B. Analisis Kasus
1.
Analisis tuntutan
Tuntutan Surat Tuntutanrequisitoir adalah naskahSurat yang berisi uraian penuntut umum mengenai hasil pemeriksaan perkara pidana di sidang
Pengadilan tentang pembuktian berdasarkan surat dakwaan, disertai tuntutan pidana terhadap terdakwa, apabila terdakwa dinilai telah terbukti bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan. Dan apabila dinilai terdakwa terbukti tidak bersalah dituntut untuk dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan
hukum Pasal 197 ayat 1 huruf e, 182 ayat 1 huruf a dan ayat 2, 193 ayat 1, 194 ayat 1 KUHAP.
Sedangkan tuntutan pidana adalah permintaan Penuntut Umum kepada Pengadilan Hakim mengenai jenis dan beratringannya pidana hukuman yang
dijatuhkan kepada terdakwa.
85
Peranan surat dakwaan salah satunya adalah sebagai dasar tuntutan pidana requisitoir.
Requisitoir adalah
kewenangan penuntut
umum untuk
mangajukannya setelah pemeriksaan di siding dinyatakan selesai oleh Hakim ketua sidang atau ketua Majelis Hakim, dasar hukumnya adalah pada Pasal 182
ayat 1 huruf a KUHAP. Dalam buku “Peristilahan hukum dalam Praktek” Kejaksaaan Agung Republik Indonesia, 1985 memuat kata
”Requisitoir” yaitu
85
HMA KUFFAL, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum Edisi Revisi Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah, 2008, hlm. 202.
Universitas Sumatera Utara
tuntutan hukuman jaksa penutut umum pada Pengadilan Negeri setelah pemeriksaan ditutup.
86
Penuntut umum akan berusaha membuktikan bahwa dakwaannya telah terbukti melalui keterangan saksi dan saksi ahli, keterangan terdakwa, surat,
petunjuk, dan juga dengan bukti diam seperti jejak kaki atau tangan dan benda- benda yang menjadi barang bukti. Pada ujung tuntutan yang biasa disebut
requisitoir penuntut umum tersebut, diuraikan hal-hal yang memberatkan dan
meringankan terdakwa. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan tidak disebutkan dalam undang-undang. Jadi, hanya berdasarkan kebiasaan misalnya
terdakwa tidak mempersulit pemeriksaan, sopan, mengaku bersalah dan sangat menyesal, begitu pula keadaan belum cukup umur dipandang sebagai hal yang
meringankan terdakwa. Hal-hal tersebut tidak boleh dicampur adukkan dengan hal-hal yang memberatkan pidana seperti residivis, gabungan delik, dilakukan
dengan berencana. Hal ini dilakukan karena untuk mempermudah hakim dlam membuat suatu keputusan.
87
Surat Tuntutan requisitoir memuat hal-hal mengenai :
88
1. Hal tindak pidana yang didakwakan;
2. Fakta-fakta yang diperoleh dalam persidangan;
3. Analisis hukum terhadap fakta-fakta untuk memberikan konstruksi hukum
atas peristiwa yang didakwakan;
86
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian ke-2 Jakarta: Sinar Grafika, 1992, hlm. 301.
87
Andi Hamzah, Pelaksaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktek Jakarta.: Rineka Cipta, 1993, hlm. 119.
88
Adami Chazawi, Kemahiran dan Ketrampilan Praktik Hukum Pidana Malang: Bayumedia, 2005, hlm.151.
Universitas Sumatera Utara
4. Pendapat tentang hal terbukti tidaknya dakwaan;
5. Permintaan Jaksa Penuntut Umum pada Majelis Hukum.
Mengenai huruf b fakta-fakta yang didapat dalam persidangan dimuat dengan sistematika berdasarkan tata urutan dalam pemeriksaan, yaitu dimulai dari
fakta-fakta keterangan, saksi-saksi dan saksi ahli, keterangan terdakwa, dan alat- alat bukti. Pencatatan mengenai fakta-fakta harus dilakukan secara benar dan
transparan. Fakta-fakta yang telah diperoleh dalam suatu persidangan kemudian
dianalisis. Pekerjaan hukum diarahkan kepada 3 tiga hal antara lain: 1.
Bentukan konstruksi peristiwa yang sesungguhnya terjadi; 2.
Bentukan konstruksi hukumnya dalam peristiwa tersebut; 3.
Kesimpulan yang ditarik atas bentukan konstruksi peristiwa dan bentukan hukumnya.
