Hasil Preparasi Sampel METODE PENELITIAN
Gambar 7 adalah gambar salah satu kromatogram hasil orientasi menggunakan sistem suhu isothermal. Senyawa yang digunakan adalah baku
etanol kadar sedang, dengan pengaturan suhu kolom 120
o
C, suhu detektor dan injektor sama 250
o
C. Pengaturan itu adalah pengaturan terbaik pada saat itu, yang menghasilkan kromatogram yang cukup ramping dan runcing. Masalah yang
terjadi adalah dengan suhu yang cukup tinggi tetapi menghasilkan waktu retensi etanol yang masih cukup lama, selain itu kromatogram ini juga memiliki nilai
faktor asimetri sama dengan 2, yang menunjukkan kromatogram tidak simetris. Hal yang berbeda ditunjukkan pada kromatogram dengan metode
kromatografi gas suhu terprogram berikut ini:
Gambar 8. Kromatogram Baku Etanol dengan Suhu Terprogram
Gambar di atas adalah salah satu kromatogram baku etanol A dengan standar internal n-butanol B yang dideteksi dengan kromatografi gas suhu
terprogram. Jika dibandingkan dengan kromatogram suhu isothermal sebelumnya, kromatogram ini lebih runcing, simetris, dan ramping. Pengaturan suhu
terprogram yang dipakai yaitu suhu kolom awal 70
o
C, initial time 2 menit, suhu
A B
Ket: A= etanol
B= n-butanol
detektor 250
o
C dan suhu injektor 200
o
C. Berbeda dengan kromatogram sebelumnya Gambar 7, waktu retensi etanol yang dicapai lebih cepat +100 detik
walaupun suhu yang digunakan lebih rendah dari pengaturan dengan suhu isothermal
. Fakta ini juga ditegaskan dengan pemisahan etanol dengan n-butanol
yang sangat baik. Maka dapat dikatakan bahwa dengan pengaturan suhu terprogramkan hasil kromatogram yang diperoleh lebih baik dan pemisahan
dengan komponen senyawa lain juga lebih baik. Kelemahan pengaturan suhu terprogramkan yaitu sistem pengaturan ini cukup kompleks sehingga perlu banyak
komponen yang butuh dioptimasi.