Bentuk Penyelesaian Sengketa Aspek Hukum Kontrak Karya Dalam Investasi Pertambangan Umum

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK KARYA DI BIDANG PERTAMBANGAN UMUM

A. Bentuk Penyelesaian Sengketa

Istilah penyelesaian sengketa berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu dispute resolution. Richard L. Abel mengartikan sengketa dispute adalah sebagai berikut: 125 “pernyataan publik mengenai tuntutan yang tidak selaras inconsistent claim terhadap sesuatu yang bernilai”. Defenisi lain dikemukakan oleh Nader dan Todd sebagai berikut: 126 “keadaan di mana konflik tersebut dinyatakan di muka atau dengan melibatkan pihak ketiga. Selanjutnya mereka mengemukakan istilah prakonflik dan konflik. Prakonflik adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang. Konflik itu sendiri adalah keadaan di mana para pihak menyadari atau mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas tersebut”. Steven Rosenberg mengartikan konflik sebagai perilaku bersaing antara dua orang atau kelompok. Konflik terjadi ketika dua orang atau lebih berlomba untuk mencapai tujuan yang sama atau memperoleh sumber yang jumlahnya terbatas. 127 125 M. Lawrence Friedman, Loc.cit. 126 Valerie J.L. Kriekhoff, Loc.cit. 127 H. Salim HS., Hukum Pertambangan.., Op.cit., hal. 375. Universitas Sumatera Utara Pola penyelesaian sengketa adalah suatu bentuk atau kerangka untuk mengakhiri suatu pertikaian atau sengketa yang terjadi antara para pihak. Pola penyelesaian sengketa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu: 128 1. melalui pengadilan litigasi, dan 2. alternatif penyelesaian sengketa Alternative Dispute Resolution. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan litigasi adalah suatu pola penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak yang bersengketa, di mana penyelesaian sengketa itu diselesaikan oleh pengadilan. Putusannya bersifat mengikat. Penggunaan sistem litigasi mempunyai keuntungan dan kekurangannya dalam penyelesaian suatu sengketa. Keuntungannya sebagai berikut: 129 a. dalam mengambil alih putusan dari para pihak, litigasi sekurang- kurangannya dalam batas tertentu menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat mempengaruhi hasil dan dapat menjamin ketentraman sosial; b. litigasi sangat baik sekali untuk menemukan kesalahan-kesalahan dan masalah-masalah dalam posisi pihak lawan; c. litigasi memberikan suatu standar bagi prosedur yang adil dan memberikan peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum mengambil keputusan; d. litigasi membawa nilai-nilai masyarakat untuk penyelesaian sengketa pribadi; e. dalam sistem litigasi, para hakim menerapkan nilai-nilai masyarakat yang terkandung dalam hukum untuk menyelesaikan sengketa. 128 Ibid., hal. 376. 129 Ibid. Universitas Sumatera Utara Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa litigasi tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi lebih dari itu juga, menjamin suatu bentuk ketertiban umum, yang tertuang dalam undang-undang secara eksplisit maupun implisit. 130 Namun, litigasi setidak-tidaknya sebagaimana yang terdapat di Amerika Serikat, memiliki banyak kekurangan, seperti: 131 1. memaksa para pihak posisi ekstrem; 2. memerlukan pembelaan atas setiap maksud yang dapat mempengaruhi putusan; 3. benar-benar mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, apakah persoalan materi substantive atau prosedur, untuk persamaan kepentingan dan mendorong para pihak melakukan penyelidikan fakta yang ekstrem dan sering kali marjinal; 4. menyita waktu dan meningkatkan biaya keuangan; 5. fakta-fakta yang dapat dibuktikan membentuk kerangka persoalan, para pihak tidak selalu mampu mengungkapkan kekhawatiran mereka yang sebenarnya; 6. tidak mengupayakan untuk memperbaiki atau memulihkan hubungan para pihak yang bersengketa; 7. tidak cocok untuk sengketa yang bersifat polisentris, yaitu sengketa yang melibatkan banyak pihak, banyak persoalan dan beberapa kemungkinan alternatif penyeleaian. 130 Ibid., hal. 376-377. 