Saran Peranan Pembuktian Terhadap Putusan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana ( Putusan Pengadilan Negeri No.1359/PID.B/2014/PN.JKT.PST)

mengunakan keyakinannya, namun dalam membentuk keyakinannya hakim harus pula berdasarkan pada minimal dua lat bukti yang sah yang ada dalam persidangan. Terhadap pembuktian yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum haruslah mampu meyakinkan hakim melalui alat-alat bukti yang dihadirkannya dalam persidangan sebagai sesuatu yang dapat menguatkan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum. Dan dalam melakukan tuntutan Jaksa Penuntut Umum haruslah menyesuaikan dengan fakta-fakta hukum yang ada dalam persidangan sehingga benarlah suatu tindak pidana tersebut telah terjadi dan dilakukan oleh Terdakwa sehingga tuntutan tersebut dibuat seobjektif mungkin.

B. Saran

Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, dapat diberikan saran sebagai berikut : 1. Aparat penegak hukum terlebih kepada Majelis Hakim untuk memberikan pertimbangan yang sesuai dengan hati nuraninya dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berdasarkan kepada kebenaran, keadilan, kepastian, dan kemannfaatan hukum dalam menjatuhkan suatu putusan 2. Terhadap Jaksa Penuntut Umum sebagai salah satu pihak yang dalam persidangan memiliki hak untuk melakukan pembuktian terhadap tuntutan yang dibuatnya terhadap terdakwa hendaklah memberikan alat-alat bukti Universitas Sumatera Utara yang memang dapat membuktikan bahwa terdakwa memang bersalah. Apabila dalam pembuktian dalam persidangan dimana fakta-fakta hukum telah terungkap dan terdakwa tidak sepenuhnya bersalah terhadap apa yang didakwakan kepadanya hendaklah Jaksa Penuntut Umum menuntut hal yang kurang terbukti kebenarannya dalam pembuktian. 3. Majelis Hakim hendaknya lebih arif dan bijaksana dalam menilai bukti- bukti yang diajukan dalam suatu perkara tindak pidana terutama pembunuhan, agar tujuan hukum acara pidana yang mencari kebenaran materiil benar-benar dapat terwujud. Universitas Sumatera Utara BAB II PERANAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA DAN PENGANIAYAAN BERENCANA A. Pengaturan Mengenai Pembunuhan Berencana dan Penganiayaan Berencana dalam KUHP 1. Pengaturan Mengenai Pembunuhan Berencana dalam KUHP Kejahatan terhadap nyawa misdrijven tegen het leven adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. Kepentingan hukum yang dilindungi dan yang merupakan objek kejahatan ini adalah nyawa leven manusia. Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau dikelompokkan atas 2 dasar, yaitu : 1 atas dasar unsur kesalahannya dan 2 atas dasar objeknya nyawa. Atas dasar kesalahannya ada 2 kelompok kejahatan terhadap nyawa, ialah : a. Kejahaatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja dolus misdrijven , adalah kejahatan yang dimuat dalam Bab XIX KUHP, pasal 338 sd 350. b. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan sengaja culpose misdrijven , dimuat dalam Bab XXI khusus pasal 359. Sedangkan atas dasar objeknya kepentingan hukum yang dilindungi, maka kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan dalam 3 macam, yakni: a. Kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam pasal 338,339,340,344,345. 31 Universitas Sumatera Utara b. Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, dimuat dalam pasal 341,342,dan 343. c. Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan ibu janin, dimuat dalam pasal 346,347,348 dan 349. 32 Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan bahwa kejahatan terhadap nyawa merupakan suatu tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang sebagai perbuatan yang anti sosial atau suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat yang menyebabkan hilangnya kehidupan manusia mati, sehingga tidak dapat melaksanakan aktivitas sebagaimana manusia normal yang hidup. KUHP menjelaskan mengenai kejahatan terhadap nyawa dirumuskan dalam Bab XIX secara lengkap. Kejahatan terhadap nyawa dirumuskan melalui tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja. Perbuatan dan niat menggolongkan tindak pidana pembunhan kedalam tindak pidana tertentu, maksudnya mengenai tindak pidana pembunuhan telah dibagi berdasarkan perbuatan dan niat bagi pelaku kejahatan dalam menjalankan aksinya. Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu dalam KUHP yang dewasa ini berlaku telah disebut sebagai pembunuhan. Untuk menghilangkan nyawa orang lain itu seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain tersebut. 33 Istilah pembunuhan berencana pertama kali dipakai dalam pengadilan pada tahun 1963, pada sidang Mark Richardson, yang dituduh membunuh 32 Ibid., hlm. 55-56 33 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 1. Universitas Sumatera Utara istrinya. Pada sidang itu diketahui bahwa Richardson berencana membunuh istrinya selama tiga tahun. Pembunuhan dengan rencana lebih dulu atau disingkat dengan pembunuhan berencana, adalah pembunuhan yang paling berat ancaman pidananya dari seluruh bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam pasal 340 yang rumusannya adalah : “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu , paling lama dua puluh tahun”. 34 Rumusan tersebut terdiri dari unsur-unsur : a. Unsur Subyektif : Dengan Sengaja dan Dengan rencana terlebih dahulu b. Unsur Obyektif: Perbuatan yaitu menghilangkan nyawa orang lain. Dan yang menjadi objeknya adalah nyawa orang lain. Pasal 340 dirumuskan dengan cara mengulang kembali seluruh unsur dalam pasal 338, kemudian ditambah dengan satu unsur lagi yakni “dengan rencana terlebih dahulu”. Oleh karena dalam pasal 340 mengulang lagi seluruh unsur pasal 338, maka pembunuhan berencana dapat dianggap sebagai pembunuhan yang berdiri sendiri een zelfstanding misdrijf lepas dan lain dengan pembunuhan biasa dalam bentuk pokok 338. 34 Himpunan Peraturan Perundang-undangan KUHAP KUHP Jakarta: Fokusmedia, 2012 Universitas Sumatera Utara Apalagi pembunuhan berencana itu dimaksdukan oleh pembuntuk dari UU sebagai pembunuhan bentuk khusus yang memberatkan, seharusnya tidak dirumuskan dengan cara demikian , melainkan dalam pasal 340 itu cukup disebut sebagai pembunuhan saja, tidak perlu menyebut seluruh unsur pasal 338 lagi. Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya, mengandung 3 unsur, yaitu : a. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang. b. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak. c. Pelaksanaan kehendak perbuatan dalam suasana tenang. 35 Pembunuhan berencana merupakan pemberatan dari pembunuhan biasa yang diatur dalam pasal 338 KUHP. Dimana yang membedakannya adalah adanya unsur “direncanakan terlebih dahulu”. Pembunuhan berencana diatur dalam pasal 340 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut : Terhadap isi dari pasal 340 KUHP diatas, R.Soesilo dalam bukunya memberikan sedikit penjelasan dalam bukunya yaitu kejahatan ini dinamakan sebagai pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu moord. Boleh dikatakan bahwa ini adalah suatu pembunuhan biasa doodslag dalam pasal 338 KUHP, akan tetapi dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu. Direncanakan lebih dahulu voorbedacbte rade = antara timbulnya maksud untuk membunuh dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah 35 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Nyawa dan Tubuh Jakarta: Raja Grafindo, 2013, hlm. 80-82. Universitas Sumatera Utara pembunuhan itu akan dilakukan. Tempo ini tidak boleh terlalu sempit, akan tetapi sebaliknya juga tidak perlu terlalu lama, yang penting ialah apakah didalam tempo itu si pembuat dengan tenang masih dapat berpikir-pikir, yang sebenarnya ia masih ada kesempatan untuk membatalkan niatnya akan membunuh itu, akan tetapi tidak ia pergunakan. Pembunuhan dengan mempergunakan racun hampir semua merupakan “moord”. 