direncanakan lebih dulu”, atau untuk dapat mendakwa orang tersebut sebagai “mededader” dalam suatu tindak pidana “penganiayaan dengan
direncanakan lebih dulu” itu, orang tersebut “harus turut merencanakan” tindak pidana penganiayaan itu sendiri. Tentunya hal ini dikarenakan
kesesuaiaan dengan Pasal 58 KUHP bahwa voorbedachte raad dalam penganiayaan berencana adalah keadaan pribadi yang memberatkan
pidana. Voorbedachte raad itu hanya berlaku bagi pelakunya sendiri seperti yang ditentukan dalam pasal 353 KUHP. Ini berarti bahwa agar
orang lain yang “turut melakukan” penganiayaan seperti yang dimaksud dalam pasal 353 KUHP itu dapat dipidana dengan pidana-pidana yang
ditentukan di dalamnya, maka dengan sendirinya ia harus “ikut
merencanakan” tindak pidana yang bersangkutan
52
.
B. Peranan Pembuktian Dalam Mengarahakan Putusan Hakim Dalam
Tindak Pidana Pembunuhan dan Penganiayaan Berencana
1. Ketentuan umum mengenai pembuktian
Mengenai perbedaaan antara Pembunuhan Berencana dan juga Penganiayaan Berencana belum memiliki hal yang menjadi pembeda yang jelas,
karena adanya kerumitan dalam menentukan tujuan awal dari pelaku kejahatan tersebut. Dikarenakan akibat daripada dua jenis kejahatan ini adalah matinya
korban. Sehingga harus dibuktikan jika niat dari si pelaku adalah membunuh sejak awal atau hanya menganiayalah yang menjadi tujuan awalnya, sehingga kematian
52
Ibid., hlm. 130.
Universitas Sumatera Utara
bukanlah hal yang dikehendaki namun terjadi. Untuk itulah dibutuhkan suatu pembuktian di dalam persidangan yang dapat merujuk kepada niat daripada
terdakwa, melalui alat-alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum atau Penasehat Hukum terdakwa. Sehingga melalui bukti-bukti yang ditampilkan
dalam persidangan semua orang dapat melihat mengenai sudah tepatkah dakwaan Jaksa dan apakah sudah tepatkah putusan Hakim yang memeriksa dan mengadili
perkara tersebut. Untuk memperoleh suatu kebenaran atas suatu peristiwa yang terjadi
diperlukan suatu proses kegiatan yang sistematis dengan menggunakan ukuran dan pemikiran yang layak dan rasional. Kegiatan pembuktian dalam hukum acara
pidana pada dasarnya diharapkan untuk memperoleh kebenaran, yakni kebenaran dalam batasan-batasan yuridis bukan dalam batasan yang mutlak karena
kebenaran yang mutlak yanhg sukar untuk diperoleh. Pembuktian dalam hukum acara pidana dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk mendapatkan keterangan-
keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat
mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa. Menurut Bambang Poernomo tentang pembuktian adalah :
“Suatu pembuktian menurut hukum pada dasarnya merupakan proses untuk menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang
diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi fakta-fakta yang
terang dalam hubungannya dengan perkara pidana”. Berbeda dengan Bambang Poernomo, Yahya Harahap menjelaskan arti
pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana, yakni ketentuan yang
Universitas Sumatera Utara
membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran.
53
Mengenai pembuktian ini penting sekali untuk diketahui oleh karena tugas utama dari hukum pidana adalah mencari dan mendapatkan kebenaran yang
sebenar-benarnya tentang : a.
Perbuatan apakah yang telah dilakukan oleh si terdakwa. b.
Apakah si terdakwa bersalah atau tidak dan lain daripada itu adalah mencari bukti-bukti.
Pada hakekatnya kepentingan mencari bukti-bukti ini terletak pada :
54
a. Tingkat pengusutan opsporing
Pada tingkat ini dicari dulu bahan-bahan bukti setelah terkumpul semua bahan-bahan bukti tadi lalu menuju kepada :
b. Tingkat Penuntutan vervolging
Pada tingkat ini akan akan menentukan pada : c.
Pemeriksaan disidang berechting Ketiga tingkat diatas adalah berdasarkan pembuktian semua, karena itu
soal pembuktian merupakan hal yang penting. Mengenai istilah “pembuktian” atau “bewijs” dapat digunakan dalam beberapa arti sebagai berikut:
a. Sebagai Kata Kerja :
Mencari dan mendapat kebenaran selengkap-lengkapnya, apakah suatu tindak pidana dilakukan dan siapa yang melakukannya
b. Sebagai Kata Benda :
53
Rusli Muhammad. Hukum Acara Pidana Kontemporer Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007, hlm 185
54
Atang Ranoemihardja. Hukum acara Pidana Bandung: Tarsito, 1976, hlm. 60.
Universitas Sumatera Utara
Artinya ialah hasil dari mencari kebenaran tentang sesuatu hal. c.
