HUBUNGAN KEMAMPUAN METAKOGNITIF DAN EFIKASI DIRI DENGAN PRESTASI KETERAMPILAN LABORATORIUM KIMIA ANALITIK MAHASISWA ANALIS KESEHATAN

(1)

commit to user

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring dengan mulai diberlakukannya era perdagangan bebas, tingkat persaingan global di segala sektorpun mengalami peningkatan. Tidak kecuali dunia pendidikan. Mahasiswa sebagai penerima proses pembelajaran di perguruan tinggi dituntut untuk membekali diri dengan kompetensi terstandar sebagai bekal untuk mengambil posisi dan berperan dalam dunia kerja yang semakin kompetitif.

Pencapaian kompetensi setiap mahasiswa tentunya tak terlepas dari bagaimana mereka berstrategi dalam proses pembelajaran yang diterimanya. Semakin baik strategi yang diterapkan, kesempatan untuk melakukan proses belajar yang lebih baik akan semakin besar. Dan ketika seorang pebelajar mampu berproses dengan baik, maka diharapkan hasil belajar yang akan diperolehpun menjadi lebih baik.

Salah satu kemampuan penting dalam proses belajar dan pencapaian kompetensi adalah kemampuan metakognitif. Konsep metakognisi telah menjadi sebuah konsep yang sangat populer di dunia pendidikan, meski belum terlalu banyak diteliti di Indonesia. Flavell dalam Cautinho (2008) menyatakan bahwa metakognitif merupakan pengetahuan seseorang terhadap proses berpikirnya sendiri. Dengan kata lain, metakognitif menggambarkan sebuah proses berpikir untuk berpikir. Sehingga, ketika seorang pebelajar telah memiliki kemampuan


(2)

commit to user

2

metakognitif yang memadai, ia akan mampu menjalani proses belajarnya dengan lebih baik untuk memperoleh hasil yang lebih baik pula.

Cautinho (2008) meggarisbawahi hasil-hasil penelitian metakognitif terdahulu dan menyatakan bahwa metakognitif merupakan prediktor penting dalam keberhasilan akademik pebelajar. Pengasahan terhadap kemampuan metakognitif, meski dilakukan dalam kurun waktu yang singkat, terbukti dapat membantu meningkatkan prestasi akademik seorang pebelajar. Kemampuan metakognitif juga berkaitan erat dengan faktor kepribadian dan besar kecilnya motivasi pebelajar (Lin-Agler et al, 2002; Stavrianopoulos, 2002).

Variabel lain yang dianggap penting dalam pencapaian prestasi mahasiswa adalah efikasi diri (self efficacy). Bandura (1997) menyatakan bahwa efikasi diri merupakan keyakinan atau kepercayaan seseorang bahwa ia mampu mengorganisir dan menjalankan rangkaian tindakan yang diperlukan untuk mengatur situasi prospektif. Seseorang dengan efikasi diri tinggi akan berupaya menganalisa dan memecahkan masalah untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sedang seseorang dengan efikasi diri rendah, cenderung meragukan kemampuannya serta mengantisipasi kegagalan bahkan sebelum berusaha untuk memecahkan masalah.

Efikasi diri diidentifikasi sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi pencapaian prestasi belajar mahasiswa (Lane et al, 2004; Naqiyah et al, 2007). Devenport dan Lane (2006) juga membuktikan bahwa efikasi diri berkaitan erat dengan strategi coping pada mahasiswa. Hal ini menggambarkan bahwa, semakin baik efikasi diriseorang pebelajar, ia akan memiliki strategi coping yang semakin


(3)

commit to user

3

baik dalam mengatasi permasalahan belajarnya. Dengan demikian, pencapaian prestasi sebagai hasil proses belajar akan semakin baik pula.

Jenjang Diploma 3 (D3) Analis Kesehatan merupakan jenjang pendidikan vokasional dengan penitikberatan hasil pendidikan pada keterampilan melakukan analisa laboratorium. Dalam kurikulum pendidikan D3 Analis Kesehatan tahun 2003, hal tersebut nampak pada jumlah beban SKS pembelajaran keterampilan laboratorium (laboratory skills) yang lebih besar dibandingkan beban SKS untuk pembelajaran teori (Pusdiknakes, 2003). Sehingga, keberhasilan atau pencapaian kompetensi dalam keterampilan laboratorium menjadi komponen penting dalam menilai pencapaian prestasi belajar seorang mahasiswa Analis Kesehatan.

Keterampilan laboratorium Kimia Analitik pada Program Studi (Prodi) D3 Analis Kesehatan merupakan salah satu bagian dari kelompok mata kuliah keilmuan dan keterampilan yang diberikan dengan bobot 2 SKS. Mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang menjadi dasar ilmu (basic science) dari 3 mata kuliah lanjutan, dimana 2 diantaranya merupakan mata ujian negara, yaitu keterampilan laboratorium Kimia Klinik serta Kimia Air, Makanan-Minuman (Pusdiknakes, 2003). Meski demikian, data dari bagian evaluasi Prodi D3 Analis Kesehatan menunjukkan bahwa nilai keterampilan laboratorium Kimia Analitik yang diperoleh mahasiswa pada 2 tahun akademik terakhir (2007/2008 dan 2008/2009) tidak cukup memuaskan.

Pada tahun akademik 2007/2008, persentase mahasiswa yang mendapatkan nilai A, AB, B, BC, C dan D berturut-turut adalah 0%, 17%, 24%; 48%, 11% dan 0%. Sedang pada tahun akademik 2008/2009, persentase tersebut menjadi 0%,


(4)

commit to user

4

2%, 72%, 15%, 7% dan 4%. Kurang optimalnya hasil evaluasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik tersebut diduga tidak hanya berkaitan dengan faktor eksternal pebelajar, namun juga faktor internalnya, dalam hal ini adalah kemampuan metakognitif dan efikasi diri yang dimiliki.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka peneliti akan mengkaji peranan metakognitif dan efikasi diri dalam kaitannya dengan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik mahasiswa Prodi D3 Analis Kesehatan.

B. Rumusan Masalah

Adakah hubungan antara kemampuan metakognitif dan efikasi diri dengan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik pada mahasiswa D3 Analis Kesehatan?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Meneliti hubungan antara metakognitif dan efikasi diri dengan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik.

2. Tujuan Khusus

a. Meneliti tingkat kemampuan metakognitif dan efikasi diri mahasiswa D3 Analis Kesehatan.

b. Meneliti hubungan antara metakognitif dengan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik.


(5)

commit to user

5

c. Meneliti hubungan antara efikasi diri dengan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik.

d. Menaksir besarnya kekuatan hubungan antara kemampuan metakognitif, efikasi diri dan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Untuk membuktikan secara empiris bahwa kemampuan metakognitif dan efikasi diri mempengaruhi prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik mahasiswa.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi mahasiswa, penelitian ini diharapkan dapat membantu tercapainya standar kompetensi yang ditetapkan dalam pembelajaran keterampilan laboratorium Kimia Analitik.

b. Bagi Program Studi, khususnya bagian kurikulum, penelitian ini diharapkan dapat membantu pemilihan dan penerapan strategi pembelajaran yang efektif dan efisien dalam meningkatkan keterampilan laboratorium Kimia Analitik mahasiswa.


(6)

commit to user

i TESIS

HUBUNGAN KEMAMPUAN METAKOGNITIF DAN EFIKASI DIRI DENGAN PRESTASI KETERAMPILAN

LABORATORIUM KIMIA ANALITIK MAHASISWA ANALIS KESEHATAN

Disusun oleh MALA HAYATI NIM. S540908310

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing Pada tanggal : ………

Pembimbing I

Prof. Bhisma Murti, dr, M.Sc, MPH., Ph.D NIP. 195510211994121001

Pembimbing II

P. Murdani K, dr, MHPEd NIP. 130786875

Mengetahui :

Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga

Prof. Dr. Didik Tamtomo, dr, PAK, MM, MKK NIP. 194803131976101001


(7)

commit to user

ii

PENGESAHAN TESIS

HUBUNGAN KEMAMPUAN METAKOGNITIF DAN EFIKASI DIRI DENGAN PRESTASI KETERAMPILAN LABORATORIUM

KIMIA ANALITIK MAHASISWA ANALIS KESEHATAN

Disusun oleh MALA HAYATI NIM. S540908310

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji Pada tanggal : ...

Dewan Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan

Ketua : Prof. Dr. Didik Tamtomo, dr, MM, M.Kes, PAK

NIP. 194803131976101001 ...

Sekretaris : Dr. Nunuk Suryani, M. Pd

NIP. 196611081990032001 ...

Anggota : Prof. Bhisma Murti, dr, M.Sc, MPH., Ph.D

NIP. 195510211994121001 ...

Anggota : P. Murdani K, dr, MHPEd

NIP. 130786875 ...

Mengetahui, Direktur PPS UNS

Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D NIP. 195708201985031004

Surakarta,

Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga

Prof. Dr. Didik Tamtomo, dr, MM, M.Kes, PAK NIP. 194803131976101001


(8)

commit to user

iii

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :

Nama : MALA HAYATI

NIM : S540908310

Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis saya yang berjudul HUBUNGAN KEMAMPUAN METAKOGNITIF DAN EFIKASI DIRI DENGAN PRESTASI KETERAMPILAN LABORATORIUM KIMIA ANALITIK MAHASISWA ANALIS KESEHATAN adalah benar-benar karya otentik saya sendiri. Hal-hal yang terdapat dalam tesis ini dan yang bukan karya saya diberi tanda kutipan dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila diketahui di kemudian hari terbukti bahwa pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, Agustus 2010 Yang membuat pernyataan,


(9)

commit to user

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal tesis ini pada Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, minat utama Pendidikan Profesi Kesehatan, Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul : HUBUNGAN KEMAMPUAN METAKOGNITIF

DAN EFIKASI DIRI DENGAN PRESTASI KETERAMPILAN

LABORATORIUM KIMIA ANALITIK MAHASISWA ANALIS

KESEHATAN.

Penulisan tesis ini dapat terselesaikan dengan baik berkat bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. H. Muh. Samsulhadi, dr., Sp.Kj, selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan Pascasarjana.

2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc, PhD, selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menyusun tesis ini.

3. Prof. Dr. Didik Tamtomo, dr., MM. M.Kes. PAK, selaku Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan Pascasarjana pada Program Studi Kedokteran Keluarga.

4. Prof. Bhisma Murti, dr., M.Sc, MPH., Ph.D selaku pembimbing I yang dengan penuh kesabaran dan kesungguhan membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis ini.

5. P. Murdani K, dr., MHPEd selaku pembimbing II atas arahan dan bimbingan dalam penulisan tesis ini.


(10)

commit to user

vii

6. Prof. Dr. Zainuddin Maliki, M.Si, dan dr. H. Sukadiono, MM selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya dan Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan jenjang pascasarjana.

7. Segenap Civitas Akademika Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Surabaya, atas kerja sama yang diberikan sehingga penulis mendapatkan kemudahan dalam pelaksanaan penelitian.

Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi pengelola pendidikan, mahasiswa dan para pembaca yang budiman, namun penulis juga menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna sehingga sangat terbuka untuk kritik dan saran yang akan penulis terima dengan senang hati demi kebaikan bersama.

