Latar Belakang Peranan Pembuktian Terhadap Putusan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana ( Putusan Pengadilan Negeri No.1359/PID.B/2014/PN.JKT.PST)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Maraknya kejahatan yang terjadi belakangan waktu ini, membuat penulis tertarik untuk membahas mengenai kejahatan tersebut, terutama mengenai kejahatan pembunuhan. Banyak sebab mengenai mengapa seseorang dapat melakukan kejahatan terutama pembunuhan baik karena alasan cemburu, dendam, maupun hal lainnya.Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dan memberi efek jera hukum pidana dianggap masih sebagai penyelesaian terbaik dalam pemberian hukuman atau efek jera bagi pelaku. Sebab-sebab timbulnya kejahatan dan apa perlunya sanksi hukum pidana diterapkan, hingga saat ini meskipun perubahan dalam arti sifat, bentuk dan tujuan pidana, pidana tetap dianggap sebagai satu-satunya jawaban terakhir dalam memberantas kejahatan, padahal pandangan ini tidaklah benar karena persoalnnya bukan saja pengaruh pidana yang menakutkan atau membentuk penegak hukum yang profesional akan tetapi ada hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah adanya faktor motif timbulnya pelanggar-pelanggar hukum 1 Pembahasan mengenai kejahatan dalam hukum pidana Indonesia, sangatlah menarik untuk dipelajari lebih dalam. Dalam sistem KUHP Indonesia, mengenal pembagian Delik sebagai berikut : 1. Kejahatan yang dimuat di dalam Buku Kedua; 2. Pelanggaran yang dimuat di dalam Buku Ketiga. 1 Marlina. Hukum Penitensir Bandung: PT Refika Aditama, 2011, hlm. 117. 1 Universitas Sumatera Utara Perbedaan ini mengikuti sistem Wetboek Straftrecht Nederland, namun berbeda dengan di Nederland, KUHP Indonesia membagi lagi kejahatan tersebut ke dalam kejahatan biasa dan kejahatan ringan yang diatur di dalam Pasal 302 Penganiayaan hewan ringan, Pasal 352 Penganiayaan Ringan, Pasal 364 pencurian ringan, Pasal 379 penipuan ringan, Pasal 384 perbuatan curang yang ringan, Pasal 407 perusakan atau penghilangan barang yang ringan dan Pasal 482 KUHP penadahan ringan. Perlu diuraikan bahwa delik menurut Pasal 384 sebagai bentuk ringan delik tersebut pada Pasal 383 dan yang disebut di dalam Pasal 407 sebagai bentuk ringan delik menurut Pasal 406 KUHP tidak diberikan kualifikasi delik ringan, tetapi dari uraian dalam kedua Pasal itu dapat disimpulkan bahwa keduanya adalah kejahatan ringan. 2 Jonkers berpendapat, bahwa dibentuknya aturan hukum pidana tentang kejahatan ringan disebabkan oleh keperluan untuk mengajukan kejahatan- kejahatan tertentu yang banyak terjadi kepada Pengadilan yang paling dekat kedudukannya dengan tempat terjadinya. Berhubung karena sekarang hanya dikenal satu jenis Pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Negeri, maka kriterium demikian tidak perlu lagi, dan yang harus digunakan ialah cara mengadilinya menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia. Jonkers berpendapat bahwa perbedaan antara Kejahatan dan Pelanggaran merupakan perbedaan Kualitatif . Pembedaan Tindak Pidana atas Kejahatan dan pelanggaran itu didasarkan kepada kejahatan itu adalah rechtsdelicten, sedangkan pelanggaran adalah wetsdelicten, yang penjelasaannya sebagai berikut : 2 H.A. Zainal Abidin Farid. Hukum Pidana 1 Jakarta,Sinar Grafika: 1998, hlm. 351. Universitas Sumatera Utara 1. Rechtsdelicten delik umum merupakan perbuatan yang tidak adil menurut filsafat, yaitu perbuatan yang tidak tergantung kepada suatu ketentuan pidana, tetapi merupakan perbuatan yang dirasakan tidak adil menurut keinsyafan kesadaran batin manusia dan juga merupakan perbuatan yang dirasakan tidak adil menurutundang-undang yaitu perbuatan yang tidak sah yang ditentukan oleh undang-undang. Menurut pandangan ini maka pembunuhan, pencurian,penganiayaan, dan perbuatan-perbuatan semacam itu merupakan Rechtsdelicten , karena dirasakan sebagai perbuatan yang tidak tidak adil baik menurut keinsyafan manusia kesadaran batin manusia maupun menurut undang-undang. Jadi, andaikata suatu perbuatan belum dilarang oleh undang- undang, namun perbuatan itu dirasakan sebagai perbuatan yang tidak adil maka perbuatan itu merupakan Rechtsdelicten. 