Juga dapat digunakan dalam susunan kata yang bersangkut erat pada : 1
Bewijs theorie atau bewijsleer aliran tentang pembuktian 2
Bewijs-middel daya upaya pembuktian, yang dapat diartikan sebagai berikut :
a Keterangan saksi
b Pengakuan Terdakwa
c Surat-surat
d Petunjuk-petunjuk aanwijzingen
d. Bewijsvoering
Adalah cara menyampaikan alat pembuktian pada hakim pada sidang pengadilan
e. Bewijsgronden
Adalah dasar-dasar dari pembuktian, artinya dalam putusan hakim harus disebut-sebut dasar-dasar pembuktiannya.
f. Bewijskracht
Adalah kekuatan pembuktian daripada alat-alat pembuktian.
55
Dalam hal tersebut pembuktian di persidangan melalui alat bukti yang diajukan oleh Penuntut umum lah yang harus dapat membuktikan bahwasanya
dari bukti-bukti yang ada tergambar jelas bahwa hal tersebut merupakan pembunuhan berencana ataukah penganiayaan berencana yang mengakibatkan
kematian. Dalam sistem Peradilan di Indonesia dikenal salah satu asas umum
55
Ibid., hlm. 61.
Universitas Sumatera Utara
peradilan Indonesia yaitu yang dikenal sebagai “Asas Praduga Tak bersalah persumption of innocence
” yang dirumuskan dalam butir c penjelasan umum KUHAP.
TersangkaTerdakwa dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan kesalahannya. “Kesalahan”
tersangkaterdakwa berdasarkan pendapat pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal 193 ayat 1 KUHAP yang berbunyi sebgai berikut :
“Jika Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan
pidana” “Pendapat pengadilan” yang tercantum dalam Pasal 193 ayat 1 KUHAP,
berdasarkan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut. “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali bila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakuk annya”
56
Kata- kata “sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah” diperoleh
berdarkan pemeriksaan di pengadilan, sedang pemeriksaan di persidangan didasarkan atas surat dakwaan yang dirumuskan Penuntut Umum yang
dilimpahkan ke Pengadilan. Hal diatas berdasarkan ketentuan dalam Pasal 143 ayat 1 KUHAP yang berbunyi :
56
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 24.
Universitas Sumatera Utara
“Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat
dakwaan”. Dalam persidangan harus ada hal-hal yang dibuktikan oleh Jaksa Penuntut
umum dalam persidangan untuk memberikan keyakinan tambahan kepada hakim untuk mengambil keputusan yang tepat. Disamping hal tersebut ternyata ada hal-
hal yang tidak perlu dibuktikan. Hal ini tercantum dalam Pasal 184 ayat 2 KUHAP yang tercantum sebagai berikut :
“ Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan “ Mengenai hal tersebut Mr. H.H Tirtaamidjaja menjelaskan hal ini sebagi
berikut : “ Peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan yang telah diketahui umum
tidak memerlukan pembuktian, hal itu bukanlah dianggap telah diketahui oleh hakim, misalnya hal, bahwa anjing adalah binatang, atau bahwa hidup
manusia itu tidak kekal ataupun bahwa emas kuning warnanya” Alat bukti sah yang diajukan bertujuan untuk memberikan kepastian
kepada hakim tentang perbuatan-perbuatan terdakwa. Tugas ini diemban oleh Penuntut Umum, hakim karena jabatannya juga mencari tambahan bukti. Karena
tujuan pemeriksaan Pengadilan di persidangan adalah untuk mencari kebenaran materiil. Dengan demikian, hal yang diketahui hakim, tidak memerlukan alat
bukti sah.
57
Mengenai sumber-sumber hukum pembuktian adalah :
57
Ibid., hlm. 25.
Universitas Sumatera Utara
a. Undang-undang
b. Doktrin atau ajaran
c. Yurisprudensi
Karena hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana, maka sumber hukum yang utama dalam pembuktian adalah Undang-undang No.8
tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana KUHAP. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan penjelasannya yang dimuat dalam
tambahan Lembaran Negara Indonesia Republik Indonesia Nomor 3209. Apabila di dalam praktik menemui kesulitan dalam penerapannya atau menjumpai
kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan maka dipergunakan doktrin atau yurisprudensi.
58
Membahas mengenai pembuktian maka perlu juga lah membahas mengenai Sistem Pembuktian yang ada diberbagai negara. Hal ini diperlukan
untuk memahami cara pembuktian dalam persidangan yang dapat mengarahkan keyakinan hakim terhadap peristiwa yang terjadi. Sistem pembuktian dapat dibagi
menjadi beberapa bagian, yakni sebagai berikut : a.
Sistem keyakinan conviction In Time Aliran ini sangat sederhana. Hakim tidak terikat atas alat-alat bukti apa
pun. Putusan diserahkan kepada kebijaksanaan hakim, walaupun hakim secara logika mempunyai alasan-alasan, tetapi hakim tersebut tidak diwajibkan
menyebut alasan-alasan tersebut. Penilaian subyektif dari hakim tersebut. Kecuali
58
Hari Sasangka, Op.Cit. hlm. 15.