Surakarta, Agustus 2010


(11)

commit to user

viii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS A. Kajian Teori ... 6

1. Kemampuan Metakognitif ... 6

a. Deskripsi Metakognitif ... 6

b. Dimensi Metakognitif ... 7

c. Peningkatan Kemampuan Metakognitif ... 10


(12)

commit to user

ix

a. Deskripsi Efikasi Diri ... 12

b. Mekanisme Efikasi Diri ... 13

c. Sumber dan Dimensi Efikasi Diri ... 14

d. Peran Efikasi Diri ... 17

3. Prestasi Keterampilan Laboratorium ... 18

B. Penelitian yang Relevan ... 19

C. Kerangka Berpikir ... 21

D. Hipotesis ... 23

BAB III METODE PENELITIAN ... 24

A. Jenis Penelitian ... 24

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 24

C. Populasi, Sampel dan Sampling ... 24

D. Variabel Penelitian ... 25

E. Definisi Operasional ... 25

F. Instrumen Penelitian ... 26

G. Teknik Pengumpulan Data ... 28

H. Teknik Analisis Data ... 29

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 32

A. Hasil Penelitian ... 32


(13)

commit to user

x

BAB V PENUTUP ... 32

A. Kesimpulan ... 51

B. Implikasi ... 51

C. Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53

LAMPIRAN ... 56


(14)

commit to user

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Kerangka berpikir ... 22 Gambar 4.1 Diagram sebar dan garis regresi antara kemampuan

metakognitif dan prestasi keterampilan laboratorium

Kimia Analitik ... 34 Gambar 4.2 Diagram sebar dan garis regresi antara efikasi diri

dan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik ... 36


(15)

commit to user

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Karakteristik sampel penelitian ... 32 Tabel 4.2 Hubungan antara kemampuan metakognitif dan prestasi

keterampilan laboratorium Kimia Analitik dengan mengontrol pengetahuan sebelumnya ... 33 Tabel 4.2 Hubungan antara efikasi diri dan prestasi keterampilan

laboratorium Kimia Analitik dengan mengontrol pengetahuan sebelumnya... 35


(16)

commit to user

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kuesioner asli kemampuan metakognitif MARSI

(Metacognitive Awareness of Reading Strategies Inventory) 56

Lampiran 2. Kuesioner kemampuan metakognitif ... 58 Lampiran 3. Kuesioner efikasi diri ... 61 Lampiran 4. Checklist unjuk kerja keterampilan laboratorium Kimia

Analitik ... 62 Lampiran 5. Data hasil penelitian ... 64 Lampiran 6. Hasil analisis data dengan SPSS ... 66


(17)

commit to user


(18)

commit to user

HUBUNGAN KEMAMPUAN METAKOGNITIF DAN EFIKASI DIRI DENGAN PRESTASI KETERAMPILAN LABORATORIUM

KIMIA ANALITIK

MAHASISWA ANALIS KESEHATAN

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Kedokteran Keluarga

Minat Utama Pendidikan Profesi Kesehatan

Oleh : Mala Hayati S540908310

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(19)

commit to user

6

BAB II

KAJIAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

A. Kajian Teori

1. Kemampuan Metakognitif a. Deskripsi Metakognitif

Secara umum, metakognitif diartikan sebagai proses berpikir tentang bagaimana berpikir. Flavell dalam Cautinho (2008) mendeskripsikan metakognitif sebagai pengetahuan dan kognisi mengenai fenomena kognitif. Sementara Taylor (1999) mendefinisikan metakognisi sebagai pengetahuan seseorang atas apa yang telah diketahuinya, disertai dengan pemahaman yang tepat atas tugas-tugas apa yang harus dilakukan, ilmu dan keahlian apa yang dibutuhkan, serta kecakapan untuk melakukan interfensi atau mengaplikasikan solusinya pada situasi tertentu secara efisien dan reliabel.

Metakognisi juga berarti pengetahuan tentang kemampuan kognitif yang dimiliki dan bagaimana kemampuan itu dapat diterapkan pada proses kognitif. Lebih jauh lagi, metakognisi sering dihubungkan dengan pribadi, tugas dan strategi. Kemampuan metakognitif diyakini sebagai kemampuan kognitif tingkat tinggi yang diperlukan untuk manajemen pengetahuan. Pembelajaran metode baru mengutamakan pentingnya belajar bagaimana belajar. Pebelajar dituntut untuk mengatur tujuan belajarnya sendiri dan menentukan strategi belajar yang sesuai untuk mencapai tujuan tersebut. Tanggung jawab pebelajar juga mencakup monitor proses belajar dan mengubah strategi belajar bila diperlukan.


(20)

commit to user

7

Pemberdayaan pebelajar untuk bertanggung jawab pada pembelajaran mereka sendiri merupakan hal yang diutamakan pada model pembelajaran

learner-centered, self-directed learning dan adult learning. Penentu kesuksesan pada

model pembelajaran ini adalah membangun kemampuan dan keterampilan belajar (Amin dan Eng, 2003).

b. Dimensi Metakognitif

Pintrich (2002) menjabarkan metakognitif menjadi tiga dimensi, yaitu 1) pengetahuan strategis, 2) pengetahuan kognitif, dan 3) pemahaman terhadap diri sendiri. Pengetahuan strategis merupakan pengetahuan tentang berbagai strategi dalam belajar, berpikir serta memecahkan masalah. Sedang pengetahuan kognitif meliputi pengetahuan atas berbagai tugas sebagai pebelajar, disertai pemahaman bahwa setiap tugas membutuhkan strategi kognitif yang berbeda untuk dapat diselesaikan. Pemahaman terhadap diri sendiri meliputi pemahaman atas kelebihan dan kelemahan diri. Kewaspadaan diri atas seberapa dalam pengetahuan yang telah dimiliki dan bagian ilmu mana yang tidak dimengerti akan membantu seseorang menyusun langkah strategis untuk mengatasi kekurangan dan mengoptimalkan kelebihannya.

Sementara, Martinez (2006) mengkategorikan metakognitif menjadi tiga kelompok utama, yaitu 1) metamemori dan metakomprehensi, 2) pemecahan masalah (problem solving), dan 3) berpikir kritis (critical thinking). Metamemori dan metakomprehensi berkaitan dengan pemahaman seseorang atas tingkat pengetahuannya sendiri. Secara terpisah, metamemori adalah kesadaran dan pengetahuan pebelajar tentang sistem memorinya sendiri serta strategi untuk dapat


(21)

commit to user

8

menggunakan memori tersebut secara efektif. Sedang metakomprehensi adalah kemampuan pebelajar untuk memonitor tingkat pemahaman informasi, untuk mengenali kegagalan pemahaman dan memperbaiki strategi ketika mengenali kegagalan (Purdue University, 2005). Pemecahan masalah dapat didefinisikan secara sederhana sebagai pencarian jalan keluar ketika terjadi hal-hal yang tidak pasti atau saat terjadi masalah. Proses pemecahan masalah juga meliputi penimbangan berbagai pilihan keputusan, eksplorasi sub-sub pilihan serta evaluasi hasil-hasil yang mungkin terjadi. Sedang berpikir kritis merupakan proses mengkritisi ide atau gagasan yang sedang atau akan dicanangkan. Proses ini sangat sinergis dengan proses pemecahan masalah, dan bersifat saling melengkapi.

Metakognisi mencakup pengetahuan dan proses regulasi pengetahuan. Pengetahuan metakognitif meliputi tiga jenis pengetahuan berikut: deklaratif, prosedural dan kondisional. Pengetahuan deklaratif merupakan informasi faktual yang diketahui pebelajar, yang dapat dilaporkan, baik secara lisan maupun tertulis. Sebagai contoh, pengetahuan mengenai rumus perhitungan tertentu. Pengetahuan prosedural berkaitan dengan bagaimana melakukan sesuatu, atau bagaimana melakukan sebuah tahapan proses. Misalnya mengetahui bagaimana melakukan perhitungan dengan rumus yang telah diketahui sebelumnya. Sedang pengetahuan kondisional adalah pengetahuan atas kapan, bagaimana serta dalam kondisi apa rumus perhitungan tersebut digunakan (Peirce, 2003).


(22)

commit to user

9

Dirkes dalam Blakey dan Spence (1990) menyatakan bahwa strategi dasar dari kemampuan metakognitif adalah konektivitas antara pengetahuan yang baru diterima dengan pengetahuan terdahulu yang telah dimiliki, pemilihan strategi berpikir, perencanaan-monitoring dan evaluasi proses berpikir. Peirce (2003) menambahkan bahwa kesadaran metakognitif pada proses belajar sama pentingnya dengan proses memonitor materi yang sedang dipelajari. Sehingga, dimensi lain dari metakognitif adalah pengaturan pengetahuan metakognitif itu sendiri, yang meliputi penetapan tujuan (goal setting), evaluasi diri (self

assessing) dan pengaturan proses berpikir saat belajar. Sehingga, dapat dikatakan

bahwa komponen penting dari metakognisi adalah penerapan strategi belajar untuk mencapai tujuan/ prestasi tertentu, evaluasi mandiri atas efektivitas proses pencapaian tujuan, serta manajemen diri dalam belajar lebih lanjut sebagai respon atas evaluasi mandiri yang telah dilakukan.

Stenberg (1998) menambahkan bahwa metakognisi juga meliputi perkembangan sikap dan rasa percaya pada diri seseorang yang akan membantu proses regulasi diri selama belajar. Dalam beberapa penelitian, metakognisi juga menunjukkan peran penting dalam perkembangan psikologi sosial, terkait dengan proses pengambilan keputusan (Koriat, 2007). Pebelajar dengan kemampuan metakognitif juga mampu mempelajari serta meningkatkan efikasi diri dalam proses belajarnya (McMurray dan Sanft, 2005).


(23)

commit to user

10

c. Peningkatan Kemampuan Metakognitif

Untuk membangun dan mengembangkan kemampuan metakognitifnya, seorang pebelajar dapat menerapkan strategi-strategi berikut (Blakey dan Spence, 1990) :

1) Mengidentifikasi “apa yang saya tahu” dan “apa yang tidak saya tahu”

Pada tahap awal, pebelajar harus terlebih dahulu dengan sadar memahami tingkat pengetahuannya. Hal ini dapat pula diinisiasi dengan menuliskan “saya telah paham tentang ...” dan “saya ingin lebih memahami bab ...”. 2) Mengungkapkan proses berpikir secara lisan

Modelling dan diskusi dapat membantu pengembangan dan pemenuhan

kebutuhan berpikir pebelajar, serta membantu pebelajar dalam berbagi cara berpikir. Strategi yang juga efektif untuk digunakan adalah pemecahan masalah secara berpasangan (paired problem solving).

3) Menulis learning log (buku harian belajar)

Learning log akan membantu pebelajar dalam merefleksikan proses

berpikirnya. Pengajar dapat membantu meningkatkan kemampuan

metakognitif pebelajar dengan memberi masukan serta kritik membangun terhadap apa yang telah ditulis oleh pebelajar dalam learning lognya.

4) Melakukan perencanaan dan regulasi diri

Dalam rangka membentuk seorang self-directed learner, sejak dini pebelajar harus diberi tanggung jawab atas perencanaan serta regulasi proses belajar dan berpikirnya. Pebelajar membuat sendiri setiap detail perencanaan belajarnya, seperti jumlah waktu yang dibutuhkan, organisasi materi yang


(24)

commit to user

11

akan dipelajari dan jadwal belajar. Sementara, evaluasi belajar dapat disusun dengan bantuan kriteria evaluasi dari pengajar.

5) Mendiskusikan proses berpikir yang dialami

Mendiskusikan proses berpikir akan membantu pebelajar untuk membangun kewaspadaan terhadap strategi-strategi baru yang dapar diterapkan dalam situasi belajar yang belum mereka temui sebelumnya.

6) Evaluasi diri

Proses evaluasi dapat diawali dengan terlebih dahulu memberikan panduan evaluasi proses belajar salah satu bahan pelajaran. Melalui individual

conferences atau checklist yang ditekankan pada evaluasi proses berpikir,

pebelajar dapat mulai menentukan bentuk evaluasi belajarnya sendiri.

Sementara Amin dan Eng (2003) menyarankan bagi para pebelajar individual untuk mengembangkan metakognitifnya melalui tiga langkah sederhana, yaitu identifikasi kebutuhan, membangun dan mengimplementasikan rencana pembelajaran serta memonitor dan mengevaluasi perkembangan metakognitif yang dialami. Identifikasi kebutuhan dapat dilakukan dengan mengidentifikasi jarak pengetahuan atau jarak pembelajaran dan memutuskan prioritas kebutuhan.

Langkah berikutnya adalah membangun dan mengimplementasikan rencana pembelajaran. Penerapan strategi belajar sangat bervariasi, tergantung pada masing-masing individu pebelajar. Strategi pembelajaran yang berhasil untuk satu pebelajar belum tentu sesuai untuk pebelajar yang lain. Sehingga, setiap individu


(25)

commit to user

12

pebelajar harus mencari strategi terbaik untuk mencapai target yang ditetapkan, berikut strategi alternatif yang dapat digunakan (Amin dan Eng, 2003).

Sementara, memonitor dan mengevaluasi perkembangan sebagai tahapan akhir pengembangan kemampuan metakognitif sejatinya merupakan sebuah proses yang berkesinambungan. Pada tahap ini, pebelajar perlu mengajukan beberapa pertanyaan, antara lain ‘Sejauh mana perkembangan yang dicapai?’, ‘Apakah saya perlu mengubah strategi belajar?’, ‘Apa yang telah saya pelajari dari proses akan membantu saya di kemudian hari?’ (Amin dan Eng, 2003).

2. Efikasi Diri

a. Deskripsi Efikasi Diri

Efikasi diri (self efficacy) diturunkan dari teori kognitif sosial (social

cognitive theory) yang dikemukakan oleh Bandura (1986). Teori ini memandang

pembelajaran sebagai penguasaan pengetahuan melalui proses kognitif terhadap informasi yang diterima. Aspek “sosial” mengandung pengertian bahwa pemikiran dan kegiatan manusia berawal dari apa yang dipelajari dalam masyarakat. Sedangkan “kognitif” mengandung pengertian bahwa terdapat proses kognitif yang berkontribusi secara influensial terhadap motivasi, sikap dan perilaku manusia. Secara singkat, teori ini menyatakan bahwa sebagian besar pengetahuan dan perilaku anggota organisasi digerakkan dari lingkungan, dan secara terus menerus mengalami proses berpikir terhadap informasi yang diterima. Hal tersebut memberikan pengaruh nyata pada indikasi motivasi akademis seperti pemilihan aktifitas belajar, tingkat usaha yang dilakukan, kegigihan belajar serta


(26)

commit to user

13

tingkat reaksi emosional pebelajar (Zimmerman, 2000). Sedang proses kognitif setiap individu akan berbeda tergantung keunikan karateristik personalnya.

Efikasi diri dinyatakan sebagai kepercayaan seseorang bahwa ia dapat menjalankan tugas pada sebuah tingkatan tertentu, dan merupakan salah satu dari faktor yang mempengaruhi aktifitas pribadi terhadap pencapaian tugas (Bandura,1986). Sedang Sullivan dan Mahalik dalam Naqiyah et al (2007) mengemukakan bahwa efikasi diri merupakan sebuah struktur kognitif yang diciptakan oleh pengalaman-pengalaman belajar, yang secara kumulatif akan membentuk sebuah rasa percaya atau keyakinan bahwa seseorang yang bersangkutan dapat menyelesaikan aktifitas tertentu dengan sangat baik.

b. Mekanisme Efikasi Diri

Menurut teori kognitif sosial Bandura (1986), setiap individu memiliki sistem diri yang memungkinkan mereka melakukan langkah pengawasan atas pikiran, perasaan, motivasi dan aktifitas mereka sendiri. Sistem ini memberikan mekanisme referensi dan susunan sub-fungsi untuk merasa, mengatur dan mengevaluasi perilaku, sebagai hasil dari saling keterkaitan antara sistem dan sumber-sumber lingkungan pengaruh tersebut. Hal ini memberikan sebuah fungsi pengaturan diri dengan memberikan kemampuan mempengaruhi proses kognitif dan aksi kepada setiap individu, dan kemudian merubah lingkungannya.

Bandura (1986) juga menjelaskan bahwa melalui proses refleksi diri, seseorang mampu mengevaluasi pengalaman dan proses berpikirnya. Menurut pandangan ini, apa yang manusia tahu, atau kemampuan apa yang mereka alami,


(27)

commit to user

14

atau apa yang telah mereka capai, tidak selalu menjadi prediktor untuk capaian-capaian berikutnya. Hal tersebut disebabkan karena kepercayaan yang mereka pegang mempengaruhi secara luas cara bertindak mereka. Akhirnya, perilaku seseorang dimediasi oleh kepercayaan tentang kemampuan mereka, dan seringkali dapat diprediksi dengan menggunakan ukuran ini, daripada dengan hasil performa mereka sebelumnya. Hal ini tidak berarti bahwa seseorang dapat menyelesaikan tugas diluar kemampuannya semata-mata dengan keyakinan bahwa mereka mampu. Untuk berfungsi secara kompeten, seseorang membutuhkan keserasian antara kepercayaan-kepercayaan diri pada satu sisi, dan kemampuan serta pengetahuan di sisi lain. Akan tetapi, hal tersebut dapat berarti bahwa persepsi diri atas kemampuan seseorang membantu menentukan apa yang seseorang lakukan dengan pengetahuan dan kemampuan yang mereka miliki. Sehingga, efikasi diri merupakan faktor penting pada tahap pertama bagaimana pengetahuan dan kemampuan yang baik dibutuhkan.

c. Sumber dan Dimensi Efikasi Diri

Bandura (1997) menggambarkan empat sumber efikasi dirisebagai berikut 1) Pengalaman Keberhasilan (mastery experience)

Keberhasilan yang sering didapatkan akan meningkatkan efikasi diri yang dimiliki seseorang. Sedang kegagalan akan menurunkan efikasi dirinya. Disamping itu, jika keberhasilan yang diraih lebih banyak disebabkan oleh

faktor-faktor eksternal, keberhasilan tersebut tidak akan banyak


(28)

commit to user

15

tersebut diperoleh setelah melalui hambatan yang besar dan merupakan hasil perjuangannya sendiri, maka hal itu akan membawa pengaruh besar pada peningkatan efikasi diri.

2) Pengalaman Orang Lain (vicarious experiences)

Pengalaman keberhasilan orang lain yang memiliki kemiripan dengan individu dalam mengerjakan suatu tugas biasanya akan meningkatkan efikasi diri individu tersebut dalam mengerjakan tugas yang sama. Dalam hal ini, efikasi diri didapat melalui social models yang biasanya terjadi pada diri seseorang yang kurang memahami kemampuan dirinya sendiri. Efikasi diri yang didapat tidak akan terlalu berpengaruh jika model yang diamati tidak memiliki kemiripan atau berbeda sama sekali dengan individu yang bersangkutan.

3) Persuasi Sosial (social persuation)

Informasi tentang kemampuan yang disampaikan secara verbal oleh seseorang yang berpengaruh biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang bahwa ia cukup mampu melakukan suatu tugas.

4) Keadaan fisiologis dan emosional (physiological and emotional states)

Kecemasan dan stres yang terjadi dalam diri seseorang ketika melakukan tugas sering diartikan sebagai suatu kegagalan. Pada umumnya seseorang cenderung akan mengharapkan keberhasilan dalam kondisi yang tidak diwarnai oleh ketegangan dan tidak merasakan adanya keluhan atau gangguan somatik lainnya. Efikasi diri biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stres


(29)

commit to user

16

dan kecemasan. Sebaliknya, efikasi diri yang rendah ditandai oleh tingkat stress dan kecemasan yang tinggi.

Efikasi diri pada setiap orang akan bervariasi berdasarkan tingkat level,

generality dan strength yang dimiliki (Bandura, 1997). Level merupakan tingkat

kesederhanaan atau kerumitan tugas yang diyakini dapat diselesaikan. Sehingga, tingkat efikasi diri seseorang diukur berdasarkan tingkat tantangan atau kesulitan tugas yang dapat diselesaikannya. Generality menggambarkan rentang (range) tugas yang dirasa dapat diselesaikan. Beberapa individu akan merasa mampu menyelesaikan tugas dengan range yang luas. Sedang beberapa lainnya merasa hanya mampu menyelesaikan tugas pada bidang yang lebih spesifik atau terbatas.

Strength merupakan kepercayaan diri seseorang yang dapat diwujudkan dalam

meraih prestasi tertentu. Nilai strength yang tinggi tidak secara langsung menunjukkan kemampuan seseorang dalam berpartisipasi pada tugas yang diberikan, namun lebih menggambarkan keteguhan hatinya dalam menghadapi berbagai rintangan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.

Sementara, Devonport dan Lane (2006) menjabarkan efikasi diri seorang pebelajar dalam lima aktifitas berikut 1) efikasi diri untuk mengatur waktu, 2) efikasi diri untuk menggunakan sumber-sumber belajar, 3) efikasi diri untuk bekerja dalam kelompok, 4) efikasi diri untuk mengikuti proses pembelajaran, dan 5) efikasi diri untuk berkomunikasi. Kelima sub efikasi diri tersebut akan berkaitan erat dengan penggunaan strategi coping aktif pebelajar serta terbangun oleh adanya interaksi kelompok dan sosial yang dilakukan oleh pebelajar yang bersangkutan.


(30)

commit to user

17

d. Peran Efikasi Diri

Bandura dalam Schwarzer (1998) menjelaskan bahwa keberadaan efikasi diri akan membuat perbedaan pada bagaimana seseorang merasa, berpikir dan bertindak. Dalam kaitannya dengan fungsi merasa, efikasi diri yang rendah akan berasosiasi dengan rasa depresi, kecemasan serta putus asa. Hal tersebut juga akan berkorelasi dengan rendahnya tingkat self esteem yang dimiliki serta rasa pesimis dalam penyelesaian tugas atau aktifitas dan proses perkembangan kepribadian. Dalam hal berpikir, efiaksi diri akan memfasilitasi proses-proses kognitif serta performa seseorang dalam berbagai hal dan kesempatan, termasuk dalam kualitas pengambilan keputusan dan pencapaian prestasi akademik. Efikasi diri juga berperan dalam menentukan bagaimana seseorang bertindak. Tinggi rendahnya efikasi diri akan mempengaruhi motivasi tindakan. Seseorang dengan efikasi diri tinggi akan memilih tugas dan aktifitas yang lebih menantang. Mereka cenderung menetapkan tujuan dalam tingkat yang lebih tinggi serta konsisten dalam usaha pencapaiannya.

