Serologi Test Tes Diagnostik

Isotope Analyser IRIS untuk mendeteksi adanya H. pylori. Prosedur pemeriksaan dilakukan dengan cara meniupkan udara pernafasan kedalam kantong udara yang tersedia yang kemudian dihubungkan ke alat IRIS untuk mengetahui ada tidaknya H. pylori. Prosedurnya sederhana dan hasilnya cepat dengan waktu ± 30 menit. Non invasif karena tidak ada alat yang dimasukkan kedalam tubuh dan tanpa efek samping karena hanya menggunakan udara pernafasan. 9,22

2.3.6. Serologi Test

Metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay ELISA Pemeriksaan serologi dengan metode ELISA untuk melihat adanya antibodi terhadap kuman H. pylori memililki sensitivitas 90-95 dan spesifitas 92 . Teknik ini dinilai cukup efektif, ekonomis serta lebih mudah dilakukan dibanding tes diagnostik lainnya. Sebagai reaksi terhadap infeksi H. pylori, sistem kekebalan akan memunculkan reaksi melalui produksi immunoglobulin terhadap antigen spesifik organisme. Antibodi ini bisa terdeteksi dalam serum atau sampel darah yang dengan mudah diperoleh. Keberadaan antibodi IgG terhadap H. pylori bisa dideteksi dengan menggunakan pengujian biokimia dan banyak pengujian yang berbeda-beda tersedia. 9,18,19,23 Test serologi menawarkan cara cepat, mudah, non invasif dan relatif tidak mahal dalam mengidentifikasi pasien yang terinfeksi dengan organisme. Akan tetapi, metode ini kurang bermanfaat dalam menentukan jumlah H. pylori pada sampel dan perubahan titer H. pylori setelah eradikasi. Pada populasi prevalensi rendah, test serologi merupakan metodologi lini kedua karena nilai prediksi positif yang rendah dan kecenderungan ke arah hasil positif palsu. Test serologi berguna dalam mengidentifikasi H. pylori dengan mendeteksi antibodi yang terkait dengan penyakit yang lebih berat yaitu, ulcus yang terkomplikasi, kanker lambung dan lymphoma. 9,19 Prinsip test Prinsip test ini didasarkan pada teknik ELISA. Test ini untuk menentukan kadar semi kuantitatif IgG H. pylori di dalam serum atau plasma manusia. Dengan teknik ini sumur-sumur mikro dilapisi dengan antigen H. pylori spesifik. Kemudian sampel serum dibiarkan bereaksi dengan antigen. Jika antibodi spesifik ada di dalam serum, antibodi tersebut akan mengalami pengikatan pada antigen H. pylori. Setelah inkubasi pada suhu kamar, sumur-sumur dicuci dengan larutan buffer phosphate 0,05 dengan pH = 6 untuk menghilangkan antibodi yang tidak terikat. Setelah pencucian sumur, IgG anti-H. pylori Universitas Sumatera Utara yang tertangkap akan bereaksi dengan antibodi berkonjugasi IgG anti-manusia yang dilabelkan dengan Horseradish Peroxidase HRP Alkalin Phosphatase AP yang ditambahkan ke dalam sumur. Konjugat enzym alkalin Phosphatase ini menjadi terikat pada kompleks antibodi-antigen. Setelah inkubasi, komponen-komponen yang tidak terikat dihilangkan kembali dengan pencucian. Alkalin phosphatase yang terikat akan bereaksi dengan penambahan komponen khromogenik tetramethylbenzidine dan hydrogen peroxide, setelah diinkubasi akan menghasilkan warna biru. Perkembangan warna dihentikan dengan penambahan larutan stop asam hidroklorat dengan pH 1. Warna berubah menjadi kuning dan diukur secara spektrophotometrik pada 450 nm. Intensitas warna yang dihasilkan sebanding dengan jumlah antibodi spesifik IgG dalam sampel. Hasil-hasil dibaca dengan alat pembaca sumur mikro yang dibandingkan secara paralel dengan kalibrator dan kontrol. 12,13,14,23,24 Gambar 2.2. : Prinsip Test. 13 Saat ini telah banyak dilaporkan kemungkinan terlibatnya H. pylori dengan terjadinya hiperemesis gravidarum. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara hiperemesis gravidarum dengan infeksi H. pylori. Mekanisme terjadinya hal ini dapat dijelaskan secara teoritis yaitu bahwa infeksi subklinis H. pylori merupakan akibat perubahan kadar hormon steroid dan pH lambung pada kehamilan. Para peneliti membuat suatu hipotesa bahwa pada fase awal kehamilan, perubahan pada konsentrasi cairan tubuh wanita mempengaruhi pH saluran cerna, yang kemudian dapat mengaktifkan H. pylori laten yang ada di saluran cerna. Perubahan pH saluran cerna dapat mengaktivasi Universitas Sumatera Utara bakteri H. pylori laten sehingga timbul manifestasi penyakit tersebut. Juga beberapa laporan kasus menyatakan bahwa pemberantasan infeksi H. pylori memperbaiki klinis hiperemesis gravidarum. 9,19,25,26 Beberapa penelitian H. pylori pada hiperemesis gravidarum dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Penelitian Hiperemesis Gravidarum Kontrol P Frigo 95105 90,5 60129 46,5 0,001 Kocak 8795 91,5 52116 44,8 0,001 Erden 4047 85,1 2539 64,1 0,05 Hayakawa 1834 52,9 629 20,6 0,0005 Khayati 4854 88,9 2254 40,7 0,001 Tabel 2.4. : Hasil Penelitian H. pylori Seropositif pada Hiperemesis Gravidarum. 6,7 Infeksi kronis H. pylori dinyatakan sebagai salah satu faktor penyebab hiperemesis gravidarum, walaupun bukan merupakan penyebab tunggal hiperemesis gravidarum. Pada tahun 1998 Frigo di Austria pertama sekali menghubungkan antara hiperemesis gravidarum dengan H. pylori seropositif, dilaporkan infeksi H. pylori pada 90,5 pasien hiperemesis gravidarum dan 46,5 pada kontrol. Menurutnya, infeksi H. pylori dapat menyebabkan hiperemesis gravidarum. Hubungan ini didukung oleh berbagai penelitian lain. Kocak di Turkey tahun 1999 menyatakan adanya hubungan antara infeksi H. pylori dengan hiperemesis gravidarum. Penelitian ini menggunakan tes antibodi serum H. pylori spesifik untuk menilai hubungan infeksi H. pylori dengan hiperemesis gravidarum. Kocak melakukan penelitian terhadap 95 pasien hiperemesis gravidarum dan 116 kontrol. H. pylori ditemukan pada 91,5 pasien hiperemesis gravidarum dibandingkan dengan 44,8 pada kontrol. Erden di Turkey tahun 2002 melakukan penelitian pada wanita hamil dengan hiperemesis gravidarum. Serologi positif untuk infeksi H. pylori ditemukan pada 85,1 pasien hiperemesis gravidarum dan 64,1 pada kontrol. Hayakawa di Jepang tahun 2000 memeriksa genome H. pylori pada saliva. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa infeksi kronis H. pylori merupakan salah satu faktor penting sebagai penyebab hiperemesis gravidarum walaupun bukan merupakan penyebab tunggal penyakit tersebut. Tahun 2002 Khayati di Iran menemukan banyak pasien hiperemesis gravidarum dengan seropositif terhadap infeksi H. pylori, tetapi tidak menunjukkan korelasi antara H. pylori Universitas Sumatera Utara seropositif dengan onset dan durasi hiperemesis gravidarum. Walaupun infeksi H. pylori merupakan faktor penting pada hiperemesis gravidarum, tetapi tidak menggambarkan penyebab tunggal penyakit tersebut. 6,7 Jamal di Iran tahun 2002 menemukan konsentrasi IgG serum positif pada 26 pasien 66,7 dari 39 pasien hiperemesis gravidarum dibandingkan dengan 23 pasien 41,8 dari 55 pasien kontrol. Perbedaan signifikan secara statistik P 0,015 pada wanita dengan hiperemesis gravidarum daripada wanita dalam kelompok kontrol. Tampak bahwa infeksi H. pylori mempunyai hubungan yang signifikan dengan hiperemesis gravidarum. Blecker meneliti kemungkinan transmisi antibodi anti H. pylori dari ibu ke bayi. Dari seluruh bayi yang dilahirkan dari ibu dengan H. pylori seropositif didapatkan IgG anti H. pylori positif dari darah tali pusat pada waktu kelahiran, tetapi titer berubah menjadi negatif pada usia 3 bulan. Karenanya disimpulkan antibodi IgG terhadap H. pylori dapat melewati sawar plasenta, namun walaupun ditemukan infeksi H. pylori pada ibu, janin yang lahir dari wanita positif infeksi H. pylori tidak menunjukkan peningkatan resiko perkembangan H. pylori selama tahun pertama kehidupannya. 1

2.3.7. Stool Antigen Test