Pasal tersebut menunjukkan bahwa bagi setiap calon nasabah debitur harus menyertakan agunanjaminan sebelum dia menerima kredit tersebut. Agunan
tersebut dapat berupa sertifikat tanah, BPKB ataupun deposito dimana nilai minimum dari agunan tersebut adalah sama dengan nilai kredit yang dimohonkan
oleh nasabah debitur.
84
Agunan tersebut pada kemudian hari akan dipergunakan oleh bank untuk melunasi seluruh hutang nasabah debitur terhadap bank apabila
nasabah debitur tersebut mengalami kredit macet. Dari hal ini tampak bahwa yang berada pada posisi yang lemah adalah nasabah khusunya nasabah karena
walaupun nasabah mengalami kredit macet tetapi bank tidak akan merugi dengan adanya agunanjaminan yang disertakan oleh nasabah.
B. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Perjanjian Baku Kredit
Asas kebebasan
dan kesetaraan
berkontrak dalam
praktiknya menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan hubungan antara pelaku
usaha bank dengan konsumen nasabah, karena pihak pelaku usaha bank dapat merumuskan ketentuan dan syrat-syarat sepihak tanpa harus melakukan
negosiasi dengan konsumen nasabah. Pada umumnya dokumen-dokumen perjanjian dalam dunia perbankan dibuat secara sepihak oleh bank berupa
formulir-formulir. Pada sisi lain penyediaan formulir-formulir perbankan itu demi kebutuhan efesiensi dan efektivitas kerja, namun di sisi lain telah menempatkan
nasabah sebagai pihak yang dirugikan. Sebagai salah satu pihak dalam hubungan
84
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Endah selaku Staff pada PT. Bank Negara Indonesia Persero Tbk Sentra Kredit Kecil Polonia, pada haritanggal : Jumat 24 April 2012,
pukul : 09.00 di Kantor PT. Bank Negara Indonesia Persero Tbk Sentra Kredit Kecil Polonia.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
hukum antara bank degan nasabah, maka nasabah memiliki hak untuk memperoleh kedudukan yang seimbang dan adil dalam membuat perjanjian
dengan bank yang bersangkutan. Namun pada umumnya nasabah selalu menurut atau tunduk pada kepada formulir-formulir yang telah disodorkan kepadanya.
85
Fenomena kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah merupakan salah satu
faktor lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Salah satu latar belakang dari lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah agar
terdapat suatu perjanjian yang seimbang antar konsumen dan produsen berdasarkan asas kesetaraan berkontrak.
86
Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen terdapat larangan bagi pelaku usaha membuat atau mencantukan klausula baku yang merugikan
konsumen pada setiap dokumen danatau perjanjian dengan ancaman kebatalan demi hukum. Hal ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen
setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Ketentuan yang berkenaan dengan pencantuman klausula baku termuat dalam Pasal 18
Undang-undang Perlindungan Konsumen yang menetapkan sebagai berikut : 1 Pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen danatau perjanjian apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
85
Racmadi Usman,Op.Cit., hal. 137
86
Tri Widiyono, Op.Cit., hal. 69.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
b. Menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang danatau jasa yang dibeli konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan danatau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap
barang yang dibeli konsumen secara angsuran; 2 Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3 Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud ayat
1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum. 4 Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
Undang-undang ini. Berdasarkan ketentuan pada Pasal 18 Undang-undang Perlindungan
Konsumen, maka jelas bahwa tidak semua klausula baku dilarang dibuat atau dicantumkan dalams setiap dokumen danatau perjanjian oleh pelaku usaha
dengan konsumen sepanjang klausula baku tersebut tidak merugikan konsumennya. Adapun klausula baku yang dilarang dibuat atau dicantumkan
pelaku usaha pada setiap dokumen danatau perjanjian yang isinya:
87
1. pengalihan tanggung jawab; 2. menolak menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen;
3. menolak menyerahkan kembali uang yang dibayarkan atas barang danatau jasa yang dibeli;
4. pemberian kuasa kepada usaha langsung maupun tidak langsung melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen
secara angsuran; 5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa; 6. memberi hak kepada pelaku usaha mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
87
Rachmadi Usman, Penyelesaian., hal. 142.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan, berupa aturan baru, tambahan lanjutan danatau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh
pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; 8. menyatakan konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadau, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran;
9. klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas yang pengungkapannya sulit dimengerti.
