Pada akhirnya bab ini akan memaparkan konsep kepemimpinan politik dan telogis yang diterapkan oleh Jamaah an-Nadzir, hal-hal yang mempengaruhi konsep
tersebut, kreasi an-Nadzir terhadap konsep kepemimpinan imamah yang merupakan sebuah bagian yang tidak terpisahkan dari konstruksi messianisme mereka.
A. Konstruksi Kepemimpinan Islam: Sebuah Polemik
Perpecahan umat dalam sejarah Islam pertama-tama bukanlah perpecahan yang disebabkan oleh perbedaan interpretasi teologis melainkan disebabkan karena perbedaan
pandangan politik dalam membangun ummah dan sistem kepemimpinan seperti apa yang seharusnya diterapkan oleh umat Islam pasca meninggalnya Muhammad.
Perbedaan pandangan tersebut –yang pada mulanya adalah masalah politik- pada
akhirnya meluas ke ranah teologi dan melahirkan berbagai macam penafsiran teologi dalam Islam.
Umat manusia sebagai mahluk sosial, di sepanjang sejarah dan di berbagai letak geografis, memiliki kecenderungan untuk hidup berkelompok. Dalam proses hidup
sebagai sebuah kelompok masyarakat, manusia cenderung untuk menamai kelompok masyarakat tersebut dengan nama-nama tertentu. Nama yang diberikan mengandaikan
adanya konsepsi dan pandangan kelompok-kelompok tersebut terhadap imaji mereka mengenai kehidupan sosial dan konsep-konsep terapan yang mereka sepakati dalam
rangka menggapai kehidupan sosial yang mereka cita-citakan. Islam menyebut kesatuan kelompok mereka sebagai ummah. Ali Syariati dalam
bukunya Ummah dan Imamah mengontestasikan kata ummah tersebut dengan beragam kata dalam berbagai bahasa yang memiliki kedekatan makna dengan kata ummah,
semisal nation bangsa, qabilah kabilah, so cietyjama‟ah masyarakat, tha‟ifah
kelompok, race ras dan seterusnya. Bagi Syariati, istilah ummah jauh melampaui istilah-istilah lain yang telah disebutkan. Istilah ummah secara prinsipil berarti jalan
yang terang. Artinya, sebuah kelompok manusia yang sedang menuju ke jalan tertentu. Dengan demikian, kepemimpinan dan teladan, jalan dan tempat yang dilalui, tercakup
pula dalam istilah ummah ini. Dengan berpijak pada pengertian itu, maka keturunan, tanah air, perkumpulan, kebersamaan baik dalam tujuan, profesi, ras, status sosial, dan
gaya hidup yang dipandang sebagai pengikat paling dasar dan sakral antar individu tidak termasuk dalam hubungan tadi. Satu-satunya pengikat paling penting yang
mempersatukan individu-individu dalam konsep ummah Islam adalah pilihan jalan yang mereka lalui. Singkatnya, ummah adalah sekumpulan manusia yang memilih jalan yang
sama demi menuju suatu tujuan
136
. Gerakan yang mengarah ke tujuan bersama itulah yang menjadi landasan ideologis dalam konsep ummah.
Konsep ummah dalam pandangan Islam dengan demikian bersifat kosmopolitan. Yang ingin dicapai oleh ummah adalah sebuah kekerabatan umat
manusia yang melampaui batas-batas teritorial, keturunan, profesi, suku dan ras. Ummah
–dari manapun anggotanya berasal– disatukan dalam kesamaan jalan yang dipilih aqidah, jalan yang dimaksud disini adalah ajaran Islam yang telah disampaikan
Muhammad melalui risalah kenabiannya sebagai sebuah sarana pemersatu. Sisi kosmopolitan konsep ummah inilah yang menjadikannya melampaui istilah lain dalam
pandangan Syariati, sebab istilah-istilah yang disebutkan terdahulu seluruhnya mengisyaratkan adanya kelompok manusia yang menonjolkan bentuk, karakteristik, dan
136
Lih Ali Syariati, Ummah dan Imamah, Rausyan Fikr, 2012, hlm 44-45.