131 Garry Goodpaster, “Tinjauan terhadap Penyelesaian Sengketa” dalam Seri Dasar Hukum Ekonomi 2 Arbitrase Indonesia oleh Agnes Toar, dkk., Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995, hal. 6. Universitas Sumatera Utara Marc Galanter menggambarkan suatu kecemasan akibat beban perkara yang semakin menumpuk di pengadilan Amerika Serikat. Rupanya, masyarakat yang bersengketa cenderung untuk segera mengajukan perkaranya ke pengadilan formal. Galanter mengemukakan bahwa kecenderungan demikian itu menunjukkan legal centralism, bahwa keadilan merupakan suatu produk yang didistribusikan secara eksklusif oleh negara. Dalam rangkaian ini, Galanter berpendapat bahwa pengadilan harus dikaji dalam kaitannya dengan penataan sistem normatif lainnya. Selanjutnya, Galanter mengemukakan, bahwa pengadilan harus dilihat sebagai bagian dari sistem hukum, karena keadilan tidak hanya ditemukan di pengadilan resmi atau forum-forum yang disponsori oleh negara, melainkan juga dalam institusi-institusi sosial primer, seperti keluarga, lingkungan tempat tinggal, tempat kerja, hubungan kekerabatan, hubungan-hubungan bisnis, dan lain sebagainya, sebagai pranata-pranata sosial dari sistem norma dan aturan- aturan lokal sesuai tradisi yang dipertahankan oleh masyarakat setempat. 132 Proses litigasi mensyaratkan pembatasan sengketa dan persoalan-persoalan sehingga para hakim atau para pengambil keputusan lainnya dapat lebih siap membuat keputusan. 133 Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa ADR adalah penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar 132 T.O. Irohmi, Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Yayasan Obor, 1993, tanpa halaman. 133 H. Salim HS., Hukum Pertambangan.., Op.cit., hal. 378. Universitas Sumatera Utara pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. 134 Apabila mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, cara penyelesaian sengketa melalui ADR dibagi menjadi lima cara, yaitu: 135 a. Konsultasi. Konsultasi adalah pertukaran pikiran untuk mendapatkan kesimpulan yang sebaik-baiknya berdasarkan nasehat, saran, penelitian, penilaian ahli dalam bidangnya masing-masing. 136 b. Negosiasi. Negosiasi adalah proses tawar-menawar dengan jalan berunding untuk menerima guna mencapai suatu kesepakatan bersama antara pihak-pihak yang bersengketa atau penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan-perundingan antara pihak-pihak yang bersengketa. 137 c. Mediasi. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan perantaraan badan alternatif penyelesaian sengketa sebagai penasihat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. 138 d. Konsiliasi. 134 Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 135 Ibid. 136 http:eprints.undip.ac.id , Tesis “Peran Badan penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Studi Penyelesaian Sengketa Konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Bandung”, diakses tanggal 10 Maret 2011. 137 Ibid. 138 Ibid. Universitas Sumatera Utara Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan perantaraan badan alternatif penyelesaian sengketa untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. 139 e. Penilaian ahli. Penilaian ahli adalah pendapat yang kuat sebagai dasar hukum yang mengikat dan memenuhi rasa keadilan, kebenaran, kepatutan dan kewajaran sesuai dengan hasil kesepakatan para pihak yang bersengketa. 140 Selain itu, menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 141 Arbitrase dipilih berdasarkan berbagai pertimbangan dan alasan. Menurut I.G. Rai Widjaya, alasan-alasan tersebut adalah: 142 1. menghindari publikasi; 2. tidak banyak formalitas; 3. campur tangan pengadilan hanya pada taraf eksekusi; 4. baik bagi pihak-pihak yang bonafid; 5. jaminan dari asosiasi-asosiasi pengusaha; 6. lebih efektif, perkara tidak tertunda dan tidak bertumpuk; 139 Ibid. 140 Ibid. 141 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 142 H. Salim HS., Perkembangan Hukum.., Op.cit., hal. 123-124. Universitas Sumatera Utara 7. biaya lebih murah; 8. keputusan lebih cepat; 9. waktu relatif singkat; 10. hakim-hakim berkompetenberspesialisasi hukum komersial internasional; 11. karena tidak ada pengadilan internasional; 12. kekhawatiran terhadap pengadilan nasional melepaskan diri dari forum hakim nasional; 13. langsung selesai setelah putusan artinya final dan tidak ada banding; 14. tidak formal, lebih flesibel, tidak kaku, tidak ada tata cara berperkara yang mutlak mengenai tempat, bahasa, hukum yang dipakai, bisa memilih hakimarbitator, kerahasiaan, tidak ada pilihan hukum yang kaku, dimungkinkan suatu penyelesaian secara kompromi conciliatory arbitration; 15. mencegah forum shopping, yakni bila satu pihak berusaha agar tuntutannya diadili di pengadilan atau yurisdiksi tertentu yang dirasa akan memperoleh putusan yang terbaik. Menurut Studi Macaulay menunjukkan kemampuan prosedur nonlitigasi penyelesaian sengketa bisnis di Amerika Serikat, para manajer di Amerika Serikat beranggapan bahwa daripada menyelesaikan sengketa secara kaku sesuai kontrak yang dibuat pengacara masing-masing mereka cenderung melakukan negosiasi ulang guna penyelesaian dan melahirkan kesepakatan-kesepakatan baru. Studi ini memberikan pejelasan bahwa pada negara yang sudah “legal minded” seperti di Amerika Serikat menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa melalui mekanisme Universitas Sumatera Utara nonlitigasi lebih disukai daripada menggunakan hukum formal. Hal yang sama terjadi di Inggris, Korea, Ethiopia, Mexico, dan New Guinea. 