Universitas Sumatera Utara
ada sistem ini adalah bahwa pengawasan terhadap putusan hakim, sangat teliti. Mengenai sistem ini dulu dianut di Pengadilan Distrik dan Pengadilan Kabupaten.
b. Sistem Positif Positief Wettelijk
Sistem ini berdasarkan undang-undang yang mengatur jenis dan alat-alat bukti dan cara mempergunakan atau menentukan kekuatan pembuktian. Dengan
perkataan lain, jika alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan dipergunakan menurut ketentuan undang-undang maka hakim wajib menetapkan
hal “sudah terbukti” meskipun bertentangan dengan keyakinan hakim itu sendiri dan sebaliknya. Keyakinan hakim dalam hal ini tidak boleh berperan.
c. Sistem negatif negatief wettelijk
Hakim ditentukandibatasi mempergunakan alat-alat bukti. Alat-alat bukti tertentu telaah ditentukan oleh undang-undang. Hakim tidak diperkenankan
mempergunakan alat bukti lain. Cara menilaimenggunakan alat bukti tersebut pun telah diatur dalam undang-undang. Akan tetapi, ini pun masih kurang. Hakim
harus mempunyai keyakinan atas adanya “kebenaran”. Meskipun alat-alat bukti sangat banyak, jika hakim tidak berkeyakinan atas “kebenaran” alat-alat bukti
atau atas kejadiankeadaan, hakim akan membebaskan terdakwa. Sistem ini diatur oleh KUHAPUU No. 8 Tahun 1981 yang dirumuskan dalam Pasal 183 yakni :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alt bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Universitas Sumatera Utara
Dahulu, dimasa berlakunya HIR sebelum KUHAP, site mini pun dianut, yang diatur dalam pasal 294 HIR yang berbunyi sebagai berikut :
a. Tidak seorang pun dapat dikenakan hukuman pidana, kecuali apabila
hakim dengan mempergunakan alat-alat bukti yang termuat dalam undang-undang mendapat keyakinan bahwa sungguh-sungguh terjadi
suatu peristiwa itu. b.
Tidak seorang pun dapat dikenakan hukuman pidana berdasarkan atas suatu persangkaan belaka atau asas pembuktian yang tidak sempurna.
d. Sistem Pembuktian Bebas Vrijbewijsconviction raissonnee
Sistem ini membebaskan hakim dari keterikatan alat-alat bukti. Hakim menjatuhkan putusan berdarkan “keyakinan” atas dasar alasan-alasan yang logis
yang dianut dalam putusan. Jadi, keyakinan hakim tersebut disertai alasan-alasan yang berdasarkan logika. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP lihat butir 3 bab ini
maka KUHAP memakai “Sistem Negatif”, yakni adanya alat bukti minimal dan adanya keyakinan hakim. Bukti minimal tersebut adalah sekurang-kurangnya
“dua alat bukti yang sah”. Pengertian “dua alat bukti sah” dapat terdiri atas misalnya 2 orang atau saksi atau 1 orang saksi dan satu surat, atau 1 orang saksi
dan keterangan ahli, dan sebagainya. Rumusan adalah “dua alat bukti” bukan dua jenis alat bukti.
59
Sangat jelas kiranya, bahwa sistem pembuktian dalam sistem peradilan pidana Indonesia menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif, dengan demikian syarat untuk menjatuhkan pidana selain harus
59
Ibid., hlm. 27.
Universitas Sumatera Utara
memenuhi alat bukti sebgaimana yang ditentukan oleh KUHAP juga ditentukan dengan keyakinan hakim yang diperoleh pada saat pembuktian sebagaimana
dimaksud dalam pasal 183 KUHAP. Jika salah satu unsur tersebut tidak terpenuhi, maka hakim tidak dapat menjatuhkan putusan pemidanaan kepada
terdakwa. Sistem pembuktian yang dianut dalam KUHAP sebagaimana tersurat dalam pasal 183 KUHAP memadukan unsur obyektif dan subyekif dalam
menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut, keduanya saling berkaitan. Akan tetapi kedudukan
keyakinan hakim dalam sistem ini seolah-olah sebagai penentu segalanya. Jika perkara tersebut terbukti secara sah sah dalam arti alat bukti menurut undang-
undang tetapi tidak meyankinkan hakim akan adanya kesalahan tersebut, maka hakim tidak dapat menjatuhkan putusan pidana.
Sistem pembuktian dalam KUHP dapat dikatakan menganut sistem pembuktian yang dianut oleh Belanda. Pada awalnya terdapat perbedaan pendapat
mengenai sistem yang dianut oleh Belanda, yaitu antara sistem pembuktian Conviction In Rasionee
dan negatif wettelijk. Namun akhirnya, Belanda menganut sistem pembuktian negatif dengan catatan, keterikatan hakim pada peraturan
perundang-undangan dibatasi, yaitu hanya terbatas pada jumlah alat bukti dan kekuatan pembuktian keterangan saksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 341 ayat
4 jo Pasal 342 ayat2 KUHAP Belanda. Pasal 341 ayat 4 KUHAP Belanda menyebutkan, bahwa kesalahan terdakwa tidak dianggap terbukti atas pengakuan
bersalah terdakwa saja, dan Pasal 342 ayat 2 KUHAP Belanda menyebutkan, keterangan seorang saksi saja tidaklah cukup untuk menganggap kesalahan
Universitas Sumatera Utara
terdakwa telah terbukti. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 183 KUHAP tentang kekuatan pembuktian di Indonesia.
60
Jika melihat kebelakang dalam HIR, terhadap asas negatief wettelijk bewijstheorie
ini disusun secara positif dalam Pasal 294 ayat 1 HIR. Dan Pasal 294 ayat 2 HIR, azas ini ditekankan lagi bahwa bersandarkan sangkaan-
sangkaan vermoendens saja atau alat pembuktian yang tidak lengkap onvolkomen bewijs, hakim tidak boleh menghikum. Juga walaupun hakim yakin,
kan tetapi bila tidak ada alat pembuktian yang sah, maka hakim tidak boleh menghukum.