kondisi-kondisi lokalnya. Semua istilah tersebut bagi Syariati bersifat statis dan tidak mengandung unsur gerakan. Sedangkan ummah sebagai sebuah istilah sudah merupakan
sebuah istilah yang dinamis. Kedinamisan konsep ummah terletak pada tujuan yang hendak dicapai,
keberadaan tujuan mempersatukan setiap anggota yang memilih „jalan‟ yang sama untuk senantiasa bergerak, berpindah, berhijrah untuk terus menjaga agar cita-cita dan
tujuan komunitas dapat diraih. Sebagai sebuah kelompok masyarakat, konsep ummah tentu tidak bisa terwujud tanpa adanya kepemimpinan kolektif. Dengan kata lain,
ummah hanya bisa eksis dengan adanya kepemimpinan imamah yang kuat. Tidak mungkin ada ummah yang kuat tanpa kepemimpinan imamah kuat.
Dalam sejarah Islam, wacana kepemimpinan- entah disebut dengan istilah imamah, khilafah, atau istilah lainnya- merupakan wacana yang sangat kontroversial
pasca meninggalnya
Nabi Muhammad
sampai-sampai konsepsi
mengenai kepemimpinan tersebut digiring pada absah tidaknya cara beragama seseorang. Dua
sekte besar Islam, Sunni dan Syiah bertentangan dalam mengkonstruksi gagasan mengenai konsep kepemimpinan Islam setelah meninggalnya Muhammad. Bahkan,
perbedaan konstruksi tersebut menjadi salah satu penyebab utama kedua kelompok saling menegasikan.
Konstruksi kepemimpinan Islam Syiah lazim dikenal dengan istilah imamah. Dalam pandangan Syiah, imamah adalah manifestasi dari risalah kepemimpinan dan
bimbingan individu dan masyarakat yang bertujuan untuk mengarahkan kehidupan umat dari realitas
yang „kini ada‟ menuju „ realitas yang seharusnya ada‟ semaksimal yang
bisa dilakukan
137
. Upaya mencapai kehidupan yang idealisasi tersebut tidak didasarkan pada keinginan pribadi Imam, melainkan atas dasar konsep baku yang menjadi
kewajiban bagi Imam lebih dari individu lainnya. Inilah yang membedakan imamah dengan kepemimpinan diktator. Konsep baku yang dimaksud harus dijalankan oleh
imam adalah konsep kehidupan ilahiah yang telah mewujud dalam kitab suci dan wahyuilham yang diperoleh dari Tuhan.
Pengertian imam bersifat lebih umum dibanding pengertian pemimpin politik, penguasa, raja, ketua partai dan istilah-istilah lain yang mungkin memiliki kedekatan
makna dengan kata imam. Istilah imam merupakan ungkapan dari perwujudan manusia yang membentuk ruh, moral, dan cara hidupnya sebagai petunjuk bagi umat manusia
tentang bagaimana seharusnya menjadi manusia dan bagaimana seharusnya hidup itu
138
. Konsep imamah sebagaimana dijelaskan menunjukkan bagaimana pentingnya
kedudukan imamah dalam konstruksi aqidah Syiah yang menjadi salah satu fondasi keimanan menurut paham mereka. Seorang imam dalam konstruksi Syiah bukan hanya
merupakan pemimpin dalam persoalan-persoalan keagamaan umat, tetapi juga bertanggung jawab menjadi pemimpin dalam perkara-perkara keduniawian misalnya
dalam hal-hal yang menyangkut urusan ekonomi-politik umat
139
. Imam sebagaimana nabi dalam paham Syiah seharusnya menjadi pemimpin dan
pembimbing umat dalam dua dimensi kehidupan, agama dan politik meskipun sejarah mencatat bahwa dari dua belas Imam Syiah hanya Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali
dalam periode singkat yang pernah memegang jabatan sebagai khalifah. Muhammad
137
Ibid hlm 88
138
Ibid hlm, 131
139
Lih Murtadha Muthahhari, Imamah dan Khilafah, Rausyan Fikr institute, 2012, hlm 82.