Surat tuntutan requisitoir yang baik adalah surat tuntutan yang mengandung konstruksi hukum yang objektif, benar, dan jelas. Jelas dalam arti
penggambarannya dan hubungan antara keduanya. Dari kejelasan bentukan peristiwa dan bentukan hukumnya, maka akan menjadi jelas pula kesimpulan
hukum yang ditarik tentang terbukti atau tidak terbuktinya suatu tindak pidana yang didakwakan, terdakwa dapat dipersalahkan atau tidak, serta apa terdakwa
dapat memikul beban pertanggungjawaban pidana atau tidak dalam peristiwa yang terjadi. Kesimpulan yang benar dari sudut hukum yang didukung oleh
doktrin hukum maupun ilmu sosial lainnya dan keadilan merupakan taruhan keprofesionalan dan kualitas dari seorang Jaksa Penuntut Umum.
Universitas Sumatera Utara
Dari kesimpulan-kesimpulan itulah maka seorang Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan pada Majelis hakim, baik mengenai kedudukan
perkara itu dalam hubungannya dengan tindak pidana yang didakwakan maupun terhadap terdakwa itu sendiri mengani bentuk pertanggungjawaban yang
dimohonkan
89
. Jika melihat hal-hal yang diungkapkan diatas bahwasanya dalam
pembuatan tuntutan dalam suatu persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum, yang menjadi dasar utama adalah Dakwaan, serta Fakta-Fakta Hukum yang terdapat
dalam persidangan. Dengan demikian barulah dapat dikatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum telah objektif dalam membuat suatu tuntutan
Melihat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum, dalam perkara ini merupakan Jenis Dakwaan Subisidaritas. Dimana dalam proses pembuktian
oleh Majelis hakim haruslah membuktikan terlebih dahulu terbukti atau tidaknya Terdakwa melakukan perbuatan tersebut pada Dakwaan pertama, apabila terbukti
maka Dakwaan selanjutnya tidak perlu lagi untuk dibuktikan. Namun apabila tidak terbukti maka dakwaan selanjutnya harus buktikan. Dari dakwaan yang
dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum, kita dapat melihat sebenarnya ada ketakutan bahwa Terdakwa akan lepas dari Dakwaan pertama, sehingga dibuatlah Dakwaan
Kedua dan Ketiga. Dalam hal ini juga dapat kita lihat bahwa Jaksa Penuntut Umum juga belum yakin bahwa secara seutuhnya mengenai perbuatan daripada
Terdakwa apakah telah memenuhi unsur-unsur dalam pembunuhan berencana atau tidak. Jika keyakinan dari Jaksa Penuntut Umum telah sedemikian kuatnya,
89
Ibid Halaman 153
Universitas Sumatera Utara
maka Jaksa akan membuat dakwaan tunggal dan diperkuat dengan bukti-bukti yang dapat menguatkan keyakinan naksa tersebut.
Jika melihat daripada saksi-saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan, menurut penulis banyak keterangan dari saksi yang
tidak menerangkan dengan secara jelas mengenai adanya unsur perencanaan dalam meninggalnya korban Ade Sara. Padahal keterangan saksi merupakan salah
satu unsur penting dalam pembuktian dalam pemeriksaan di persidangan untuk membuktikan dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Mengenai kesaksian yang juga diberikan oleh Penyidik Kepolisian yang sengaja dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan yang pada
pokok kesaksiannya menyatakan hal yang sama mengenai bahwa Terdakwa bersama dengan Saksi Assyifa Ramadhani binti Sulaeman yang pada
pemeriksaan pada perkara lain sebagai terdakwa melakukan penyiksaan kepada Korban Ade Sara yang dilakukan dengan cara memukul, menyetrum, maupun
memasukkan kertas ke dalam mulut korban Ade Sara. Muncul suatu pertanyaan dalam kasus ini melihat dalam perkara ini melihat kesaksian yang diberikan oleh
Penyidik Kepolisian dimana dalam keterangannya yang menyatakan pembunuhan yang diawali dengan penyiksaan terlebih dahulu. Bukankah hal itu merupakan
suatu penganiayaan yang mengakibatkan kematian, dikarenakan tidak adanya ketentuan dalam KUHP yang menyatakan bahwa adanya Pembunuhan yang
diawali dengan Penganiayaan terlebih dahulu, yang dimana penganiayaan tersebut merupakan suatu rangakain yang mengakibatkan matinya korban ade Sara.