143 Kecenderungan menghindari konflik, lebih-lebih melalui pengadilan, dapat dilihat di Jepang, di mana sistem litigasi dipandang tidak cocok untuk menyelesaikan sengketa. Litigasi telah dinilai salah secara moral sehingga menyebabkan adanya “jarak” antara hukum negara dengan kenyataan sosial yang berlaku. Takeyoshi Kawashima menunjukkan latar belakang kulturalnya pada dua ciri tradisional masyarakat Jepang berikut. 144 1. Status sosial dibedakan berdasarkan sikap hormat dan otoritas dalam komunitas desa dan keluarga, dan sifat hierarkis ini berlaku juga dalam hubungan kontraktual. Misalnya, dari kontrak bangunan muncul suatu hubungan dalam mana kontraktor menghormati pemilik sebagai pelindung, dalam sewa-menyewa muncul hubungan di mana pihak penyewa menghormati yang menyewakan, dan dalam jual-beli muncul hubungan di mana pihak penjual menghormati pembeli. Sifat hierarkis ini mencerminkan yang satu dengan yang lain tidak saling mendominasi, namun saling melindungi. 2. Dalam kelompok-kelompok tradisional, hubungan antara orang-orang yang sama statusnya juga sangat “khusus” dan dalam waktu sama “kabur secara fungsional”. Misalnya, hubungan antara anggota-anggota komunitas yang sama status sosialnya dianggap bersifat intim, peranan sosial mereka 143 Idrus Abdullah, Penyelesaian Sengketa melalui Mekanisme Pranata Lokal: Studi Kasus dalam Dimensi Pluralisme Hukum pada Are Suku Sasak di Lombok Barat, Jakarta: Disertasi Pasca Sarjana UI, 2001 , tanpa halaman. 144 AAG. Peter dan Siswosobroto, Hukum dan Pembangunan Sosial, Jakarta: Sinar Harapan, 1988, tanpa halaman. Universitas Sumatera Utara dirumuskan secara umum dan sangat fleksibel sehingga selalu dapat diubah bila keadaan menghendaki. Sesuai dengan taraf saling ketergantungan atau keintiman mereka, perumusan masing-masing dikondisikan oleh peranan yang lain. Dalam kedua ciri tersebut, rumusan standar objektif-universal tidak berlaku. Dengan mengacu kepada konsensus dan kecenderungan menghindari konflik dalam masyarakat Jepang, litigasi tidak cocok untuk menyelesaikan sengketa, bahkan dipandang membahayakan hubungan harmoni. Litigasi dinilai gagal megintegrasikan rakyat dengan norma-norma lokal mereka dan telah mengangkat popularitas dan fungsi mediasi chotei, maupun perbaikan hubungan atau konsiliasi kankai sebagai pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam praktik kontrak di Jepang. 145 Apabila memperhatikan pendapat dan pandangan di atas, maka jelaslah bahwa lembaga yang sering digunakan oleh masyarakat, baik masyarakat bisnis yang terdapat di Amerika Serikat maupun Jepang adalah lembaga nonlitigasi di luar pengadilan. 146 Dalam literatur juga disebutkan dua pola penyelesaian sengketa, yaitu sebagai berikut. 147 1. The binding adjudicative procedure, yaitu suatu prosedur di dalam penyelesaian sengketa di mana hakim dalam memutuskan perkara mengikat 145 H. Salim HS., Hukum Pertambangan.., Op.cit., hal. 380. 146 Ibid. 147 Roedjiono, Makalah “Alternative Dispute Resolution Pilihan Penyelesaian Sengketa”, Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1996, tanpa halaman. Universitas Sumatera Utara para pihak. Bentuk penyelesaian sengketa ini dapat dibagi menjadi lima macam, yaitu: a. litigasi; b. arbitrase; c. mediasi-arbitrasi; d. hakim partikelir. 2. The nonbinding adjudicative procedure, yaitu suatu proses penyelesaian sengketa, di mana hakim atau orang yang ditunjuk di dalam memutuskan perkara tidak mengikat para pihak. Cara penyelesaian sengketa dengan cara ini menjadi enam macam, yaitu: a. konsiliasi; b. mediasi; c. minitrial; d. summary jury trial; e. neutral expert fact-finding; f. early expert neutral evaluation. Kedua penyelesaian sengketa itu berbeda antara satu dengan lainnya. Perbedaannya terletak pada kekuatan mengikat dari putusan yang dihasilkan oleh institusi tersebut. Jika the binding adjudicative procedure, putusan yang dihasilkan oleh institusi yang memutuskan perkara adalah mengikat para pihak, sedangkan dalam the nonbinding adjudicative procedure, putusan yang dihasilkan tidak mengikat para pihak. Artinya, dengan adanya putusan itu, para pihak dapat menyetujui atau menolak isi putusan tersebut. Persamaan dari kedua pola Universitas Sumatera Utara penyelesaian sengketa tersebut adalah sama-sama memberikan putusan atau pemecahan dalam suatu kasus. 148

B. Penyelesaian Sengketa Terhadap Pelanggaran Kontrak Karya