sebagai seorang Nabi adalah pemimpin spiritual umat Islam tetapi pada saat yang sama juga merupakan seorang panglima perang yang tak segan turun ke medan perang dan
berada di garis depan pertempuran. Selain itu nabi juga terlibat dan menjadi aktor utama strategi politik umat dalam menghadapi segala macam potensi ancaman terhadap umat
Islam. singkatnya, dalam pemahaman Syiah, kepemimpinan imamah melingkupi hal- hal administratif kekuasaan dan spiritual, keduanya merupakan hal yang tidak terpisah
dari tanggung jawab keimaman meski dimensi spiritual adalah hal yang lebih utama. Idealisasi kelompok Syiah terhadap sosok Nabi Muhammad sebagai sosok
pemimpin yang melingkupi kehidupan spiritual dan admistrasi pemerintahan umat mengisyaratkan bahwa mereka menolak pemisahan antara agama dan Negara. Dalam
pandangan Syiah, pemisahan antara agama dan Negara bukan sebuah praktik yang didasarkan pada ajaran Islam sebagaimana dicontohkan oleh Muhammad, meskipun
kebanyakan praktik seperti itu diterapkan dibanyak Negara-negara berpenduduk mayoritas muslim saat ini. Dikotomi ulama-umara pemimpin spiritual-pemerintah
dinilai bukan praktik Islam, melainkan produk sejarah Islam
140
. Sebab dengan pemisahan tugas tersebut sang Imam hanya akan tampil sebagai pemimpin agama
tempat umat mengembalikan segala persoalan-persoalan keagamaan tetapi tidak punya otoritas dalam regulasi kekuasaan politik. Pandangan Syiah yang demikian ini tidak
terlepas dari keberatan Syiah mengenai suksesi kepemimpinan pasca meninggalnya Muhammad yang dianggap tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga membawa
konsekuensi sejarah Islam melenceng dari spirit dan cita-cita yang dibawa oleh Muhammad.
140
Lih Ali Syariati, Ummah dan Imamah, Rausyan Fikr institute, 2012, hlm 44-45
Dalam doktrin teologi syiah, Manusia membutuhkan imam yang terpelihara dari dosa dan menjadi penjaga hukum syariat bagi mereka, mengingatkan mereka untuk
menghormati syariat dengan jalan memberitakan pahala yang dijanjikan Allah bagi yang menaatinya dan ancaman siksaan bagi mengingkarinya. Kebutuhan manusia akan
Imam serupa dengan kebutuhan manusia terhadap sosok nabi yang memberitahukan perbedaan antara hal-hal yang diperboleh dan hal-hal yang dilarang
141
. Keberadaan seorang imam dalam pandangan Syiah adalah sesuatu yang wajib ada seperti keharusan
Tuhan mengutus seorang Rasul kepada umat manusia, sebab tidak mungkin Tuhan menuntut ketaatan manusia tanpa mengirimkan nabi yang mengabarkan perintahNya.
Imamah adalah persoalan mendasar agama dalam doktrin Syiah. Dari sudut pandang Syiah, imamah adalah bentuk dari pemerintahan Tuhan. Jabatan imamah sama
dengan kenabian. Maka, ia merupakan perintah Tuhan dalam penunjukannya, sebagaimana dalam kenabian. Akan tetapi, terdapat perbedaan yang utama antara
kenabian dan imamah. Kenabian adalah pendirian risalah, sedangkan imamah adalah penjaga bagi risalah tersebut
142
. Doktrin Syiah yang menempatkan imam dalam posisi yang sangat tinggi tersebut
– hampir sederajat dengan kenabian- ditolak oleh kelompok Sunni, dalam pandangan mereka, kelompok Syiah terlalu berlebih-lebihan dalam
merepresentasikan kemuliaan Ali bin Abi Thalib dan anak keturunannya ahlulbait. Fungsi kenabian dan keimaman dalam doktrin Syiah bisa saja bergabung dalam
diri satu orang ataupun terpisah. Seseorang bisa saja adalah seorang nabi dan Imam dalam arti sebagai regulator dan pembawa risalah seperti Ibrahim dan Muhammad,
141
Lih Haidar Amuli, dari Syariat Menuju Hakikat, Mizan, 2005, hlm 207
142
Lih, Mujtaba Musawi, Teologi Islam Syiah ; kajian Tekstuan Rasional Prinsip-prinsip Islam, penerbit Al-Huda. 2004. Hlm 239
namun tidak semua nabi adalah juga sekaligus imam, pun tidak semua imam adalah Nabi. Menurut Syiah, sudah jelas bahwa akhir kenabian adalah kenabian Muhammad.