Onvolkomen bewijs artinya sama dengan onvoldoende bewijs yaitu alat
pembuktian yang tidak lengkap, jadi disamping harus ada alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, juga alat pembuktian tersebut harus cukup lengkap.
Dan bila tidak demikian menurut Pasal 294 ayat 2 HIR siapapun tidak boleh dihukum.
Azas negatief wettelijk bewijstheorie be wijsleer ini diulangi dan ditekankan lagi dalam Pasal 298 HIR. Makna dari pasal ini adalah untuk
menekankan lagi, bahwa tidak ada alat pembuktian dapat dipergunakan untuk menghukum terdakwa, apabila disamping adanya alat pembuktian yang sah
menurut undang-undang, hakim tidak yakin bahwa siterdakwa yang bersalah. Azas ini dikenal juga dengan nama “de leer van helt minimum bewijs” yang
berarti bahwa sedikit-sedikitnya harus ada alat pembuktian yang sah menurut
60
Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2013, hlm.176.
Universitas Sumatera Utara
undang-undang dan berdasarkan pada alat pembuktian yang sah itu harus ada keyakinan daripada hakim.
61
2. Alat Bukti Dalam KUHP
Mengenai pembuktian dalam persidangan dibutuhkan alat bukti yang dipergunakan dalam persidangan untuk dapat membuktikan apakah si terdakwa
memang telah memenuhi suatu delik yang diatur dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku di Indonesia. Mengenai alat-alat bukti yang dapat
digunakan dalam persidangan dalam proses pembuktian ini diatur oleh pasal 184 ayat 1 KUHAP, yang membagi alat bukti menjadi 5 lima yaitu sebagai berikut:
a. Keterangan Saksi
b. Keterangan Ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan Terdakwa
a. Keterangan Saksi
Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling berperan dalam pemeriksaan perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana
selalu berdasarkan pemeriksaan saksi.
62
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Sedangkan keterangan saksi
61
R.Atang Ranoemihardja, Op.cit ., hlm 67
62
Ibid., hlm. 192.
Universitas Sumatera Utara
adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, dan ia alami sendiri
dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.
63
Jika melihat pengertian terhadap saksi diatas maka kita dapat menguraikan unsur tentang saksi sebagai berikut :
1 Orang yang langsung menjadi korban kejahatan.
2 Orang-orang yang dengan mata kepala sendiri menyaksikan adanya
perbuatan kejahatan. 3
Orang yang secara tidak langsung mengetahui adanya perbuatan kejahatan.
Dalam perihal kesaksian, kita mengenal adanya saksi-saksi sebagai berikut:
1 Saksi biasa yaitu kesaksian yang diberikan oleh orang umum.
2 Saksi ahli yaitu kesaksian yang diberikan oleh orang yang mempunyai
keahlian. 3
Saksi A charge yaitu saksi yang dipilih dan diajukan oleh Jaksa dikarenakan kesaksiannya bersifat memberatkan terdakwa
4 Saksi A de charge yaitu saksi yang dipilih dan diajukan atas
permintaan terdakwa.
64
Jika diteliti dalam KUHAP, maka mengenai keterangan saksi ini diatur dalam Pasal 108,116,160 sd 165, 167 sd170, 173, 174, 185 KUHAP. Dari pasal-
pasal diatas, yang terutama diketahui adalah orang yang dapat menjadi saksi. Pada
63
Rusli Muhammad, Op.Cit., hlm. 11.
64
R. Atang Ranoemihardja, Op.Cit., hlm. 58.
Universitas Sumatera Utara
umumnya, semua orang dapat menjadi saksi. Keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah harus dibedakan apakah termasuk keterangan saksi sebagaimana
dicantumkan dalam Pasal 184 ayat 1 a KUHAP atau sebagai “petunjuk” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat 1 d KUHAP. Hal ini tercantum
pada Pasal 185 ayat 7 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut : “ Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan
yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah, dapat dipergunakan sebagai
tambahan alat bukti yang sah”.
65
Pengecualian terhadap orang yang dapat menajdi saksi di dalam persidangan diatur di dalam Pasal 186 KUHAP, sebagai berikut :
1 Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke
bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
2 Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa
sampai derajat ketiga; 3
Suami atau istri terdakwa meskipun telah bercerai atau yang bersama- sama sebagai terdakwa.
Disamping mengenai karena adanya hubungan kekeluargaan sedarah atau semenda, ditentukan dalam Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena
65
Leden Marpaung, Op.Cit., hlm. 29.
Universitas Sumatera Utara
pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat diminta dibebaskan dari kewajiban memberi keterangan sebagai saksi. Menurut
penjelasan pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan. Jika terhadap hal tersebut tidak diatur maka hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan
tersebut. Orang yang harus menyimpan rahasia jabatan misalnya dokter yang harus
merahasiakan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Sedangkan yang dimaksud karena martabatnya dapat mengundurkan diri adalah pastor agama Katolik Roma.
Ini berhubungan dengan kerahasiaan orang-orang yang melakukan pengakuan dosa kepada pastor tersebut.