Terdapat beberapa klausula baku dalam perjanjian kredit yang bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 18 Undang-undang Perlindungan
Konsumen, yang seharusnya disesuaikan atau diserasikan dengan ketentuan- ketentuan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Pelanggaran terhadap
klausula baku yang tercantum dalam ketentuan Pasal 18 Undang-undang Perlindungan Konsumen, mengakibatkan klausula-klausula baku dalam perjanjian
kredit itu dinyatakan batal demi hukum.
88
Klausul perjanjian kredit yang bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen masih terdapat di dalam praktik perbankan, misalnya
saja seperti yang terdapat di dalam Perjanjian Kredit Umum PT. Bank Negara Indonesia Persero Tbk. Di dalam perjanjian tersebut terdapat beberapa klausul
yang menurut penulis bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen antara lain :
88
Racmadi Usman 2, Op.Cit., hal. 146.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
a. klausul pengalihan tanggung jawab Pada pasal 20 ayat 4 disebutkan:
Atas persetujuan dari BANK, PENERIMA KREDIT wajib menunjuk perusahaan penilai Apraisal Company untuk menentukan nilai Agunan atas
beban biaya PENERIMA KREDIT. Suatu perusahaan penilai Apraisal Company hanya dapat ditunjuk
secara berturut. Di samping itu, atas permintaan BANK, PENERIMA KREDIT wajib melakukan tindakan-
tindakan yang dianggap perlu oleh BANK dalam hubungannya dengan Agunan yang diberikan oleh PENERIMA KREDIT.
Dalam pasal tersebut terdapat kalimat Di samping itu, atas permintaan
BANK, PENERIMA KREDIT wajib melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu oleh BANK dalam hubungannya dengan Agunan yang
diberikan oleh PENERIMA KREDIT. Kalimat ini menunjukkan adanya kewajiban bagi debitur untuk memenuhi setiap permintaan pihak
krediturbank atas hal-hal yang berkaitan dengan Agunan, ini berarti apapun yang terjadi terhadap agunan adalah tanggung jawab penerima kredit
walaupun itu sebenarnya adalah permintaan oleh Bank. Klausula perjanjian tersebut di atas bila diteliti secara cermat terkesan
bahwa bank berusaha bebas dari tanggung jawab, klausula ini terletak di antara klausula yang menerangkan mengenai perusahaan penilai appraisal
company sehingga dikhwatirkan debitur tidak membaca hingga akhir kalimat karena beranggapan klausul ini hanya mengenai appraisal company.