Sekarang tidak ada lagi nabi dan tidak ada lagi agama baru yang akan dibawa oleh manusia siapapun, hanya ada satu agama dan itu adalah Islam. Namun demikian
berakhirnya masa kenabian tidak berarti kepemimpinan Tuhan juga berakhir. Berkaitan dengan doktrin keimaman sebagai hal yang serupa dengan kenabian,
Syiah mengajukan argumentasi bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Sepanjang hidupnya, Muhammad telah mengajarkan seperangkat aturan hidup yang lengkap.
Namun apakah sepanjang sejarah hidupnya Nabi telah menyampaikan semua ajaran Islam kepada umat secara umum. Masa 23 tahun kenabian dianggap tidak cukup bagi
nabi untuk menyampaikan seluruh hukum Islam kepada seluruh Muslimin. Jika Nabi Muhammad yang semasa hidupnya begitu memperhatikan tindakan-tindakan alami
seperti makan, minum, dan tidur dan memberi ratusan perintah berkaitan dengan perkara-perkara tersebut, lalu bagaimana mungkin dia bisa begitu lalai atau
mendiamkan perkara penting dengan tidak mempersiapkan calon penggantinya di mana masa depan umat dan agama yang telah dirintisnya dipertaruhkan
143
. Oleh karena itu, pastilah ada satu atau lebih dari kalangan sahabat Nabi yang memperoleh pengetahuan
lengkap mengenai Islam langsung dari Nabi dan dalam posisi untuk menerangkan ajaran Islam setelah dia meninggal dengan cara seperti yang dilakukan Nabi
Muhammad semasa hidupnya. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa Nabi menerima
143
Lih, Allamah Tha bathaba‟I, Islam Syiah; Asal-Usul dan Perkembangannya, Grafiti pers. 1989. hlm
202
wahyu langsung dari Allah, sedangkan mereka para imam mendaptakan pengetahuan ini melalui Nabi Muhammad
144
. Seorang imam dalam paham Syiah merupakan pengejewantahan perintah Tuhan.
Para imam adalah hujjah bukti keagungan dan karunia Allah bagi umat manusia yang pada awalnya telah diwujudkan melalui pesan kenabian dan kitab-kitab suci. Syiah
mempercayai bahwa setiap zaman sampai hari kiamat pasti akan ditandai oleh keberadaan Imam- sebagai hujjah Tuhan entah dia hadir secara fisik atau gaib
145
. Konsep Syiah ini sangat dekat dengan konsep sufi tentang Insan Kamil atau
„manusia sempurna‟. Rumi pernah menyebutkan bahwa di setiap zaman ada seorang wali, qaim
penguasa zaman. Di setiap zaman ada seorang manusia sempurna yang memiliki seluruh keunggulan manusiawi. Tidak ada zaman tanpa keberadaan manusia sempurna
yang sering digambarkan sebagai quthb kutub, poros, otoritas. Sebagai penjaga risalah kenabian dan hujjah dari Allah yang merupakan tugas
yang sangat berat, seorang imam dalam paham Syiah haruslah maksum terpelihara dari kemungkinan berbuat salah dan dosa sebagaimana kemaksuman para nabi dan rasul
146
. Kemaksuman imam adalah sesuatu yang bersifat otomatis. Jika imamah sebagai sesuatu
yang melengkapi kenabian untuk tujuan menerangkan agama secara mendetail, maka sudah tentu keberadaan imam merupakan keniscayaan dan imam itu harus maksum
sebagaimana para nabi. Syiah tidak menerima gagasan bahwa kemaksuman imam bukan hal mendasar dengan dalih bahwa imam pemimpin dapat diperingatkan atau
144
Lih Murtadha Muthahhari, Imamah dan Khilafah, Rausyan Fikr Institute, 2012, hlm 84
145
Pembagian hadir dan gaib dilakukan untuk mengakomodasi konsep Syiah tentang Imam Mahdi yang dalam pandangan mereka sedang berada dalam proses kegaiban. Manusia sempurna yang menjadi
penguasa zaman saat ini dalam konstruksi Syiah adalah imam Mahdi dalam periode kegaiban tersebut.