Universitas Sumatera Utara
Melihat bukti-bukti yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan kasus ini yaitu adanya tisu, koran, serta alat setrum listrik yang ada di
dalam mobil korban. Terhadap benda-benda tersebut tidak dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan bahwa alat-alat tersebut merupakan alat
yang sengaja dipersiapkan oleh terdakwa Hafitd dan Saksi Assyifa Ramadhani binti Sulaeman Terdakwa dalam perkara lain untuk digunakan sebagai alat untuk
membunuh korban Ade Sara Suroto. Ketiadaan pembuktian yang dilakukan oleh Jaksa penuntut Umum dalam persidangan yang membuktikan bahwa alat-alat ini
lah yang sengaja dipersiapkan oleh Terdakwa bersama saksi Assyifa Ramadhani binti Iwan Sulaeman membuat unsur perencanaaan pada kasus pembunuhan
berencana dalam perkara ini menjadi sedikit menjadi kabur. Mengenai alat setrum yang digunakan terdakwa dalam melakukan tindakannya, alat setrum tersebut
menurut kesaksian Terdakwa dalam persidangan bahwasanya alat setrum yang digunakan terdakwa untuk menganiaya korban Ade Sara merupakan alat yang
memang ada dalam mobil terdakwa yang selalu dibawa kemanapun ketika terdakwa sedang mengendarai mobilnya tersebut.
Hal ini ternyata dibenarkan oleh Ibu kandung daripada Terdakwa yang membeli alat setrum tersebut pada tahun 2011 untuk jaga-jaga apabila terjadi
sesuatu yang membahayakan Terdakwa ketika sedang berkendara. Ibu dari Terdakwa sengaja membeli alat setrum tersebut berdasarkan pengalaman yang
pernah dialami Terdakwa ketika dirampok oleh orang lain. Terhadap kertas koran dan juga tisu yang ditemukan didalam mobil serta
tenggorokan korban Ade Sara dalam persidangan juga tidak dapat dibuktikan
Universitas Sumatera Utara
bahwa alat tersebut merupakan alat yang dipersiapkan oleh Terdakwa untuk memudahkan tindakannya dalam membunuh korban ade Sara. Bila melihat dari
kesaksian yang diberikan Terdakwa maupun saksi Assyifa Ramadhani binti Iwan Sulaeman kertas koran dan juga tisu tersebut sama sekali tidak dipersiapkan,
kertas koran dan tisu tersebut memang sudah ada di dalam mobil korban. Mengenai penggunaan dari dua alat tersebut diutamakan hanya untuk menyumpal
mulut daripada korban Ade Sara agar tidak berteriak ketika di dalam mobil. Dan memakan tisu juga merupakan inisiatif awal dari korban itu sendiri, walaupun hal
ini hanya berdasarkan pada kesaksian daripada Terdakwa dan juga saksi Assyifa Ramadhani binti Iwan Sulaeman Terdakwa dalam persidangan terpisah.
Dalam kesaksian yang dikatakan oleh Terdakwa dalam persidangan juga sedikit membingungkan dimana dalam kesaksiannya di persidangan ada niat dari
hati untuk membunuh korban Ade Sara seminggu sebelum kejadian terjadi, namun Terdakwa lupa akan kapan pastinya Terdakwa memiliki niatan tersebut.
Hal ini menjadi sukar dipercaya dalam persidangan apakah hal ini harus dipercaya atau tidak dikarenakan terjadi perbedaan antara kesaksian Terdakwa dalam
persidangan dengan tanggapan daripada Penasihat Hukum Terdakwa dalam persidangan. Pengakuan daripada Terdakwa ini menjadi salah satu hal yang
membuat keyakinan Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan terhadap Terdakwa.
Namun apabila dilihat dalam hal berbeda, bukankah niat seseorang baru dapat dibuktikan melalui tindakan yang dilakukannya? Apabila demikian yang
seharusnya terjadi maka dalam Surat Tuntutannya bukankah haruslah jelas
Universitas Sumatera Utara
kontruksi kejadian terhadap perkara ini. Apakah niat tersebut dilakukan atau tidak. Jika melihat yang terjadi bahwa Terdakwa mengakui pernah memiliki keinginan
untuk membunuh korban Ade Sara dikarenakan yang menjadi permasalahan dalam hubungan antara Terdakwa dengan pacarnya adalah korban Ade Sara, yang
dimana pacar Terdakwa selalu cemburu dengan korban. Maka perlu dibuktikan bahwasanya niat untuk membunuh tersebut telah dilakukan.