2. Wetsdelicten delik undang-undang, merupakan perbuatan yang pada mulanya menurut keinsyafan kesadaran batin manusia tidak dirasakan sebagai perbuatan yang tidak adil, namun baru dirasakan sebagai perbuatan yang dapat dipidana dilarang karena perbuatan itu diancam dengan pidana oleh undang-undang, misalnya perbuatan yang melanggar lalu lintas. Alasan yang menyebabkan undang-undang menentukan Wetsdelicten sebagai tindak pidana, adalah untuk menjamin keamanan umum, unyuk memelihara dan mempertahankan ketertiban umum, untuk memajukan kesehatan umum, dan alasan semacam itu yang mempunyai corak sosial dan kemasyarakatan, sehingga dapat tidaknya dipidana perbuatan-perbuatan ini didasarkan pada asas hukum yang hidup dalam kesadaran kita, yaitu bahwa dalam keadaan Universitas Sumatera Utara tertentu kemerdekaan daripada seseorang harus dibatasi untuk kepentingan umum. Perbedaaan kuantitatif yang membedakan antara kejahatan dengan pelanggaran dari segi kriminologi ini, didasarkan kepada hal sebagai berikut : 1. Bahwa sanksi pelanggaran lebih ringan daripada sanksi kejahatan ; 2. Bahwa percobaan melakukan pelanggaran Pasal 54 KUHP dan membantu melakukan pelanggaran Pasal 60 KUHP tidak dipidana. 3 Kejahatan-kejahatan misdrijven masih ada yang disebut “lichte misdrijven”, semuanya ada 9 macam, yaitu : 1. Pasal 364 KUHP, pencurian ringan; 2. Pasal 373 KUHP, penggelapan ringan; 3. Pasal 379 KUHP, penipuan ringan; 4. Pasal 352 KUHP, penganiayaan ringan; 5. Pasal 315 KUHP, penghinaan ringan; 6. Pasal 384 KUHP, penipuan ringan; 7. Pasal 407 KUHP, merusak barang ringan; 8. Pasal 302 KUHP, penganiayaan binatang ringan; 9. Pasal 482 KUHP, tadah ringan 4 Setelah mengetahui apa yang dimaksudkan dengan kejahatan dan pelanggaran, serta perbedaan diantara keduanya. Hal tersebut merupakan suatu dasar untuk memahami yang dimaksudkan dengan kejahatan. Sehingga dapat 3 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2 Medan: USUpress, 2013, hlm. 93-94. 4 Samidjo, Ringkasan tanya Jawab Hukum Pidana Bandung: CV. Armico,2002, hlm. 90. Universitas Sumatera Utara membahas hal yang lebih dalam lagi yaitu kejahatan terhadap jiwa dan kejahatan terhada p tubuh. Kejahatan terhadap “orang” dalam KUHP mencakup hal-hal sebagai berikut : 1. Kehormatan. 2. Membuka Rahasia. 3. Kebebasankemerdekaan pribadi. 4. Nyawa. 5. BadanTubuh. 6. Harta bendakekayaan. Umumnya, para pakar menggabung hal- hal tersebut menjadi “tindak pidana terhadap jiwa dan tubuh ”, yang dalam KUHP diatur dengan sistematika sebagai berikut : 5 1. Kejahatan terhadap nyawa orang Bab XIX. 2. Penganiayaan Bab XX. 3. Menyebabkan matilukanya orang karena kesalahankelalaian. Perkataan “nyawa” sering disinonimkan dengan “jiwa”. Kata nyawa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat artinya antara lain sebagai berikut : 1 Pemberi hidup; 2 Jiwa, Roh K ata “jiwa” dimuat artinya antara lain seabagai berikut : 1 Roh manusia yang ada di tubuh dan yang menyebabkan hidup 5 Leden Marpaung , Tindak Pidana terhadap Nyawa dan Tubuh Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 2. Universitas Sumatera Utara 2 Seluruh kehidupan batin manusia Pengertian nyawa dimaksudkan adalah yang menyebabkan kehidupan pada manusia. Menghilangkan nyawa berarti menghilangkan kehidupan pada manusia yang secara umum disebut “pembunuhan”.Pembunuhan dalam sejarah kehidupan manusia, telah terjadi sejak dahulu kala dan pengaturannya atau hukumnya pun telah ditentukan. 6 Kejahatan pada tubuh dalam KUHP disebut juga dengan istilah “penganiayaan” tetapi KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat artinya sebagai berikut : “perlakuan yang sewenang-wenang”. Pengertian penganiayaan yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yakni termasuk yang menyangkut “perasaan” atau “batiniah”. Penganiayaan yang dimaksud dalam ilmu hukum pidana adalah yang berkenaan dengan tubuh dari manusia. Ilmu Pengetahuan Doktrine mengartikan “penganiayaan” sebagai berikut: “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain.” Penjelasan Menteri Kehakiman pada waktu pembentukan Pasal 351 KUHP, dirumuskan, antara lain : 1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain, atau; 6 Ibid., hlm. 4. Universitas Sumatera Utara 2. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan orang lain. Perumusan yang diajukan Menteri Kehakiman tersebut, pada pembentukan Pasal 351 KUHP diubah yakni : 7 1 Penganiayaan ; 2 Diambil alih oleh ayat 4 ; Mengenai perbedaan antara kejahatan terhadap nyawa dan kejahatan terhadap tubuh dalam prakteknya, terdapat sedikit kerumitan dalam penerapan perbedaan keduanya, terutama pada pembunuhan berencana dan juga penganiayaan yang berakibat pada kematian yang telah direncanakan terlebih dahulu. Karena pada dasarnya ada akibat dari tindakan tersebut yaitu hilangnya nyawa seseorang yang disebabkan oleh perbuatan dari pelaku. Sehingga perlu dibuktikan terlebih dahulu mengenai makna berencana yang terkandung dalam pembunuhan berencana serta penganiayaan berat dan berencana. Kemudian harus dibuktikan kembali niat awal dari pelaku kejahatan, hal tersebut dapat dilihat dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Serta perlu dikaji mengenai pembuatan surat dakwaan. Jenis tindak pidana yang dalam frekuensi menyusul adalah tindak pidana mengenai tubuh dan nyawa orang, yaitu terutama penganiayaan dan pembunuhan. Kedua macam tindak pidana ini sangat erat hubungannya 8 .Kedua jenis tindak pidana ini, yaitu penganiayaan dan pembunuhan, juga dalam KUHP dimuat 7 Ibid., hlm. 5-6. 8 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia Jakarta:Refika Aditama,2003, hlm. 66. Universitas Sumatera Utara berturut-turut, dan baru kemudian dimuat perbuatan menyebabkan luka atau matinya orang karena kealpaan culpa. Jadi, sesuai dengan pandangan saya mengenai hubungan erat antara penganiayaan dan pembunuhan, hanya saja pembunuhan didahulukan daripada penganiayaan. Pembunuhan termuat dalam titel XX Buku II. Hal ini mungkin disebabakan lebih pentingnya pembunuhan daripada penganiayaan, bukan lebih frekuensinya. Titel XIX mengenai pembunuhan didahului oleh titel XVIII mengenai kejahatan terhadap kemerdekaan orang, kiranya menunjukkan bahwa pembentuk KUHP menganggap lebih tinggi kepentingan seseorang atas kemerdekaannya daripada atas nyawanya.Sikap pembentuk KUHP ini dapat dimengerti, tetapi ini tidak berarti bahwa tindak pidana menghilangkan atau menggangu kemerdekaan orang bersifat lebih berat daripada pembunuhan dan penganiayaan. Maka, maksimum hukumannya lebih berat bagi pembunuhan. 9 Pembunuhan oleh Pasal 338 dirumuskan sebagai dengan sengaja menghilangkan nyawa orang yang diancam dengan maksimum hukuman lima belas tahun penjara. Ini adalah suatu perumusan secara material, yaitu secara mengakibatkan sesuatu tertentu tanpa menyebutkan wujud perbuatan dari tindak pidana. Perbuatan ini dapat berwujud macam-macam, yaitu dapat berupa menembak dengan senjata api, menikam dengan pisau, memukul dengan sepotong besi, mencekik leher dengan tangan, memberikan racun dalam makanan, dan 9 Ibid , hlm.67. Universitas Sumatera Utara sebagainya, bahkan dapat berupa diam saja dalam hal seorang berwajib bertindak seperti tidak memberikan makanan kepada seorang bayi. Perbuatan-perbuatan ini harus ditambah dengan unsur kesengajaan dalam salah satu dari tiga wujud, yaitu sebagai tujuan oogmerk untuk mengadakan akibat tertentu, atau sebagai keinsafan kepastian akan datangnya akibat itu opzet bij zekerheidsbewustzijn atau sebagai keinsafan kemungkinan akan datangnya akibat itu opzet bij mogelijk-heidsbewustzijn. Lain halnya dengan penganiayaan. Dalam Pasal 351 KUHP hanya mengatakan bahwa penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah. Jelaslah bahwa kata penganiayaan tidak menunjuk kepada perbuatan tertentu, misalnya kata mengambil dari pencurian. Maka, dapat dikatakan bahwa kini pun tampak ada perumusan secara material. Akan tetapi, tampak secara jelas apa wujud akibat yang harus disebabkan. Kebetulan, maksud pembentuk pembuat undang-undang dapat terlihat dalam sejarah terbentuknya Pasal yang bersangkutan dari KUHP Belanda. Mula- mula, dalam rancangan