146
Lih Murtadha Muthahhari, Imamah dan Khilafah, hlm 88
diluruskan oleh umat apabila dia cenderung untuk melakukan kekeliruan, sebab kewajiban umat adalah mengikuti imam, bukan membimbingnya. Di sinilah
kemaksuman imam mengambil peran penting dalam konstruksi imamah Syiah, tidak dapat dibayangkan seseorang yang diutus Tuhan untuk memandu umat manusia
memerlukan bimbingan dan dapat berbuat keliru atau dosa. Sebab tidak mungkin Tuhan memerintahkan untuk taat pada seseorang yang tidak suci dan berpotensi melakukan
dosa. Dengan mengklaim bahwa imamah adalah bentuk pemerintahan ilahiah
mengisyaratkan bahwa pengetahuan sang imam juga merupakan pengetahaun dari sumber ilahi, meski para imam tidak menerima wahyu yang juga berakhir seiring
berakhirnya periode kenabian. Murtadha Muthahhari mengutip perkataan imam Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa pengetahuan masuk ke mereka- para imam- sehingga
mereka mempunyai pengetahuan mendalam tentang kebenaran. Dengan kata lain pengetahuan mereka bersifat intuitif, bukan hasil belajar, bebas dari kesalahan dan
kekeliruan
147
. Dengan konstruksi seperti itu, akal, kehendak, pertimbangan pribadi nampaknya merupakan sesuatu yang agak asing dalam konstruksi imamah yang sangat
mengedapankan kultus individu tersebut. Lalu bagaimanakah cara penetapan seseorang menjadi Imam? Kelompok Syiah
meyakini bahwa keimaman adalah suatu yang bersifat esensial yang muncul dari diri seseorang. Sumbernya adalah diri imam itu sendiri, dan bukan faktor eksternal semisal
pengangkatan atau pemilihan. Seorang imam yang terpilih tetaplah seorang imam meski dia muncul dari balik penjara atau mimbar rasul, baik dia didukung oleh seluruh umat
147
Ibid hlm 180
atau keagungannya hanya diketahui dan diakui oleh tujuh atau delapan kelompok orang saja
148
. Dengan kata lain, seorang manusia tidak memilih imam, mereka hanya dapat mengakui kelayakannya saja sebagai seorang Imam. Hal ini mungkin sedikit lebih sama
dengan analogi bahwa seorang sastrawan dengan bakat dan kualitas karyanya yang bagus tetap seorang sastrawan meski hanya sedikit yang mengakui kesastrawanannya.
Seorang imam dalam aqidah Syiah tidak diangkat melalui proses pemilihan, pencalonan, pewarisan, atau melalui musyawarah dan konsensus melainkan melalui
penunjukan ilahi. Syiah menolak mekanisme pemilihan ataupun otoritas rakyat dalam penentuan Imam karena suara mayoritas tidak menjamin bahwa pemimpin yang terpilih
melalui mekanisme tersebut adalah pemimpin yang layak. Pilihan manusia bisa salah, karena itu, jika pemilihan terhadap seorang imam diserahkan pada rakyat, maka pilihan
itu akan merusak segenap tatanan moral. Olehnya itu, bimbingan spiritual manusia harus dipercayakan pada orang-orang yang ditunjuk secara ilahiah
149
. Sebagai sebuah persoalan yang mencakup berbagai macam aspek seperti
kepemimpinan spiritual dan administrasi kekuasaan, karakteristik, dan tanggung jawab yang pelik dan rumit, maka imamah dalam konstruksi teologi Syiah terbatas hanya pada
pribadi-pribadi tertentu sebagaimana halnya dengan kenabian. Berbeda dengan administrasi pemerintahan yang tidak terbatas pada masa, sistem, dan orang-orang
tertentu. Bertolak dari sini, maka para washi Rasulullah atau para imam Syiah dalam konstruksi Syiah Imamiyah, hanya berjumlah dua belas Imam, tidak lebih yang berasal
dari para ahlulbait dimulai dari Imam Ali bin Abi Thalib dan seterusnya hingga berakhir
148
Lih Ali Syariati, Ummah dan Imamah, hlm 172