36 Menurut memori penjelasan, untuk “berencana” diisyaratkan “saat untuk menimbang dengan ten ang dan berpikir secara mantap”. Untuk itu, dianggap cukup kalau pembuat sebelum melaksanakan kejahatan mempunyai waktu untuk mempertimbangkan apa yang hendak dilakukannya. Juga, adanya bagian subyektif ini, sering kali disimpulkan oleh hakim dari “keadaan objektif” kejadian. Demikian Hoge Raad. Membenarkan konklusi dari Pengadilan Tinggi Den Haag mengenai rencan terlebih dahulu yang dianggap terbukti, yaitu “Karena beberapa hari sebelumnya, ketika banyak pemuda menjalani milisi, terdakwa mengenakan pakaian seragam, pada hari pembunuhan menggunakan kacamata gelap, dan dengan alasan palsu membujuk korban untuk keluar dari rumahnya. Rencana terlebih dahulu itu mendahului pelaksanaan perbuatan, jadi mendahului perbuatan dengan sengaja. Ciri “menimbang dengan tenang dan berpikir secara mantap” tidak sesuai dengan kenyataan. Ketenangan dan kemantapan itu sering tidak besar. Selain itu, yang menjadi persoalan tidak begitu mengenai keadaan kebatinan, tetapi mengenai persiapan. Apa yang membedakan pembunuhan berencana dari pembunuhan biasa adalah adanya suatu perencanaan, 36 R.Soesilo. KUHP serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal Bogor:Politeia, 1994. hlm.241. Universitas Sumatera Utara persiapan, pemilihan waktu yang tepat, dan pemandangan yang rendah terhadap nyawa orang lain. 37 2. Pengaturan Mengenai Penganiayaan Berencana Dalam KUHP Dibentuknya kejahatan terhadap tubuh manusia misdrijven tegen bet liff ini ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan- perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian. Atas dasar unsur kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh ada 2 macam, ialah : 1. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja. Kejahatan yang dimaksudkan ini diberi kualifikasi sebgai penganiayaan mishandeling, dimuat dalam Bab XX buku II, pasal 351 sd 358. 2. Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam pasal 360 Bab XXI yang dikenal dengan kualifikasi karena lalai menyebabkan orang lain luka. 38 Kejahatan terhadap tubuh dalam KUHP hal ini disebut dengan “penganiayaan” tetapi KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Ilmu pengetahuan doktrine mengartikan penganiayaan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain Jelaslah bahwa kata penganiayaan tidak menunjuk pada perbuatan tertentu, misalnya kata mengambil dalam pencurian. Maka dapat dikatakan bahwa kini pun tampak pada perumusan secara material. Akan tetapi, tampak secara jelas 37 D. Schaffmeister, Hukum Pidana Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007, hlm. 96. 38 Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 7. Universitas Sumatera Utara apa wujud akibat yang harus disebabkan. Menurut penjelasan Menteri Kehakiman pada waktu pembentukan pasal 351 KUHP dirumuskan antara lain: 1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain; 2. Setiap perbuatan yang dilakukan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan orang lain. Dengan demikian, unsur kesengajaan ini kini terbatas pada wujud tujuan oogmerk, tidak seperti unsur kesengajaan dari pembunuhan. 39 Berdasarkan unsur kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh ada 2 macam yaitu kejahatan terhadap tubuh dengan sengaja dan kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian. Berikut dibawah ini adalah penjabaran mengenai penggolongan disertai mengenai penjelasan dari kejahatan terhadap tubuh. KUHP mengatur mengenai tindak pidana penganiayaan yang disengaja dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu sebagai berikut: a. Penganiayaan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP. b. Penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 352 KUHP. c. Penganiayaan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 353 KUHP. d. Penganiayaan berat sebagaimana diatur dalam Pasal 354 KUHP. e. Penganiayaan berat berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 355 KUHP. f. Penganiayaan terhadap orang yang berkualitas tertentu. 39 http:wwwqolbu27.blogspot.co.id201006tindak-pidana-terhadap-tubuh.html. Diakses pada hari Kamis, 7 April 2016 pukul 11.54 Universitas Sumatera Utara Penganiayaan berencana diatur dalam Pasal 353, mengenai penganiayaan berencana merumuskan sebagai berikut: 1. Penganiayaan dengan rencana lebih dulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun; 2. Jika perbuatan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidan penjara paling lama 7 tahun; 3. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Ada 3 macam penganiayaan berencana, yakni : 1. Penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian; 2. Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat; 3. Penganiayaan berencana yang berakibat kematian Kejahatan yang dirumuskan pasal 353 dalam praktik hukum diberi kualifikasi sebagai penganiayaan berencana, oleh sebab terdapatnya unsur direncanakan lebih dulu meet voorbedachte rade sebelum perbuatan dilakukan. Direncanakan lebih dulu disingkat berencana, adalah bentuk khusus dari kesengajaan opzettelijk dan merupakan alasan pemberat pidana pada penganiayaan yang bersifat subyektif dan yang juga terdapat pada pembunuhan berencana. 40 Ada persamaan dan perbedaan antara penganiayaan biasa bentuk a 351 ayat 1 dengan penganiayaan berencana bentuk a. Persamaannya, ialah pada kedua penganiayaan : 40 Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 26. Universitas Sumatera Utara 1. Masing-masing tidak mengakibatkan luka berat atau kematian 2. Memiliki kesengajaan yang sama terhadap perbuatan beserta akibatnya, maksudnya baik terhadap perbuatan maupun akibat perbuatan berupa rasa sakit tubuh orang lain sama diinginkan petindak 3. Bila mengakibatkan luka, haruslah berupa bukan luka berat dalam arti luka ringan sebagai kebalikan dari luka berat. 4. Sama berlaku faktor yang memperberat pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 356 Sedangkan perbedaannya adalah, bahwa pada penganiayaan biasa bentuk : 1. Tidak terdapat unsur direncanakan lebih dahulu. 2. Dapat terjadi pada penganiayaan ringan, yakni bila penganiayaan itu tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian. 3. Dipandang sebagai bentuk pokokstandar dari penganiayaan. 4. Percobaannya tidak dapat dipidana. Sedangkan penganiayaan berencana bentuk a adalah : 1. Adanya faktor pemberat pidana berupa direncanakan lebih dulu ; 2. Tidak mungkin terjadi pada penganiayaan ringan, karena pasal 353 disebut sebagai perkecualian dari penganiayaan ringan ; 3. Dipandang sebagai penganiayaan yang dikualifisir gequalificeerde mishandeling ; 4. Percobaannya dipidana . Universitas Sumatera Utara Pada penganiayaan berencana bentuk b dan c, sama pula halnya dengan penganiayaan biasa bentuk b dan c, penganiayaan berencana itu menimbulkan akibat luka berat dan kematian. Akibat luka berat dan kematian adalah faktoralas an pemberat pidana yang bersifat obyektif Kesengajaan petindak tidak ditunjukkan pada akibat luka berat dan atau kematian, sebab apabila akibat luka berat yang dikehendaki, maka bukan penganiayaan yang berencana yang menimbulkan luka berat ayat 2 yang terjadi, akan tetapi penganiayaan berat berencana 355. Apabila kesengajaan ditujukan pada akibat kematian, maka bukan penganiayaan berencana yang mengakibatkan kematian ayat 3 yang terjadi, tetapi pembunuhan berencana 340. Perbedaan antara penganiayaan biasa bentuk b dan c dengan penganiayaan berencana bentuk b dan c lainnya, pada dasarnya adalah sama dengan perbedaan antara penganiayaan biasa bentuk a dengan penganiayaan berencana bentuk a yang sudah disinggung dibagian muka, dengan tambahan bahwa faktor pemberat pidana pada penganiayaan biasa bentuk b dan c hanyalah pada akibat perbuatan luka berat dan atau kematian saja, akan tetapi pada penganiayaan berencana bentuk b dan c selain pada akibat luka berat dan atau kematian, faktor obyektif, juga pada faktor direncanakan terlebih dahulu. Ada alasan pemberat pidana pada penganiayaan, yakni akibat perbuatan berupa luka berat ayat 2 dan kematian ayat 3. 41 41 Ibid ., hlm. 28-31. Universitas Sumatera Utara 3. Perbedaan Antara Pembunuhan Berencana dan Penganiayaan Berencana Dalam hal ini penulis akan membahas lebih mendalam mengenai pembunuhan berencana dan penganiayaan berencana secara khusus. Mengenai perbedaan antara pembunuhan berencana dan penganiayaan berencana yang berakibat kematian memiliki perbedaan yang sulit untuk dibedakan, dikarenakan tidak adanya suatu rumusan yang sangat jelas dalam membedakan kedua hal tersebut. Mengenai perbedaan antara kejahatan terhadap nyawa dan kejahatan terhadap tubuh dalam prakteknya, terdapat sedikit kerumitan dalam penerapan perbedaan keduanya, terutama pada pembunuhan berencana dan juga penganiayaan yang