undang-undang dari Pemerintah Belanda ditemukan perumusan dengan sengaja mengakibatkan rasa sakit dalam tubuh orang lain, dan dengan sengaja merugikan kesehatan orang lain . Perumusan ini pada pembicaraan dalam Parlemen Belanda dianggap tidak tepat karena meliputi juga perbuatan seorang pendidik terhadapanak didiknya, dan perbuatan seorang dokter terhadap pasiennya. Universitas Sumatera Utara Keberatan ini diakui kebenarannya, maka perumusan diganti menjadi penganiayaan dengan penjelasan bahwa ini berarti berbuat sesuatu dengan tujuan oogmerk untuk mengakibatkan rasa sakit. Dan, memang inilah arti dari kata penganiayaan . Sedangkan menurut Pasal 351 ayat 4, penganiayaan disamakan dengan merugikan kesehatan orang lain dengan sengaja. Unsur kesengajaan ini kini terbatas pada wujud tujuan oogmerk, tidak seperti unsur kesengajaan dari pembunuhan.Apabila suatu penganiayaan mengakibatkan luka berat, maka menurut Pasal 351 ayat 2 KUHP, maksimum hukuman dijadikan lima tahun penjara. Sedangkan jika berakibat matinya orang, maka maksimum hukuman meningkat lagi menjadi tujuh tahun penjara. Dua macam akibat ini harus tidak dituju dan juga harus tidak disengaja, sebab kalau melukai berat ini disengaja, maka ada tindak pidana penganiayaan berat dari Pasal 354 ayat 1 dengan maksimum hukuman delapan tahun penjara. Hukuman itu menjadi sepuluh tahun penjara jika perbuatan ini mengakibatkan matinya orang disengaja, tindak pidananya menjadi pembunuhan yang diancam dengan maksimum lima belas tahun penjara. Istilah luka berat menurut Pasal 90 berarti sebagai berikut : 10 1. Penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan sempurna atau yang menimbulkan bahaya-maut levens gevaar. 2. Menjadi senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pencaharian. 3. Kehilangan kemampuan memakai salah satu dari pancaindera. 10 Ibid., hlm. 67-69. Universitas Sumatera Utara 4. Kekudung-kudungan. 5. Kelumpuhan. 6. Gangguan daya berpikir selama lebih dari empat minggu. 7. Pengguguran kehamilan atau kematian anak yang masih ada di dalam kandungan. Namun apabila suatu perbuatan penganiayaan dilakukan dengan direncanakan lebih dulu secara tenang, maka menurut Pasal 353 maksimum hukuman menjadi empat tahun penjara, dan meningkat lagi menjadi tujuh tahun penjara apabila ada luka berat, dan sembilan tahun penjara apabila berakibat matinya orang; sedangkan apabila penganiayaan berat dilakukan dengan direncankan lebih dulu dengan tenang, maka menurut Pasal 355 maksimum hukuman menjadi dua belas tahun penjara; dan apabila berakibat matinya orang menjadi lima belas tahun penjara. Pembunuhan apabila dilakukan dengan direncanakan lebih dulu secara tenang, maka terjadi tindak pidana pembunuhan berencana moorddari Pasal 340 yang mengancam dengan maksimum hukuman mati, atau hukuman penjara seumur hidup, atau hukuman penjara dua puluh tahun.Untuk unsur perencanaan ini tidak perlu ada tenggang waktu lama antara waktu merencanakan dan waktu untuk melakukan perbuatan penganiayaan berat atau pembunuhan. Sebaliknya, meskipun ada tenggang waktu itu, yang tidak begitu pendek, belum tentu dapat dikatakan ada rencana lebih dulu secara tenang. Ini semua bergantung kepada keadaan konkret dari setiap peristiwa. 11 11 Ibid., hlm. 69-70. Universitas Sumatera Utara Terhadap dua permasalahan diatas, terdapat kerumitan dalam prakteknya untuk menentukan perbuatan yang terjadi jika hanya berdasarkan pada pengaturan perundang-undangan semata. Maka dibutuhkan suatu pembuktian dalam persidangan untuk membantu hakim dalam membentuk keyakinannya untuk memutuskan sesuatu. Jika dilihat dari kegunaan dan juga tujuannya dari pembuktian dapat dijabarkan sebagai berikut : 12 1. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan bahwa seseorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan. 2. Bagi terdakwa atau penasihat hukum , pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan bahwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan. 3. Bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasihat hukumterdakwa diibuat dasar untuk membuat keputusan. Mengenai dasar pemeriksaaan adalah surat dakwaan untuk perkara biasa atau catatan dakwaan untuk perkara singkat yang berisi perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh seorang terdakwa pada hari, tanggal, jam serta tempat 12 Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam perkara pidana Bandung: Mandar maju, 2003, hlm. 13. Universitas Sumatera Utara sebagaimana didakwakan. Oleh karena itu yang dibuktikan dalam persidangan adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa yang dianggap melanggar ketentuan tindak pidana. Mengenai pembuktian yang dijabarkan diatas, maka dalam proses pembuktian yang dibuktikan suatu perbuatan pidana itu memang terjadi atau tidak dan apakah terdakwa memang melakukan perbuatan tersebut. Untuk melakukan pembuktian tersebut maka dibutuhkan alat-alat bukti untuk dilakukannya pembuktian. Maka dapatlah dijabarkan mengenai alat bukti sebagai berikut : 13 1. Alat bukti yang diatur dalam Pasal 295 HIR, yang macamnya sebagai berikut : a. Keterangan saksi. b. Surat-surat. c. Pengakuan. d. Tanda-tanda petunjuk. 2. Sedangkan dalam KUHAP, diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu : a. Keterangan Saksi; b. Keterangan Ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan Terdakwa Hal- hal yang dijelaskan diatas terdapat perbedaan mengenai pembunuhan berencana dan penganiayaan berencana walaupun terdapat kesukaran dalam 13 Ibid ., hlm. 18. Universitas Sumatera Utara pembedaannya terhadap unsur “dengan rencana” dan tidak adanya pengaturan rinci mengenai cara dalam melakukan pembunuhan, sehingga suatu pembunuhan terlihat sebagai penganiayaan dan juga sebaliknya. Dalam kasus Pembunuhan Ade Sara yang ramai diperbicangkan dikarenakan dilakukan dengan sadis untuk pemuda yang masih duduk dibangku perkuliahan untuk menimba ilmu. Dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP, yang dalam unsur-unsurnya dapat dilihat sebagai berikut : a. Barang siapa; b. Dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu; c. Merampas nyawa orang lain; d. Yang menyuruh melakukan, mereka yang melakukan atau turut serta melakukan; Jika melihat unsur-unsur diatas, maka keseluruhan dari Pasal 340 KUHP haruslah terpenuhi terlebih dahulu, apabila tidak terpenuhi maka tidak dapat dikatakan sebagai pembunuhan berencana. Maka perlu dilihat lebih dalam mengenai kesesuaian fakta-fakta hukum dipersidangan sehingga dapat menemukan kebenaran materiil. Selain itu, terhadap hal yang dilakukan oleh terdakwa, apakah terdakwa mengetahui bahwa hal yang dilakukannya tersebut adalah suatu kesengajaan untuk melakukan pembunuhan berencana ataukah tidak ada niat sama sekali dari terdakwa untuk membunuh. Dan hal yang ketiga adalah, terbukti kah dalam persidangan dalam pembuktian yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut umum maupun Kuasa Hukum Terdakwa apakah terdakwa secara sah dan meyakinkan Universitas Sumatera Utara bersalah atau tidak bersalah sama sekali. Oleh tiga alasan diatas maka penulis mengangkat skripsi ini, karena sebagai mahasiswa fakultas hukum maka perlu lah mengetahui dan mencari tahu tentang peranan pembuktian dalam menentukan tindak pidana apa yang sebenarnya terjadi.

B. Rumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)

2 81 104

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

2 50 101

Peranan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pengguna Narkotika

0 54 168

Peranan Dokter Dalam Pembuktian Perkara Pidana (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan)

1 57 110

Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan)

3 130 140

Relevansi Sistem Penjatuhan Pidana Dengan Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Terhadap Kasus Pencurian Kendaraan Bermotor (Studi di Pengadilan Negeri Kota Malang)

1 5 30

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Su

0 0 34

BAB II RESTORATIVE JUSTICE DAN DIVERSI - Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

0 1 19

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

0 0 34

Peranan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pengguna Narkotika

0 0 12