untuk  melihat  pemisahan  yang  terjadi  pada  sampel  dalam  kondisi  optimasi  dan tidak dihitung nilai AUCnya.
C. Hasil Pemilihan Kolom
Pemilihan  kolom  merupakan  hal  yang  sangat  penting  dalam  penelitian yang  menggunakan  metode  kromatografi.  Hal  ini  disebabkan  karena  kolom
merupakan  tempat  terjadinya  pemisahan  komponen-komponen  sampel  dan  di dalamnya  terdapat  fase  diam  sebagai  pemeran  penting  dalam  pemisahan
komponen-komponen  sampel  tersebut.  Sampel  yang  digunakan  diketahui mengandung  etanol  yang  merupakan  senyawa  organik  cair  yang  bersifat  mudah
menguap, polar, dan memiliki titik didih 78
o
C. Berdasarkan sifat etanol tersebut, maka peneliti memilih kolom Cp-Wax
yang mengandung fase diam polietilen glikol yang memiliki sifat polar. Menurut Sastrohamidjojo 2005, fase-fase cair fase diam polar, seperti polietilen glikol,
mempunyai  sifat  baik  penerima  maupun  pemberi  ikatan  hidrogen  sehingga  fase cair tersebut dapat memisahkan campuran senyawa-senyawa polar dan non polar
dalam suatu cuplikan  analit yaitu dengan menahan komponen-komponen polar. Kolom  Cp-Wax  yang  digunakan  merupakan  jenis  kolom  kapiler  yang  memiliki
kemampuan pemisahan yang lebih baik dibandingkan dengan jenis kolom kemas. Selain memiliki keunggulan dalam menghasilkan pemisahan komponen
senyawa  yang  baik,  kolom  Cp-Wax  ini memiliki keterbatasan  dalam  suhu.  Suhu yang  harus  dipakai  saat  menggunakan  kolom  Cp-Wax  maksimal  250
o
C.  Artinya
senyawa yang titik leburnya sangat tinggi atau belum melebur di atas suhu 250
o
C tidak bisa dianalisis menggunakan kolom Cp-Wax.
D. Orientasi Metode Kromatografi Gas
Sebelum  dilakukan  optimasi, peneliti  melakukan  orientasi  untuk menentukan pengaturan awal kromatografi gas yang tepat. Pada awalnya peneliti
hanya mencoba-coba berbagai suhu kolom, suhu injektor, dan suhu detektor untuk melihat seberapa bagus pemisahan yang terjadi.
1. Pemilihan Sistem Pengaturan Suhu
Awalnya  peneliti  menggunakan operasi  suhu isothermal di  mana  dalam satu running alat hanya menggunakan satu suhu. Pengaturan suhu isothermal ini
sangat  bagus  untuk  senyawa  dengan  titik  didih  rendah,  tetapi  sangat  lama  jika mendeteksi senyawa dengan titik didih tinggi. Selain itu suhu isothermal ini tidak
dapat memisahkan dengan jelas komponen-komponen senyawa dengan titik didih yang berdekatan.
Gambar 7. Kromatogram Baku Etanol dengan Suhu Isothermal
A
Ket: A= etanol
Gambar 7 adalah  gambar  salah  satu  kromatogram  hasil  orientasi menggunakan  sistem  suhu isothermal.  Senyawa  yang  digunakan  adalah  baku
etanol  kadar  sedang,  dengan pengaturan suhu  kolom  120
o
C,  suhu  detektor  dan injektor sama 250
o
C. Pengaturan itu adalah pengaturan terbaik pada saat itu, yang menghasilkan  kromatogram  yang  cukup  ramping  dan  runcing.  Masalah  yang
terjadi  adalah  dengan  suhu  yang  cukup  tinggi tetapi  menghasilkan waktu retensi etanol  yang masih cukup  lama,  selain  itu  kromatogram  ini  juga  memiliki  nilai
faktor asimetri sama dengan 2, yang menunjukkan kromatogram tidak simetris. Hal yang  berbeda  ditunjukkan  pada  kromatogram  dengan  metode
kromatografi gas suhu terprogram berikut ini:
Gambar 8. Kromatogram Baku Etanol dengan Suhu Terprogram
Gambar  di  atas  adalah  salah  satu  kromatogram  baku  etanol A dengan standar  internal  n-butanol B yang  dideteksi  dengan  kromatografi  gas  suhu
terprogram. Jika dibandingkan dengan kromatogram suhu isothermal sebelumnya, kromatogram  ini  lebih  runcing,  simetris,  dan  ramping. Pengaturan suhu
terprogram  yang dipakai  yaitu suhu kolom awal  70
o
C, initial time 2 menit, suhu
A B
Ket: A= etanol
B= n-butanol