berakibat pada kematian yang telah direncanakan terlebih dahulu. Karena pada dasarnya ada akibat dari tindakan tersebut yaitu hilangnya nyawa seseorang yang disebabkan oleh perbuatan dari pelaku. Sehingga perlu dibuktikan terlebih dahulu mengenai makna berencana yang terkandung dalam pembunuhan berencana serta penganiayaan berat dan berencana. Kemudian harus dibuktikan kembali niat awal dari pelaku kejahatan, hal tersebut dapat dilihat dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Serta perlu dikaji mengenai pembuatan surat dakwaan. Jenis tindak pidana yang dalam frekuensi menyusul adalah tindak pidana mengenai tubuh dan nyawa orang, yaitu terutama penganiayaan dan pembunuhan. Kedua macam tindak pidana ini sangat erat hubungannya. 42 42 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hlm. 66. Universitas Sumatera Utara Perbedaan antara Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian dengan Tindak Pidana Pembunuhan adalah terletak pada unsur-unsurnya. Adapun yang menjadi unsur penganiayaan yang mengakibatkan kematian adalah: 1. Unsur Kesengajaan Hukum pidana akan melihat unsur kesengajaan berdasarkan kasus perkasus animus ad se omne jus ducit. Terkadang, kesengajaan lebih diperhitungkan dibandingkan dengan kejadiaannya atau fakta yang sesungguhnya in maleficiis voluntas spectator, non exitus. Dalam konteks ini, penting kiranya kita memahami jenis-jenis kesengajaan yang akan diulas sebagai berikut : a. Kesengajaan Sebagai Maksud. Kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk adalah kesengajaan untuk mencapai suatu tujuan. Artinya, antara motivasi seseorang melakukan perbuatan, tindakan dan akibatnya benar-benar terwujud. b. Kesengajaan Sebagai Kepastian Berbeda dengan kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian atau keharusan opzet bij noodzakelijkheids of zekerheidsbewustzijn adalah kesengajaan yang menimbulkan dua akibat. Akibat pertama dikehendaki oleh pelaku, sedangkan akibat kedua, tidak dikehendaki oleh pelaku, sedangkan akibat kedua, tidak dikehendaki namun pasti atau harus terjadi. c. Kesengajaan Sebagai Kemungkinan Adakalanya suatu kesengajaan menimbulkan akibat yang tidak pasti terjadi namun merupakan suatu kemungkinan. Dalam hal yang demikian Universitas Sumatera Utara terjadilah kesengajaan dengan kesadaran akan besarnya kemungkinan atau opzet met waarschijnlijkheidsbewustzijn. 43 Tindak pidana penganiayaan unsur kesengajaan harus diartikan sebagai sebagai kesengajaan sebagai maksud. Berbeda dengan tindak pidana lain seperti pembunuhan, unsur kesengajaan harus ditafsirkan secara luas yaitu meliputi kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan. Dengan penafsiran bahwa unsur kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan ditafsir sebagai kesengajaan sebagai maksud opzet alsa ogmerk, maka seseorang baru dapat dikatakan melakukan tindak pidana penganiayaan, apabila orang itu mempunyai maksud menimbulkan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh. Jadi, dalam hal ini maksud orang itu haruslah ditujukan kepada perbuatan dan rasa sakit atau luka pada tubuh. Walaupun secara prinsip kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan harus ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai maksud , namun dalam hal-hal tertentu kesengajaan dalam penganiayaan juga dapat ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai kemungkinan 44 . Hal ini pernah dilakukan Hooge Raad dalam arrestnya tanggal 15 Januari 1934 , yang menyatakan : “Kenyataan bahwa orang telah melakukan suatu tindak pidana yang besar kemungkinan dapat menimbulkan perasaan sangat sakit pada orang lain itu merupakan suatu penganiayaan. Tidak menjadi soal bahwa dalam kasus ini opzet pelaku telah tidak ditujukan untuk menimbulkan perasaan sangat sakit seperti itu melainkan telah ditujukan kepada perbuatan untuk 43 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Yogyakarta: Cahaya Atma Pusaka, 2014, hlm. 136-137. 44 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan Malang: UMM Press, 2009, , hlm. 73. Universitas Sumatera Utara melepaskan diri dari penangkapan oleh seorang pegawai polisi ”. 