b. Memberi hak kepada pelaku usaha mengurangi jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pada Pasal 23 ayat 1 untuk kredit yang bersifat uncommitted disebutkan : Penarikan sisa saldo Maksimum Kredit oleh PENERIMA
KREDIT : 1 Dapat dibatalkan dan ditolak sewaktu-waktu tanpa syarat unconditionally
cancelled at any time oleh BANK, Pasal ini secara tidak langsung memberikan hak kepada Bank untuk
mengurangi jumlah nilai kredit yang seharusnya diterima oleh nasabah debitur, terlebih di dalam pasal ini tidak disebutkan apa saja yang menjadi
syaratalasan bagi Bank untuk melakukan penolakan kredit. Di dalam perjanjian ini, kredit-lah yang menjadi objek jual-beli jasa, sehingga menurut
penulis klausul ini bertentangan dengan Pasal 8 Undang-undang Perlindungan Konsumen. Oleh karena itu dengan adanya penolakan sisa Kredit Maksimum
yang masih merupakan hak debitur, Bank secara tidak langsung telah mengurangi jasa atau harta kekayaan yang menjadi hak debitur dalam
perjanjian ini. c. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan, berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan danatau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
Pada Pasal 31 disebutkan : 1 Apabila karena suatu perubahan peraturan perUndang-undangan
atau kebijakan pemerintah atau keputusan badan peradilan atau arbitrase atau karena alasan apapun, salah satu atau lebih dari
ketentuan dalam Perjanjian Kredit ini menjadi atau dinyatakan tidak sah, tidak berlaku, tidak mengikat atau tidak dapat
dilaksanakan, maka ketentuan-ketentuan lain dalam Perjanjian Kredit ini dinyatakan tetap berlaku dan mengikat Para Pihak dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dapat dilaksnakannya ketentuan-ketentuan lainnya yang terdapat dalam Perjanjian Kredit ini tidak akan dipengaruhi atau dihalangi
dengan cara apapun.
2 Para Pihak setuju untuk menggantikan ketentuan yang dinyatakan tidak sah, tidak berlaku, tidak mengikat atau tidak dapat
dilaksanakan tersebut dengan ketentuan yang sah, mengikat dan dapat dilaksanakan. Untuk itu PENERIMA KREDIT akan
melaksanakan dan menyerahkan dokumen-dokumen tambahan bila diminta oleh BANK untuk memberlakukan setiap ketentuan
Perjanjian Kredit ini yang dinyatakan tidak sah, tidak berlaku, tidak mengikat atau tidak dapat dilaksanakan.
Dan juga pada Pasal 10 ayat 3 disebutkan bahwa: BANK sewaktu-waktu dapat melakukan peninjauanperubahan
Suku Bunga Kredit sesuai dengan ketentuan tingkat Suku Bunga Kredit yang berlaku di BANK tanpa persetujuan dan
pemberitahuan terlebih dahulu kepada PENERIMA KREDIT.
Kedua pasal tersebut diatas menyatakan bahwa debitur menyetujui atas berlakunya ketentuan-ketentuan yang diberlakukan kelak terhadap perjanjian
kredit tersebut. Klausul ini tentu bertentangan dengan larangan mengenai klausul baku yang terdapat dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen.
d. Menyatakan konsumen memberikan kuasa kepada pelaku usaaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang
yang dibeli konsumen secara angsuran; Pada Pasal 16 ayat 1 dan 2 disebutkan:
1 Segala harta kekayaan PENERIMA KREDIT, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi pelunasan seluruh hutang PENERIMA KREDIT yang timbul karena
Perjanjian Kredit ini.
2 Guna lebih menjamin pembayaran kembali Kredit, PENERIMA KREDIT menyerahkan Agunan kepada BANK. Perubahan dan
penggantian Agunan-agunan tersebut dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis Para Pihak. Sedangkan jenis dari pengikatan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Agunan tersebut sebagaimana tercantum dalam rincian sebagai berikut
3 Jika menurut BANK nilai Agunan telah menurun sedemikian rupa jika dibandingkan dengan nilai dan harga yang dipakai dalam
taksasi semula, maka atas pemberitahuan BANK, PENERIMA KREDIT wajib menambah barang yang diagunkan.
Bank dalam pemberian kredit pada umumnya untuk mengamakan kepentingan bank selaku kreditur dalam hal debitur ingkar janji, bank
meminta agunan tambahan selain agunan pokok, diantaranya berupa benda tidak bergerak, seperti tanah atau bangunan. Tanah atau bangunan sebagai
agunan yang diterima bank tentunya mempunyai tujuan untuk mejamin pelunasan kredit melalui penjualan agunan baik secara lelang maupun di
bawah tangan dalam hal debitur cidera janji. Tetapi klausul perjanjian kredit yang memuat pembebanan hak tanggungan bertentangan dengan Undang-
undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Klausul-klausul yang bertentangan dengan Undang-undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen tentu saja memiliki sanksi hukum baik sanksi perdata ataupun sanksi pidana. Sanksi perdata diatur dalam Pasal 18 ayat
3 Undang-undang Perlindungan Konsumen sebagai berikut: Setiap klausula baku yang telah diterapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum.
