebagai bukti penunjukkan 150 Kelompok-kelompok Syiah memiliki perbedaan dalam penentuan jumlah para imam. Perbedaan ini tidak terlepas dari kontestasi perihal konstruksi tentang siapa sosok al-mahdi dalam sekte-sekte Syiah. Namun kelompok mayoritas Syiah yang dikenal dengan syiah imamiyah atau Syiah istna asyariah meyakini para imam berjumlah dua belas orang. Rasulullah terhadap Ali untuk menjadi pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Keyakinan bahwa Nabi sesungguhnya telah menunjuk pengganti sebelum dia meninggal membuat kelompok Syiah radikal menolak kepemimpinan tiga Amirul Mukminin awal karena ketiganya Abu Bakar, Umar, dan Usman dianggap merampas apa yang seharusnya menjadi hak Ali bin Abi Thalib. Pendirian Syiah terhadap mahdisme mengindikasikan janji Tuhan tentang kemenangan puncak dari pemerintahan ilahi pada akhir sejarah manusia di bumi dalam bentuk sebuah pemerintahan ilahi global yang memberikan kedamaian, keamanan, kesejahteraan, dan spiritualitas untuk umat manusia. Perspektif teologi ini mengemukakan sebuah pandangan alternatif terhadap teori Barat tentang manusia khususnya dalam kaitannya dengan regulasi sistem pemerintahan 151 . Doktin tentang jaminan „keselamatan dan kesejahteraan sempurna‟ secara tidak langsung mengandaikan imaji tentang keberadaan sebuah pemerintahan global. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, konsep pemerintahan Islam dalam cita- citanya membangun sebuah ummah yang mandiri bersifat kosmopolitan, melampaui batas-batas teritorial, suku dan bangsa. Dalam konteks ini, Islam nampaknya memiliki kemiripan dengan konsep globalisasi Barat yang berusaha menerapkan sebuah hegemoni melampaui batas-batas Negara sehingga wacana tentang kedaulatan Negara merupakan sesuatu yang berusaha dipudarkan. Namun demikian, Islam mengklaim bahwa konsep pemerintahan globalnya memiliki perbedaan mendasar pada konstruksi bagaimana hubungan antara agama dan politik. Jika globalisasi dan modernisme Barat 151 Hamid Hadji Haidar, Mahdisme; Sebuah Perspektif Teologi Globalis, dalam Oliver Leaman ed Pemerintahan Akhir Zaman, Penerbit al-Huda, 2005, hlm 192 dibangun atas dasar sekularisasi yang membuat agama dianggap sebagai penghambat dan olehnya itu harus disingkirkan, maka dalam konstruksi pemerintahan Islam agama dan politik adalah dua entitas yang saling mengandaikan. Sebagai Negara berlandaskan agama sebagai hukum, maka moralitas adalah dimensi yang ditata sedemikan rupa, karena penataan moralitas dikonstruksi sebagai bagian dari jalan keselamatan dan penegakan kepemimpinan ilahi. Pemerintahan Islam –khususnya berkaitan dengan imaji pemerintahan ilahi di akhir zaman- juga mengklaim berbeda dengan konsep pemerintahan Barat dalam implementasi keadilan sosial dan ekonomi di mana yang kaya mengangkangi yang miskin. Dalam konstruksi pemerintahan Islam, ummah yang kuat harus dibangun berdasarkan persamaan hak dan keadilan. Berbeda dengan kelompok Syiah, Mayoritas kelompok Sunni menganggap imamah sebatas sebagai jabatan kekhalifaan kepemimpinan sosial. Imamah dan kekhalifaan, dalam pandangan Sunni adalah dua istilah yang sinonim. Khalifah dalam pandangan Sunni adalah seseorang yang menerima jabatan kepemimpinan umat melalui sebuah pemilihan. Ini berarti jabatan khalifah adalah tanggung jawab sosial, bukan berdasarkan pengangkatan Tuhan atas penunjukannya. Keunggulan dalam hal ilmu dan takwa –apalagi kemaksuman- bukan syarat wajib dalam kekhalifaan. Bahkan, seandainya seorang khalifah keluar dari batas-batas ketakwaan dan melakukan perbuatan dosa, hal tersebut tidak berpengaruh pada kelangsungan jabatan kekhalifaannya. Pemilihan khalifah dalam perspektif Sunni dilaksanakan dengan tiga cara yaitu melalui kesepakatan umat, penunjukan khalifah sebelumnya, atau melalui musyawarah. Menurut kelompok Sunni, kedudukan imam tidak hanya terbatas pada keluarga Muhammad saja. Seorang Imam tidak perlu adil, bijak, atau tanpa dosa maksum dalam hidupnya. Seorang imam juga tidak perlu orang yang paling unggul pada zamannya, asalkan seseorang itu merdeka, dewasa, tidak gila dan memiliki kemampuan mengatur urusan sehari-hari Negara, maka ia berhak dipilih menjadi imam. Dalam Sunni juga terdapat doktrin bahwa kelaliman imam tidak dapat dijadikan sebagai pembenaran untuk menurunkannya, meskipun dalam faktanya doktrin ini tidak terlalu ditaati oleh kaum muslim. Mungkin doktrin tersebut diciptakan oleh masa-masa imperium tertentu untuk memapankan kekuasaan dengan dalih demi stabilitas. Pemaparan panjang lebar konsep imamah baik dari perspektif Syiah maupun Sunni saya anggap penting sebagai jalan untuk memahami unsur konstruksi imamah yang dibangun Jamaah an-Nadzir. Bagaimanapun juga, konstruksi imamah an-Nadzir yang tidak bisa dipisahkan dengan bangunan messianisme mereka dibangun melalui modifakasi konsep imamah Sunni dan Syiah. Meski konsep imamah Sunni dan Syiah mempunyai perbedaan fundamental, namun Jamaah an-Nadzir tidak meniru secara persis salah satu dari konsep imamah tersebut melainkan mengakomodasi keduanya untuk membentuk konsep imamah mereka secara khas. Hal ini sepertinya dilakukan untuk membedakan diri sekaligus juga menegasikan kedua kelompok besar Islam tersebut karena bagaimanapun Jamaah an-Nadzir tidak merasa sebagai salah satu bagian dari keduanya.

B. Dinamika Konstuksi Pemerintahan Islam di Sulawesi Selatan