52
4.5 Etnis Hokkian Di Kota Medan
Di Sumatera Utara orang-orang China lebih suka disebut dengan orang Tionghoa, yang menunjukkan makna kultural dibandingkan dengan penyebutan orang China, yang
lebih menunjukkan makna geografis. Namun, dalam kehidupan sehari-hari kedua istilah ini sama-sama dipergunakan. Sementara bahasa yang umum digunakan adalah bahasa suku
Hokkian bukan bahasa Mandarin. Namun kedua bahasa itu juga dipraktikkan dan diajarkan kepada generasi-generasi Tionghoa yang lebih muda.
Para imigran Tionghoa yang tersebar ke Indonesia dimulai dari abad ke-16 sampai petengahan abad ke-19, adalah etnis Hokkian yang berasal dari propinsi Fukien
bagian selatan. Daerah tersebut merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan perdagangan orang-orang cina kesebrang selatan. Kepandaian berdagang ini yang ada
dalam budaya etnis Hokkian telah terendap lamanya dan masih tanpak jelas pada orang Tionghoa di Indonesia. Dari tahun ke tahun orang hokkian di kota Medan terus bertambah.
menurut harian Medan Bisnis, hingga saat ini sesuai dengan data yang di keluarkan badan pusat statistic BPS Sumatera Utara, jumlah masyarakat Tionghoa di Medan sekitar
202.839 jiwa. sumber:http:id.wikipedia.orgwikiTahun Baru Imlek Sebuah artikel dengan judul “Cina Medan: Tinjauan Sosio Historis” yang ditulis
oleh Z. Pangaduan Lubis di harian Mimbar Umum, Medan, berisikan pernyataan bahwa dalam cerita lama, pada abad ketujuh disebutkan bahwa Raja Sanjaya pernah menaklukkan
Negeri Poloan yang terletak di Berawan. Ia menyebutkan pula bahwa dalam catatan sejarah yang ditulis oleh Cu Pan Ci, terdapat nama negeri Poloan yang terleta di Berawan itu.
Universitas Sumatera Utara
53
Lebih jauh lagi Dada Meuraxa mengemukakan bahwa kemungkinan negeri Poloan itulah yang kemudian hari dikenal sebagai Kota China yang terletak di Paya Pasir dekat
Hamparan Perak itu. Diperkirakan Kota China itu masih berdiri sampai abad ketujuh. Kemudian pada abad itu pula ditaklukan oleh Raja Sanjaja. Perkiraan yang demikian ini
didukung oleh kenyataan bahwa pada mata uang kuno yang diteukan di bekas Kota China itu tertera tarikh 800 Masehi.
Pergantian dinasti yang terjadi di China menyebabkan adanya pula perubahan sikap para pemegang kekuasaan negeri itu terhadap daerah lain seperti paa masa kekuasaan
Dinasi Ming 1368-1644 yang berkuasa di Negeri China, yang tidak bermaksud memperluas teritorialnya dengan menaklukkan daerah lain seperti Kubilai Khan
sebelumnya. Akan tetapi ia mengembangkan usaha perdagangan negerinya dengan daerah lain. Sehingga pada masa kekuasaannya arus perdagangan antara Negeri China dengan
daerah lain sangat lancar. Sejak itu hampir semua pelabuhan yang terdapat di kepulauan Indonesia dan kawasan-kawasan Asia Tenggara tidak luput disinggahi oleh kapal-kapal
dagang China. Lancarnya arus perdagangan ini adalah karena perlindungan keamanan dari raja-raja China terhadap pedagang-pedagangnya dari ancaman-ancaman bajak laut maupun
di pelabuhan-pelabuhan yang mereka singgahi dengan mengikutsertakan beberapa regu tentara di kapal-kapal dagang tersebut. Di samping itu, akibat terjadinya pergantian dinasti
yang memegang kekuasaan di Negeri China dan timbul kegoncangan-kegoncangan sosial ekonomi yang hebat, karena lahan pertanian yang tidak memadai bagi penduduk, maka
Universitas Sumatera Utara
54
telah banyak pula di antara orang-orang di Negeri China yang menjadi imigran ke negeri- negeri lain di Asia Tenggara, bahkan di Pulau Jawa sekali pun. Seorang dari mereka yang
mengikuti perjalanan Laksmana Mahmud Cheng Ho ke kepulauan Indonesia pada tahun 1416 mengatakan bahwa ia melihat banyak orang China yang menetap di sini.
Selanjutnya dalam abad kesembilan belas, perkebunan-perkebunan tembakau di Sumatera Timur berkembang dengan pesatnya. Jumlah tenaga buruh setempat hampir tidak
mencukupi, maka didatangkanlah dalam jumlah yang banyak tenaga buruh China dari Singapura dan Penang. Pada tahun 1870 Perkebunan embakau Deli Maatcchappij 1809
mendatangkan 4.000 orang tenaga buruh China dari Singapura, dan antara tahun 1888-1931 terhitung lebih kurang 305.000 orang tenaga buruh China yang didatangkan dari Singapura
dan Pulau Jawa. Orang-orang Tionghoa ini akhirnya melepaskan diri dari kerja di perkebunan dan sebagian besar di antaranya menjadi pedagang di pedesaan-pedesaan
sekitar perkebunan tersebut, atau mencari pekerjaan lain ke Sumatera Utara, dan banyak pula di antara mereka bekerja sebagai tukang maupun nelayan.
Sumatera Utara sendiri pada waktu itu telah banyak ditempati orang-orang China, dengan memiliki pemuka-emuka golongan yang diakui pemerintah Hindia Belanda sendiri.
Seperti pada tahun 1880, sewaktu Tjong A Fie menyusu kakaknya ke Medan, didapati kakanya telah menjadi pemuka golongan China, dengan pangkat luitenant, yakni pangkat
yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Tjong A Fie sendiri un akhirnya juga menjadi pemuka masyarakat China di Medan dengan pangkat majoor, dan meninggal pada
Universitas Sumatera Utara
55
tahun 1921. Tjong A Fie adalah seorang China perantaun yang memiliki harta yang banyak di Medan, Jakarta, serta Singapura. Tjong A Fie juga senang terhadap kesenian seerti seni
Melayu Deli. Dia juga membangun mesjid di daerah Petisah.
4.6 Sistem Kekerabatan 4.6.1 Perkawinan