Sedangkan sanksi pidana diatur dalam Pasal 62 ayat 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu yang berbunyi sebagai berikut:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 17 ayat 1
huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat 2 dan Pasal 18 dipidana penjara paling lama 5 lima Tahun atau pidana denda paling banyak
2.000.000.000 dua milyar rupiah
Terdapat beberapa hal yang mengakibatkan lembaga perbankan tidak dapat menjalankan Undang-undang Perlindungan Konsumen, dalam arti bahwa
apabila ketentuan dalam Pasal 18 Undang-undang Perlindungan Konsumen dijalankan, maka akan sangat memberatkan lembaga perbankan. Memperhatikan
kondisi tersebut, terdapat persoalan seakan-akan lembaga perbankan tidak mengindahkan hukum positif, yaitu Undang-undang Perlindungan Konsumen,
karena perjanjian yang dibuat antara nasabah dengan bank seharusnya tunduk kepada Undang-undang Perlindungan Konsumen. Hal demikian merupakan
kenyataan yang kita rasakan sehari-hari dalam hubungan dengan bank. Fakta tersebut memberikan indikasi adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
bank dalam membuat perjanjian dengan nasabah. Sebagai hukum positif , Undang-undang Perlindungan Konsumen bersifat memaksa dan dapat
dipertahankan kepada siapa pun. Dengan adanya pelanggaran yang dilakukan bank terhadap Pasal 18 ayat 1 dan ayat 2 Undang-undang Perlindungan
Konsumen, berarti secara sosiologis terdapat permasalahan hukum, baik dari segi pembuatan danatau dari segi pelaksanaannya.
89
Persoalan yang sering timbul dalam aplikasi Pasal 18 ayat 1 dan ayat 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah perbedaan persepsi antara kedua
belah pihak untuk menetap kan keseimbangan dalam berkontrak. Oleh karena itu,
89
Tri Widiyono, Op.Cit., hal. 146.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sering terjadi dalam suatu kontrak, terdapat anggapan subjektif bahwa perjanjian tersebut kurang atau tidak terpenuhinya keseimbangan. Hal ini dapat dilihat
apabila seseorang akan berhubungan hukum dengan bank, maka nasabahcalon nasabah tersebut wajar menerima klausula baku yang dibuat secara sepihak oleh
bank. Hal tersebut menyebabkan adanya ketimpangan dalam perjanjian antara nasabah dengan bank, dimana nasabah sering dirugikan oleh perjanjian yang
dibuat dengan pihak perbankan. Pihak nasabah sering tidak berdaya untuk mengoreksi klausula baku yang disodorkan oleh bank. Pihak nasabah tanpa
piker panjang akan menandatangani klausula baku tersebut dengan berbagai alasan, antara lain tulisannya kecil-kecil, bahasanya sulit dimengerti, terlalu rumit,
tidak memahami isi klausula baku tersebut, tidak sempat membaca, dan seterusnya.
90
Selain di dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, sampai saat ini belum ada Peraturan PerUndang-undangan di bidang perbankan yang mengatur
mengenai perjanjian kredit. Di dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 hanya menjelaskan mengenai pengertian kredit dan ketentuan mengenai pemberian
kredit tanpa ada menjelaskan mengenai perjanjian kredit. Di dalam Peraturan- peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia pun hanya mengatur mengenai
prinsip-prinsip dalam pemberian kredit, batas maksimum pemberian kredit, kredit usaha kecil, dll tanpa ada yang mengatur mengenai perjanjian kredit.
90
Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
C. B