66
Dalam Pasal 171 KUHAP ditambahkan pengecualian untuk memberi kesaksian di bawah sumpah ialah :
1 Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin ; 2
Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.
Hal kewajiban saksi mengucapkan sumpah atau janji, KUHAP masih mengikuti peraturan lama HIR, dimana ditentukan bahwa pengucapan sumpah
merupakan syarat mutlak suatu kesaksian sebgai alat bukti. Dalam Pasal 160 ayat 3 KUHAP dikatakan bahwa sebelum memberi keterangan, saksi wajib
66
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Jakarta : Sinar Grafika, 2010, hlm. 260.
Universitas Sumatera Utara
mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamnya masing-masing, bahwa ia akan member keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang
sebenarnya. Pengucapan sumpah itu merupakan syarat mutlak, dapat dibaca dalam
67
Pasal 161 ayat 1 dan 2 KUHAP. Jika diruntut dari beberapa hal diatas maka dapat disimpulkan bahwa agar
suatu keterangan saksi tersebut sah menurut hukum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1 Pasal 160 ayat 3 KUHAP saksi harus mengucapkan sumpah atau
janji sebelum memberikan keterangan. 2
Keterangan saksi harus mengenai peristiwa pidana yang saksi lihat, dengar,
dan alami
sendiri dengan
menyebutkan alasan
pengetahuannya testimonium de auditu – keterangan yang diperoleh
dari orang lain tidak mempunyai nilai pembuktian. 3
Keterangan saksi harus diberikan di muka sidang Pengadilan kecuali yang ditentukan dalam Pasal 162 KUHAP.
4 Pasal 185 ayat 2 keterangan seorang saksi saja tidak cukup
membuktikan kesalahan terdakwa usus testis nullus testis. 5
Kalau ada beberapa saksi terhadap beberapa perbuatan, kesaksian itu sah menjadi alat bukti dan apabila saksi satu dengan yang lain
terhadap perbuatan itu bersangkut paut dan bersesuaian, untuk nilainya diserahkan hakim.
67
Ibid., hlm. 263.
Universitas Sumatera Utara
Keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah mempunyai kekuataan pembuktian bebas. Oleh karena itu, alat bukti kesaksian tidak mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga tidak menentukan atau mengikat nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi bergantung pada penilaian hakim,
sebagai alat bukti yang berkekuatan pembuktian bebas dapat dilumpuhkan terdakwa dengan alat bukti lain berupa saksi a de charge ataupun keterangan
ahli.
68
Dalam keterangan saksi haruslah diperhatikan juga mengenai keterangan dari saksi de auditu, yakni keterangan yang didengar dari orang lain. Ada yang
menagatakan bahwa hal itu tidak dapat digunakan. Sebagian ahli lagi mengatakan bahwa keterangan de auditu tidak boleh begitu saja dikesampingkan karena dapat
digunakan untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian. Kedua pendapat ini sesungguhnya tidak salah. Penafsiran yang tepat terhadap keterangan de auditu
ialah keterangan tersebut tidak dapat dipakai sebagai alat bukti sah “keterangan saksi”.
Dalam Pasal 185 ayat 6 KUHAP member pedoman terhadap Hakim untuk menilai keterangan saksi, untuk lengkapnya pasal tersebut sebagai berikut :
Ayat 6 : Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan :
1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti;
68
Rusli Muhammad, Op.Cit., hlm.193.
Universitas Sumatera Utara
3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan
keterangan yang tertentu; 4.
Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dapat
dipercaya;
69
Mengenai saksi yang dapat juga ditemukan mengenai saksi mahkota. Dalam praktek, antara seorang terdakwa lain yang bersama-sama melakukan
tindak pidana, bisa dijadikan saksi antara yang satu dengan yang lain. Saksi yang diajukan seperti tersebut diatas, disebut saksi mahkota, yang pada saat yang lain ia
menjadi terdakwa. Berkas perkara dari terdakwa tersebut dipisah splitsing. Splitsing
dilakukan karenan kurangnya saksi untuk menguatkan dakwaan penuntut umum, sehingga harus ditempuh cara mengajukan sesama tersangka yang lain.
Namun kelemahan dari pemeriksaan seperti ini sering mengakibatkan terjadinya keterangan saksi palsu, sehingga ada kemungkinan saksi diancam atau dikenakan
dengan pasal 224 KUHP. Kemungkinan yang timbul adalah bahwa para terdakwa yang diperiksa seperti ini akan saling memberatkan atau meringankan satu sama
lain.
70
b. Keterangan Ahli
Pengertian mengenai keterangan ahli dapatlah kita lihat dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP, dimana yang dimaksud keterangan ahli adalah :
71
69
Leden Marpaung, Op.Cit., hlm.33.
70
Hari Sasangka, Op. Cit., hlm. 52.
71
Rusli Muhammad, Op.Cit., hlm.194
Universitas Sumatera Utara
“ Keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahliam khusus hal yang diperlukan untuk membuat tentang suatu perkara pidana
guna kepentingan pemeriksaan ”. Pengertian mengenai keterangan ahli juga dapat dilihat dalam Pasal 186
KUHAP yang bunyinya sebagai berikut : “Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
Peradilan ” Dalam penjelasan resmi Pasal 186 KUHAP tercantum :
“ Keterangan ahli ini juga dapat sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk
laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan “
72
Berpijak dari Pasal 179 ayat 1 KUHAP maka dapat dikategorikan dua kelompok ahli, yaitu ahli kedokteran dan ahli lain-lainnya. Syarat sahnya
keterangan ahli, yaitu : 1.