Niat Terdakwa adalah membunuh, apakah mengajak korban ke dalam mobil tersebut adalah salah satu rencana yang sudah dipersiapkan Terdakwa
untuk memudahkan rencananya untuk membunuh Korban. ataukah hal tersebut hanya untuk melakukan penganiayaan semata? Hal ini dalam tuntutan Jaksa
Penuntut Umum dalam perkara ini menurut penulis masih bias. Jika memang benar bahwa itu merupakan rencana daripada untuk menghilangkan nyawa
daripada Korban, maka muncul pertanyaan mengapa Terdakwa tidak mempersiapkan alat untuk membunuh Korban? Apakah alat setrum, kertas koran,
dan tisu bias digunakan sebagai alat untuk membunuh? Mengenai pertanyaan diatas dalam surat tuntutannya dalam persidangan
Jaksa Penuntut Umum belum dapat membuktikan bahwa dalam kasus ini terdapat persiapan yang dilakukan oleh Terdakwa dan juga saksi Assyifa Ramdhani binti
Iwan Sulaeman untuk membunuh korban Ade Sara. Bukankah suatu rencana untuk membunuh harus mempersiapkan alat yang dapat digunakan dalam
kejadian itu untuk membunuh? Jika alat-alat yang digunakan dalam hal ini bukanlah hal yang dapat digunakan untuk membunuh maka bukankah yang
Universitas Sumatera Utara
seharusnya menjadi tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah penganiayaan berencana bukannya pembunuhan berencana.
Menurut penulis, berpendapat bahwa adanya unsur perencanaan yang disangkakan jaksa dalam surat dakwaannya sudah terbukti dalam persidangan.
Melalui keterangan saksi mahkota, yang dalam perkara lain merupakan terdakwa. Bahwa saksi mahkota mengakui telah merencanakan untuk menculik terlebih
dahulu korban, hal ini juga sesuai dengan keterengan daripada terdakwa bahwa adanya rencana untuk membawa korban masuk ke dalam mobil. Namun mengenai
niat awal daripada terdakwa untuk membunuh yang dicantumkan jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya, penulis berpendapat bahwa hal itu tidaklah tepat
dikarenakan jika memang niat awal daripada terdakwa dan saksi mahkota merupakan niat membunuh maka haruslah dapat dibuktikan dalam sidang di
pengadilan melalui alat-alat bukti dalam tahapan pembuktian bahwa dari hal-hal tersebut memang dipersiapkan untuk membunuh. Jika kembali melihat alat-alat
bukti yang ditampilkan dalam persidangan tidaklah ada niatan dalam hati terdakwa untuk membunuh.
Jika melihat secara teoritis dalam rumusan pasal dalam KUHP, pembunuhan berencana dan juga penganiayaan berencana hanya dibedakan oleh
niat daripada terdakwa. Jika niatan awal daripada terdakwa adalah membunuh korban maka terdakwa dapat dikatakan membunuh, namun apabila terdakwa tidak
berniat membunuh, hanya ada niat untuk menganiaya dan terjadi akibat yang tidak diinginkan bahwa korban meninggal. Makah hal itu dikatakan sebagai
penganiayaan berakibat pada kematian.
Universitas Sumatera Utara
Maka dalam persidangan hal ini harus dibuktikan bahwa niat daripada terdakwa tersebut adalah membunuh ataukah menganiaya. Dalam hal ini penulis
berpendapat bahwa, niat daripada terdakwa merupakan menganiaya namun penganiayaan tersebut mengakibatkan suatu kematian bagi korban, dan hal ini
tidak diingini oleh terdakwa. Terhadap hal lain yang penulis ingin sampaikan terhadap tuntutan jaksa
dalam pengadilan adalah bahwasanya jika benar membunuh adalah niat awal dari terdakwa. Maka seharusnya ketika korban meninggal dunia, terdakwa sudah harus
memikirkan akan diapakan mayat dari korban. Namun hal yang terbukti dalam persidangan, terdakwa sendiri bingung untuk membuang mayat korban tersebut.
Jika memang kematian daripada korban yang menjadi niat awal daripada korban maka seharusnya terdakwa sudah mengetahui tindakan selanjutnya setelah
meninggalnya korban, bukan malah menjadi bingung setelah meninggalnya korban. Sehingga akhirnya dengan membuang korban ke pinggir jalan tol setelah
melihat keadaan yang kosong.
2. Analisis Putusan
Pembuktian merupakan titik sentral dalam proses pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Pembuktian merupakan suatu usaha untuk membuktikan
bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya sehingga
harus mempertanggungjawabkannya.
90
Pembuktian juga berarti usaha dari yang berwenang untuk mengemukakan kepada
90
Darwin Prints, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik Jakarta: Djambatan, 1998, hlm. 133.
Universitas Sumatera Utara
hakim sebanyak mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar supaya dapat dipakai hakim sebagai bahan untuk memberikan
keputusan tentang perkara tersebut.