45 Bertolak dari Arrest Hoge Raad diatas tersimpul, bahwa kemungkinan terhadap terjadinya rasa sakit yang semestinya dipertimbangkan oleh pelaku tetapi tidak dilakukannya sehingga karena perbuatan yang dilakukannya itu menimbulkan rasa sakit, telah ditafsirkan sebagai penganiayaan. Dalam hal ini sekalipun pelaku tidak mempunyai maksud untuk menimbulkan rasa sakit dalam perbuatannya, tetapi ia tetap dianggap melakukan penganiayaan atas pertimbangan, bahwa mestinya ia sadar bahwa perbuatan yang dilakuaknnya itu sangat mungkin akan menimbulkan rasa sakit. Namun demikian, penganiayaan itu dapat ditafsirkan sebagai kesengajaan dengan sadar akan kemungkinan , tetapi penafsiran tersebut juga terbatas pada adanya kesengajaan sebagai kemungkinan terhadap akibat. Artinya dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dimungkinkan penafsiran secara luas terhadap unsur kesengajaan itu yaitu kesengajaan sebagai maksud, sengaja sebagai kepastian, hanya dimungkinkan terhadap akibatnya. Sementara terhadap perbuatan itu haruslah merupakan tujuan dari si pelaku kejahatan tersebut. 2. Unsur Perbuatan Yang dimaksud sebagai perbuatan dalam penganiayaan adalah suatu perbuatan dalam arti positif. Artinya perbuatan tersebut haruslah merupakan aktivitas atau kegiatan dari manusia dengan menggunakan sebagian anggota tubuhnya sekalipun sekecil apapun perbuatan itu. Selain bersifat positif, unsur perbuatan dalam tindak pidana penganiayaan juga bersifat abstrak. Artinya 45 Ibid., hlm. 74. Universitas Sumatera Utara penganiayaan itu bisa dalam berbagai bentuk perbuatan seperti memukul, mencubit, mengiris, membacok, dan sebagainya. Dalam hal melakukan suatu perbuatan dalam hal ini, haruslah dilihat bahwa, walaupun disadari bahwa perbuatan yang sengaja dilakukan, menimbulkan rasa sakit ataupun luka, tetapi bila bukan itu yang menjadi tujuannya melainkan sebagai sarana yang patut, maka disini tidak ada penganiayaan. Dengan demikian pada perbuatan yang yang mengandung tujuan lain yang patut itu menjadi kehilangan sifat terlarangnya melawan hukum, dengan karenanya tidak dipidana. 46 3. Akibat perbuatan yang dituju, berupa rasa sakit atau luka pada tubuh Rasa sakit dalam konteks penganiayaan mengandung arti sebagai terjadinya atau timbulnya rasa sakit, rasa perih, tidak enak atau penderiataan. Sementara yang dimaksud dengan luka adalah adanya suatu perubahan dari tubuh, atau terjadinya perubahan rupa tubuh sehingga menjadi berbeda dari keadaan tubuh sebelum terjadinya penganiayaan. Perubahan rupa itu misanya lecet-lecet pada kulit, putusnya jari tangan, bengkak-bengkak pada anggota tubuh. Dalam hal ini kematian dapat terjadi, namun kematian bukanlah menjadi tujuan dari pelaku, dimana kematian menjadi suatu hal yang tidak dikehendaki oleh pembuat tindak pidana tersebut. Kematian akibat perbuatan pelaku hanya sebagai pemberat dalam pemberian hukuman bagi pelaku. Karena apabila kematian yang menjadi salah satu tujuan pelaku, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai 46 Adami chazawi, Op.Cit., hlm. 15. Universitas Sumatera Utara penganiayaan melainkan pembunuhan. 47 4. Akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya Unsur ini mengandung pengertian bahwa dalam tindak pidana penganiayaan akibat berupa rasa sakit atau luka itu haruslah merupakan tujuan satu-satunya dari pelaku. Artinya pelaku memang menghendaki timbulnya rasa sakit atau luka dari perbuatan penganiayaan yang dilakukannya. Jadi, untuk adanya penganiayaan harus dibuktikan bahwa rasa sakit atau luka pada tubuh itu menjadi tujuan dari pelaku. Apabila akibat yang berupa rasa sakit atatu luka itu bukan menjadi tujuan dari pelaku tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain yang patut, maka dalam hal ini tidak terjadi penganiayaan. Dalam praktek penegakan hukum, persoalan yang muncul adalah apa yang menjadi ukuran atau kriteria dari tujuan yang patut itu? Persoalan itu mudah dijawab, sebab tidak ada ukuran atau kriteria umum baku yang dapat dipakai sebagai pedoman. Oleh karena tidak ada ukuran yang bersifat yang secara umum dapat diterapkan, maka ukuran atau kriteria patut atau tidak patut itu diserahkan pada akal pikiran dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Jadi, sifatnya sangat kasuistis dan tergantung dari kebiasaan dalam masyarakat setempat. Muncul suatu pertanyaan yaitu siapakah yang berhak menentukan mengenai perihal suatu perbuatan, dari sudut akal pikiran dan kebiasaan yang wajar dalam masyarakat sebagai mempunyai tujuan yang patut ataukah tidak patut dalam arti sudah dipandang sebagai suatu perbuatan yang berlebihan? Maka 47 Ibid., hlm. 11. Universitas Sumatera Utara jawabannya bukanlah korban maupun pelaku, melainkan hakim itu sendiri. Akal pikiran hakim harus mampu menangkap secara baik nilai-nilai kewajaran dalam masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan seperti itu. 48 Melihat dari uraian diatas maka telah diketahuilah mengenai unsur-unsur dalam penganiayaan. Kemudian perlu lah untuk menjelaskan unsur dari Pembunuhan Berencana, sebagai berikut : 1 Unsur Subjektif : Dengan sengaja; Dengan rencana terlebih dahulu 2 Unsur Objektif : Perbuatan yang diwujudkan dengan menghilangkan nyawa orang lain, sedangkan objeknya adalah nyawa orang lain . Pembunuhan berencana terdiri dari pembunuhan dalam arti pasal 338 ditambah dengan adanya unsur dengan rencana terlebih dahulu. Lebih berat ancaman pidana pada pembunuhan berencana, jika dibandingkan dengan pembunuhan dalam pasal 338 maupun 339, diletakkan pada adanya unsur dengan rencana lebih dahulu itu. Pasal 340 dirumuskan dengan cara mengulang kembali seluruh unsur dalam pasal 338, kemudian ditambah dengan satu unsur lagi yakni “dengan rencan terlebih dahulu”. Oleh karena dalam pasal 340 mengulang lagi seluruh pasal 338, maka pembunuhan berencana dapat dianggap sebagai pembunuhan yang berdiri sendiri, lepas dan lain dengan pembunuhan biasa dalam bentuk pokok 338. Apalagi pembunuhan berencana itu dimaksudkan oleh pembentuk UU sebagai bentuk pembunuhan khusus yang memberatkan, seharusnya tidak 48 Ibid., hlm. 14. Universitas Sumatera Utara dirumuskan dengan cara demikian, melainkan dalam pasal 340 itu cukup disebut sebagai pembunuhan saja, tidak perlu lagi mengulang seluruh unsur pasal 338. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa merumuskan pasal 340 dengan cara demikian, pembentuk UU sengaja melakukannya dengan maksud sebagai kejahatan yang berdiri sendiri. 49 Terdapat perbedaaan mengenai maksud dari penggunaan istilah dengan “rencana terlebih dahulu” dalam pasal 340 dan pasal 353 KUHP. Penggunaan kata “voorbedachte raad” yang telah dibicarakan dalam pasal 351 ayat 1 KUHP itu mempunyai kedudukan yang “tidak sama” dengan “voorbedachte raad” didalam pasal 340 KUHP. Jika didala m rumusan pasal 340 KUHP, “voorbedachte raad ” itu ‘merupakan unsur” dari tindak pidana “moord”, maka didalam rumusan pasal 353 ayat 1 KUHP “voorbedachte raad” “bukan merupakan unsur”dari tindak pidana “penganiayaan” melakinkan ia hanya merupakan suatau “keadaaan yang memberatkan pidana” strafverzwaarende omstandigheid dari tindak pidana pidana penganiayaan seperti yang dimaksud dalam pasal 351 KUHP. Pengetahuan mengenai perbedaan kedudukan dari “voorbedachte raad” di dalam rumusan pasal 340 KUHP dengan ini dalam rumusan pasal 353 ayat 1 KUHP itu sangat penting, yakni berkenaan dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 58 KUHP. Untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai perbedaan antara unsur berencana dalam pasal 340 KUHP dan 353 KUHP maka, dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Voorbedachte raad dalam rumusan ketentuan pidana seperti yang diatur 49 Ibid., hlm. 81. Universitas Sumatera Utara dalam pasal 340 itu merupakan suatu “keadaan pribadi yang membuat pelakunya dapat dipidana” karena telah melakukan suatu moord atau yan g di dalam bahasa Belanda juga disebut sebagai “persoonlijke omstandigheid die de straftbaarheid bepaalt”. Ini berarti bahwa yang dapat dipersalahkan telah melakukan pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu met voorbedachte raad itu bukan hanya dadernya pelakunya saja, melainkan juga orang yang telah “membantu” madeplichtige dan orang yang “turut melakukan” mededader tindak pidana yang bersangkutan tanpa mereka itu harus ikut merencanakan lebih dulu tindak