Keterangan diberikan kepada ahli 2.
Memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu 3.
Menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya 4.
Diberikan di bawah sumpah Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat dilakukan dengan dua
cara. Pertama, dengan cara meminta keterangan ahli pada taraf penyidikan oleh aparat penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 133 KUHAP. Menurut pasal ini,
72
Leden Marpaung, Op. Cit., hlm. 35.
Universitas Sumatera Utara
keterangan ahli diberikan secara tertulis melalui surat. Atas permintaan ini ahli menerangkan hasil pemeriksaannya dalam bentuk laporan. Cara kedua, seperti
yang ditentukan dalam Pasal 179 dan Pasal 186 KUHAP, yaitu keterangan ahli diberikan secara lisan dan langsung di Pengadilan. Pada prinsipnya alat bukti
keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian keteranga ahli sama
dengan nilai kekuatan yang melekat pada alat bukti keterangan saksi, yaitu mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas atau vrijn bewiskracht. Hakim bebas
menilainya dan tidak terikat kepadanya. Namun, penilaian hakim ini harus benar- benar bertanggung jawab atas landasan moril demi terwujudnya kebenaran sejati
dan demi tegaknya hukum serta kepastian hukum.
73
c. Alat Bukti Surat
Terhadap pengertian surat terdapat berbagai pandangan mengenai hal tersebut. Yang dapat disimpilkuan sebagi berikut :
1 Menurut Sudikno Merto Kusumo
Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan
buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda
bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dal;am pengertian alat
bukti tertulis atau surat.
73
Rusli Muhammad, Op.Cit., hlm. 195.
Universitas Sumatera Utara
2 Menurut Asser-Anema
Surat adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.
3 Menurut Mahkamah Agung
Dalam suratnya kepada Menteri Kehakiman RI tanggal 14 Januari 1988, nomor 39TU88102Pid, berpendapat bahwa microfilm atau
microfiche dapat dipergunakan
74
sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di Pengadilan menggantikan alat bukti surat
sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat 1 sub c KUHAP, dengan catatan baik microfilm atau microfiche itu sebelumnya dijamin
otentikasinya yang dapat ditelusuri kembali dari registrasi maupun berita acara. Terhadap perkara-perkara perdata berlaku juga hal yang
sama. Menurut Pasal 187 KUHAP, surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti
yang sah adalah yang dibuat atas sumpah jabatan atau yang dikuatkan dengan sumpah. Alat bukti surat seperti itu antara lain :
1 Berita acara atau surat resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang tentang kejadian atau keadaan yang dialami, didengar, atau dilihat pejabat itu sendiri, misalnya akta notaris.
2 Surat yang berbentuk “menurut undang-undang” atau surat yang
dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk tata laksana yang
74
Hari Sasangka, Op.Cit., hlm. 63.
Universitas Sumatera Utara
menjadi tanggung jawab dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau keadaan.
3 Surat keterangan dari seorang ahli, seperti yang telah dijelaskan.
4 Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungan dengan isi dari
alat bukti lain, misalnya selebaran. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat adalah bebas, tidak mempunyai
nilai kekuatan pembuktian untuk mengikat atau menentukan penilaian sepenuhnya dari keyakinan hakim. Alasan kekuatan pembuktian bernilai bebas adalah atas
proses perkara pada pembuktian mencari kebenaran materi keyakinan sejati atas keyakinan hakim ataupun dari sudut minimum pembuktian.
75
P ada umumnya “surat” yang dimaksud oleh Pasal 187 KUHAP adalah
surat yang termasuk akta autentik yang tercantum pada Pasal 1868 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yakni suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan seorang pegawai umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu dibuatnya. Misalnya akta notaris,
putusanpenerapan hakim, berita acara, dan sebagainya.
76
Walaupun ditinjau dari segi formal alat bukti surat resmi otentik yang berbentuk surat yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan undang-undang adalah
alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, namun niali kesempuranaannya, pada alat bukti surat yang bersangkutan tidak mendukung untuk berdiri
sendiri.Bagaimanapun sifat kesempurnaan sormal yang melekat pada dirinya, alat bukti surat tetap tidak cukup sebagai alat bukti yang berdiri sendiri. Ia harus tetap
75
Ibid., hlm.196.
76
Leden Marpaung, Op.Cit., hlm. 36.
Universitas Sumatera Utara
memerlukan dukungan dari alat bukti lain. Berarti sifat kesempurnaan formalnya, harus tunduk pada asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal
183 KUHAP. Perlu diingat 2 hal mengenai kekuatan alat bukti surat yaitu :
1 Bahwa bagaimanapun kekuatan pembuktian yang diberikan terhadap
bukti-bukti surat dalam perkara perdata, namun surat-surat tersebut dalam perkara pidana dikuasai oleh aturan, bahwa mereka harus
menentukan keyakinan hakim. Dengan demikian maka, dalam perkara perdata hakim adalah berkewajiban untuk memutus suatu perkara
menurut kekuatan bukti dari suatu akta otentik yang tidak dilemahkan oleh bukti sangkalan, tetapi dalam perkara pidana, akta yang sama
dapat saja dikesampingkan oleh hakim. 2
Bahwa pembuktian dalam perkara perdata adalah bertujuan untuk memutuskan apa yang oleh kedua belah pihak yang berperkara
dianggap benar kebenaran formal sedang tujuan dari pembuktian dalam perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran material.
