49
“Hainan” atau di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan “Hailam”, mengacu pada pulau Hainan 海南岛, pinyin hainan dao, pulau utama dari provinsi tersebut. Pulau ini menjadi
tujuan wisata utama oleh para turis lokal mau mancanegara karena keindahan laut dan pantainya. Selama berabad-abad yang lalu, pulau Hainan adalah bagian dari Provinsi
Guangdong, namun pada tahun 1988 pulau ini menjadi Provinsi yang berdiri sendiri dengan ibukotanya adalah Haikou. Bahasadialek yang digunakan oleh orang Hainan Hailam
adalah dialek Hainan Hanzi 海南话, pinyin: Hainan hua. Jumlah penutur bahasa Hainan sendiri diperkirakan berjumlah sekitar 1,5 juta orang yang tersebar di seluruh dunia.
Orang Hainan di Indonesia sendiri terkonsentrasi di daerah Pekanbaru, Batam, dan Manado.
4.4 Gambaran Umum Etnis Tionghoa Di Kota Medan
Etnis Tionghoa di Medan memiliki perjalanan sejarah yang panjang dalamperkembangan Kota Medan sehingga perlu ada suatu upaya mengabadikan dan
melestarikannya. Menurut BPS Medan tahun 2010, etnis Tionghoa menempati urutan ke-3 sebesar 10.65 setelah Jawa dan Toba. Dengan demikian, eksistensikekayaan kultur perlu
dilestarikan agar tidak dimakan oleh zaman. Dikenal sebagai negara dengan jumlah etnis paling beragam, Indonesia tidakbisa terlepas dari pengaruh kebudayaan Tionghoa, bagi dari
zamank erajaankerajaanNusantara, era kolonial, masa perjuangan kemerdekaan, hingga saat ini.Peran serta kebudayaan Tionghoa dalam memperkaya khasanah nasional, telahmenjadi
hal yang dapat dikategorikan sebagai suatu inkulturasi yang signifikan. Etnis Tionghoa
Universitas Sumatera Utara
50
Indonesia adalah Tionghoa Perantauan yang terbesar keduadi dunia dengan jumlah sekitar 8.8 juta jiwa setelah Thailand. Dengan dominasiperantauan dari China Selatan, Medan
merupakan salah satu kota yang menjadikonsentrasi penduduk etnis Tionghoa di Indonesia. Etnis Tionghoa di Indonesia sebenarnya adalah orang Indonesia yang nenek
moyangnya berasal dari Cina dan sejak generasi pertama atau kedua telah tinggal di Indonesia, berbaur dengan penduduk setempat dan menguasai satu atau lebih bahasa yang
dipakai di Indonesia Etnis Tionghoa Medan memiliki kekhasan tersendiri yang terbentuk karena lingkungan ekonomik-sosial budaya masyarakat yang berada disekitarnya. Misalnya
dalam penggunaan bahasa sehari-hari, etnis Tionghoa kerap menggunakan bahasa Hokkian ketika berkomunikasi dengan sesamanya. Hanya ketika berkomunikasi dengan yang bukan
etnis Tionghoa saja mereka menggunakan bahasa Indonesia. Berbeda dengan etnis Tionghoa di Surabaya yang berbahasa Indonesia dengan logat khas Jawa Timur ketika
berkomunikasi sehari-hari, dan hal ini juga terjadi dengan etnis Tionghoa di Jogjakarta. Hal ini juga terlihat dari pengamatan penulis dengan beberapa etnis Tionghoa yang sedang
berkomunikasi dengan sesama etnis Tionghoa di Medan, walaupun saat itu penulis berada diantara mereka. Menurut salah satu dari etnis Tionghoa yang melakukan percakapan
tersebut mengatakan bahwa dirinya kurang lancar berbahasa Indonesia bila berkomunikasi dengan sesama Tionghoa, karena sudah terbiasa sejak kecil. Kekhasan lainnya, etnis
Tionghoa merasa bahwa diri mereka diperlakukan secara tidak adil oleh pribumi, dan merasa bahwa orang pribumi menganggap mereka sebagai “pendatang” sehingga pemikiran
Universitas Sumatera Utara
51
seperti ini membuat etnis Tionghoa mengelompok yang akhirnya dinilai lebih eksklusif dibandingkan dengan etnis lainnya.
Awal mula kedatangan etnis ini di Medan secara besar-besaran dimulai pada abad 19-20, perusahaan perkebunan Belanda mendatangkan tenaga pekerja dari Cina sebagai
kuli kontrak perkebunan. Mereka dibayar dengan gaji rendah dan diperlakukan buruk oleh Belanda. Sebelum kedatangan Belanda, orang Tionghoa di Indonesia hidup damai dengan
penduduk setempat, membaur dengan saling membawa budaya masing-masing. Kemudian Rasialisme anti-Tionghoa terbesar pertama kali terjadi pada tahun 1740. Tahun 1960an
pemerintah Indonesia membuat peraturan yang mengekang hak-hak dalam berdagang, mengurus KTP, mengekspresikan seni budaya, agama, dan sastra, dan harus mengganti
nama bagi WNI Tionghoa menjadi nama Indonesia. Pada masa Orde Baru, banyak karikatur-karikatur diskriminatif, penulisan yang mengandung bias, yang menambah
prasangka terhadap etnis Tionghoa. hingga puncaknya tahun 1998, terjadilah kerusuhan rasial yang berakhir dengan penjarahan, penyiksaan, dan pemerkosaan masal terhadap
warga etnis Tionghoa. Sumber: Sumber:httpwww.Latar belakang tionghoa kota medan.com
Peristiwa tersebut perlahan-lahan mulai sirna seiring berjalannya waktu, terutama pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres
no.6 tahun 2000 yang menyatakan Imlek boleh dirayakan secara terbuka. Perlahan etnis Tionghoa kembali diterima.
Universitas Sumatera Utara
52
4.5 Etnis Hokkian Di Kota Medan