91
Alat bukti yang ada dalam suatu berkas perkara dengan hasil-hasil pemeriksaan yang ada dalam berkas itu Hakim akan memeriksa, menilai dan
menentukan alat bukti yang ada, apakah dari alat bukti yang tersebut dalam pemeriksaan di persidangan mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan batas
minimum pembuktian Pasal 183 KUHAP dan bukan untuk mencari alat bukti. Dengan adanya alat bukti yang ada, maka keyakinan dari Majelis Hakim
mendasari dasar dalam putusannya. Dengan demikian Majelis Hakim tidak mutlak menggantungkan putusannya kepada ada atau tidaknya alat bukti dalam
persidangan semata. Jadi, putusan hakim tidaklah terikat pada alat bukti. Hal ini terjadi karena keyakinan hakimlah yang menjadi penentuan akhir putusan di
persidangan. Hakim dapat saja memiliki penilaian yang berbeda dengan apa yang
dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan serta tuntutan pidananya, karena hakim hanya menggunakan dakwaan besarta alat bukti dalam persidangan
hanya untuk mengetahui kronologis kejadian dan juga sebagai pembentuk keyakinan hakim dalam mengambilan keputusan. Tapi pada umumnya hakim
akan mempertimbangkan terhadap alat-alat bukti yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum beserta dakwaan yang ada dalam persidangan, sebagai salah satu
pembentuk keyakinan hakim.
91
J.C.T. Simorangkir, dkk, Kamus Hukum Jakarta: Bumi Aksara Baru, 1995, hlm. 123.
Universitas Sumatera Utara
Terhadap perbedaan antara pembunuhan berencana dan juga penganiayaan berencana yang berakibat kematian, perbedaannya hanya terdapat pada niat
pelaku, seperti yang telah diuraikan oleh penulis dalam BAB II. Terdapat kerumitan dalam mengklasifikasikan perbedaan terhadap kedua jenis tindak
pidana tersebut, dikarenakan adanya persamaan yaitu matinya korban. Terhadap hal tersebut maka dibutuhkan suatu pembuktian dalam sidang, dimana Jaksa
Penuntut Umum harus mampu meyakinkan hakim melalui alat bukti yang dihadirkannya dalam persidangan yang mengarahkan terdakwa kepada
pembunuhan berencana atau penganiayaan berencana. Yang dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutan pidananya menuntut pelaku dihukum atas
perbuatannya yaitu pembunuhan berencana. Dan disini juga, penasihat hukum harus mampu menyangkal terhadap apa yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum.
Terdapat perbedaan antara pembuktian dalam perkara perdata maupun pidana. Dalam perkara perdata pembuktian bertujuan untuk memutusakan apa
yang oleh kedua belah pihak yang berperkara dianggap benar kebenaran formil sedang tujuan dari pembuktian dalam perkara pidana adalah untuk mencari
kebenaran materil. Dari hal diatas dapat dilihat bahwasanya pembuktian yang dilakukan
dalam perkara pidana adalah untuk membuktikan dan meyakinkan Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk memutuskan sesuatu yang
seadil-adilnya, sehingga memberikan rasa keadilan bukan hanya kepada korban semata, melainkan rasa keadilan kepada masyarakat. Terhadap alat-alat bukti
yang ada dalam persidangan tidak memiliki kekuatan yang mengikat para Hakim.
Universitas Sumatera Utara
Alat bukti hanya sekedar penambahan terhadap keyakinan hakim bahwa tindak pidana tersebut telah terjadi. Sehingga Hakim menggunakan alat bukti tersebut
untuk pembentuk keyakinannya semata. Analisis hukum terhadap fakta-fakta hukum yang dikemukakan diatas
adalah : 1.
Keterangan Saksi Pembuktian dalam perkara dalam hukum acara pidana menitikberatkan
pada keterangan saksi yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri peristiwa pidana yang terjadi.
92
Mengenai saksi-saksi yang dihadirkan dalam persidangan dalam kasus ini, tidak ada sama sekali saksi yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri kasus
pembunuhan tersebut kecuali Saksi Mahkota yang dalam perkara terpisah dijadikan tersangka. Mengenai kesaksian yang diutarakan daripada saksi ketujuh
sampai saksi kesepuluh menuturkan dalam kesaksiannya ahwa, menurut hasil visum RSCM yang saksi tahu bahwa korban meninggal karena kehabisan nafas,
karena lubang pernafasannya tersumbat oleh gumpalan kertas menyerupai tisu, dan pada tubuh korban juga ditemukan beberapa luka lebam seperti hantaman
benda tumpul dan dileher korban juga terdapat bekas luka dalam seperti jeratan atau cekikan;
Bahwa, Berdasarkan hasil pemeriksaan dan visum disimpulkan bahwa korban yang bernama Ade sara tersebut meninggal dunia karena kesulitan
bernafas, yang disebabkan oleh tersumbatnya saluran pernafasan oleh gumpalan
92
Hari sasangka Op.Cit hlm. 19.
