Pengertian Perjanjian Kredit TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT

A. Pengertian Perjanjian Kredit

1. Pengertian Perjanjian Subekti memberikan defenisi mengenai perjanjian adalah sebagai berikut : Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itu timbul timbal balik suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak setuju untuk melakukan sesuatu, dapat dikatakan bahwa dua perkataan perjanjian dan persetujuan adalah sama artinya. 12 Dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, defenisi tentang perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian itu dapat dituangkan dalam tulisan atau surat dan dapat pula terjadi secara lisan. Jadi perjanjian itu merupakan suatu rangkaian kata-kata yang mengandung janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis yaitu salah satu pihak menawarkan atau mengajukan usul dan pihak lain menerima atau menyetujui usul oleh pihak-pihak yang bersangkutan maka timbullah perjanjian yang mengakibatkan ikatan hukum bagi para pihak. 12 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta : Intermasa, 1965, hal.1. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2. Syarat Sahnya Perjanjian Suatu kontrak oleh hukum dianggap mengikat kedua belah pihak, apabila perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat yang terpada pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdiri dari : 1 Kecakapan Kecakapan yang dimaksud di sini adalah kemampuan membuat perjanjian, yaitu setiap orang yang berumur 21 tahun ke atas oleh hkum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal ditaruh di bawah pengampuan, seperti: gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros. Lebih jauh ditegaskan perihal yang dianggap tidak cakap berdasarkan Pasal 1330 menegaskan, tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah: a. Orang yang belum dewasa; b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. 2 Sepakat mereka yang membuat perjanjian Kesepakatan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian merpakan unsur esensil atau utama sebagai syarat sahnya perjanjian. Kesepakatan dalam perikatan kontrak dapat terjadi dalam bentuk UNIVERSITAS SUMATERA UTARA lisan, tertulis, dengan simbol-simbol tertentu serta berdiam diri. Perikatan dapat menjadi batal dapat dibatalkan jika saja terjadi cacat kehendak atau cacat kesepakatan melalui beberapa hal, diantaranya kekhilafan kesesatan, paksaan, penipuan dan penyalahgunaan keadaan. Cacat kehendak karena kekhilafan, paksaan, dan penipuan diatur dalam Pasal 1321 BW yang menegaskan tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Kemudian diatur juga dalam Pasal 1449 BW yang menegaskan perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan, atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya. 3 Perihal Tertentu Suatu hal tertentu sebagai salah satu syarat perjanjian jika tidak terpenuhi dalam perjanjian maka perjanjian itu dikatakan batal demi hukum nuul and void. Pengertian hal tertentu dalam hukum perikatan adalah prestasi kewajiban yang mesti dipenuhi oleh ke dua pihak atau lebih yang terjadi dalam perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1234 BW prestasi itu dapat berupa: a. Menyerahkan sesuatu; b. Berbuat sesuatu; c. Tidak berbuat sesuatu. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Apa yang ditegaskan dalam Pasal 1234, bukanlah bentuk prestasi melainkan cara melakukan prestasi itu. Bentuk prestasi yang sebenarnya adalah barang yang mesti diserahkan, jasa dengan cara berbuat sesuatu, dan berdiam diri untuk tidak berbuat sesuatu seperti berjanji untuk tidak membuat pagar pembatas antara dua rumah yang bertetetangga. 13 4 Sebab yang halal Sebab yang halal atau yang diperkenankan oleh undang-undang menurut Pasal 1337 KUH Perdata adalah persetujuan yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan . Pengertian sebab pada syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian tiada lain adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Jadi dalam hal ini harus dihilangkan salah sangka bahwa yang dimaksud sebab itu di sini adalah suatu sebab yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tersebut. Bukan hal ini yang dimaksud oleh undang-undang dengan sebab halal. Sesuatu yang menyebabkan sesorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa yang untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak dihiraukan oleh undang-undang. Undang-undang hanya menghiraukan tindakan tindakan orang-orang dalam masyarakat. Jadi yang dimaksud 13 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, Jakarta: Rajawali Press, hal 30 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dengan sebab atau kausa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri. 14 3. Pengertian Perjanjian Kredit Pengertian perjanjian kredit berasal dari Bahasa Inggris, yaitu contract credit. Dalam hukum Inggris, perjanjian kredit bank termasuk loan of money 15 . Istilah perjanjian kredit ditemukan dalam instruksi pemerintah dan berbagai surat edaran, antara lain: 16 1. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15EKA1096, yang berisi instruksi kepada bank bahwa dalam memberikan kredit bentuk apa pun, bank-bank wajib mempergunakan akad perjanjian kredit ; 2. Surat Edaran Bank Indonesia Unit I Nomor: 2539UPKPemb1996; 3. Surat Edaran Bank Negara Indonesua Nomor : 2643Pemb1996 tentang Pedoman Kebijaksanaan di Bidang Perkreditan. Beberapa pakar hukum berpendapat bahwa perjanjian kredit pada hakikatnya adalah perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. R. Subekti berpendapat: 17 Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan dalam semuanya itu pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalamm Kitab Undang- undang Hukum Perdata Pasal 1754 sampai dengan pasal 1769 . 14 http:id.shvoong.comlaw-and-politics2230796-pengertian-causa-yang-halal-dalam diakses pada haritanggal : selasa, 2 Mei 2012 pada pukul 10.20 WIB. 15 H. Salim., Op.Cit., hal. 157 16 Ibid., hal.77 17 Ibid., hal.78 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pendapat yang sama dikemukakan Marhainis Abdul Hay: Perjanjian kredit adalah identik dengan perjanjian pinjam- meminjam dan dikuasai oleh ketentuan Bab XIII Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Hal yang sama dikemukakan pula oleh Mariam Darus Badrulzaman : 18 Dari rumusan yang terdapat di dalam Undang-undang Perbankan mengenai perjanjian kredit dapat disimpulkan bahwa dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1754. Perjanjian pinjam-meminjam ini juga mengandung makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika verbruiklening termasuk di dalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan. Karenanya perjanjian kredit ini merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah . Tetapi pendapat ini disangkal oleh pakar hukum lainnya. Menurut Hartono Soerja Pratiknyo: 19 Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan pactum de contrahendo. Dengan demikian perjanjian ini mendahului perjanjian hutang piutang perjanjian pijam mengganti. Sedang perjanjian hutang pitutang merupakan pelaksanaan dari perjanjian pendahuluan atau perjanjian kredit. Jadi arti pendahuluan pada perjanjian kredit diibedakan dengan asti pelaksanaan perjanjian hutang piutang. 4. Ciri Perjanjian Kredit Sutan Remi Sjahdeini mengemukakan tiga ciri perjanjian kredit kredit, sebagai berikut: 20 18 Rachmadi Usman, Aspek., hal.261 19 Hartono Soerja Praktinyo, Hutang Piutang, Yogyakarta : Mustika, 1989, hal.3. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1.1 Bersifat konsensual Sifat konsensual suatu perjanjian kredit merupakan ciri pertama yang membedakan dari perjanjian pinjam-meminjam uang yang bersifat riil. Perjanjian kredit adalah perjanjian loan of money menurut hukum Inggris yang dapat bersifat riil maupun konsepsual, tetapi bukan perjanjian peminjaman uang menurut hukum Indonesia yang bersifat riil. Bagi perjanjian kredit yang jelas-jelas mencantumkan syarat-syarat tangguh tidak dapat dibantah lagi bahwa perjanjian itu merupakan yang konsensual sifatnya. Setelah perjanjian kredit ditandatangani menggunakan atau melakukan penarikan kredit. Atau sebaliknya setelah ditandatanganinya kredit oleh kedua belah pihak, belumlah menimbulkan kewajiban bagi bank untuk menyediakan kredit sebagaimana yang diperjanjikan. Hak nasabah debitur untuk dapat menarik atau kewajiban bank untuk menyediakan kredit, masih bergantung pada terpenuhinya semua syarat yang ditentukan dalam perjanjian kredit. 1.2 Penggunaaan kredit tidak dapat digunakan secara leluasa Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah tidak dapat digunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan tertentu oleh nasabah debitur, seperti yang dilakukan oleh peminjam uang atau debitur pada perjanjian peminjaman uang biasa. Pada perjanjian kredit, harus digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di dalam perjanjian dan 20 Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit., hal.178-179. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pemakaian yang menyimpang dari tujuan itu menimbulkan hak kepada bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh baki debet atau outstanding kredit. Hal ini berarti nasabah debitur bukan merupakan pemilik mutlak dari kredit yang diperolehnya berdasarkan perjanjian kredit itu, sebagaimana bila seandainya perjanjian kredit itu adalah perjanjian peminjaman uang. Dengan kata lain, perjanjian kredit tidak mempunyai ciri yang sama dengan perjanjian pinjam-meminjam atau pinjam mengganti. Oleh karena itu, terhadap perjanjian kredit bank tidak berlaku ketentuan-ketentuan Bab XIII Buku Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 1.3 Syarat cara penggunaannya Hal yang membedakan perjanjian kredit dari perjanjian peminjaman uang adalah mengenai syarat cara penggunaannya. Kredit bank hanya dapat digunakan menurut cara tertentu, yaitu dengan menggunakan cek atau perintah pemindahbukuan. Cara lain hampir dapat dikatakan tidak mungkin atau tidak diperbolehkan. Pada peminjaman uang biasa, uang yang dipinjamkan diserahkan seluruhnya oleh kreditur ke dalam kekuasaan debitur dengan tidak diisyaratkan cara debitur akan menggunakan uang pinjaman itu. Pada perjanjian kredit bank, kredit tidak pernah diserahkan oleh bank kedalam kekuasaan mutlak nasabah debitur. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kredit selalu diberikan dalam bentuk rekening koran yang penarikan dan penggunaannya selalu berada dalam pengawasan bank. 21 5. Bentuk Perjanjian Kredit Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata seperti telah diuraikan di depan. Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang komplek ini perjanjian lisan tentu sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara teori diperbolehkan karena lisan sulit dijadikan sebagai alat pembuktian bila terjadi masalah dikemudian hari. Untuk itu setiap transaksi apapun harus dibuat tertulis yang digunakan sebagai alat bukti. Kita menyimpan tabungan atau deposito di Bank maka akan memperoleh buku tabungan atau bilyet deposito sebagai alat bukti. Untuk pemberian kredit perlu dibuat perjanjian sebagai alat bukti. 22 Berdasarkan Pasal 1 butir 11 Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam adalah bentuk perjanjian kredit, sehingga nama perjanjian tersebut adalah perjanjian kredit. Meskipun pada umumnya perjanjian tidak perlu dibuat secara tertulis asalkan kedua belah pihak sepihak, 21 H. Salim HS., Op.Cit., hal 80 22 Sutarno, Aspek Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Jakarta: Alfabeta, 2003, hal. 99. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA cakap hukum, tentang suatu sebab tertentu, dan suatu sebab yang halal sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang membolehkan kesepakatan pada perjanjian dapat dilakukan dalam bentuk lisan maupun tulisan namun kiranya kesepakatan pada perjanjian perbankan harus dibuat dalam sebuah perjanjian tertulis. Ketentuan ini terdapat pada penjelasan Pasal 8 Undang-undang Perbankan yang mewajibkan kepada Bank pemberi kredit untuk membuat perjanjian secara tertulis. Keharusan perjanjian perbankan harus berbentuk tulisan telah ditetapkan dalam pokok-pokok ketentuan perkreditan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2 Undang- undang Perbankan. Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis adalah instruksi Presidium Kabinet No. 15EKIN101996 tanggal 10 Oktober 1966. Dalam instruksi tersebut ditegaskan Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara Bank dengan Debitur atau antara Bank Sentral dan Bank-Bank lainnya. Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa No. 031093UPKKPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit. 23 23 Ibid, hal. 99. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Perjanjian yang dibuat secara tertulis dalam praktek perbankan dibedakan lagi menjadi dua bentuk perjanjian yaitu : 24 1. Akta di bawah tangan; dan 2. Akta autentik. Kedua bentuk perjanjian akta tersebut dapat dijadikan sebagai berikut: 5.1. Akta Di Bawah Tangan Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan dinamakan akta di bawah tangan artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh Bank kemudian ditawarkan kepada Debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja Bank, biasanya Bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standard standaardform yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh Bank tersebut termasuk jenis Akta Di Bawah Tangan. 25 Apabila calon nasabah debitur tidak berkenan terhadap klausul yang terdapat di dalamnya, maka tidak terdapat kesempatan untuk melakukan protes atas klausul yang tidak diperkenankan oleh nasabah tersebut, karena perjanjian tersebut telah dibakukan oleh lembaga perbankan yang bersangkutan dan bukan oleh petugas perbankan yang 24 Badriyah Harun,Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2010, hal. 24. 25 Sutarno, Op.Cit., hal.100. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA berhadapan langsung dengan calon nasabah debitur. Sehingga seperti yang telah disinggung sebelumnya, mau tidak mau, calon nasabah yang hendak mengajukan kredit , harus menyetujui segala syarat dan ketentuan yang telah diajukan oleh bank sebagai kreditur. 5.2. Akta Otentik Akta otentik adalah surat atau tulisan yang sengaja dibuat dan ditandantangani, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak untuk dijadikan sebagai alat bukti. Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata, akta autentik berupa akta yang ditentukan oleh Undang- undang, dibuat danatau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat di mana akta dibuat. Perjanjian kredit yang berbentuk akta autentik pada umumnya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang. Biasanya dikhususkan kepada kredit investasi, kredit modal kerja, kredit sindikasi lebih dari satu kreditur, dan lain-lain. Dalam praktiknya, meskipun akta tersebut dibuat oleh danatau di hadapan notaris, namun segala syarat dan ketentuan yang terdapat dalam akta dibuat oleh bank, kemudian diberikan kepada notaris ke dalam akta. 26

B. Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Baku