149
Lih, Ameer Ali, the Spirit of Islam, Penerbit Navila, 2008, hlm 365
pada Imam Mahdi 250 H-
150
. Dari sini kita dapat melihat dengan jelas betapa kontruksi imamah adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dengan konstruksi messianisme
Syiah. Persoalan imamah adalah persoalan yang kompleks dan kontroversial
–jika tidak bisa dikatakan suram- dalam sejarah Islam. Persoalan ini adalah penyebab pertama dan
utama dalam perselisihan umat Islam. Persoalan ini telah melahirkan pertentangan wacana yang tidak berkesudahan di antara dua kelompok besar Islam, Sunni maupun
Syiah. Kelompok Syiah meyakini bahwa Nabi Muhammad sebenarnya telah mempersiapkan dan menunjuk suksesornya sebelum dia meninggal. Orang yang
dianggap telah ditunjuk oleh Nabi tersebut adalah Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi. Sementara menurut kelompok Sunni, kepemimpinan Islam tidak harus
didasarkan pada prinsip teokrasi dan aristokrasi sebagaimana konsep imamah yang diyakini komunitas Syiah.
Banyak peristiwa sejarah maupun teks suci al-Quran maupun hadist yang diklaim oleh kelompok Syiah sebagai bukti pengangkatan Ali sebagai suksesor Nabi.
Salah satunya adalah peristiwa Ghadir Khum. Ketika nabi dalam perjalanan pulang dari haji wada
‟ bersama para sahabat, beliau berhenti di sebuah tempat bernama Gahdir Khum dan berkata
„barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya maka Ali pun menjadi pemimpinnya, dukunglah orang yang mendukung Ali dan musuhilah orang yang
memusuhinya”. Hadis ini oleh komunitas Syiah dianggap sebagai bukti penunjukkan
150
Kelompok-kelompok Syiah memiliki perbedaan dalam penentuan jumlah para imam. Perbedaan ini tidak terlepas dari kontestasi perihal konstruksi tentang siapa sosok al-mahdi dalam sekte-sekte Syiah.
Namun kelompok mayoritas Syiah yang dikenal dengan syiah imamiyah atau Syiah istna asyariah meyakini para imam berjumlah dua belas orang.
Rasulullah terhadap Ali untuk menjadi pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Keyakinan bahwa Nabi sesungguhnya telah menunjuk pengganti sebelum dia
meninggal membuat kelompok Syiah radikal menolak kepemimpinan tiga Amirul Mukminin awal karena ketiganya Abu Bakar, Umar, dan Usman dianggap merampas
apa yang seharusnya menjadi hak Ali bin Abi Thalib. Pendirian Syiah terhadap mahdisme mengindikasikan janji Tuhan tentang
kemenangan puncak dari pemerintahan ilahi pada akhir sejarah manusia di bumi dalam bentuk sebuah pemerintahan ilahi global yang memberikan kedamaian, keamanan,
kesejahteraan, dan spiritualitas untuk umat manusia. Perspektif teologi ini mengemukakan sebuah pandangan alternatif terhadap teori Barat tentang manusia
khususnya dalam kaitannya dengan regulasi sistem pemerintahan
151
. Doktin tentang jaminan „keselamatan dan kesejahteraan sempurna‟ secara tidak
langsung mengandaikan imaji tentang keberadaan sebuah pemerintahan global. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, konsep pemerintahan Islam dalam cita-
citanya membangun sebuah ummah yang mandiri bersifat kosmopolitan, melampaui batas-batas teritorial, suku dan bangsa. Dalam konteks ini, Islam nampaknya memiliki
kemiripan dengan konsep globalisasi Barat yang berusaha menerapkan sebuah hegemoni melampaui batas-batas Negara sehingga wacana tentang kedaulatan Negara
merupakan sesuatu yang berusaha dipudarkan. Namun demikian, Islam mengklaim bahwa konsep pemerintahan globalnya memiliki perbedaan mendasar pada konstruksi