Universitas Sumatera Utara
yang menyerupai tisu, dan juga dikarenakan adanya penyiksaan yang dilakukan terlebih dahulu terhadap korban tersebut. Dalam hal ini kesaksian dari pihak
kepolisian mengarah kepada matinya korban karena adanya akibat penganiayan yang dilakukan oleh pelaku, bukan karena adanya suatau niatan awal yang
dimiliki pelaku untuk secara bersama-sama untuk menghabisi nyawa korban. Bahwa mengenai keterangan saksi mahkota dalam perkara ini, menyatakan
dalam kesaksiannya bahwa ia mengetahui korban telah meninggal selang beberapa waktu setelah memaksakan koran beserta tisu masuk kedalam
tenggorokan korban, serta mencekik korban disertai dengan terdakwa yang menginjak leher korban dan melakukan pemukulan secara bersama-sama.
Sehingga dalam hal ini menjadi keanehan dalam kesaksian saksi mahkota, dimana dalam kesaksiannya bahwa saksi mahkota sengaja mencekik korban untuk
membunuh. Namum saksi malah kaget ketika selang beberapa lama korban tidak berdaya lagi ketika dipukul menggunakan sepatu milik saksi.
Mengenai kesaksian yang diberikan oleh saksi mahkota menjadi bahan pertimbangan hakim, dikarenakan adanya kemungkinan saksi berbohong karena
bersama-sama melakukan kejahatan dengan terdakwa, dan mengenai saksi mahkota dalam beberapa literatur dianjurkan tidak digunakan dikarenakan sulit
untuk menilai kebenaran dalam kesaksian tersebut. Namun terlepas dalam hal itu, dari kesaksian yang terungkap dalam persidangan terdapat suatu pertanyaan,
apakah terdakwa beserta saksi mahkota mengetahui bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah upaya untuk membunuh korban? Karena suatu niat yang dimiliki,
harus diwujudkan melalui suatu tindakan, sehingga baru dapat dikatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
niat tersebut dalam terlaksana. Dalam hal ini menurut penulis, bahwa saksi mahkota dan juga terdakwa melakukan tindakan penganiayaan yang berakibat
pada kematian. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan saksi yang berasal dari kepolisian yang mengatakan bahwa dari hasil pemeriksaan di RSCM bahwa
korban meninggal dikarenakan kesulitan bernafas, yang disebabkan oleh tersumbatnya saluran pernafasan oleh gumpalan yang menyerupai tisu, dan juga
dikarenakan adanya penyiksaan yang dilakukan terlebih dahulu terhadap korban tersebut. Jika memang membunuh adalah tujuan awal dari pelaku, harusnya
pelaku dan juga saksi mahkota langsung mengecek bahwa korban telah meninggal setelah adanya upaya untuk mecekik korban. Namun hal yang diakui oleh saksi
mahkota malah sebaliknya, ia mengecek selanhg beberapa lama, sehingga penulis berpendapat, bahwa ini adalah tindak pidana penganiayaan berkaibat pada
kematian. 2.
Keterangan Ahli Pada persidangan perkara tersebut, tidak adanya ahli yang didatangkan
dalam persidangan. Hanya ada pembacaan surat berisikan visum et repertum yang menjelaskan bahwa korban meninggal karena adanya sumbatan pada rongga
mulut. Sebenarnya dalam persidangan kali ini sangatlah dibutuhkan keterangan ahli, untuk menerangkan apakah penyebab kematian korban. Benarkah
kematiannya akibat adanya penyiksaan yang dilakukan oleh pelaku, atau karena masuknya kertas kedalam tenggorokan daripada korban, bias menyebabkan
kematian. 3.
Surat
Universitas Sumatera Utara
Visum et Repertum yang dilampirkan dalam dipersidangan dipergunakan
untuk meyakinkan hakim bahwa kematian korban Ade Sara Suroto untuk memberikan tambahan keyakinan mengenai penyebab matinya korban. Dari
keterangan yang diberikan dokter dalam surat visum et repertum tersebut, penulis berpendapat bahwa kematian korban adalah karena adanya penganiayaan yang
dilakukan oleh terdakwa, dimana merujuk pada pendapat dokter yang tertuang dalam visum et repertum yang menyatakan bahwa kematian dari korban adalah
karena adanya gumpalan dalam rongga mulut yang mengakibatkan mati lemas serta ada tanda gangguan proses pernafasan.