Meski beberapa penelitian mengungkapkan bahwa efikasi diri dipengaruhi oleh jenis kelamin, etnis/ ras (Schunk dan Pajares, 2001), usia dan masa perkembangan belajar (Schunk dan Meece, 2005), efikasi diri juga diketahui berperan sebagai faktor prediktif dalam tingkat usaha serta besar kecilnya energi yang dikeluarkan seorang pebelajar dalam proses belajarnya. Hal tersebut menyebabkan efikasi diri secara langsung maupun tidak akan berdampak pula pada ketekunan belajar dan performa aktual seorang pebelajar. Dalam proses regulasi diri saat belajar, efikasi diri akan menginisiasi seseorang secara


(31)

commit to user

18

motivasional untuk melakukan penetapan tujuan, monitoring dan evaluasi diri serta penggunaan strategi dalam belajar (Zimmerman, 2000).

3. Prestasi Keterampilan Laboratorium

Prestasi belajar menurut Winkel (1996) adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seorang pebelajar dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya. Prestasi belajar dapat menjadi indikator atas kuantitas dan kualitas pengetahuan pebelajar dalam memahami proses pembelajaran yang diterimanya. Hasil belajar yang dicapai oleh setiap pebelajar sendiri dapat dikelompokkan menjadi tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.

Keterampilan laboratorium (lab skills) secara umum didefinisikan sebagai keterampilan dalam melakukan pemeriksaan di laboratorium. Reid dan Shah (2007) menyatakan bahwa pembelajaran di laboratorium merupakan bagian fundamental dalam ilmu sains, terlebih kimia. Untuk itu, pembelajaran di laboratorium harus mampu memberi bekal berupa:

a. kemampuan dan keterampilan yang berhubungan dengan bagaimana

mempelajari sains, seperti mengilustrasikan ide dan konsep, serta mengaplikasikan ide teoritis ke dalam percobaan empiris.

b. keterampilan psikomotorik (praktik)

c. kemampuan ilmiah, seperti menyimpulkan dan menginterpretasikan hasil

d. keterampilan umum, yang meliputi kemampuan bekerja sama, membuat


(32)

commit to user

19

Dalam rangka mengoptimalkan hasil pembelajaran keterampilan

laboratorium, Reid dan Shah (2007) juga menyarankan untuk melakukan prelabs

instruction, dimana pebelajar diminta untuk melakukan latihan singkat selama

15-30 menit sebelum pembelajaran dimulai. Hal tersebut berfungsi untuk

menyiapkan kerangka berpikir pebelajar sebelum melakukan pembelajaran pemeriksaan laboratorium yang sebenarnya. Dengan kata lain, pebelajar diminta

untuk menyiapkan pengetahuan sebelumnya (prior knowledge) yang telah

dimiliki.

Donald dalam Hailikari et al (2008) mengungkapkan bahwa dalam

pendidikan sains aplikatif, dimana pengetahuan dipelajari dengan tujuan untuk dapat mengaplikasikannya, pebelajar harus membangun kerangka berpikir terintegrasi sejak awal proses pembelajarnnya. Hal tersebut menjadikan prior

knowledge sebagai bagian penting dalam pembelajaran sains. Hasil penelitian

terhadap 115 mahasiswa farmasi di Universitas Helsinki juga menunjukkan bahwa prior knowledge dari pembelajaran terdahulu memberikan kontribusi signifikan terhadap hasil belajar pada tahap lebih lanjut. Pebelajar dengan prior

knowledge lebih baik, mampu memperoleh hasil akhir pembelajaran yang lebih


(33)

commit to user

20

B. Penelitian yang Relevan

1. Kemampuan Metakognitif dan Prestasi Belajar

Berdasarkan penelitiannya, Swanson (1990) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan relatif rendah, tetapi memiliki kemampuan metakognitif tinggi, sering menggunakan kemampuan metakognitifnya untuk mengkompensasi kecerdasan yang rendah tersebut. sehingga hasil yang mereka tampilkan ekivalen dengan orang yang memiliki kecerdasan tinggi (Cox, 2005). Hasil penelitian dari Cautinho (2007) juga menunjukkan bahwa metakognisi merupakan mediator signifikan antara mastery goals seorang pebelajar dan keberhasilan akademisnya.

Meski Schraw dan Dennison (1994) menyimpulkan bahwa metakognisi dapat dipisahkan dari faktor kognitif lain, tetapi Cetinkaya dan Erktin (2002) menemukan bahwa strategi dan kewaspadaan terhadap kemampuan kognitif, yang dalam hal ini merupakan bagian dari kemampuan metakognitif, berhubungan erat dengan pemahaman pebelajar dalam membaca. Seorang pembaca yang baik akan menggunakan kemampuan metakognitifnya secara lebih efektif dibanding pembaca lain.

2. Efikasi Diri dan Prestasi Belajar

Lane, Lane dan Kyprianou (2004) meneliti tentang dampak efikasi diri dan

self esteem terhadap prestasi akademis 205 mahasiswa postgraduate di University

of Business School, UK. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa efikasi diri


(34)

commit to user

21

Analisa statistik terhadap data hasil penelitian juga memperlihatkan adanya hubungan yang sangat erat antara efikasi diri dengan penuntasan tugas akademik serta pencapaian prestasi mahasiswa.

Di Indonesia, Naqiyah et al (2007) telah melakukan penelitian terhadap mahasiswa Universitas Negeri Surabaya dan menemukan bahwa efikasi diri dalam mengatasi masalah (coping self efficacy) memiliki hubungan dan pengaruh signifikan terhadap prestasi akademik mahasiswa. Semakin tinggi coping self

efficacy yang dimiliki, akan semakin tinggi pula prestasi akademik yang diraih.

3. Kemampuan Metakognitif dan Efikasi Diri

Penelitian yang dilakukan oleh Cautinho (2008) terhadap 173 mahasiswa

undergraduate di Midwestern University menunjukkan adanya hubungan erat

antara kemampuan metakognitif, efikasi diri serta prestasi mahasiswa yang diukur dengan indikator IPK. Meski demikian, hasil rangkaian uji regresi terhadap ketiga variabel yang diukur mengindikasikan bahwa hubungan antara efikasi diri dengan IPK mahasiswa jauh lebih kuat dibandingkan hubungan metakognitif dan IPK.

C. Kerangka Berpikir

Sebagai kemampuan belajar tentang bagaimana belajar, metakognitif meliputi pengetahuan dan pemahaman tentang metakognitif, serta kontrol proses atau regulasi pengetahuan metakognitif yang dimiliki. Disamping itu, metakognitif akan berkaitan erat dengan proses perkembangan perilaku dan rasa percaya yang dimiliki oleh seorang pebelajar. Salah satu bentuk rasa percaya yang dapat terbangun adalah efikasi diri.


(35)

commit to user

22

Keterangan:

: Tidak diteliti : Diteliti

Gambar 2.1 Kerangka berpikir

Efikasi dalam diri seseorang akan memberikan perbedaan terhadap cara merasa, cara berpikir dan cara bertindaknya. Dalam kaitannya dengan cara

Fungsi berpikir Fungsi bertindak

Fungsi merasa

Proses kognitif dan performa akademik

Tingkat usaha dan

persistance dalam belajar

Actual performance Prestasi akademik Prestasi keterampilan laboratorium Prior knowledge Kemampuan metakognitif Pengetahuan dan pemahaman metakognitif Perkembangan perilaku dan kepercayaan

Kontrol proses / Regulasi pengetahuan Efikasi diri

Prior knowledge


(36)

commit to user

23

merasa, pebelajar dengan efikasi diri rendah akan sangat mudah mengalami kecemasan atau depresi saat mendapatkan kesulitan dalam belajarnya.

Sedang dalam fungsi berpikir, efikasi diriakan menginisiasi berbagai proses kognitif yang menjadi salah satu unsur penting dalam performa akademik seseorang. Sementara, ketika efikasi diri dikaitkan dengan bagaimana seseorang bertindak, tingkatan efikasi diri akan turut menentukan seberapa besar usaha yang dapat dilakukan seseorang untuk meraih tujuan yang diinginkannya. Tidak hanya pada tingkat usaha, efikasi diri juga akan berkaitan dengan seberapa teguh seseorang melakukan usahanya tersebut. Usaha dan tingkat keteguhan dalam melakukan usaha belajar ini akan memberi warna pada actual performance yang menjadi salah satu faktor penentu prestasi akademik, termasuk dalam pembelajaran keterampilan laboratorium.

Actual performance dan prestasi akademik seorang pebelajar juga akan

berkaitan erat dengan prior knowledge (pengetahuan sebelumnya) yang dimiliki oleh pebelajar yang bersangkutan. Secara logis, semakin tinggi pengetahuan sebelumnya, kemampuan serta kepercayaan diri yang dimiliki juga akan semakin besar.

D. Hipotesis

Terdapat hubungan antara kemampuan metakognitif, efikasi diri dan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik pada mahasiswa D3 Analis

Kesehatan. Peningkatan kemampuan metakognitif dan efikasi diri akan


(37)

commit to user

24

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional, dimana variabel-variabel penelitian diukur pada saat yang bersamaan.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Prodi D3 Analis Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya, pada bulan Februari – Juli 2010.

C. Populasi, Sampel, dan Sampling

Populasi sasaran pada penelitian ini adalah mahasiswa tingkat 1 (semester 2) Prodi D3 Analis Kesehatan. Dari data bagian akademik Prodi D3 Analis Kesehatan, pada bulan Maret 2010, jumlah mahasiswa yang menjadi populasi penelitian adalah 70 orang. Sedang jumlah sampel pada penelitian ini sama dengan jumlah populasi sasaran penelitian (exhaustive sample).


(38)

commit to user

25

D. Variabel Penelitian

1. Variabel independen (bebas; X): a. X1 = Kemampuan metakognitif b. X2 = Efikasi diri

2. Variabel dependen (tergantung; Y): prestasi keterampilan laboratoriumKimia Analitik

3. Variabel perancu (confounding factor): pengetahuan sebelumnya

E. Definisi Operasional

Definisi operasional dari masing-masing variabel adalah sebagai berikut :

1. Kemampuan metakognitif adalah skor kemampuan pebelajar untuk

mengetahui proses berpikirnya sendiri, meliputi penggunaan strategi umum, strategi pemecahan masalah, dan strategi pendukung dalam proses pembelajarannya.

Alat ukur : kuesioner dengan skala Likert

Skala pengukuran : kontinu

2. Efikasi diri adalah skor keyakinan pebelajar akan kemampuannya untuk mengikuti proses pembelajaran dan keyakinan untuk menyelesaikan tugas atau evaluasi yang dibebankan kepadanya.

Alat ukur : kuesioner dengan skala Likert


(39)

commit to user

26

3. Prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik adalah skor nilai yang diperoleh pebelajar saat menyelesaikan satu materi evaluasi pembelajaran keterampilan laboratorium Kimia Analitik.

Alat ukur : lembar observasi dengan metode checklist

Skala pengukuran : kontinu

4. Pengetahuan sebelumnya adalah nilai pembelajaran keterampilan

laboratorium Reagensia dan Instrumen Kimia sebagai keterampilan yang mendasari keterampilan laboratorium Kimia Analitik.

Alat ukur : data sekunder nilai keterampilan laboratorium Reagen- sia dan Instrumen Kimia

Skala pengukuran : kontinu

F. Instrumen Penelitian

Instrumen/ alat ukur yang digunakan untuk penelitian ini diambil dari penelitian sebelumnya tentang pengukuran kemampuan metakognitif dan self

efficacy. Untuk mengukur kemampuan metakognitif digunakan Metacognitive

Awareness of Reading Strategy Inventory (MARSI) yang telah dialihbahasakan

dan dimodifikasi oleh Poncorini (2006). Dalam kuesioner tersebut terdapat tiga komponen metakognitif yang diukur, yaitu (1) strategi umum, (2) strategi pemecahan masalah, dan (3) strategi pendukung. Jumlah butir soal secara keseluruhan sebanyak 30 butir, dengan strategi umum sebanyak 13 butir, strategi pemecahan masalah sebanyak 8 butir dan strategi pendukung 9 butir. Komponen


(40)

commit to user

27

strategi umum berisi pernyataan-pernyataan tentang strategi analisis global. Komponen strategi pemecahan masalah menunjukkan langkah strategis yang ditempuh jika menemui kesulitan. Sedang komponen ketiga tentang strategi pendukung yang berupa sumber-sumber pembelajaran lain, membuat catatan dan strategi praktis (Mokhtari dan Reichard, 2002)

Efikasi diri diukur dengan instrumen General Self Efficacy Scale (GSES) yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia oleh Born et al (1995). Instrumen tersebut dikembangkan pertama kali oleh Jerussalem dan Schwarzer (1981) dan berisi 10 butir item skala pengukuran yang didesain untuk mengukur rasa percaya diri subyek dalam mengatasi setiap kesulitan yang dihadapi. Konstruksi GSES merefleksikan rasa optimis yang akan menstimulasi seseorang dalam mengatasi kesulitan dalam pelaksanaan tugas atau aktifitasnya. Kesepuluh item dalam instrumen tersebut juga menggambarkan kemampuan subyek secara umum dalam hal goal setting, pengerahan usaha, keteguhan dalam menghadapai segala hambatan serta kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan.

Sementara, prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik diukur melalui lembar observasional dengan metode checklist yang dibuat sendiri oleh peneliti. Penilaian prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik dibatasi pada 1 materi, yakni standarisasi larutan secara volumetri. Standar kompetensi yang dinilai didasarkan pada uraian Standar Kompetensi Nasional (SKN) Bidang Keahlian Analis Kesehatan (Depdiknas, 2003) dan terdiri dari tiga komponen, yaitu keselamatan kerja, pembuatan larutan standar dan standarisasi larutan.


(41)

commit to user

28

Uraian SKN Analis Kesehatan untuk kompetensi pembuatan larutan standar dapat dilihat pada Lampiran.

Validitas dan reliabilitas instrumen MARSI dan GSES telah diuji pada penelitian terdahulu. Uji pertama Korelasi Item-Total (Item-Total Correlation) terhadap seluruh item pada instrumen MARSI yang telah dialihbahasakan menunjukkan nilai 0.03 sampai 0.93 untuk strategi umum, 0.24 sampai 0.82 untuk strategi pemecahan masalah dan -0,10 sampai 0.64 untuk strategi pendukung. Sedang pada uji kedua, Korelasi Item-Total menunjukkan nilai 0.19 sampai 0.79 untuk strategi umum, 0.09 sampai 0.76 untuk strategi pemecahan masalah dan 0.05 sampai 0.64 untuk strategi pendukung. Sementara, Alpha Cronbach untuk keseluruhan butir instrumen MARSI menunjukkan nilai 0.77, dengan rata-rata Alpha Cronbach untuk komponen strategi umum, strategi pemecahan masalah dan strategi pendukung berturut-turut adalah 0.86; 0.79; dan 0.66. Test-retest

reliability dengan uji Spearman Brown untuk seluruh item pertanyaan

menunjukkan hasil 0.08 sampai 1.00 dengan p = 0.00 sampai 0.83 (Poncorini, 2006).

Sementara, hasil uji Korelasi Item-Total untuk instrumen GSES Indonesia menunjukkan nilai 0.25 sampai 0.60 dengan Alpha Cronbach sebesar 0.80 (Schwarzer, 1998). Dengan demikian, seluruh item dalam instrumen MARSI dan GSES dapat digunakan untuk mengambil data kemampuan metakognitif dan efikasi diri dalam penelitian ini.


(42)

commit to user

29

G. Teknik Pengumpulan Data

Subyek diminta mengisi kuesioner tentang kemampuan metakognitif dan efikasi diri. Pada hari berikutnya, mereka akan diuji keterampilan laboratorium Kimia Analitiknya dengan satu materi pengujian yang terdiri dari 3 subkompetensi/ kriteria unjuk kerja. Di dalam setiap instrumen penelitian, subyek akan diminta untuk mengisi identitas jenis kelaminnya. Pada setiap instrumen yang telah diisi oleh subyek, peneliti akan memberikan kode subyek untuk mencegah tertukarnya data.

Data kemampuan metakognitif dan efikasi diri merupakan jenis data primer. Sedang data pengetahuan sebelumnya diperoleh dari data sekunder berupa hasil nilai keterampilan laboratorium Reagensia dan Instrumen Kimia yang diperoleh subyek pada semester terdahulu. Data sekunder diperoleh dari bagian Evaluasi Mahasiswa Prodi D3 Analis Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya. Kedua keterampilan laboratorium tersebut merupakan penunjang utama keterampilan laboratorium Kimia Analitik.

H. Teknik Analisis Data

Setelah terkumpul, data dari masing-masing variabel akan dianalisis dengan bantuan program SPSS versi 17 secara multivariat menggunakan teknik analisis regresi linier ganda. Berdasarkan kerangka berpikir dari penelitian ini, akan terdapat dua persamaan regresi yang dihasilkan sebagai berikut:


(43)

commit to user

30

(1) Yketralab = a + b1X1 + b2X2 Dimana,

Yketralab = Prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik dalam kaitannya dengan peran kemampuan metakognitif (skor)

a = Konstanta

X1 = Kemampuan metakognitif (skor) X2 = Pengetahuan sebelumnya (skor)

(2) Yketralab = a + b1X1 + b2X2 Dimana,

Yketralab = Prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik dalam kaitannya dengan peran efikasi diri (skor)

a = Konstanta

X1 = Efikasi diri (skor)

X2 = Pengetahuan sebelumnya (skor)

Arah pengaruh variabel bebas dan variabel perancu ditunjukkan oleh tanda dari koefisien regresi. Sedang besarnya pengaruh kedua variabel tersebut ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi. Interpretasi parameter koefisien regresi sebagai berikut:


(44)

commit to user

31

bi > 0 Variabel independen berpengaruh positif terhadap variabel dependen bi < 0 Variabel independen berpengaruh negatif terhadap variabel dependen bi = 0 Variabel independen tidak berpengaruh terhadap variabel dependen

Koefisien regresi bi juga disajikan dalam taksiran interval dengan confidence


(45)

commit to user

32

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Populasi sasaran pada penelitian ini adalah seluruh mahasiswa tingkat 1 (semester 2) Prodi D3 Analis Kesehatan, dengan jumlah mahasiswa sebanyak 70 orang (Sumber: data akademik Prodi D3 Analis Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya bulan Maret 2010). Namun saat pengambilan data penelitian dilakukan, 4 mahasiswa menyatakan mengundurkan diri. Sehingga, jumlah populasi sasaran sekaligus sampel penelitian berkurang menjadi 66 orang dengan karakteristik seperti yang terdapat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Karakteristik sampel penelitian (n = 66)

Variabel Mean SD Minimum Maksimum

Kemampuan

metakognitif 101,41 10,24 66 129

Efikasi diri 21,44 4,51 13 36

Pengetahuan sebelumnya Keteramp lab Kimia Analitik 69,00 82,00 5,06 6,54 60,05 66 78,95 98 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total n 17 49 66 Persen (%) 25,8 74,2 100

Dari Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa rata-rata kemampuan metakognitif, efikasi diri, dan pengetahuan sebelumnya pada subyek penelitian berturut-turut


(46)

commit to user

33

adalah 101,41; 21,44; dan 69,00. Sedang rata-rata prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik adalah 82,00.

Hubungan antara kemampuan metakognitif dan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik pada mahasiswa D3 Analis Kesehatan, dengan

confounding factor berupa pengetahuan sebelumnya, dijelaskan dalam hasil

analisis regresi pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hubungan antara kemampuan metakognitif dan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik dengan mengontrol pengetahuan

sebelumnya

Variabel independen

Confidence Interval (CI) 95% Koefisen

regresi (β) Nilai p

Batas Bawah Batas Atas Konstanta Kemampuan metakognitif 9,9 0,4 0,020 < 0,001 1,6 0,4 18,3 0,5

Pengetahuan sebelumnya 0,4 < 0,001 0,2 0,6

n observasi

Adjusted R square

66 85,9%

Standard error of estimates 2,5

Interpretasi atas hasil analisis linier ganda tersebut adalah bahwa kemampuan metakognitif dan pengetahuan sebelumnya memiliki hubungan positif dengan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik. Kenaikan 1 skor kemampuan metakognitif mahasiswa akan meningkatkan keterampilan laboratorium Kimia Analitiknya sebesar 0,4 skor dengan rentang skor antara 0,4 sampai 0,5 (β = 0,4, interval kepercayaan 95% 0,4 sampai 0,5). Karena memiliki koefisien regresi yang sama, maka kenaikan 1 skor pengetahuan sebelumnyajuga akan memberi kontribusi peningkatan keterampilan laboratorium Kimia Analitik


(47)

commit to user

34

sebesar 0,4 dengan rentang skor antara 0,2 sampai 0,6 (β = 0,4, interval kepercayaan 95% 0,2 sampai 0,6).

Konstanta regresi sebesar 9,9 menyatakan bahwa jika variabel metakognitif dan pengetahuan sebelumnya dianggap nol, maka rata-rata skor keterampilan laboratorium Kimia Analitik mahasiswa D3 Analis Kesehatan adalah 9,9. Skor tersebut dapat berasal dari variasi variabel lain yang juga mempengaruhi prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik.

Garis regresi dengan lereng positif pada hubungan kemampuan metakognitif dan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik digambarkan dengan diagram sebar dan garis regresi seperti Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Diagram sebar dan garis regresi antara kemampuan metakognitif dan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik

Ditinjau dari nilai adjusted R square pada persamaan regresi yang bernilai 0,859, dapat dinyatakan bahwa sebesar 85,9 persen variasi keterampilan


(48)

commit to user

35

laboratorium Kimia Analitik dapat dijelaskan oleh variasi variabel metakognitif dan pengetahuan sebelumnya secara bersama-sama. Sedang 14,1 persen sisanya dipengaruhi oleh variasi variabel lain yang mempengaruhi tingkat keterampilan laboratorium Kimia Analitik.

Sedang hubungan antara efikasi diri dan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik pada mahasiswa D3 Analis Kesehatan, dengan confounding factor

berupa pengetahuan sebelumnya, dijelaskan dalam hasil analisis regresi pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Hubungan antara Efikasi Diri dan Prestasi Keterampilan Laboratorium Kimia Analitik dengan Mengontrol Pengetahuan Sebelumnya

Variabel independen

Confidence Interval (CI) 95% Koefisen

regresi (β) Nilai p

Batas Bawah Batas Atas Konstanta Efikasi diri 30,9 0,9 < 0,001 < 0,001 20,3 0,7 41,5 1,1

Pengetahuan sebelumnya 0,5 < 0,001 0,3 0,7

n observasi

Adjusted R square

66 81,4%

Standard error of estimates 2,8

Interpretasi atas hasil analisis linier ganda pada Tabel 4.3 adalah bahwa efikasi diri dan pengetahuan sebelumnya memiliki hubungan positif dengan keterampilan laboratorium Kimia Analitik. Kenaikan 1 skor efikasi diri mahasiswa akan meningkatkan keterampilan laboratorium Kimia Analitik yang dimiliki sebesar 0,9 skor dengan rentang skor antara 0,7 sampai 1,1 (β = 0,9, interval kepercayaan 95% 0,7 sampai 1,1). Sedang 1 skor pengetahuan


(49)

commit to user

36

sebelumnya akan memberi kontribusi peningkatan keterampilan laboratorium Kimia Analitik sebesar 0,5 dengan rentang skor antara 0,3 sampai 0,7 (β = 0,5, interval kepercayaan 95% 0,3 sampai 0,7).

Konstanta regresi sebesar 30,9 menyatakan bahwa jika variabel efikasi diri dan pengetahuan sebelumnya dianggap nol, maka rata-rata keterampilan laboratorium Kimia Analitik mahasiswa D3 Analis Kesehatan adalah 30,9. Skor tersebut dapat berasal dari variasi variabel selain efikasi diri dan pengetahuan sebelumnya yang turut mempengaruhi prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik.

Garis regresi dengan lereng positif pada hubungan efikasi diri dan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik digambarkan dengan diagram sebar dan garis regresi seperti Gambar 4.2.

Gambar 4.2 Diagram sebar dan garis regresi antara efikasi diri dan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik


(50)

commit to user

37

Nilai adjusted R square sebesar 0,814 memiliki pengertian bahwa 81,4 persen variasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik dapat dijelaskan oleh variasi variabel efikasi diri dan pengetahuan sebelumnya secara bersama-sama. Dengan kata lain, terdapat 18,6 persen variasi variabel lain yang mempengaruhi skor prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik pada mahasiswa D3 Analis Kesehatan selain efikasi diri dan pengetahuan sebelumnya.

B. Pembahasan

1. Kemampuan Metakognitif

Hasil analisis regresi linier ganda untuk mengetahui hubungan kemampuan metakognitif dan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 skor kemampuan Kimia Analitik akan meningkatkan skor keterampilan laboratorium Kimia Analitik sebesar 0,4. Pengaruh positif tersebut sejalan dengan pendapat Cautinho (2008) yang menyimpulkan bahwa metakognisi merupakan prediktor penting dalam prestasi akademis seseorang.

Meski menggunakan instrumen yang berbeda, Young dan Fry (2008) juga menyimpulkan bahwa kemampuan metakognitif berkorelasi positif secara signifikan terhadap keberhasilan pebelajar secara akademis, ditinjau dari IPK dan nilai akhir mata kuliah yang diujikan. Korelasi signifikan tersebut didapatkan baik pada komponen kemampuan metakognitif (metacognitive knowledge), maupun komponen pengaturan metakognitif (metacognitive regulation).


(51)

commit to user

38

Secara spesifik, metakognisi akan berperan sebagai mediator signifikan antara mastery goals seorang pebelajar dan keberhasilan akademisnya. Mastery

goals merupakan tujuan belajar yang berorientasi pada penguasaan materi yang

dipelajari, dan bukan sekedar pencapaian nilai yang lebih baik maupun keinginan untuk terlihat mampu di depan orang lain. Pebelajar dengan mastery goals

cenderung memiliki kemampuan metakognitif yang lebih baik. Seiring dengan kondisi tersebut, prestasi akademik yang akan diraih oleh pebelajar yang bersangkutan juga semakin baik (Cautinho, 2007).

Prestasi akademis dalam sebuah proses pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh kemampuan kognitif, namun juga melibatkan kecerdasan afektif serta psikomotorik yang dimiliki seorang pebelajar. Demikian pula dengan manfaat implementasi kemampuan metakognitif. Dalam pembelajaran laboratorium, sebagai proses pengasahan keterampilan psikomotorik, metakognitif berperan sebagai pengatur proses berfikir sebelum seorang pebelajar melakukan tindak psikomotorik dalam melakukan analisa laboratoris.

Amin dan Eng (2003) menyatakan bahwa kemampuan metakognitif diyakini sebagai kemampuan kognitif tingkat tinggi yang diperlukan untuk manajemen pengetahuan. Hal tersebut mengindikasikan adanya hubungan positif antara kemampuan metakognitif dan kemampuan manajemen pengetahuan. Sehingga, ketika seseorang memiliki kemampuan metakognitif yang lebih baik, ia akan mampu mengatur pengetahuannya dengan lebih baik pula. Adanya pengaturan pengetahuan yang lebih baik, akan mendorong seorang pebelajar


(52)

commit to user

39

untuk dapat melakukan tindak psikomotoris secara lebih baik sebagai respon atas tugas yang sedang dihadapi atau aktivitas yang harus diselesaikannya.

Menurut Peirce (2003), metakognitif meliputi tiga jenis pengetahuan berikut: deklaratif, prosedural dan kondisional. Pembelajaran keterampilan laboratorium Kimia Analitik berkaitan sangat erat dengan jenis pengetahuan prosedural dan kondisional. Pengetahuan prosedural menjadi dasar untuk dapat menentukan serta melakukan analisa laboratoris dengan prinsip serta prosedur yang tepat. Sedang pengetahuan kondisional akan menjadi bekal untuk memutuskan metode analisa laboratoris apa yang paling sesuai dengan kondisi sampel analisa yang diperoleh.

Dalam proses standarisasi secara volumetri, seperti yang diujikan kepada subyek dalam penelitian ini, salah satu peran penting dari pengetahuan prosedural dan kondisional adalah ketika menentukan titik akhir titrasi yang terlihat pada larutan standar primer yang diuji. Penentuan titik akhir titrasi merupakan salah satu titik kritis dalam keberhasilan analisa volumetri. Ketidaktepatan dalam pengamatan titik akhir akan berakibat pada ketidaktepatan penghentian proses titrasi. Hal tersebut akan berdampak pula pada ketidaktepatan perhitungan konsentrasi dari larutan yang distandarisasi. Oleh karena itu, ketepatan dalam pengamatan titik akhir titrasi akan sangat menentukan tingkat keterampilan dalam melakukan analisa Kimia Analitik.

Reid dan Shah (2007) menyatakan bahwa dalam setiap pembelajaran laboratorium, yang menjadi bekal utama bagi seluruh pebelajar pada Program Studi vokasional seperti Analis Kesehatan, mahasiswa harus mampu


(53)

commit to user

40

mengilustrasikan ide dan konsep ke dalam sebuah percobaan empiris. Disamping itu, mereka juga harus memiliki kemampuan dalam menginterpretasikan hasil analisa yang telah dilakukannya. Salah satu aspek metakognitif yang mendukung kompetensi tersebut adalah bahwa metakognitif merupakan kecakapan untuk melakukan interfensi dan/ atau mengaplikasikan solusi pada situasi tertentu secara efisen dan reliabel (Taylor, 1999).

Berkaitan dengan hal tersebut, dapat pula dikatakan bahwa tingkat keterampilan pebelajar dalam melakukan analisa kimia secara laboratoris akan berkaitan erat dengan kemampuan melakukan interfensi atau mengaplikasikan berbagai teknik analisa kimia secara tepat dan efisien. Interfensi yang mampu dilakukan dalam analisa Kimia Analitik akan berkaitan dengan bagaimana seorang analis mampu mencari pemecahan atas permasalahan analitis yang dihadapinya.

Poncorini (2006) membuktikan dalam penelitiannya bahwa metakognitif

memiliki pengaruh positif terhadap kemampuan pemecahan masalah.

Kemampuan ini sangat dibutuhkan dalam proses analisa laboratoris secara kimiawi, terutama ketika ditemukan adanya hasil yang tidak berada dalam rentang yang dapat diterima. Bekal kemampuan metakognitif yang mencukupi akan membantu seorang analis melakukan upaya penelusuran kesalahan pada setiap tahap analisa yang telah dilakukan. Kemampuan pemecahan masalah juga akan membantu proses koreksi serta pengujian kembali sampel yang dianalisa sampai didapatkan hasil yang tepat.


(54)

commit to user

41

Disamping pengetahuan atas tingkat kognisi yang dimiliki, Pintrich (2002) juga menjabarkan metakognitif dalam 2 dimensi lainnya, yaitu: pengetahuan strategis dan pemahaman terhadap diri sendiri. Selayaknya sebuah proses, pembelajaran akan melewati berbagai tahap serta permasalahan sebelum pada akhirnya tujuan atau kompetensi yang diharapkan dapat dicapai. Untuk itu, sangat diperlukan kemampuan untuk mengetahui dan menerapkan berbagai strategi pada situasi yang berbeda. Kondisi belajar seringkali mengalami berbagai perubahan, baik karena faktor internal maupun eksternal dari pebelajar yang bersangkutan. Setiap perubahan yang terjadi akan membutuhkan strategi solutif yang berbeda. Demikian pula untuk setiap pencapaian kompetensi yang berbeda. Pebelajar terkadang harus melakukan pendekatan strategi belajar yang berbeda pula untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Pemahaman terhadap diri sendiri meliputi kewaspadaan diri atas seberapa dalam pengetahuan yang telah dimiliki dan pada bagian ilmu mana yang belum dipahami. Dimensi ini menjadikan metakognitif sebagai sarana untuk berintropeksi terhadap kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki seorang pebelajar. Pengetahuan terhadap bagian ilmu yang belum dikuasai akan menjadi bekal bagi pebelajar untuk melakukan strategi berbeda dalam rangka mencapai pemahaman yang lebih baik atas pengetahuan tersebut.

Pengetahuan terhadap tingkat pemahaman yang dimiliki juga menjadi sarana penting dalam pencapaian kompetensi dan keterampilan laboratorium. Ketika disadari bahwa sebuah pengetahuan belum dikuasai dengan baik, seorang pebelajar dapat melakukan upaya perbaikan secara maksimal untuk mencapai


(55)

commit to user

42

kompetensi yang diinginkan. Demikian pula sebaliknya, ketika seorang pebelajar mengetahui kompetensi mana yang telah dikuasai dengan baik, maka ia dapat mengalokasikan waktu dan konsentrasi yang dimiliki untuk mempelajari kompetensi lain yang belum dikuasai. Dunning, Johnson, Ehlinger dan Kruger (2003) bahkan menambahkan, inkompetensi dapat diartikan sebagai kegagalan dalam melakukan aktivitas metakognisi, dimana seseorang yang bersangkutan tidak mampu mengidentifikasi tepat atau tidaknya respon yang diberikan terhadap tugas yang dibebankan.

Baik pengetahuan strategis maupun pemahaman terhadap diri sendiri akan berkontribusi terhadap tingkat keterampilan laboratorium Kimia Analitik. Depdiknas (2003) dalam Standar Kompetensi Nasional Bidang Keahlian Analis Kesehatan mengungkapkan bahwa standar kompetensi seorang Analis Kesehatan juga meliputi penerapan kemampuan dan pengetahuan pada situasi dan lingkungan yang berbeda. Hal ini berarti, setiap Analis Kesehatan seharusnya memiliki pengetahuan strategis untuk mampu secara tepat dan terampil melakukan berbagai analisa yang dibutuhkan pada berbagai kondisi. Pemahaman atas kelebihan dan kekurangan pribadi juga akan memudahkan seorang analis untuk menyusun langkah strategis dalam mengatasi kekurangan dan mengoptimalkan kelebihannya.

2. Efikasi Diri

Hasil analisis regresi terhadap hubungan antara keterampilan laboratorium Kimia Analitik dan efikasi diri menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 skor efikasi


(56)

commit to user

43

diri akan meningkatkan skor keterampilan laboratorium sebesar 0,9. Hal ini mendukung hasil penelitian Naqiyah et al (2007) yang menemukan bahwa efikasi diri dalam mengatasi masalah (coping self efficacy) memiliki pengaruh signifikan terhadap prestasi akademik mahasiswa. Subyek dalam penelitian tersebut adalah mahasiswa Universitas Negeri Surabaya dengan alat ukur prestasi akademik berupa IPK mahasiswa.

Sebagai bentuk kepercayaan diri untuk menjalankan tugas pada sebuah tingkatan tertentu, efikasi diri akan membentuk sugesti dan persepsi atas

keberhasilan dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Bandura dalam

Schwarzer (1998) menyatakan bahwa keberadaan efikasi diri akan membuat perbedaan pada bagaimana seseorang merasa, berpikir dan bertindak. Efikasi diri yang rendah akan berkorelasi dengan rendahnya self esteem yang dimiliki serta terbentuknya rasa pesimis dalam penyelesaian aktifitas. Hasil penelitian Lane, Lane dan Kyprianou (2004) menunjukkan bahwa efikasi diri dan self esteem

berkorelasi signifikan terhadap prestasi akademik mahasiswa.

Zimmerman (2000) menyimpulkan pula bahwa efikasi diri telah terbukti secara empiris memiliki peran penting sebagai pencetus motivasi belajar dan berkoresponden terhadap perbaikan metode belajar siswa. Tinggi rendahnya efikasi diri yang dimiliki oleh seorang pebelajar, akan berpengaruh terhadap pilihan aktivitas yang akan dilakukan, tingkat usaha yang dilakukan, tingkat kegigihan belajar serta tingkat reaksi emosional yang dikeluarkan.

Sebagai pembelajaran psikomotorik, standarisasi larutan secara volumetrik dalam pengujian keterampilan laboratorium Kimia Analitik merupakan salah satu


(57)

commit to user

44

kompetensi yang tidak dapat dikuasai secara tepat dalam waktu singkat. Seorang mahasiswa Analis Kesehatan membutuhkan latihan berulang sampai dapat dinyatakan terampil melakukan standarisasi. Hal ini tentunya tidak cukup mudah bagi mahasiswa dengan tingkat motivasi, usaha serta kegigihan dalam belajar yang rendah. Terlebih, keterampilan analisa laboratorium yang harus dikuasai oleh mahasiswa Analis Kesehatan dalam satu waktu pembelajaran cukup padat. Sehingga, peran motivasi serta kegigihan belajar untuk menjaga kuantitas dan kualitas pembelajaran sangatlah penting.

Kepercayaan atas kemampuan diri dalam menyelesaikan tugas atau aktifitas yang dibebankan akan mempengaruhi cara bertindak individu yang bersangkutan. Demikian pula ketika seorang Analis Kesehatan diminta untuk menyelesaikan tugas profesinya, seperti standarisasi larutan secara volumetrik sebagai kompetensi yang diujikan kepada subyek dalam penelitian ini. Sugesti bahwa seorang mahasiswa mampu menyelesaikan standarisasi larutan dengan baik, akan membantu mahasiswa tersebut menjadi lebih tenang dalam menyelesaikan tugasnya. Ketenangan ini kemudian akan mendorong mahasiswa untuk dapat mengamati proses standarisasi yang dilakukan, sehingga titik akhir titrasi sebagai titik kritis keberhasilan standarisasi secara volumetri dapat teramati dengan baik. Ketenangan akan menjadikan tugas yang dirasa sulit menjadi sebuah tantangan untuk diselesaikan. Bahkan ketika tugas tersebut tidak dapat diselesaikan, ketenangan akan membantu seorang pebelajar untuk dapat memulai langkah perbaikan dengan cepat dengan tingkat usaha yang lebih baik.


(58)

commit to user

45

Meski menjadi pembelajaran psikomotorik, pembelajaran laboratorium juga melibatkan proses-proses kognitif. Efikasi diri menurut Rosello dan Bernal (2001) dapat membawa pengaruh positif maupun negatif terhadap proses kognitif seseorang. Sebagian besar perilaku manusia diatur oleh pemikiran sebelumnya, terutama mengenai tujuan yang hendak dicapai. Tujuan pribadi tersebut akan dipengaruhi oleh efikasi diri yang dimiliki. Semakin tinggi tujuan yang hendak dicapai, maka komitmen terhadap tujuan tersebut akan semakin kuat. Efikasi diri juga akan mempertahankan efisiensi yang tinggi dalam berpikir analitis pada situasi pengambilan keputusan yang kompleks. Efikasi diri serta stimulasi kognitif juga saling memberi pengaruh timbal balik. Tingginya efikasi diri akan menciptakan konstruksi kognitif tentang tindakan yang efektif, dan pengalaman keberhasilan secara kognitif akan memperkuat efikasi diri.

Dalam penelitiannya, Devonport dan Lane (2006) menyatakan bahwa efikasi diri dapat dijabarkan melalui beberapa aspek, salah satunya adalah efikasi diri dalam pengaturan waktu. Penilaian keterampilan laboratorium Kimia Analitik dalam penelitian ini dilakukan terhadap subyek dengan memberlakukan batasan waktu. Setiap subyek diminta menyelesaikan proses standarisasi secara volumetrik dalam waktu 60 menit. Pembatasan ini tentunya membutuhkan implementasi strategi kerja yang efisien dan efektif. Subyek dengan efikasi diri yang lebih tinggi akan mampu mengatur waktu analisanya secara lebih efisen, sehingga seluruh kriteria unjuk kerja yang menjadi komponen penilaian keterampilan laboratorium Kimia Analitik dapat dilakukan secara tuntas dan tepat. Sebaliknya, sampel dengan efikasi diri lebih rendah kurang mampu mengatur


(59)

commit to user

46

waktu kerja sebaik sampel dengan efikasi diri yang lebih tinggi. Sehingga, beberapa kriteria unjuk kerja tidak dapat diselesaikan dengan tuntas.

Meski demikian, Bandura (1986) juga menyatakan bahwa seseorang tidak akan mampu menyelesaikan tugas yang dibebankan semata-mata akibat dorongan efikasi diri yang dimilikinya. Untuk berfungsi secara kompeten, seseorang membutuhkan keserasian antara kepercayaan diri dan kemampuan serta pengetahuan pada sisi lain. Akan tetapi, hal tersebut berarti bahwa persepsi diri atas kemampuan seseorang akan membantu menentukan apa yang akan dilakukan dengan pengetahuan dan kemampuan yang mereka miliki. Sehingga, efikasi diri menjadi faktor penting pada tahap pertama bagaimana pengetahuan dan kemampuan yang baik dibutuhkan. Hal tersebut didukung pula oleh Schunk dan Meece (2005) yang menyatakan bahwa efikasi diri tidak akan mampu membentuk kompetensi seseorang jika pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tidak mencukupi.

Efikasi diri bersifat spesifik dalam tugas dan situasi yang dihadapi. Seseorang dapat memiliki keyakinan yang tinggi pada suatu tugas atau situasi tertentu, namun tidak pada situasi dan tugas lain. Efikasi diri yang dibangun oleh setiap pebelajar membantu mereka menentukan hal-hal yang akan mereka lakukan terkait dengan pengetahuan dan kemampuan yang telah dipelajari. Sementara, prestasi akademis, termasuk prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik, merupakan hasil dari apa yang diyakini dan apa yang dapat dicapai oleh mereka. Hal tersebut sedikit menjelaskan mengapa skor keterampilan laboratorium Kimia Analitik pada subyek dengan nilai efikasi diri yang sama, mengalami perbedaan.


(60)

commit to user

47

3. Pengetahuan Sebelumnya

Jika ditinjau dari seluruh data yang didapatkan, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa sampel dengan skor kemampuan metakognitif yang sama namun memiliki skor keterampilan laboratorium Kimia Analitik yang berbeda. Demikian pula pada pengukuran efikasi diri. Terdapat beberapa subyek dengan skor efikasi diri yang sama, tetapi memiliki skor keterampilan laboratorium Kimia Analitik yang berbeda. Salah satu penyebab atau confounding factor yang diuji pada penelitian ini adalah pengetahuan sebelumnya.

Dalam penelitiannya terhadap 115 mahasiswa farmasi di Universitas

Helsinki, Hailikari et al (2008) menyimpulkan bahwa prior knowledge

(pengetahuan sebelumnya) dari perkuliahan terdahulu terbukti berkontribusi signifikan terhadap hasil pembelajaran pada tingkat lanjutan. Mahasiswa dengan pengetahuan terdahulu yang lebih baik cenderung mendapatkan nilai akhir yang lebih baik pula.

Sementara, Reid dan Shah (2007) juga menyarankan untuk melakukan

prelabs instruction sebagai bentuk inisiasi pengetahuan sebelumnya pada

mahasiswa yang akan melakukan pembelajaran di labortaorium kimia. Aktivitas tersebut diyakini dapat membantu mahasiswa untuk menemukan konsep serta kerangka berpikir sebelum melakukan pekerjaan laboratoris yang sebenarnya. Stimulasi tersebut merupakan salah satu tahapan yang seharusnya dilakukan untuk menyelenggarakan pembelajaran laboratorium secara efektif dan efisien.

Dalam kaitannya dengan kemampuan metakognitif, Dirkes dalam Blakey dan Spence (1990) menyatakan bahwa salah satu strategi dasar yang dapat


(61)

commit to user

48

diterapkan pada pengembangan kemampuan metakognitif adalah konektivitas antara pengetahuan yang baru, dengan pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan sebelumnya yang dimiliki oleh mahasiswa juga menjadi bagian penting dalam pencapaian prestasi akademis mahasiswa.

Dalam metode Problem Based Learning (PBL), Harsono (2007)

mengungkapkan bahwa perangsangan terhadap pengetahuan sebelumnya merupakan cara terbaik untuk memulai proses pembelajaran dengan materi baru. Cara tersebut akan menggugah instruktur atau fasilitator dalam membantu peserta didiknya untuk membuat konstruksi baru dan pola pikir yang lebih tepat sesuai dengan konteks yang sedang dihadapi.

Meski prodi D3 Analis Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya belum menjalankan proses pembelajaran Problem Based Learning, namun peran pengetahuan sebelumnya pada proses pembelajaran yang diimplementasikan, khususnya pada pembelajaran laboratorium Kimia Analitik tetap memberikan kontribusi signifikan. Pebelajar dengan pengetahuan sebelumnya yang lebih baik, cenderung akan memiliki keterampilan laboratorium Kimia Analitik yang lebih baik pula.

Pada kedua persamaan regresi yang dilakukan untuk menganalisa hubungan antar seluruh variabel, pengetahuan sebelumnya terbukti secara statistik memiliki hubungan positif yang signifikan dengan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik. Bahkan koefisien regresi antara pengetahuan sebelumnya dan


(1)

commit to user

3. Pengetahuan Sebelumnya

Jika ditinjau dari seluruh data yang didapatkan, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa sampel dengan skor kemampuan metakognitif yang sama namun memiliki skor keterampilan laboratorium Kimia Analitik yang berbeda. Demikian pula pada pengukuran efikasi diri. Terdapat beberapa subyek dengan skor efikasi diri yang sama, tetapi memiliki skor keterampilan laboratorium Kimia Analitik yang berbeda. Salah satu penyebab atau confounding factor yang diuji pada penelitian ini adalah pengetahuan sebelumnya.

Dalam penelitiannya terhadap 115 mahasiswa farmasi di Universitas Helsinki, Hailikari et al (2008) menyimpulkan bahwa prior knowledge

(pengetahuan sebelumnya) dari perkuliahan terdahulu terbukti berkontribusi signifikan terhadap hasil pembelajaran pada tingkat lanjutan. Mahasiswa dengan pengetahuan terdahulu yang lebih baik cenderung mendapatkan nilai akhir yang lebih baik pula.

Sementara, Reid dan Shah (2007) juga menyarankan untuk melakukan

prelabs instruction sebagai bentuk inisiasi pengetahuan sebelumnya pada

mahasiswa yang akan melakukan pembelajaran di labortaorium kimia. Aktivitas tersebut diyakini dapat membantu mahasiswa untuk menemukan konsep serta kerangka berpikir sebelum melakukan pekerjaan laboratoris yang sebenarnya. Stimulasi tersebut merupakan salah satu tahapan yang seharusnya dilakukan untuk menyelenggarakan pembelajaran laboratorium secara efektif dan efisien.

Dalam kaitannya dengan kemampuan metakognitif, Dirkes dalam Blakey dan Spence (1990) menyatakan bahwa salah satu strategi dasar yang dapat


(2)

commit to user

diterapkan pada pengembangan kemampuan metakognitif adalah konektivitas antara pengetahuan yang baru, dengan pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan sebelumnya yang dimiliki oleh mahasiswa juga menjadi bagian penting dalam pencapaian prestasi akademis mahasiswa.

Dalam metode Problem Based Learning (PBL), Harsono (2007) mengungkapkan bahwa perangsangan terhadap pengetahuan sebelumnya merupakan cara terbaik untuk memulai proses pembelajaran dengan materi baru. Cara tersebut akan menggugah instruktur atau fasilitator dalam membantu peserta didiknya untuk membuat konstruksi baru dan pola pikir yang lebih tepat sesuai dengan konteks yang sedang dihadapi.

Meski prodi D3 Analis Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya belum menjalankan proses pembelajaran Problem Based Learning, namun peran pengetahuan sebelumnya pada proses pembelajaran yang diimplementasikan, khususnya pada pembelajaran laboratorium Kimia Analitik tetap memberikan kontribusi signifikan. Pebelajar dengan pengetahuan sebelumnya yang lebih baik, cenderung akan memiliki keterampilan laboratorium Kimia Analitik yang lebih baik pula.

Pada kedua persamaan regresi yang dilakukan untuk menganalisa hubungan antar seluruh variabel, pengetahuan sebelumnya terbukti secara statistik memiliki hubungan positif yang signifikan dengan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik. Bahkan koefisien regresi antara pengetahuan sebelumnya dan


(3)

commit to user

metakognitif memiliki nilai yang sama dalam memberikan kontribusi kepada prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik.

4. Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini, variabel yang dinilai berperan untuk menentukan tinggi rendahnya prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik pada mahasiswa Analis Kesehatan dibatasi pada kemampuan metakognitif, efikasi diri serta pengetahuan yang dimiliki sebelumnya oleh pebelajar. Sementara, meski tidak dilakukan pada penilaian keterampilan laboratorium Kimia Analitik, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi akademis seorang pebelajar. Diantaranya adalah faktor psikologis seperti motivasi dan kecerdasan emosi (Tella, 2007; Petrides et al,

2004), metode belajar yang digunakan serta kondisi proses pembelajaran yang terbangun di sekolah.

Disamping itu, variabel prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik dinilai melalui lembar observasional dengan metode checklist berisi 1 materi saja, yaitu standarisasi larutan secara volumetri. Secara faktual, nilai akhir dari keterampilan laboratorium Kimia Analitik tidak hanya ditentukan berdasarkan keterampilan mahasiswa dalam melakukan standarisasi larutan secara volumetri. Materi uji juga meliputi penetapan kadar sampel, baik dengan metode volumetri maupun metode lain seperti spektrofotometri dan gravimetri.

Jika ditinjau dari skor hasil penilaian keterampilan laboratorium Kimia Analitik pada penelitian ini, hampir seluruh subyek penelitian mampu mendapat


(4)

commit to user

nilai mutu AB dan A, dengan satu subyek saja yang mendapat nilai B. Hal tersebut berbeda dengan data yang diperoleh dari bagian evaluasi Prodi D3 Analis Kesehatan, dimana nilai keterampilan laboratorium Kimia Analitik yang diperoleh mahasiswa pada 2 tahun akademik terakhir (2007/2008 dan 2008/2009) didominasi oleh nilai mutu BC dan B. Hal ini diduga karena pada pembelajaran yang sebenarnya, keterampilan laboratorium Kimia Analitik diukur dengan materi uji yang lebih banyak.


(5)

commit to user BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Terdapat hubungan yang secara statistik signifikan antara kemampuan kognitif dan efikasi diri dengan prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik mahasiswa Analis Kesehatan. Setelah memperhitungkan pengaruh pengetahuan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kemampuan metakognitif pebelajar, semakin tinggi pula prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitik yang diraih (β = 0,4; CI 95% 0,4 sd 0,5). Demikian pula dengan hubungan antara efikasi diri dan prestasi ketrampilan laboratorium Kimia Analitik, dimana semakin tinggi efikasi diri pebelajar, semakin tinggi pula prestasi keterampilan laboratorium Kimia Analitiknya (β = 0,9; CI 95% 0,7 sd 1,1).

B.Implikasi

1. Implikasi teoritis dari penelitian ini adalah bahwa setiap penelitian yang akan mempelajari prestasi akademik, baik dalam pembelajaran kelas atau teoritis, maupun pembelajarana laboratorium (praktek), perlu memperhitungkan dan mengendalikan pengaruh variabel kemampuan metakognitif, efikasi diri dan pengetahuan sebelumnya.

2. Implikasi kebijakan dari penelitian ini bagi institusi pendidikan kesehatan, dalam hal ini Prodi D3 Analis Kesehatan Universitas Muhammadiyah


(6)

commit to user

Surabaya adalah, perlu diimplementasikannya teknik pembelajaran dengan pengasahan terhadap kemampuan metakognitif dan efikasi diri, untuk meningkatkan prestasi keterampilan laboratorium mahasiswa.

3. Institusi pendidikan perlu mengantisipasi dan mengatasi faktor-faktor yang menghambat perkembangan kemampuan metakognitif dan efikasi diri untuk mengoptimalkan pencapaian kompetensi para peserta didiknya.

C. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan prestasi keterampilan laboratorium dengan variabel-variabel lain, seperti motivasi, tingkat kecerdasan intelektual dan emosional pebelajar serta metode dan kondisi proses pembelajaran yang dilakukan.

2. Untuk meneliti pencapaian prestasi keterampilan laboratorium para pebelajar, perlu dilakukan penilaian keterampilan laboratorium secara lebih menyeluruh dengan menguji lebih dari satu kompetensi.


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA KESADARAN DIRI DAN EFIKASI DIRI DENGAN PROKRASTINASI Hubungan Antara Kesadaran Diri dan Efikasi Diri Dengan Prokrastinasi AKademik Mahasiswa.

0 2 21

HUBUNGAN ANTARA KESADARAN DIRI DAN EFIKASI DIRI DENGAN PROKRASTINASI Hubungan Antara Kesadaran Diri dan Efikasi Diri Dengan Prokrastinasi AKademik Mahasiswa.

4 9 13

HUBUNGAN ANTARA KESADARAN DIRI DAN EFIKASI DIRI DENGAN PROKRASTINASI Hubungan Antara Kesadaran Diri dan Efikasi Diri Dengan Prokrastinasi Akademik Mahasiswa.

0 2 14

HUBUNGAN ANTARA EFIKASI DIRI DENGAN PROKRASTINASI AKADEMIK PADA MAHASISWA Hubungan Antara Efikasi Diri Dengan Prokrastinasi Akademik Pada Mahasiswa.

0 1 16

HUBUNGAN ANTARA EFIKASI DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN PRESTASI AKADEMIK HUBUNGAN ANTARA EFIKASI DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN PRESTASI AKADEMIK MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA.

0 1 19

HUBUNGAN ANTARA EFIKASI DIRI DENGAN PERILAKU MENYONTEK PADA MAHASISWA HUBUNGAN ANTARA EFIKASI DIRI DENGAN PERILAKU MENYONTEK PADA MAHASISWA.

0 0 16

HUBUNGAN ANTARA EFIKASI DIRI DENGAN PRESTASI AKADEMIK DAN KECEMASAN MENYELESAIKAN STUDI HUBUNGAN ANTARA EFIKASI DIRI DENGAN PRESTASI AKADEMIK DAN KECEMASAN MENYELESAIKAN STUDI PADA MAHASISWA TINGKAT AKHIR.

0 0 16

HUBUNGAN EFIKASI DIRI, KEMANDIRIAN BELAJAR DAN MOTIVASI BERPRESTASI DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA.

0 0 13

HUBUNGAN PERSEPSI MAHASISWA TERKAIT KEMAMPUAN DOSEN MENGAJAR, FASILITAS BELAJAR DAN EFIKASI DIRI DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA.

0 0 15

Hubungan Efikasi Diri, Kemandirian Belajar Dan Motivasi Berprestasi Dengan Prestasi Belajar Mahasiswa COVER

0 1 32