bagaimana hubungan antara agama dan politik. Jika globalisasi dan modernisme Barat
151
Hamid Hadji Haidar, Mahdisme; Sebuah Perspektif Teologi Globalis, dalam Oliver Leaman ed Pemerintahan Akhir Zaman, Penerbit al-Huda, 2005, hlm 192
dibangun atas dasar sekularisasi yang membuat agama dianggap sebagai penghambat dan olehnya itu harus disingkirkan, maka dalam konstruksi pemerintahan Islam agama
dan politik adalah dua entitas yang saling mengandaikan. Sebagai Negara berlandaskan agama sebagai hukum, maka moralitas adalah dimensi yang ditata sedemikan rupa,
karena penataan moralitas dikonstruksi sebagai bagian dari jalan keselamatan dan penegakan kepemimpinan ilahi. Pemerintahan Islam
–khususnya berkaitan dengan imaji pemerintahan ilahi di akhir zaman- juga mengklaim berbeda dengan konsep
pemerintahan Barat dalam implementasi keadilan sosial dan ekonomi di mana yang kaya mengangkangi yang miskin. Dalam konstruksi pemerintahan Islam, ummah yang
kuat harus dibangun berdasarkan persamaan hak dan keadilan. Berbeda dengan kelompok Syiah, Mayoritas kelompok Sunni menganggap
imamah sebatas sebagai jabatan kekhalifaan kepemimpinan sosial. Imamah dan kekhalifaan, dalam pandangan Sunni adalah dua istilah yang sinonim. Khalifah dalam
pandangan Sunni adalah seseorang yang menerima jabatan kepemimpinan umat melalui sebuah pemilihan. Ini berarti jabatan khalifah adalah tanggung jawab sosial, bukan
berdasarkan pengangkatan Tuhan atas penunjukannya. Keunggulan dalam hal ilmu dan takwa
–apalagi kemaksuman- bukan syarat wajib dalam kekhalifaan. Bahkan, seandainya seorang khalifah keluar dari batas-batas ketakwaan dan melakukan
perbuatan dosa, hal tersebut tidak berpengaruh pada kelangsungan jabatan kekhalifaannya.
Pemilihan khalifah dalam perspektif Sunni dilaksanakan dengan tiga cara yaitu melalui kesepakatan umat, penunjukan khalifah sebelumnya, atau melalui musyawarah.
Menurut kelompok Sunni, kedudukan imam tidak hanya terbatas pada keluarga
Muhammad saja. Seorang Imam tidak perlu adil, bijak, atau tanpa dosa maksum dalam hidupnya. Seorang imam juga tidak perlu orang yang paling unggul pada zamannya,
asalkan seseorang itu merdeka, dewasa, tidak gila dan memiliki kemampuan mengatur urusan sehari-hari Negara, maka ia berhak dipilih menjadi imam. Dalam Sunni juga
terdapat doktrin bahwa kelaliman imam tidak dapat dijadikan sebagai pembenaran untuk menurunkannya, meskipun dalam faktanya doktrin ini tidak terlalu ditaati oleh
kaum muslim. Mungkin doktrin tersebut diciptakan oleh masa-masa imperium tertentu untuk memapankan kekuasaan dengan dalih demi stabilitas.
Pemaparan panjang lebar konsep imamah baik dari perspektif Syiah maupun Sunni saya anggap penting sebagai jalan untuk memahami unsur konstruksi imamah
yang dibangun Jamaah an-Nadzir. Bagaimanapun juga, konstruksi imamah an-Nadzir yang tidak bisa dipisahkan dengan bangunan messianisme mereka dibangun melalui
modifakasi konsep imamah Sunni dan Syiah. Meski konsep imamah Sunni dan Syiah mempunyai perbedaan fundamental, namun Jamaah an-Nadzir tidak meniru secara
persis salah satu dari konsep imamah tersebut melainkan mengakomodasi keduanya untuk membentuk konsep imamah mereka secara khas. Hal ini sepertinya dilakukan
untuk membedakan diri sekaligus juga menegasikan kedua kelompok besar Islam tersebut karena bagaimanapun Jamaah an-Nadzir tidak merasa sebagai salah satu bagian
dari keduanya.
B. Dinamika Konstuksi Pemerintahan Islam di Sulawesi Selatan