4. Petunjuk
Petunjuk yang dapat dilihat dalam perkara ini adalah barang-barang bukti yang digunakan oleh terdakwa selama melakukan tindak pidan tersebut. Jika
melihat daripada petunjuk yang ada dalam proses pembuktian dalam persidangan tersebut, terlihat tidak adanya suatu persiapan oleh terdakwa untuk menyiapkan
suatu alat maupun mempersiapkan bagaimana cara untuk membunuh korban. Jika melihat alat yang terdakwa gunakan dalam kasus ini adalah alat-alat yang
memang sudah ada tanpa adanya suatu persiapan secara khusus untuk membunuh korban. Jika melihat pengunaan, alat setrum, kertas koran dan juga tisu
merupakan alat yang memang sudah ada dalam mobil terdakwa sejak awal. Jika melihat adanya bekas cekikan terhadap korban, yang dimana alat yang digunakan
terdakwa adalah tali tas milik korban itu sendiri. Maka jika melihat petunjuk diatas dapat dikatakan bahwa terdakwa tidak mempersiapkan secara khusus untuk
Universitas Sumatera Utara
membunuh korban seperti yang didakwakan kepada korban oleh Jaksa Penuntut Umum.
5. Keterangan Terdakwa
Pengakuan terdakwa merupakan suatu bagian kecil daripada keterangan terdakwa, jika kita melihat aturan dalam KUHAP. Jika hakim dalam melihat alat
bukti sebagai pembentuk keyakinannya terhadap suatu tindak pidana yang terjadi maka semestinya tidaklah percaya sepenuhnya kepada pengakuan terdakwa dalam
persidangan. Karena pengakuan terdakwa bukanlah suatu hal yang menjadi tujuan utama dari pembuktian dalam keterangan terdakwa. Pengakuan terdakwa
yang mengakui membunuh dapat dijadikan sebagai pertimbangan majelis hakim, namun tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.
Pada kasus ini terdakwa mengaku bahwa telah membunuh dan merencanakan dari seminggu sebelum kejadian untuk membunuh terdakwa.
Pengakuan ini merupakan bagian kecil dari keterangan terdakwa. Bisa saja terdakwa mengaku membunuh korban, karena pada saat itu korban memang telah
meninggal, sehingga sebagai orang awam yang tidak mengetahui secara baik mengenai hukum maka ia mengatakan bahwa membenuh merupakan tujuannya.
Keterangan yang diberikan oleh terdakwa janglah dijadikan Hakim sebagai alat bukti utama dalam memeriksa dan mengadili perkara ini. Keterangan
terdakwa dapat menjadi alat bukti yang untuk membentuk keyakinan hakim, namun keterangan terdakwa harus juga disesuaikan terlebih dahulu dengan
keterangan saksi lainnya, keterangan ahli, surat, dan juga petunjuk. Jika melihat keterangan terdakwa maka terdapat perbedaan dengan prakteknya dimana,
Universitas Sumatera Utara
terdakwa mengakui berencana membunuh korban, namun terdakwa tidak mempersiapkan alat maupun cara untuk membunuh korban serta apa yang akan
dilakukan terdakwa ketika korban meninggal dunia. Sehingga dapatlah hakim menjadikan ini pertimbangan juga bahwa, terdakwa tidak merencanakan
pembunuhan berencana. Beradasarkan Hukum Acara Pidana, setelah berakhirnya Majelis Hakim
melakukan pemeriksaan di sidang pengadilan maka selanjutnya hakim akan melakukan musyawarah yang didasarkan atas surat dakwaan dana segala sesuatu
yang terbukti dalam persidangan untuk mendiskusikan dan memutuskan putusan apa yang akan dijatuhkan kepada terdakwa.
93
Macam-macam putusan yang dapa dicapai Majelis Hakim adalah, :
94
a Pada pokoknya macam-macam putusan pengadilan adalah :
1 Putusan yang bersangkutan dengan adanya keberatan eksepsi penasihat
hukum 2
Putusan yang menyangkut pokok perkara 3
Putusan yang terkait dengan ketidakhadiran terdakwa atau para saksi b
Putusan yang bersangkutan dengan adanya keberatan eksepsi penasihat hukum dengan alasan :
1 Pengadilan negeri tidak berwenang
2 Dakwaan tidak dapat diterima
3 Dakwaan batal demi hukum
c Putusan yang menyangkut pokok perkara, bisa berupa :
93
Hari Sasangka Op.Cit hlm 109
94
Ibid hlm.116
Universitas Sumatera Utara
1 Putusan yang berisi pemidanaan
2 Putusan yang bukan pemidanaan
a. Putusan bebas dari dakwaan
b. Putusan lepas dari tuntutan pidana
d Putusan yang terkait dengan ketidakhadiran terdakwa atau para saksi, yang
macamnya : 1
Putusan tentang si terdakwa tidak bisa dihadirkan 2
Putusan tentang para saksi tidak bisa dihadirkan Hukuman itu haruslah seimbang dengan kesalahannya. Berdasarkan
analasis mengenai fakta-fakta hukum yang telah didengar dan dilihat di persidangan maka Majelis Hakim memutuskan bahwa Terdakwa telah melakukan
tindak pidana pembunuhan berencana Pasal 340 KUHP dan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Pejatuhan hukuman ini menurut penulis, tidaklah tepat apabila
melihat fakta-fakta dipersidangan. Dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP, yang dalam
unsur-unsurnya dapat dilihat sebagai berikut : e.
Barang siapa; f.
Dengan sengaja; Apabila melihat mengenai unsur-unsur percobaan, maka yang menjadi
perhatian adalah tidak terlaksananya perbuatan hingga selesai. Namum apabila telah dilakukan tindakan awal dapatlah kita lihat yang menjadi niatan awal dari
sipelaku tindak pidana tersebut. Pasal 53 KUHP mengatur “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah tenyata dari adanya permulaan
Universitas Sumatera Utara
pelaksaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan kehendaknya sendiri”. Berdasarkan hal tersebut paling tidak ada 3 unsur
percobaan yaitu unsur niat, unsur permulaan pelaksaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu.
95
Dari hal ini dapat kita ganti kata tidak selesainya perbuatan atau pelaksaan tersebut dengan terlaksananya perbuatan tersebut. Dikarenakan kita tidak
membahas mengenai percobaan. Bila melihat adanya kata permulaan pelaksanaan maka dalam kasus ini tidak terlihat adanya permulaan pelaksanaan untuk
membunuh korban. Jika memang dalam niat terdakwa adalah untuk membunuh maka harus dilanjutkan dengan adanya perbuatan pelaksanaan untuk membunuh.
Dalam hal ini pembunuhan berencana maka seharusnya ada permulaan pelaksanaan dari terdakwa yaitu berupa mempersiapkan alat-alat untuk
membunuh korban yang sudah dipirkkan oleh terdakwa sejak awal mengenai cara apa yang akan dilakukan oleh terdakwa untuk membunuh korban.
g. Dengan rencana terlebih dahulu;
Berdasarkan memorie van toelichting, pengertian direncanakan terlebih dahulu adalah antara adanya maksud membunuh dengan pelaksanaany itu masih
ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan misalnya dengan cara apa pembunuhan itu akan dilakukan. “tempo” ini tidak terlalu lama akan
tetapi tidak boleh juga terlalu sempit, yang penting ialah apakah didalam tempo ini si pembuat “dengan tenang masih dapat berpikir-pikir, yang sebenarnya masih
95
Eddy O.S Hiariej op.cit hlm 280
Universitas Sumatera Utara
ada kesempatan untuk membatalkan niatnya untuk membunuh itu, akan tetapi tidak ia pergunakan.
96
Bahwa dalam unsur ini menurut penulis tidak terbukti karena tidak adanya persiapan yang dilakukan untuk membunuh oleh terdakwa. Jika memasukkan
kertas dan juga mencekik korban yang dilakukan terdakwa juga menimbulkan rasa sakit kepada korban yang dapat mengakibatkan luka pada leher korban yang
akhirnya menyebabkan kematian. Maka hal tersebut lebih mengarah kepada penganiayaan.
h. Merampas nyawa orang lain;
Dari cara yang digunakan oleh para terdakwa bahwa cara-cara tersebut merupakan cara untuk melakukan penganiayaan. Hal ini juga didukung oleh hasil
visum et repertum dan kesaksian polisi yang mendegar keterangan dari dokter forensic di Rumah Sakit bahwa matinya korban karena adanya kesulitan
pernafasan dan penganiayaan dari terdakwa. Jika memang merampas nyawa korban adalah rencana terdakwa, maka ketika selesai mencekik dan memasukkan
koran serta tisu kedalam mulut korban, terdakwa harus memeriksa apakah korban telah meninggal atau tidak, namun hal ini tidak dilakukan. Selang beberapa saat
barulah terdakwa mengetahui korban telah meninggal dan kaget serta panik terhadap matinya korban.
96
R.Soesilo, Op.Cit., hlm. 241.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan