wanita dalam kelompok kontrol. Penelitian ini menyimpulkan infeksi H. pylori sebagai salah satu penyebab hiperemesis gravidarum.
4
Penelitian oleh Asih dkk di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, RS Fatmawati, RSPAD Gatot Subroto Jakarta dan RSUD Tangerang yang berlangsung dari Agustus 2006-
Oktober 2007 didapatkan prevalensi infeksi H. pylori sebanyak 67,3 pada kasus hiperemesis gravidarum dan 34,5 pada kasus kontrol. Walaupun prevalensi H. pylori
yang didapat tidak sebesar hasil yang diteliti oleh Frigo tahun 1998 yang mendapat hasil prevalensi seropositif 90,5 atau Kocak tahun 1999 mendapat angka 91,5 namun tetap
didapatkan hubungan yang bermakna antara infeksi H. pylori pada wanita hamil yang mengalami hiperemesis gravidarum.
6,7,8
Dengan berkembangnya tes Antibodi serum spesifik terhadap H. pylori memungkinkan dilakukan pemeriksaan terhadap infeksi H. pylori pada saat kehamilan.
Antibodi ini bisa terdeteksi dalam serum atau sampel darah yang dengan mudah diperoleh. Keberadaan antibodi IgG terhadap H. pylori bisa dideteksi dengan menggunakan pengujian
biokimia. Dengan tersedianya tes ini, harga yang murah dan non invasif, dimungkinkan mendeteksi infeksi H. pylori pada wanita hamil dan bayi baru lahir.
4,9
Penelitian ini dilakukan karena di Indonesia masih jarang ada penelitian untuk mengetahui infeksi H. pylori dengan hiperemesis gravidarum. Dimana untuk wilayah
Sumatera Utara sendiri belum ada penelitian yang dilakukan untuk mengetahui infeksi H. pylori
yang dapat menimbulkan hiperemesis gravidarum. Penelitian ini dilakukan untuk mendeteksi infeksi H. pylori pada hiperemesis gravidarum dengan menggunakan
pemeriksaan Anti-Helicobacter pylori Ig G Antibodi pada RSUP. H. Adam Malik Medan, RS. Tembakau Deli, RS. Haji Medan, RS. Sundari dan Rumkit KESDAM I BB.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Apakah infeksi H. pylori terkait dengan hiperemesis
gravidarum ?
Universitas Sumatera Utara
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Mendeteksi infeksi H. pylori pada hiperemesis gravidarum dan hamil normal dengan menggunakan pemeriksaan serologi Anti-Helicobacter pylori Ig G
Antibodi.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mendeteksi sejauh mana infeksi H. pylori pada hiperemesis gravidarum dengan melakukan pemeriksaan serologi Anti-Helicobacter pylori Ig G Antibodi.
2. Untuk mengetahui prevalensi infeksi H. pylori.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman terhadap hiperemesis gravidarum.
2. Pemeriksaan serologi Anti-Helicobacter pylori Ig G Antibodi dapat dilakukan pada saat kehamilan.
3. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan acuan bagi penelitian selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
B A B II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hiperemesis Gravidarum 2.1.1. Definisi
Mual dan muntah Morning Sickness, Emesis Gravidarum adalah mual dan muntah selama kehamilan yang terjadi antara 4 dan 8 minggu kehamilan dan terus
berlanjut hingga 14-16 minggu kehamilan dan gejala biasanya akan membaik. Mual dan muntah selama kehamilan dapat berupa gejala yang ringan hingga berat. Mual dan muntah
adalah keluhan utama pada 70 -80 kehamilan.
1,4
Hiperemesis Gravidarum adalah kondisi mual dan muntah yang berat selama kehamilan, yang terjadi pada 1 -2 dari semua kehamilan atau 1-20 pasien per 1000
kehamilan.
4,5
Hiperemesis gravidarum menyebabkan tidak seimbangnya cairan, elektrolit, asam- basa, defisiensi nutrisi dan kehilangan berat badan yang cukup berat. Pada hiperemesis
gravidarum dapat terjadi dehidrasi, asidosis akibat kelaparan, alkalosis akibat hilangnya asam hidroklorida pada saat muntah, hipokalemia dan ketonuria, sehingga mengharuskan
pasien masuk dan dirawat di rumah sakit.
2,10,11
2.1.2. Etiologi
Hingga saat ini penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui secara pasti dan multifaktorial. Walaupun beberapa mekanisme yang diajukan bisa memberikan penjelasan
yang layak, namun bukti yang mendukung untuk setiap penyebab hiperemesis gravidarum masih belum jelas. Beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan penyebab hiperemesis
gravidarum. Teori yang dikemukakan untuk menjelaskan patogenesis hiperemesis gravidarum, yaitu faktor endokrin dan faktor non endokrin. Yang terkait dengan faktor
endokrin antara lain Human Chorionic Gonodotrophin, estrogen, progesteron, Thyroid Stimulating Hormone, Adrenocorticotropine Hormone, human Growth Hormone
, prolactin dan leptin. Sedangkan yang terkait dengan faktor non endokrin antara lain immunologi,
disfungsi gastrointestinal, infeksi Helicobacter pylori, kelainan enzym metabolik, defisiensi nutrisi, anatomi dan psikologis.
2
Universitas Sumatera Utara
Thyroid stimulating
hormone Thyroxine
Human Chorionic
Gonadotropin Overactivated
hypothalamic-pituitaryadrenal axis
Gestational transient thyrotoxicosis Overactivated
immune system
H. pylori infection Distension
upper GI tract
Gastro intestinal tract
Cortisol ACTH
Hypotheses based on non endocrinological
effects involved in the
pathogenesis of HG
Trace element vitamin deficiency
Elevated metabolic enzymes
Decreased LESP
Anatomical
Corpus luteum
Motility changes
Elevated levels of sex
steroids in hepatic portal
system
Nervous system
Psychological causes Higher neural pathways
triggering vomiting
Hypothalamus Adrenal gland
Pathogenetic mechanisms
Oestrogen
Hypotheses based on endocrinological
effects involved in the pathogenesis of HG
Progesterone
Prolactin Placental
Growth Hormone
Leptin
Immunological
Ovary Infectious
Thyroid Gland
Corpus Luteum
Placenta
Notes : – → previous publications, - - → hypotheses
Tabel 2.1. :
Etiologi Hiperemesis Gravidarum.
2
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Diagnosis
Untuk diagnosis, pasien mana yang harus ditest, kapan ditest dan test apa yang harus digunakan masih merupakan pertanyaan sulit. Jawaban pertanyaan ini didasarkan
pada keadaan pasien, biaya, ketersediaan test dan nilai prediktif positif dan negatif dari test yang berbeda-beda.
9
Pada diagnosis harus ditentukan adanya kehamilan dan muntah yang terus- menerus, sehingga mempengaruhi keadaan umum. Pemeriksaan fisik pada pasien
hiperemesis gravidarum biasanya tidak memberikan tanda-tanda yang khusus. Lakukan pemeriksaan tanda vital, keadaan membran mukosa, turgor kulit, nutrisi dan berat badan.
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai penurunan berat badan 5 dari berat sebelum hamil, dehidrasi, turgor kulit yang menurun, perubahan tekanan darah dan nadi.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan antara lain, pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan kadar elektrolit, keton urin, tes fungsi hati, dan urinalisa untuk menyingkirkan
penyebab lain. Bila hyperthyroidism dicurigai, dilakukan pemeriksaan T3 dan T4. Lakukan pemeriksaan ultrasonografi untuk menyingkirkan kehamilan mola.
2,10,11
2.1.4. Komplikasi
Baik komplikasi yang relatif ringan maupun berat bisa disebabkan karena hiperemesis gravidarum. Kehilangan berat badan, dehidrasi, acidosis akibat dari gizi buruk,
alkalosis akibat dari muntah-muntah, hipokalemia, kelemahan otot, kelainan elektrokardiografi dan gangguan psikologis dapat terjadi. Komplikasi yang mengancam
nyawa meliputi ruptur esofagus yang disebabkan muntah-muntah berat, Wernickes encephalopathy diplopia, nystagmus, disorientasi, kejang, coma, perdarahan retina,
kerusakan ginjal, pneumomediastinum spontan, IUGR dan kematian janin. Pasien dengan hiperemesis gravidarum pernah dilaporkan mengalami epistaxis pada minggu ke-15
kehamilan karena intake vitamin K yang tidak adekuat yang disebabkan emesis berat dan ketidakmampuannya mentoleransi makanan padat dan cairan. Dengan penggantian vitamin
K, parameter-parameter koagulasi kembali normal dan penyakit sembuh. Vasospasme arteri cerebral yang terkait dengan hiperemesis gravidarum juga ada dilaporkan pada
beberapa pasien. Vasospasme didiagnosa dengan angiografi Magnetic Resonance Imaging MRI.
2,5
Tetapi bila semua bentuk pengobatan gagal dan kondisi ibu menjadi mengancam nyawa, pengakhiran kehamilan merupakan pilihan. Verberg melaporkan pilihan
Universitas Sumatera Utara
pengakhiran kehamilan kira-kira 2 pada kehamilan yang terkomplikasi dengan hiperemesis gravidarum.
2
Namun demikian, Kuscu dan Koyuncu menilai luaran maternal dan neonatal dari penderita hiperemesis gravidarum yang diteliti pada dua penelitian berbeda yang
melibatkan 193 dan 138 pasien. Dari 193 pasien, 24 membutuhkan perawatan inap dan satu pasien membutuhkan nutrisi parenteral. Berat lahir, usia kandungan, kelahiran
preterm, skor Apgar, mortalitas perinatal dan kejadian kelainan bawaan janin tidak berbeda antara pasien hiperemesis dan populasi umum. Dalam studi lainnya, tidak ada terdeteksi
peningkatan risiko keterlambatan pertumbuhan, kelainan bawaan dan prematuritas. Umumnya hiperemesis gravidarum dapat disembuhkan. Dengan penanganan yang baik
prognosis hiperemesis gravidarum sangat memuaskan. Namun pada tingkatan yang berat, penyakit ini dapat mengancam jiwa ibu dan janin.
5
2.2. Helicobacter pylori
Pada tulisan ini akan dipresentasikan gambaran singkat H. Pylori, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinik infeksi H. pylori, strategi diagnostik dan terapeutik yang
relevan untuk pembasmian H. pylori sebagai patogen pada manusia.
2.2.1. Sejarah
H. pylori adalah bakteri spiral yang dikultur dari mukosa lambung manusia oleh
Marshall dan Warren dari Perth Australia pada tahun 1983. Sejak diperkenalkan kepada komunitas ilmiah pada tahun 1989 oleh Marshall dan Warren, H. pylori menjadi fokus
penelitian klinik dan perdebatan biokimia. Berkat penemuannya ini Marshall dan Warren menerima nobel Fisiologi dan Medicine pada tahun 2005 untuk penemuan terbaru. Sejak
saat itu banyak peneliti yang kemudian menaruh perhatian besar pada kuman ini, terutama terhadap peranannya untuk menimbulkan inflamasi pada saluran cerna bagian atas,
penyakit ulkus peptikum dan kemungkinan peranannya dalam perkembangan gastritis kronik ke arah karsinoma lambung. Semua individu yang terkena infeksi kuman ini akan
mengalami peradangan lambung yang kronik dan menetap persistent, namun pada sebagian besar kasus tampaknya tidak menimbulkan morbiditas maupun mortalitas yang
berarti.
9,12
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Morfologi
H. pylori adalah bakteri Gram negatif, dengan bentuk spiral melengkung dan
berflagel yang ditemukan hidup berkoloni pada lapisan mukosa lambung yang dapat menyebabkan gangguan saluran pencernaan. Bakteri ini dicirikan oleh aktivitas urease
yang tinggi. Bakteri ini mampu hidup dalam suasana asam yang kuat dengan cara memproduksi urease. H. Pylori mempunyai mekanisme resistensi asam, yang
menghidrolisa urea menjadi karbon dioksida dan ammonia. Bakteri ini mempunyai sifat pertumbuhan yang lambat tetapi mampu merusak lapisan lendir mukus pada epitel
lambung sehingga menimbulkan peradangan lambung yang kronik, menetap persistent, menahun dan ulkus peptikum.
3,13
Bakteri ini ada pada 95 -98 pasien penderita ulkus duodenal dan 60 -90 pasien penderita ulkus peptikum. Taksiran angka kejadian infeksi menurut berbagai test
diagnostik termasuk test bakteriologi, test histologi dan test serologi menunjukkan bahwa 90 pasien yang terserang tanpa adanya gejala-gejala klinik.
14,15
Gambar 2.1. :
H. pylori.
15
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Epidemiologi
Banyak studi berusaha menilai kejadian dan prevalensi infeksi H. pylori, cara penularannya dan setiap faktor risiko yang turut mendukung perkembangan infeksi.
Kejadian per tahun yang dilaporkan untuk infeksi H. pylori sebagai salah satu penyebab hiperemesis gravidarum di negara-negara maju adalah 0,3 - 0,5 per tahun, sedangkan
di negara-negara yang sedang berkembang 10 -20 .
9
Bakteri ini merupakan patogen dengan penyebaran di seluruh dunia, yang menyerang populasi manusia di negara-negara maju dan di negara-negara yang sedang
berkembang. Prevalensi ditemukan lebih tinggi di negara yang sedang berkembang dibandingkan dengan negara maju. Prevalensi infeksi H. pylori sekitar 30 di Amerika
Serikat, sedangkan di negara yang sedang berkembang 80 . Prevalensi ini sangat bervariasi tergantung kelompok etnik, budaya, genetik, sosial ekonomi, lingkungan, dan
beberapa faktor lainnya termasuk lokasi kelompok studi dan ciri-ciri populasi yang di studi. Angka infeksi ini juga ditemukan tinggi di daerah yang padat penduduknya dengan
lingkungan sosial ekonomi yang rendah, yang mengindikasikan bahwa H. pylori ditularkan melalui kontak langsung. H. pylori didapat selama masa anak-anak, yang paling sering
dengan rute feces-oral atau oral-oral.
9,13
Hubungan antara H. pylori dan hiperemesis gravidarum bisa menjadi penjelasan yang mungkin untuk variasi yang diamati dalam kejadian hiperemesis gravidarum pada
kelompok etnis yang berbeda-beda, karena angka kejadian infeksi H. pylori juga berbeda secara mencolok antara populasi. Akan tetapi, hipotesa ini rentan terhadap faktor-faktor
pengganggu seperti status sosial ekonomi yang lebih rendah, yang disebut-sebut pada
hiperemesis gravidarum maupun infeksi H. pylori. Karaca di Turkey tahun 2004
menemukan bukti yang mendukung hubungan antara status sosial ekonomi dan infeksi H. pylori
pada wanita hamil yang mengalami hiperemesis gravidarum dalam studi perbandingan prospektif dengan wanita hamil asimptomatik. Menurutnya, status sosial
ekonomi yang rendah juga merupakan faktor resiko yang penting untuk infeksi H. pylori pada wanita hamil dengan hiperemesis gravidarum. Walaupun infeksi H. pylori sering
ditemukan pada pasien penderita hiperemesis gravidarum, sebagian besar wanita hamil dengan infeksi H. pylori bisa tetap asimptomatik. Jadi bila dalam lambung manusia
terdapat H. Pylori maka dapat menimbulkan ulkus duodenal dan ulkus peptikum yang tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan antiemetik biasa, sehingga biaya pengobatan
akan lebih tinggi dan waktu pengobatan yang lebih lama dengan hasil yang mengecewakan.
2,16
Universitas Sumatera Utara
2.2.4. Patogenesis
Reaksi tubuh terhadap infeksi H. Pylori pada wanita hamil, dapat berupa kerusakan langsung pada mukosa lambung yang disebabkan oleh perubahan dalam pH
lambung atau melewati reaksi immunologik. Manifestasi infeksi H. pylori bisa merupakan akibat dari perubahan pH lambung karena peningkatan akumulasi cairan yang
disebabkan peningkatan hormon steroid pada wanita hamil. Perubahan pH pada saluran pencernaan diduga dapat menyebabkan manifestasi infeksi subklinis H. pylori yang
menimbulkan gejala gastrointestinal.
2
Lambung merupakan sebuah organ yang berisi cairan asam, yang menyebabkan sebagian besar mikroorganisme tidak mampu berkolonisasi di sini. Namun penelitian
membuktikan bahwa masih cukup banyak spesies bakteri yang dapat memanfaatkan lambung sebagai tempat tinggal mereka. Salah satu di antaranya adalah kuman H. pylori.
H. pylori mempunyai sifat khusus, tinggal di bawah lapisan mukus di permukaan epitel
atau di mukosa lambung. Bakteri H. pylori ini mempunyai mekanisme resistensi asam, khususnya urease yang akan menguraikan urea menjadi karbon dioksida dan ammonia.
Ammonia dapat menetralisir asam hidroklorida dan dengan netralisasi asam di lambung maka bakteri dapat mencapai epitel gaster. Infeksi H. pylori membutuhkan interaksi yang
kompleks dari faktor bakteri dan host. Beberapa peneliti mengidentifikasi protein bakteri yang diperlukan untuk kolonisasi H. pylori pada mukosa lambung, termasuk protein yang
aktif dalam pengangkutan organisme ke permukaan mukosa misalnya, flagellin, yang disandikan pada gen flaA dan flaB. Begitu berada di dalam mukosa lambung, bakteri
memicu hypochlorhydria dengan mekanisme yang tidak diketahui. Enzym urease yang dihasilkan bakteri mengubah lingkungan untuk mempermudah kolonisasi. Kemudian
terjadi perlekatan melalui interaksi antara glycolipid permukaan sel dan adhesin yang spesifik terhadap H. pylori. Juga ada peranan protein yang disebut cecropin, yang
dihasilkan H. pylori sehingga menghambat pertumbuhan organisme pesaing, dan juga oleh adenosinetriphosphatase tipe P yang membantu mencegah alkalinisasi berlebihan. Begitu
melekat pada mukosa lambung, H. pylori menyebabkan cedera jaringan dengan rangkaian kejadian yang kompleks yang tergantung pada organisme dan host. H. pylori, seperti
halnya semua bakteri Gram negatif, mempunyai lipopolisakarida di dalam dinding selnya, yang bertindak merusak keutuhan mukosa. Lebih jauh lagi, H. pylori melepaskan beberapa
protein patologi yang memicu cedera sel. Sebagai contoh misalnya, protein CagA, yang dihasilkan cytotoxic-associated gene A cagA, adalah protein yang sangat immunogenik,
Universitas Sumatera Utara
selain itu, produk protein vacuolating cytotoxin A gene vacA yang kontak dengan epithelium diketahui terkait dengan cedera mukosa.
9
Perubahan kekebalan humoral selama hamil juga bisa menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi H. pylori pada kehamilan. Begitu kolonisasi mukosa lambung
terjadi, sifat-sifat immunogenik dari H. pylori memicu reaksi inflamasi yang menyebabkan manifestasi klinik dari infeksi. Proses ini diperantarai oleh faktor host, termasuk IL- 1, 2, 6,
8 dan 12, interferon gamma, TNF- α, limfosit T dan B serta sel-sel fagositik. Faktor ini
mengantarai cedera melalui pelepasan spesies oksigen reaktif dan cytokin inflamasi.
9
Selain menyebabkan cedera lokal mukosa lambung, H. pylori mengubah sekresi lambung normal. Banyak studi menunjukkan bahwa pasien yang terinfeksi H. pylori
mengalami peningkatan kadar gastrin serum, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan output asam. Kondisi ini menyebabkan atrophy sel-sel parietal yang
bertanggung jawab dalam memproduksi asam dan sel-sel yang memproduksi gastrin dari antrum yang menstimulasi sekresi asam dan akhirnya menghasilkan achlorhydria.
9
2.2.5. Manifestasi Klinik
Tidak didapati gejala klinis spesifik pada infeksi H. pylori. Pasien dapat mengeluhkan dispepsia, mual dan perasaan tidak nyaman dengan berbagai keluhan saluran
cerna bahkan sebagian besar orang tetap asimptomatik. Pada dasarnya semua orang dengan kolonisasi H. pylori mengalami inflamasi pada lambung dan pada individu tersebut akan
berkembang jadi penyakit seperti gastritis, ulkus peptikum, dyspepsia nonulcer, Gastroesophageal Reflux Disease,
adenokarsinoma atau limfoma.
9
Gastritis
Begitu terinfeksi
dengan H. pylori
, sebagian besar orang tetap asimptomatik. Sebagian orang yang terinfeksi bahkan bisa membersihkan infeksi dengan laju seroreversi,
umumnya dilaporkan berada dalam rentang 5 -10 , tidak diketahui apakah seroreversi ini spontan atau akibat dari pembasmian organisme dengan obat antibiotik yang digunakan
untuk mengobati kondisi lain. Akan tetapi, masa perjalanan penyakit yang umum pada pasien yang terinfeksi dimulai dengan gastritis superfisial kronis, yang akhirnya
berkembang menjadi gastritis atrofik. Perkembangan ini ternyata merupakan kejadian kunci dalam rangkaian seluler yang menyebabkan perkembangan karsinoma lambung.
9
Universitas Sumatera Utara
Ulkus Peptik
Hubungan antara
infeksi H. pylori
dan penyakit ulkus peptik telah banyak dikaji, dan sekarang telah diterima bahwa organisme ini merupakan penyebab utama, tetapi bukan
satu-satunya penyebab penyakit ulkus peptik di seluruh dunia. Pembasmian infeksi bisa mengubah masa perjalanan penyakit ulkus peptik dengan penurunan angka
kekambuhannya secara dramatis pada pasien yang diobati, dibandingkan dengan pasien yang tidak diobati. Penurunan ini terjadi pada pasien penderita ulkus duodenum dan ulkus
peptik yang tidak mempunyai riwayat penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid. Mekanisme H. pylori memicu penyakit ulkus peptik masih kurang dipahami namun sangat
mungkin melibatkan kombinasi pemicuan genetik host, faktor virulensi organisme misalnya protein VacA dan CagA, kerusakan mekanik pada mukosa, dan perubahan
sekresi lambung dan duodenum.
9
Dyspepsia Nonulcer
Dyspepsia nonulcer terdiri dari gejala-gejala yang bervariasi, yang meliputi gejala- gejala dismotilitas, ulkus dan reflux. Banyak penyebab yang mungkin diajukan untuk
dyspepsia nonulcer, yang meliputi faktor gaya hidup, stres, perubahan sensasi visceral, peningkatan sensitivitas serotonin, perubahan sekresi asam lambung dan pengosongan
lambung serta infeksi H. pylori. Sebuah tinjauan baru-baru ini juga mengkaji peranan gangguan psikososial misalnya depresi dan ansietas pada pasien penderita dyspepsia
nonulcer. Dalam studi yang mengkaitkan infeksi H. pylori dengan dyspepsia nonulcer, bahwa pembasmian H. pylori menghasilkan perbaikan gejala-gejala dyspepsia nonulcer.
Akan tetapi pembasmian organisme tidak bisa dianggap merupakan standar perawatan pada semua pasien penderita dyspepsia nonulcer, karena infeksi H. pylori hanyalah
merupakan bagian tunggal dari etiologi multifaktor dari penyakit ini.
9
Gastroesophageal Reflux Disease GERD
Banyak perhatian terfokus pada hubungan yang mungkin antara infeksi H. pylori dan GERD dengan berbagai manifestasinya misalnya esophagitis. Beberapa peneliti
mengajukan adanya hubungan antara keberadaan H. pylori dan risiko esophagitis. Studi- studi juga menunjukkan bahwa strain tertentu dari H. pylori, terutama strain yang positif
CagA terhadap perkembangan esophagitis. Sebaliknya, studi lain yang menggunakan
temuan-temuan endoskopik, pengukuran pH dan histologi untuk menentukan keberadaan H. Pylori
, tidak menemukan hubungan antara GERD dengan infeksi H. pylori.
9
Universitas Sumatera Utara
Adenokarsinoma Lambung
Data yang ada menunjukkan peningkatan 90 kali lipat dalam angka kejadian karsinoma lambung pada pasien penderita gastritis atrofik multifokal berat dibandingkan
dengan kontrol normal. Mekanisme tumorgenesis ternyata melibatkan kerusakan DNA yang dipicu oleh cytokin yang berbeda-beda dan radikal bebas yang dilepaskan dalam
keadaan inflamasi kronis. Walaupun H. pylori terkait dengan perkembangan adenokarsinoma antrum dan corpus lambung, namun H. pylori jelas terkait dengan
Mucosa–Associated Lymphoid Tissue MALT. H. pylori menstimulasi infiltrasi
limfositik stroma mukosa, infiltrasi ini bisa bertindak sebagai fokus untuk perubahan seluler dan proliferasi, yang pada akhirnya menyebabkan perubahan neoplastik. Tampak
bahwa H. pylori juga menghasilkan protein yang menstimulasi pertumbuhan limfosit pada stadium dini neoplasia. Penelitian baru-baru ini menunjukkan pemeriksaan endoskopik
tidak ternilai harganya dalam mengidentifikasi grade lymphoma dan dalam memprediksi efikasi pengobatan infeksi H. pylori untuk memperoleh penyusutan lymphoma.
9
2.2.6. Penanganan
Terdapat beberapa kontroversi mengenai tipe pengobatan yang harus diberikan pada wanita hamil dengan hiperemesis gravidarum. Terapi cairan dan elektrolit parenteral
pengganti, pemberian vitamin B
6,
antiemetik dan tirah baring secara rutin digunakan pada hiperemesis gravidarum dan biasanya tanpa perbaikan yang berarti. Hal ini tidak
mengherankan, karena obat-obat tersebut tidak ada yang mempengaruhi infeksi H. pylori. H. pylori
merupakan organisme yang hidup di dalam lingkungan yang tidak mudah diakses banyak obat, selain itu karena resistensi bakteri yang muncul menimbulkan
tantangan tambahan. Lagipula, banyak aturan yang direkomendasikan sulit dilaksanakan oleh pasien, yang menimbulkan masalah dengan kepatuhan, dengan harus mengkonsumsi
obat dalam jumlah besar setidaknya dua kali sehari dan efek yang tidak menyenangkan, sehingga tidak banyak berpengaruh dalam mendorong kerjasama pasien. Meskipun
dengan kendala-kendala ini, aturan pengobatan saat ini bisa memperoleh tingkat kesembuhan lebih dari 85 pada sebagian besar populasi pasien.
9
Antibiotik
Sekarang ini obat antibiotik digunakan untuk mengobati infeksi H. pylori dan diberikan secara kombinasi dengan inhibitor pompa proton. Tanpa obat tunggal pernah
Universitas Sumatera Utara
digunakan sebagai monoterapi, karena kurangnya efektifitas dan perkembangan potensial resistensi.
9
Metronidazole mempunyai aktivitas yang tidak tergantung pada pH, tetapi resistensi terhadap obat sudah terjadi di Amerika Serikat. Dosis metronidazole 2 x 500 mg
selama 10-14 hari. Metronidazole oleh Food and Drug Administration FDA sebagai obat kategori C. Penggunaan pada trimester pertama dapat menyebabkan kelainan kongenital
berupa retardasi mental, dislokasi panggul, hidrokel, bibir sumbing, holotelencephaly, atrofi organ penglihatan dan kelainan pada tangan, sehingga di kontraindikasikan pada
trimester pertama, tetapi dapat digunakan pada trimester kedua dan ketiga jika pengobatan alternatif lain tidak memberikan respon yang baik.
9
Clarithromycin mempunyai tingkat resistensi yang lebih rendah kira-kira 7 -11 tetapi tidak stabil asam dan dengan harga yang lebih mahal daripada obat antibiotik
lainnya. Dosis clarithromycin 2 x 500 mg selama 10-14 hari. Clarithromycin oleh FDA sebagai obat kategori C. Penggunaan pada trimester pertama dapat menyebabkan efek
teratogenik dan fetotoksik berupa kelainan kardiovaskuler, bibir sumbing, Intrauterine Growth Retardation IUGR.
9
Tetracycline mempunyai kelebihan berupa biaya murah dan dengan kejadian resistensi yang juga rendah, tetapi bisa menyebabkan perubahan warna gigi yang
permanen pada anak, hipoplasia enamel dan reaksi photosensitivitas. Dosis tetracycline 2 x 500 mg selama 10-14 hari. Tetracycline oleh FDA sebagai obat kategori D.
9
Amoxicillin banyak digunakan, karena resistensi terhadap obat ini jarang, tetapi obat ini biasanya mengharuskan pemberian secara bersamaan inhibitor pompa proton,
karena aktivitasnya yang tergantung pH. Dosis amoxicillin 2 x 1 gram selama 10-14 hari. Amoxicillin oleh FDA sebagai obat kategori B.
9
Erythromycin dapat digunakan pada pengobatan hyperemesis gravidarum. Pasien dengan hyperemesis gravidarum yang terbukti seropositif terhadap H. pylori dapat bereaksi
secara baik terhadap terapi erythromycin oral yang di konsumsi. Dosis erythromycin 4 x 500 mg selama 10-14 hari. Erythromycin oleh FDA sebagai obat kategori B.
5
Inhibitor Pompa Proton
Obat paling populer yang digunakan saat ini secara kombinasi dengan obat antibiotik untuk membasmi infeksi H. pylori adalah inhibitor pompa proton, dengan
omeprazole sebagai obat yang paling banyak distudi. Inhibitor pompa proton yang lebih baru yaitu lansoprazole, pantoprazole, rabeprazole juga sudah digunakan. Inhibitor pompa
Universitas Sumatera Utara
proton bukan hanya bertindak dengan menghambat enzym mikrosom bakteri secara langsung tetapi juga dengan menaikkan pH di dalam lambung, yang dengan demikian
memperlancar kerja obat antibiotik, mengurangi sekresi lambung dan meningkatkan
konsentrasi antibiotik di dalam lambung. H. pylori dapat hidup dalam suasana asam,
sehingga bila sekresi asam menurun maka kolonisasi H. pylori juga akan berkurang. Tujuan pengobatan ini adalah untuk menghilangkan keluhan, menyembuhkan ulkus
peptikum dan mencegah kekambuhan dan komplikasi.
9
Terapi Tambahan
Pemberian cairan parenteral dan elektrolit yang sesuai merupakan regimen terapi pada hiperemesis gravidarum. Diberikan larutan kristaloid intravena untuk memperbaiki
dehidrasi, ketonemia, defisit elektrolit, dan ketidakseimbangan asam-basa. Cairan intravena diberikan hingga muntah dapat dikontrol.
5
Terapi tambahan lainnya meliputi antagonis reseptor histamin dan ranitidine bismuth citrat, yang memiliki sifat antisekresi dan tindakan antibakteri bismuth dengan
mengganggu dinding sel bakteri. Akan tetapi, ranitidine bismuth citrat tidak lagi ada tersedia di Amerika Serikat.
9
Berbagai antiemetik dan asupan vitamin bisa diberikan sebagai terapi tambahan. Promethazine, prochlorperazine, chlorpromazine, meclizine, droperidol, diphenhydramine,
dan metoclopramide adalah obat yang umum digunakan secara rutin untuk meredakan mual dan muntah. Rute intravena atau rektal bisa mula-mula digunakan dan diganti dengan
rute oral bila gejala-gejala mulai menghilang. Jika tidak ada ditemukan reaksi dalam beberapa hari dan gejala-gejala tetap bertahan bahkan pada tingkat yang lebih berat,
seperti gastroenteritis, cholecystitis, pankreatitis, hepatitis, ulcus peptik, dan pyelonephritis haruslah dimasukkan dalam diagnosis banding dan pasien harus dinilai ulang. Dukungan
psikologis dari tim medis dan keluarga pasien dapat menambah pada penanganan pasien. Pasien harus menghindari bau-bau yang merangsang dan makanan yang tidak diinginkan
karena keduanya bisa memicu muntah. Setelah pulang dari rumah sakit kekambuhan pada sebagian pasien dapat terjadi dan perawatan inap ulang mungkin diperlukan. Selain obat
antiemetik, pyridoxine tampaknya lebih efektif dalam mengurangi keparahan mual.
5
Risiko relatif untuk terjadinya kelainan kongenital mayor pada anak dari pasien yang terpapar pada antihistamin pada trimester pertama diteliti dengan menilai 24 studi
terkontrol yang melibatkan lebih dari 200.000 wanita. Tidak ada ditemukan peningkatan risiko teratogenik, dan antihistamin terbukti aman bila diresepkan selama kehamilan.
5
Universitas Sumatera Utara
Pemberian infus droperidol dan diphenhydramine intravena bolus dikaji pada hiperemesis gravidarum dan dibandingkan dengan pasien lain yang tidak menerima obat.
Kelompok studi menjalani masa yang lebih singkat di rumah sakit dengan lebih sedikit masuk rumah sakit kembali. Pengobatan droperidol dan diphenhydramine dilaporkan
bermanfaat dengan biaya yang terjangkau.
5
Ondansetron adalah antagonis reseptor 5-hydroxytryptamine yang digunakan untuk mencegah mual dan muntah berat selama kemoterapi dan pada periode pascaoperatif.
Obat ini oleh FDA didaftarkan sebagai obat kategori B. Ondansetron bisa dicanangkan untuk kasus-kasus resisten. Tidak ada ditemukan efek merugikan untuk ibu atau janin pada
pasien yang diobati dengan obat ini pada setiap trimester. Dilaporkan bila ondansetron dibandingkan promethazine dengan cara double-blinded yang mencakup 15 pasien dalam
masing-masing kelompok. Tidak ada ditemukan perbedaan dalam peredaan mual, pertambahan berat badan dan lama rawat inap.
5
Steroid bisa digunakan sebagai aturan pengobatan alternatif pada pasien yang resisten terhadap terapi standar. Dilaporkan pertama kali pada tahun 1953 bahwa
pengobatan cortisone menyebabkan berhentinya hiperemesis secara total. Sejak itu, berbagai bentuk terapi digunakan. Masa pengobatan methylprednisolone singkat, 16 mg
tiga kali sehari, dengan penurunan bertahap tapering off selama masa dua minggu terbukti lebih efektif bila dibandingkan dengan promethazine. Ada tingkat perbedaan yang
signifikan dalam masuknya kembali ke rumah sakit. Berat lahir dan skor Apgar tidak berbeda. Obat ini memberikan efeknya melalui zona pemicu kemoreseptor yang berlokasi
di batang otak. Model terapi ini bisa dimulai di rumah sakit dan terus berlanjut di lingkungan rawat jalan dan untuk pasien yang resisten terhadap hidrasi intravena standar
dan antiemetik. Dalam studi lain hydrocortisone intravena diikuti dengan prednisolone oral pada tujuh pasien dengan hiperemesis gravidarum resisten, ditemukan muntah-muntah
berhenti dalam tiga jam dosis pertama hydrocortisone dan gejala-gejala sembuh dalam hitungan hari dengan mulainya kembali selera makan yang normal dan kembalinya berat
badan yang hilang.
5
Nutrisi parenteral mungkin diperlukan pada kasus berat. Pemberian makanan enteral adalah pendekatan alternatif setelah gejala-gejala akut berakhir dengan terapi awal.
Bentuk nutrisi ini haruslah dipertimbangkan pada pasien yang tidak bisa mentoleransi pemberian makanan oral meskipun dengan adanya pengobatan antiemetik. Kadang-
kadang sangat sulit bagi pasien makan dengan beban mual dan muntah yang berat. Kuscu melakukan pemberian makanan menggunakan pipa nasogastrik Nasogastric Tube NGT
Universitas Sumatera Utara
pada tujuh wanita dengan muntah-muntah yang berat untuk pemberian asupan gizi, ini terbukti efektif dalam meredakan gejala-gejala hiperemesis gravidarum.
5
Aturan pengobatan saat ini di Amerika Serikat, bahwa pengobatan mencakup 2 obat antibiotik dan 1 obat tambahan selama 14 hari. Studi di Eropa menyebutkan angka
kesembuhan terjadi dengan masa terapi 7 hari dengan 2 obat antibiotik dan 2 obat tambahan.
Sebagian besar praktisi klinik mengobati infeksi H. pylori dengan pendekatan obat rangkap tiga atau bahkan pendekatan obat rangkap empat. Petunjuk dari American College
of Gastroenterology tahun 1998 menggunakan 3 aturan berikut: 1 pemberian inhibitor
pompa proton, clarithromycin dan metronidazole atau amoxicillin selama 2 minggu, 2 pemberian ranitidine bismuth citrat, clarithromycin dan metronidazole, amoxicillin atau
tetracycline selama 2 minggu, 3 pemberian inhibitor pompa proton, ranitidine bismuth citrat, metronidazole dan tetracycline selama 2 minggu. Inhibitor pompa proton yang
digunakan adalah omeprazole 2 x 20 mg. Penggunaan inhibitor pompa proton yang lebih baru yaitu lansoprazole 2 x 30 mg, pantoprazole 2 x 40 mg, rabeprazole 2 x 20 mg.
Untuk pasien yang gagal dalam terapi obat rangkap tiga awal, terapi selanjutnya akan melibatkan penggunaan kombinasi terapi rangkap empat, yang meningkatkan durasi
pengobatan. Kultur dengan pengujian sensitivitas haruslah dilaksanakan setelah 2 kegagalan pengobatan.
9
Proton Pump Inhibitors Dosis
Kategori FDA Lansoprazole
30 mg oral, 2 kali sehari B
Omeprazole 20 mg oral, 2 kali sehari
B Pantoprazole
40 mg oral, 2 kali sehari B
Rabeprazole 20 mg oral, 2 kali sehari
B Tabel 2.2. :
Terapi Tambahan Inhibitor Pompa Proton.
9
Universitas Sumatera Utara
Nama Obat Dosis
Kategori FDA Pyridoxine vitamin B6
25 mg oral, 3 kali sehari A
Antiemetik Chlorpromazine
10-25 mg oral, 2-4 kali sehari C
Prochlorperazine 5-10
mg oral, 3-4 kali sehari
C Promethazine
12,5-25 mg oral, setiap 4- 6 jam C
Trimethobenzamide 250 mg oral, 3-4 kali sehari
C Ondansetron
8 mg
oral, 2-3
kali sehari
B Droperidol
0,5-2 mg IVIM, tiap 3-4jam C
Antihistamin dan Antikolinergik
Diphenhydramine 25-50 mg oral, tiap 4- 8jam
B Meclizine
25 mg
oral, tiap
4-6 jam
B Dimenhydrinate
50-100 mg
oral, tiap
4-6 jam
B Motility drug
Metoclopramide 5-10 mg oral, 3 kali sehari
B Kortikosteroid
Methylprednisolone 16
mg oral, 3 kali sehari kemudian
C diturunkan
Tabel 2.3. :
Terapi Tambahan Vitamin, Antiemetik, Antihistamin dan Kortikosteroid.
5
2.3. Tes Diagnostik
Sekarang ini ada beberapa cara populer untuk mendeteksi adanya infeksi H. pylori, masing-masing memiliki kelebihan, kekurangan dan keterbatasan. Pada dasarnya tes yang
tersedia untuk diagnosis ada 2 metode yaitu metode invasif dan metode non invasif. Pada metode yang invasif dapat dilakukan biopsi endoskopi untuk pemeriksaan histologi, kultur,
Polymerase Chain Reaction PCR dan Rapid Urease Test. Pada yang non invasif dapat
dilakukan Urea Breath Test, Serologi Test dan Stool Antigen Test.
9,12,13,14
2.3.1. Histologi
Evaluasi histologi merupakan metode standar emas untuk memastikan adanya kuman H. pylori pada lambung. Untuk evaluasi ini diperlukan tindakan biopsi untuk
pemeriksaan histopatologi. Dengan sensitivitas 98 dan spesifitas 95 namun tidak dapat dilakukan pada wanita hamil. Diangosis dengan metode endoskopi untuk evaluasi
histologi hanya boleh digunakan jika prosedur ini diperlukan untuk mendeteksi kondisi lainnya selain infeksi H. pylori. Metode endoskopi dengan pengambilan sampel jaringan
pada pasien dengan riwayat penyakit ulcus peptik bisa memberikan diagnosis yang lebih
Universitas Sumatera Utara
pasti dari infeksi H. pylori, dan juga tingkat inflamasi atau metaplasia dan keberadaan lymphoma MALT atau kanker lambung lainnya pada pasien risiko tinggi.
9
Biopsi endoskopi pada antrum dan corpus untuk pemeriksaan histopatologi dilakukan oleh Bagis di Turkey tahun 2002 terhadap 20 pasien dengan hiperemesis
gravidarum dan 10 pasien asimptomatik. H. pylori di diagnosis pada 19 pasien 95 .
17
Kelemahan teknik evaluasi histologi ini adalah diperlukannya endoskopi untuk mendapatkan jaringan. Keterbatasan yang lain adalah jumlah yang tidak layak dari
spesimen biopsi yang diperoleh atau kegagalan mendapatkan spesimen dari daerah lambung. Pada sebagian kasus, teknik pemulasan yang berbeda-beda mungkin diperlukan,
yang bisa melibatkan waktu pemprosesan yang lebih lama dan biaya yang lebih tinggi.
9,18
2.3.2. Kultur
Karena H. pylori
sulit tumbuh pada medium kultur, peranan kultur dalam diagnosis infeksi sebagian besar terbatas pada penelitian dan pertimbangan epidemiologi.
Pemeriksaan kultur mahal, memakan waktu yang lama dan intensif, namun kultur tetap memegang peranan dalam studi kerentanan terhadap antibiotik dan studi tentang faktor-
faktor pertumbuhan dan metabolisme. Di Amerika Serikat, kultur tidak dianggap cara diagnosis lini pertama yang rutin.
9,19
2.3.3. Polymerase Chain Reaction PCR
Dengan lahirnya PCR, banyak kemungkinan yang menarik muncul untuk mendiagnosa dan mengklasifikasikan infeksi H. pylori. PCR memungkinkan identifikasi
organisme dalam sampel kecil dengan sedikit bakteri dan tidak membutuhkan persyaratan khusus dalam pemprosesan dan pengangkutan. PCR bisa dilaksanakan dengan cepat dan
bisa digunakan untuk mengidentifikasi strain-strain bakteri yang berbeda untuk studi epidemiologi. PCR juga sedang dievaluasi manfaatnya dalam mengidentifikasi H. pylori
dalam sampel plak gigi, saliva dan feces yang mudah diambil sampelnya. Keterbatasan dari PCR adalah bahwa relatif sedikit laboratorium yang memiliki kemampuan untuk
mengoperasikan pengujian ini. Selain itu, karena PCR bisa mendeteksi segmen-segmen DNA H. pylori dalam mukosa lambung pasien yang diobati sebelumnya, hasil positif palsu
bisa terjadi.
9,19,20
Universitas Sumatera Utara
2.3.4. Rapid Urease Test
Rapid Urease Test Pengujian Urease Cepat dilakukan berdasarkan dari fakta bahwa H. pylori adalah organisme yang menghasilkan urease. Sampel yang diperoleh dari
endoskopi ditempatkan di dalam medium yang mengandung urea. Jika urease ada, urea akan diuraikan menjadi karbon dioksida dan ammonia, akibatnya terjadi peningkatan pH
medium dan selanjutnya terjadi perubahan warna pada medium. Test ini memiliki kelebihan yaitu tidak mahal, cepat dan tersedia secara luas. Akan tetapi, test ini dibatasi
oleh kemungkinan hasil positif palsu, dimana terjadi penurunan aktivitas urease yang disebabkan konsumsi antibiotik yang masih baru, senyawa bismuth, inhibitor pompa
proton atau sucralfate atau oleh reflux empedu, bisa turut andil atas hasil positif palsu ini.
9,19,21
2.3.5. Urea Breath Test
Urea Breath Test Test Napas Urea mengandalkan aktivitas urease H. pylori untuk mendeteksi keberadaan infeksi aktif. Dalam test ini, pasien yang diduga mengidap infeksi
diberi urea berlabel-
14
C atau urea berlabel-
13
C. Urea berlabel-
14
C atau
13
C memiliki kelebihan bersifat nonradioaktif dan karenanya lebih aman untuk anak-anak dan wanita
setelah melahirkan. Jika ada urease, akan menguraikan urea menjadi ammonia dan karbon dioksida, karbon dioksida diserap dan akhirnya terekspirasikan di dalam napas, di mana
senyawa ini akan terdeteksi. Urea Breath Test memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90 . Selain sangat bagus untuk mendokumentasikan infeksi aktif, test ini juga sangat
bernilai untuk memastikan ketiadaan infeksi setelah pengobatan. Juga penting pada pasien dengan riwayat penyakit ulcus yang terkomplikasi yang disertai perdarahan atau perforasi.
Selain itu, Urea Breath Test tidak mahal dengan isotop manapun yang digunakan, mudah dilaksanakan dan tidak mengharuskan endoskopi. Akan tetapi, jika pasien baru
mengkonsumsi inhibitor pompa proton, antibiotik atau senyawa bismuth, Urea Breath Test bisa terbatas manfaatnya. Karena itu, setidaknya jarak 1 minggu waktu antara penghentian
obat antisekresi dan Urea Breath Test dilaksanakan 4 minggu setelah pengobatan selesai eradikasi. Tambahan lagi, kecuali untuk pusat medis besar di mana hasil-hasil biasanya
tersedia dalam waktu kurang dari 24 jam, Urea Breath Test juga bisa untuk waktu beberapa hari yang dibutuhkan untuk pengangkutan sampel dan analisa oleh laboratorium.
9,18,19
Pemeriksaan Urea Breath Test bersifat non invasif, tidak menggunakan bahan radioaktif, hasil cepat, praktis tanpa persiapan khusus dan tanpa efek samping.
Pemeriksaan Urea Breath Test dapat dilakukan dengan menggunakan alat Infra Red
Universitas Sumatera Utara
Isotope Analyser IRIS untuk mendeteksi adanya H. pylori. Prosedur pemeriksaan
dilakukan dengan cara meniupkan udara pernafasan kedalam kantong udara yang tersedia yang kemudian dihubungkan ke alat IRIS untuk mengetahui ada tidaknya H. pylori.
Prosedurnya sederhana dan hasilnya cepat dengan waktu ± 30 menit. Non invasif karena tidak ada alat yang dimasukkan kedalam tubuh dan tanpa efek samping karena hanya
menggunakan udara pernafasan.
9,22
2.3.6. Serologi Test
Metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay ELISA Pemeriksaan serologi dengan metode ELISA untuk melihat adanya antibodi
terhadap kuman H. pylori memililki sensitivitas 90-95 dan spesifitas 92 . Teknik ini dinilai cukup efektif, ekonomis serta lebih mudah dilakukan dibanding tes diagnostik
lainnya. Sebagai reaksi terhadap infeksi H. pylori, sistem kekebalan akan memunculkan reaksi melalui produksi immunoglobulin terhadap antigen spesifik organisme. Antibodi ini
bisa terdeteksi dalam serum atau sampel darah yang dengan mudah diperoleh. Keberadaan antibodi IgG terhadap H. pylori bisa dideteksi dengan menggunakan pengujian biokimia
dan banyak pengujian yang berbeda-beda tersedia.
9,18,19,23
Test serologi menawarkan cara cepat, mudah, non invasif dan relatif tidak mahal dalam mengidentifikasi pasien yang terinfeksi dengan organisme. Akan tetapi, metode ini
kurang bermanfaat dalam menentukan jumlah H. pylori pada sampel dan perubahan titer H. pylori
setelah eradikasi. Pada populasi prevalensi rendah, test serologi merupakan metodologi lini kedua karena nilai prediksi positif yang rendah dan kecenderungan ke arah
hasil positif palsu. Test serologi berguna dalam mengidentifikasi H. pylori dengan mendeteksi antibodi yang terkait dengan penyakit yang lebih berat yaitu, ulcus yang
terkomplikasi, kanker lambung dan lymphoma.
9,19
Prinsip test Prinsip test ini didasarkan pada teknik ELISA. Test ini untuk menentukan kadar
semi kuantitatif IgG H. pylori di dalam serum atau plasma manusia. Dengan teknik ini sumur-sumur mikro dilapisi dengan antigen H. pylori spesifik. Kemudian sampel serum
dibiarkan bereaksi dengan antigen. Jika antibodi spesifik ada di dalam serum, antibodi tersebut akan mengalami pengikatan pada antigen H. pylori. Setelah inkubasi pada suhu
kamar, sumur-sumur dicuci dengan larutan buffer phosphate 0,05 dengan pH = 6 untuk menghilangkan antibodi yang tidak terikat. Setelah pencucian sumur, IgG anti-H. pylori
Universitas Sumatera Utara
yang tertangkap akan bereaksi dengan antibodi berkonjugasi IgG anti-manusia yang dilabelkan dengan Horseradish Peroxidase HRP Alkalin Phosphatase AP yang
ditambahkan ke dalam sumur. Konjugat enzym alkalin Phosphatase ini menjadi terikat pada kompleks antibodi-antigen. Setelah inkubasi, komponen-komponen yang tidak
terikat dihilangkan kembali dengan pencucian. Alkalin phosphatase yang terikat akan bereaksi dengan penambahan komponen khromogenik tetramethylbenzidine dan hydrogen
peroxide, setelah diinkubasi akan menghasilkan warna biru. Perkembangan warna dihentikan dengan penambahan larutan stop asam hidroklorat dengan pH 1. Warna
berubah menjadi kuning dan diukur secara spektrophotometrik pada 450 nm. Intensitas warna yang dihasilkan sebanding dengan jumlah antibodi spesifik IgG dalam sampel.
Hasil-hasil dibaca dengan alat pembaca sumur mikro yang dibandingkan secara paralel dengan kalibrator dan kontrol.
12,13,14,23,24
Gambar 2.2. :
Prinsip Test.
13
Saat ini telah banyak dilaporkan kemungkinan terlibatnya H. pylori dengan terjadinya hiperemesis gravidarum. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat
hubungan antara hiperemesis gravidarum dengan infeksi H. pylori. Mekanisme terjadinya hal ini dapat dijelaskan secara teoritis yaitu bahwa infeksi subklinis H. pylori merupakan
akibat perubahan kadar hormon steroid dan pH lambung pada kehamilan. Para peneliti membuat suatu hipotesa bahwa pada fase awal kehamilan, perubahan pada konsentrasi
cairan tubuh wanita mempengaruhi pH saluran cerna, yang kemudian dapat mengaktifkan H. pylori
laten yang ada di saluran cerna. Perubahan pH saluran cerna dapat mengaktivasi
Universitas Sumatera Utara
bakteri H. pylori laten sehingga timbul manifestasi penyakit tersebut. Juga beberapa
laporan kasus menyatakan bahwa pemberantasan infeksi H. pylori memperbaiki klinis hiperemesis gravidarum.
9,19,25,26
Beberapa penelitian H. pylori pada hiperemesis gravidarum dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Penelitian Hiperemesis Gravidarum
Kontrol P
Frigo 95105 90,5
60129 46,5
0,001 Kocak 8795
91,5 52116
44,8 0,001
Erden 4047 85,1
2539 64,1
0,05 Hayakawa 1834 52,9 629 20,6
0,0005 Khayati 4854 88,9 2254 40,7
0,001
Tabel 2.4. : Hasil Penelitian H. pylori Seropositif pada Hiperemesis Gravidarum.
6,7
Infeksi kronis H. pylori dinyatakan sebagai salah satu faktor penyebab hiperemesis gravidarum, walaupun bukan merupakan penyebab tunggal hiperemesis gravidarum. Pada
tahun 1998 Frigo di Austria pertama sekali menghubungkan antara hiperemesis gravidarum dengan H. pylori seropositif, dilaporkan infeksi H. pylori pada 90,5 pasien
hiperemesis gravidarum dan 46,5 pada kontrol. Menurutnya, infeksi H. pylori dapat menyebabkan hiperemesis gravidarum. Hubungan ini didukung oleh berbagai penelitian
lain. Kocak di Turkey tahun 1999 menyatakan adanya hubungan antara infeksi H. pylori dengan hiperemesis gravidarum. Penelitian ini menggunakan tes antibodi serum H. pylori
spesifik untuk menilai hubungan infeksi H. pylori dengan hiperemesis gravidarum. Kocak melakukan penelitian terhadap 95 pasien hiperemesis gravidarum dan 116 kontrol.
H. pylori ditemukan pada 91,5 pasien hiperemesis gravidarum dibandingkan dengan
44,8 pada kontrol. Erden di Turkey tahun 2002 melakukan penelitian pada wanita hamil dengan hiperemesis gravidarum. Serologi positif untuk infeksi H. pylori ditemukan pada
85,1 pasien hiperemesis gravidarum dan 64,1 pada kontrol. Hayakawa di Jepang tahun 2000 memeriksa genome H. pylori pada saliva. Dari penelitian tersebut disimpulkan
bahwa infeksi kronis H. pylori merupakan salah satu faktor penting sebagai penyebab hiperemesis gravidarum walaupun bukan merupakan penyebab tunggal penyakit tersebut.
Tahun 2002 Khayati di Iran menemukan banyak pasien hiperemesis gravidarum dengan
seropositif terhadap infeksi H. pylori, tetapi tidak menunjukkan korelasi antara H. pylori
Universitas Sumatera Utara
seropositif dengan onset dan durasi hiperemesis gravidarum. Walaupun infeksi H. pylori merupakan faktor penting pada hiperemesis gravidarum, tetapi tidak menggambarkan
penyebab tunggal penyakit tersebut.
6,7
Jamal di Iran tahun 2002 menemukan konsentrasi IgG serum positif pada 26 pasien 66,7 dari 39 pasien hiperemesis gravidarum dibandingkan dengan 23 pasien 41,8
dari 55 pasien kontrol. Perbedaan signifikan secara statistik P 0,015 pada wanita dengan hiperemesis gravidarum daripada wanita dalam kelompok kontrol. Tampak bahwa
infeksi H. pylori mempunyai hubungan yang signifikan dengan hiperemesis gravidarum. Blecker meneliti kemungkinan transmisi antibodi anti H. pylori dari ibu ke bayi. Dari
seluruh bayi yang dilahirkan dari ibu dengan H. pylori seropositif didapatkan IgG anti H. pylori
positif dari darah tali pusat pada waktu kelahiran, tetapi titer berubah menjadi negatif pada usia 3 bulan. Karenanya disimpulkan antibodi IgG terhadap H. pylori dapat
melewati sawar plasenta, namun walaupun ditemukan infeksi H. pylori pada ibu, janin yang lahir dari wanita positif infeksi H. pylori tidak menunjukkan peningkatan resiko
perkembangan H. pylori selama tahun pertama kehidupannya.
1
2.3.7. Stool Antigen Test
H. pylori Stool Antigen HpSA
Pengujian antigen tinja merupakan metodologi yang relatif baru yang menggunakan enzyme immunoassay untuk mendeteksi keberadaan
antigen H. pylori di dalam spesimen tinja. Biaya cukup efektif dan cara yang handal dalam mendiagnosa infeksi aktif dan menegaskan kesembuhan. Pengujian ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang sebanding dengan sensitivitas dan spesifisitas test non invasif lainnya. Stool Antigen Test memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90 .
9,10,27
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 . Desain penelitian
Penelitian ini merupakan suatu penelitian survei analitik dengan menggunakan
pendekatan potong lintang cross sectional study.
3.2. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di poliklinik dan ruang perawatan kebidanan RSUP. H. Adam Malik Medan, RS. Tembakau Deli, RS. Haji Medan, RS. Sundari dan Rumkit
KESDAM I BB Medan. Penelitian ini berlangsung mulai 29 Oktober 2009 sampai dengan 30 Juni 2010.
3.3. Sampel dan Besar sampel penelitian 3.3.1. Sampel penelitian
Sampel penelitian adalah semua wanita primigravida, usia 20-35 tahun dengan usia kehamilan
≤ 16 minggu yang disertai gejala hiperemesis gravidarum dan yang tidak disertai gejala hiperemesis gravidarum yang berobat di poliklinik dan yang dirawat di
ruang perawatan kebidanan RSUP. H. Adam Malik Medan, RS. Tembakau Deli, RS. Haji Medan, RS. Sundari dan Rumkit KESDAM I BB Medan. Cara pemilihan sampel pada
penelitian ini dilakukan dengan Consecutive Sampling, dimana semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang
diperlukan terpenuhi.
3.3.2. Besar sampel penelitian
28,29
Untuk menghitung besar sampel digunakan rumus sebagai berikut : n
1
= n
2
= { Z
∝ √2PQ +Zß √P
1
Q
1
+ P
2
Q
2
}
2
P
1
- P
2 2
Keterangan : n : Jumlah sampel
Z α : Nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya tergantung pada nilai α yang ditentukan.
Tingkat kemaknaan untuk nilai α : 0,05 Zα : 1,96
Universitas Sumatera Utara
Zß : Nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung pada nilai ß yang ditentukan. Power kekuatan untuk nilai ß : 0,20 Zß : 0,842
P1 : Proporsi efek standar 2,0 0,02 P2 : Proporsi efek yang diteliti dengan beda klinis yang dianggap penting 30 0,30
P = ½ P1 + P2
{ Z ∝ √2PQ +Zß √P
1
Q
1
+ P
2
Q
2
}
2
P
1
- P
2 2
n
1
= n
2
=
n
1
= n
2
= {1,96 √2x0,17x0,83 + 0,842√0,02x0,98 + 0,32x0,68}
2
0,02 – 0,32
2
Dari rumus tersebut di atas didapatkan besar sampel masing-masing sebanyak 23 orang.
3.3.3. Kriteria Sampel 3.3.3.1. Kriteria inklusi
a. Semua wanita primigravida, usia 20-35 tahun dengan usia kehamilan ≤ 16
minggu yang disertai gejala hiperemesis gravidarum dan yang tidak disertai gejala hiperemesis gravidarum.
b. Mengalami hiperemesis gravidarum dengan gejala yaitu : muntah lebih dari 3 kali sehari dan keton positif pada pemeriksaan urinalisa .
c. Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani formulir persetujuan untuk mengikuti penelitian.
3.3.3.2. Kriteria Eksklusi
a. Menderita penyakit gastritis, thyroid, hati dan ginjal. b. Kehamilan ganda.
c. Kehamilan mola. d. Menderita gangguan jiwa.
e. IMT 20 KgM
2
atau IMT 25 KgM
2
.
Universitas Sumatera Utara
3.4 . Cara Kerja
Semua wanita primigravida, usia 20-35 tahun dengan usia kehamilan ≤ 16 minggu
dihitung berdasarkan Hari Pertama Haid Terakhir HPHT. Jika HPHT tidak diketahui, penentuan usia kehamilan dilakukan dengan Ultra Sonografi USG, oleh peneliti atau
peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis PPDS semester lima atau lebih. Ibu yang disertai gejala hiperemesis gravidarum dan yang tidak disertai gejala hiperemesis
gravidarum masuk dalam kriteria inklusi penelitian, dan berobat di poliklinik atau yang dirawat di ruang perawatan kebidanan RSUP. H. Adam Malik Medan, RS. Tembakau Deli,
RS. Haji Medan, RS. Sundari dan Rumkit KESDAM I BB Medan. Selanjutnya pada ibu dan keluarga dijelaskan seluruh prosedur yang akan dilakukan.
Ibu yang setuju untuk menandatangani informed consent dimasukkan ke dalam penelitian. Dilakukan anamnesa, pemeriksaan fisik, USG, pemeriksaan laboratorium: darah
rutin Hemoglobin, Hematokrit, Lekosit, Trombosit, kimia darah elektrolit, Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase SGOT Aspartate Aminotransferase AST, Serum
Glutamic Pyruvic Transaminase SGPT Alanine Aminotransferase ALAT, ureum, kreatinin, serologi Anti-Helicobacter pylori Ig G Antibodi dan keton urin.
Darah vena dan urin masing-masing sebanyak 5 ml diambil pada kunjungan klinik pertama setelah pasien memberikan izin tertulis. Darah disimpan di spuit 5 cc, urin
disimpan pada wadah tempat penampungan urin dan dicantumkan identitas dengan jelas, lalu dikirim ke laboratorium swasta Thamrin dengan seluruh biaya ditanggung oleh
peneliti. Selama pengangkutan, spesimen bisa tetap dijaga pada suhu ≤ 30 C selama
periode waktu yang singkat, yang secara total tidak lebih dari 48 jam. Kemudian di laboratorium dilakukan pemeriksaan darah rutin dengan Cell-Dyn
3200 Flow Cytometer, kimia darah dengan Cobas Integra 400 Plus Photometric, Antibodi serum spesifik terhadap H. pylori dengan teknik Enzyme Linked Immunosorbent Assay
ELISA secara kualitatif, keton urin dengan Urisys 2400 Refractometer. Adanya infeksi H. pylori
ditandai dengan Ig G serum positif. Sedangkan diagnosis hiperemesis gravidarum ditegakkan dengan gejala klinis muntah lebih dari 3 kali sehari dan keton positif pada
pemeriksaan urinalisa. Selanjutnya sampel dikelompokkan menjadi 2, yaitu kelompok seropositif H.
pylori dan kelompok seronegatif H. pylori. Hasil yang didapat dari pemeriksaan serologi
H. pylori akan di uji untuk signifikansi statistik.
Universitas Sumatera Utara
Instrumen Penelitian I. Alat
1. Spuit 5 cc 2. Sarung tangan steril
3. Kapas alkohol 4. Wadah tempat kapas alkohol
5. Wadah tempat penampungan urin II. Bahan
1. Darah vena 5 ml 2. Urin 5 ml
3.5. Alur Penelitian Alur penelitian dapat dilihat pada bagan dibawah ini :