77
d. Petunjuk
Hal ini diatur dalam Pasal 188 KUHAP yang bunyinya : 1
Petunjuk adalah perbuatan, kejadiaan atau keadaan, yang karena penyesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
77
Hari Sasangka, Op.Cit., hlm. 74.
Universitas Sumatera Utara
suatu tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2 Petunjuk sebagimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat diperoleh
dari : a.
Keterangan saksi ; b.
Surat ; c.
Keterangan terdakwa. 3
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana
setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Jika diperhatikan pada Pasal 188 KUHAP, khususnya ayat 2 maka dari ketentuan Pasal 160 ayat 3 KUHAP yang mewajibkan saksi mengucapkan
sumpah atau janji sebelum member keterangan, ternyata ada saksi-saksi yang didengar tanpa mengucapkan sumpah atau janji, yakni antara lain :
1 Anak yang umurnya belum cukup 15 tahun
2 Sakit ingatan sakit jiwa.
Saksi yang memberi keterangan tapi tidak disumpah, merupakan suatu petunjuk.
78
Demikian halnya dengan Pasal 188 ayat 2 b, yakni “surat” berbeda dengan “surat yang dimaksud oleh Pasal 187 KUHAP. Surat berdarsakan Pasal
187 KUHAP termasuk klasifikasi autentik. Surat-surat yang bukan akta autientik disebut “surat di bawah tangan”, sebagaimana diatur dalam pasal 187
78
Leden Marpaung, Op.Cit., hlm 38
Universitas Sumatera Utara
KUHPerdata. Surat-surat inilah yang dimaksud pasal 188 ayat 2 b sebagai alat bukti yang sah, yakni “petunjuk”.
Pada Pasal 188 ayat 3 c tercantum mengenai “keterangan terdakwa” yang termasuk dalam alat bukti sah sebagai “petunjuk” bukan sebagai “keterangan
terdakwa” dimaksudkan dalam hal ini adalah berkenaan dengan tanggapan terdakwa atas keterangan-keterangan saksi yang tidak disumpah atau keterangan
terdakwa mengenai surat-surat dibawah tangan.
79
Dalam mempergunakan alat bukti petunjuk, tugas hakim akan lebih sulit, ia harus mencari hubungan anatara perbuatan, kejadian atau keadaan, menarik
kesimpulan yang perlu serta mengkombinasikan akibat-akibatnya dan akhirnya sampai pada suatu keputusan tentang terbukti atau tidaknya sesuatu yang telah
didakwakan. Dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 188 KUHAP, kiranya orang dapat mengetahui bahwa bahwa pembuktian yang didasarkan pada
petunjuk-petunjuk didalam berbagia alat bukti itu, tidak mungkin akan dapat diperoleh oleh hakim tanpa mempergunakan suatu redenering atau suatu
pemikiran tentang adanya suatu persesuaian antara keyakinan yang satu dengan kenyataan yang lain, atau antara suatu kenyataan dengan tindak pidananya sendiri.
Dari perbuatan-perbuatan, kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang yang dijumpai oleh hakim didalam keterangan saksi, surat atau keterangan
terdakwa seperti itulah, KUHAP dapat membenarkan hakim membuat suatu pemikiran, atau lebih tepat jika dikatakan bahwa hakim membuat konstruksi
untuk memandang suatu kenyataan sebagai terbukti. Dalam penerapannya kepada
79
Ibid., hlm. 39.
Universitas Sumatera Utara
hakimlah diletakkan kepercayaan untuk menetapkan apakah suatu perbuatan, kejadian atau keadaan merupakan petunjuk. Semuanya harus dipertimbangkan
secara cermat dan teliti. Melihat akan adanya syarat yang satu dengan yang lainnya harus terdapat
persesuaian, maka dengan demikian berakibat bahwa sekurang-kurangnya perlu ada 2 dua petunjuk untuk memperoleh bukti yang sah atau sebuah alat bukti
petunjuk dengan satu buah bukti lain ada persesesuaian dalam keseluruhan yang dapat menimbulkan alat bukti.
80
e. Keterangan Terdakwa
Pengaturan mengenai keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 189 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :
1 Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang
tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
2 Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat
digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti di sidang, asalkan
keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan padanya.
3 Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya
sendiri.
80
Hari Sasangka, Op.Cit., hlm. 80.
Universitas Sumatera Utara
4 Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan karena disertai dengan alat bukti yang lain.
81
Pengertian tentang keterangan terdakwa adalah lebih luas dibandingkan dengan pengakuan terdakwa. Sehingga dengan memakai keterangan terdakwa
dapat dikatakan lebih maju daripada pengakuan terdakwa. Keterangan terdakwa ada kemungkinan berisi pengakuan terdakwa, keterangan terdakwa tidak perlu
sama dengan pengakuan terdakwa. Pengakuan terdakwa sebagai alat bukti harus mempunyai syarat-syarat mengaku bahwa ia melakukan delik didakwakan
ataupun ia mengaku bersalah. Namun ada juga kemungkinan bahwa terdakwa memberikan pengakuan untuk sebagian yaitu terdakwa mengaku melakukan delik
yang didakwakan tetapi ia tidak mengaku bersalah.