pidana pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu tersebut. b. Voorbedachte raad dalam rumusan ketentuan pidana seperti yang dimaksud dalam pasal 353 KUHP itu merupakan suatu “keadaan pribadi yang memperberat pidana” yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya atau yang di dalam bahasa Belanda juga disebut sebagai strafverhogende omstandigheid , hingga sesuai dengan dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 58 KUHP tersebut diatas itu, yang dapat dipersalahkan telah melakukan penganiayaan dengan direncanakan terlebih dahulu “hanyalah pelakunya sendiri”, atau dalam hal penganiayaan tersebut oleh pelakunya telah dilakukan dengan “mendapat bantuan” dari orang lain, maka orang lain “yang membantu” medeplichtige melakukan itu juga dapat dipersalahkan telah membantu melakukan tindak pidana penganiayaan Universitas Sumatera Utara “dengan direncanakan terlebih dahulu” 50 . Mengetahui perbedaan arti kata yang dimaksud dalam “direncanakan terlebih dahulu” dalam Pasal 340 KUHP dan Pasal 353 KUHP, memunculkan kembali hal lain mengenai perbedaan diantara pasal 340 serta 353 KUHP, yakni mengenai bisa atau tidaknya seorang “mededader” orang yang turut melakukan diberi suatu hukuman pidana. Untuk memudahkan menemukan perbedaannya, maka akan dijabarkan sebagai berikut : A. Untuk dapat mempersalahkan seseorang yang telah “turut melakukan” medeplegen tindak pidana pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu atau untuk dapat mendakwa orang tersebut sebagai “mededader” orang yang turut melakukan dalam tindak pidana pembunuhan dengan direncanakan itu, orang tersebut tidak perlu harus ikut merencanakan tindak pidana yang bersangkutan. Jika orang itu ternyata telah “turut melakukan” suatu pembunuhan yang telah direncanakan lebih dulu oleh seorang atau lebih dari seorang pelaku yang lain, maka ia dapat didakwa telah “turut melakukan” suatu tindak pidana pembunuhan dengan direncanakan lebih dulu atau dapat dituntut karena melanggar ketentuan- ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 55 ayat 1 angka 1 juncto pasal 340 KUHP. 51 B. Sedangkan untuk dapat mempersalahkan seseorang “telah turut melakukan” medeplegen tindak pidana “penganiayaan dengan 50 P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan Bandung: Binacipta, 1986, hlm.127-128. 51 Ibid., hlm.129. Universitas Sumatera Utara direncanakan lebih dulu”, atau untuk dapat mendakwa orang tersebut sebagai “mededader” dalam suatu tindak pidana “penganiayaan dengan direncanakan lebih dulu” itu, orang tersebut “harus turut merencanakan” tindak pidana penganiayaan itu sendiri. Tentunya hal ini dikarenakan kesesuaiaan dengan Pasal 58 KUHP bahwa voorbedachte raad dalam penganiayaan berencana adalah keadaan pribadi yang memberatkan pidana. Voorbedachte raad itu hanya berlaku bagi pelakunya sendiri seperti yang ditentukan dalam pasal 353 KUHP. Ini berarti bahwa agar orang lain yang “turut melakukan” penganiayaan seperti yang dimaksud dalam pasal 353 KUHP itu dapat dipidana dengan pidana-pidana yang ditentukan di dalamnya, maka dengan sendirinya ia harus “ikut merencanakan” tindak pidana yang bersangkutan 52 .

B. Peranan Pembuktian Dalam Mengarahakan Putusan Hakim Dalam

Dokumen yang terkait

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)

2 81 104

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

2 50 101

Peranan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pengguna Narkotika

0 54 168

Peranan Dokter Dalam Pembuktian Perkara Pidana (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan)

1 57 110

Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan)

3 130 140

Relevansi Sistem Penjatuhan Pidana Dengan Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Terhadap Kasus Pencurian Kendaraan Bermotor (Studi di Pengadilan Negeri Kota Malang)

1 5 30

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Su

0 0 34

BAB II RESTORATIVE JUSTICE DAN DIVERSI - Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

0 1 19

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

0 0 34

Peranan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pengguna Narkotika

0 0 12