82
Dapatlah dilihat dengan jelas bahwa “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa
hendaknya didengar. Apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Tidak perlu hakim
mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa atau saksi. Tetapi suatu hal yang jelas berbeda anta “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti dengan
“pengakuan terdakwa” yang menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai alat
bukti lain merupakan alat bukti.
81
Leden Marpaung, Op.Cit., hlm. 40.
82
Hari Sasangka, Op.Cit., hlm. 84.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, yurisprudensi di negeri Belanda berpegang pada Memorie van Toelichting
undang-undang acara pidana. Perubahan alat pembuktian dari pengakuan terdakwa menjadi keterangan terdakwa sangat
penting dan membawa akibat jauh, bahwa keterangan terdakwa itu mempunyai sifat yang sama dengan keterangan saksi. Kepada hakimlah digantungkan harapan
untuk menilai keterangan terdakwa tersebut.
83
Pengakuan maupun penyangkalan dari terdakwa merupakan bagian dari keterangan terdakwa yang merupakan salah satu alat bukti yang sah. Tentang
pengakuan bersalah terdakwa dimuat dalam HIR, yang termuat dalam Pasal 307, 308,dan 309. Pengakuan bersalah terdakwa yang dimaksud disini, ialah
pengakuan terdakwa di muka hakim, bahwa tuduhan seluruhnya adalah benar. Keterangan terdakwa yang hanya mengandung pengakuan sebagian dari
hal-hal yang dituduhkan kepada terdakwa sama sekali tidak disinggung dalam tiga pasal tersebut. Dalam pasal 311 ayat 4 HIR disebutkan adanya pengakuan
sebagian yang dilakukan di luar sidang Hakim. Pengakuan sebagian dari terdakwa bukanlah suatu alat bukti.
Kembali kepada pengakuan seluruhnya dari terdakwa. Menurut pasal- pasal 307 dan 308, yang dua-duanya sebetulnya mengatakan hal yang sama,
pengakuan seluruhnya dari terdakwa di muka hakim saja tidak cukup untuk menjatuhkan suatu hukuman pidana kepada terdakwa. Kini hukum mengadakan
suatu minimum bukti, yaitu bahwa suatu pengakuan salah terdakwa seluruhnya di muka hakim, untuk dapat menjadi bukti yang sempurna, harus disertai keterangan
83
Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 280.
Universitas Sumatera Utara
yang jelas tentang keadaan-keadaan, dalam mana peristiwa pidana diperbuat, keterangan mana semua atau sebagian harus cocok dengan keterangan si korban
atau dengan lain-lain bukti. Ini dianggap perlu, oleh karena ada kemungkinan suatu pengakuan
terdakwa adalah bertentangan dengan kebenaran sejati. Pengakuan palsu ini dapat dilakukan dengan sengaja, misalnya untuk melakukan suatu hukuman pidana bagi
orang lain yang sesungguhnya melakukan peristiwa pidana, dengan upah atau hanya untuk menolong belaka. Mungkin juga seorang mengira secara jujur,
bahwa ialah yang melakukan suatu kejahatan, sedang sebenarnya orang lainlah yang melakukankannya.
Kejadian semacam ini dapat disebabkan oleh keadaan serupa penyakit jiwa dari seorang terdakwa hallucinaties. Berhubung dengan keadaan-keadaan seperti
inilah maka dianggap perlu untuk menentukan, bahwa pengakuan seluruhnya saja dari terdakwa belum cukup guna menjatuhkan suatu hukuman pidana kepada
terdakwa, melainkan harus ada keterangan dari luar terdakwa yang menguatkan pengakuan terdakwa itu.
Dalam praktek peraturan ini ternyata berguna juga. Jika peraturan ini tidak ada, maka ada kekhawatiran dalam praktek, bahwa mungkin sekali tidak
diperhatikan, bahwa pengakuan dari terdakwa harus disertai penjelasan keadaan yang menjadikannya pengakuan yang masuk akal. Kemungkinan ini dengan
sendirinya diperkecil, apabila hakim diharuskan menyuruh si terdakwa agar menyertai pengakuan itu dengan alat-alat bukti lain, dan dengan demikian
terpaksa harus ada penjelasan keadaan.
Universitas Sumatera Utara
Penambahan dengan alat-alat bukti lain ini tidak akan menyusahkan pemeriksaan perkara, oleh karena sudah selayaknya, bahwa jika ada pengakuan
terdakwa seluruhnya, maka alat bukti lain yang sederhana sekalipun sudah cukup untuk memperlengkapkan pembuktian kesalahan terdakwa. Meskipun tidak
disebutkan dalam undang-undang, harus dikemukakan, bahwa suatu pengakuan terdakwa hanya berharga, apabila pengakuan itu mengenai hal-hal yang terdakwa
mengalami sendiri,seperti halnya dengan kesaksian.
84
84
Wirjono Prodjodikoro. Hukum Acara Pidana di Indonesia Sumur Bandung Bandung: Sumur Bandung, 1983, hlm. 125.
Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang