Bontang: Zonasi, Forum CSR, dan Saluran Demokrasi yang Tersumbat

5 1.000.000 jiwa. Urbanisasi di kota Batam kini tercatat sebesar 8,1. Hal itu tak dapat dihindari karena pertumbuhannya yang begitu cepat. Pertumbuhan industri di Batam tak lepas dari pene Implikasi dari pasar bebas FTZ Batam justru melahirkan masyarakat yang konsumtif. Selain itu ada ekses lain yang ditimbulkan, khususnya sejak tahun 1999 ketika Batam menjadi wilayah setingkat kabupatenkota. Terbentuknya pemerintahan kota Batam justru menimbulkan dualisme antara Otorita Batam yang kini berganti nama menjadi BP Batam dan Pemerintah Kota Batam. Sejak itu di Batam dikatakan ada dua matahari. BP yang menguasai sumber-sumber ekonomi dari investor mengaku tak bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat karena itu adalah urusan pemerintah kota. Hal ini terungkap dari wawancara dengan anggota DPRD Batam dari Hanura, Ubaingan Singalingging sebagai berikut “Kalau kita liat dari BP Batamnya sendiri, mereka ga ngurusin kesra. Nah memang dari awal konsepnya tidak ada urusan dengan kesra. Kemudian di perjalanannya ada Pemerintah Kota Batam. Sekarang semua beban kesra itu ada di pemerintah kota Batam.” Di lain sisi tanah-tanah di Batam adalah milik BP Batam. Pemerintah Kota tak dapat membangun untuk kepentingan masyarakat karena tak punya tanah. Sebagai contoh, ketika pemerintah kota akan membangun sebuah SMP di satu kecamatan yang padat penduduk dan meminta lahan ke BP, kemudian BP memberikan tanah di area yang tidak diminta. Area itu jauh dari penduduk yang butuh sekolah dan sangat rawan banjir. Setelah SMP itu dibangun, setiap musim hujan tiba selalu muncul genangan setinggi 1-1,5 meter dan proses belajar mengajar harus terhambat. Hal lainnya yang menjadi masalah krusial di Batam adalah persoalan air bersih dan listrik. 1 Banyak kampung tua di Batam yang tidak mendapat akses listrik. Selain itu angka pengangguran yang terus meroket yang berakibat pada kriminalitas, lalu konflik etnis yang rentan muncul, juga persoalan pemukiman yang oleh masyarakat sekitar disebut rumah liar Ruli. Belum lagi persoalan demo buruh dan konflik industrial yang sangat sering terjadi di Batam. Persoalan HIV, prostitusi, dan perdagangan manusia harus menjadi catatan yang sering disembunyikan. Hal itu dikemukakan oleh Sosiolog Universitas Indonesia, Ganda Upaya. Banyak sekali masalah sosial yang muncul di Batam setelah kawasan ini tumbuh, namun tidak nampak dipermukaan. Saluran demokrasi memang telah tersedia. Pers dan LSM jumlahnya cukup banyak di Batam, namun jarang terlihat yang benar-benar mengangkat dan memperjuangkan isu-isu sosial di atas. Hal tersebut juga berkaitan dengan tidak adanya perencanaan sosial sejak wilayah ini dikembangkan hingga sekarang. Temuan lapangan juga memperlihatkan bahwa Pemerintah kota Batam mengakui belum adanya forum CSR yang dikoordinir oleh pemerintah kota dan melibatkan perusahaan-perusahaan di Batam.

4.2. Bontang: Zonasi, Forum CSR, dan Saluran Demokrasi yang Tersumbat

Bontang yang merupakan wilayah yang dalam kajian ini juga dikaji sebagai wilayah yang telah tumbuh, memiliki pengalaman yang agak berbeda dengan Batam. Perkembangan Bontang sangat ditunjang oleh dua perusahaan, yakni PT Pupuk Kaltim dan PT Badak LNG, termasuk perkembangan Infrastruktur, pembangunan SDM dan lain-lain. Ketika pemekaran terjadi dan pemerintah kota hadir di Bontang, permerintah di tingkat lokal ini tak dapat benar- 1 DPRD Kepri Minta BPK FTZ Batm Hentikan Alokasi Lahan di Catchment dan Sekitar Waduk, diakses dari http:suryanews.co.id201509dprd-kepri-minta-bpk-ftz-batam-hentikan-alokasi-lahan-di-catchment-dan- sekitar-waduk , pada tanggal 20 Oktober 2015, pukul 11.41 WIB 6 benar lepas dari keberadaan dua persahaan ini. Kemudian dibentuklah forum CSR yang dikoordinir pemerintah dengan dua perusahaan tersebut sebagai penyokong utamanya. Forum CSR tersebut bertujuan untuk menyelaraskan antara rencana pembangunan pemerintah dan CSR perusahaan. Di satu sisi forum CSR dilihat sebagai hal yang positif, namun di sisi lain membuat pemerintah kurang kreatif. APBD Bontang memang memperlihatkan angka yang cukup besar, namun PADnya tergolong kecil. Melalui CSR-CSR itu perusahaan bekerja sama dengan pemerintah membuka diklat- diklat dan akademi-akademi di Bontang, sehingga perkembangan pendidikan dan pembangunan SDM di Bontang dapat dikatakan baik jika dibandingkan wilayah sekitarnya. Melalui CSR itu pula perusahaan mendanai apa yang mereka sebut dengan mitra binaan. Perusahaan juga memberi bantuan beasiswa bagi mahasiswa Bontang melalui Himpunan Mahasiswa Bontang HMB. Di Bontang kta banyak melihat peran-peran pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, diambil alih oleh dua perusahaan besar tersebut. PKT dan PT Badak telah mengajak masyarakatnya dari awal dalam pembangunan Bontang, meski memang ada beberapa ketidakpuasan, namun tidak ada yang berujung pada konflik yang tajam. Kondisi yang demikian bukan saja membuat Pemerintah tidak kreatif, tetapi juga membuat masyarakat enggan untuk bersuara atau apatis. Masyarakat sipil dan pers di Bontang ada, tetapi semuanya berada di bawah kooptasi perusahaan. Isu-isu yang akhirnya mendapatkan perhatian dari pemerintah adalah isu terkait lahan pemukiman dan perambahan hutan lindung. Isu ini mendapat perhatian karena masyarakat menggunakan saluran demonstrasi untuk menyuarakan aspirasi mereka, mislnya demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat Lok Tuan. Selain itu, persoalan lahan pemukiman warga ini juga mengganggu kepentingan perusahaan. Persoalan lahan di Bontang sangat serius, mulai dari perambahan hutan lindung oleh warga di kawasan Bontang Lestari dengan pembakaran hutan dan keberadaan rumah-rumah di atas laut yang dibangun warga di pesisir Bontang yang jaraknya sangat dekat dengan lokasi industri PT Badak LNG. 4.3.Bitung: Sengketa Lahan KEK, Harapan Masyarakat, dan Peran Aktif Aktor Masyarakat di Luar Pemerintah Letak geografis Bitung yang strategis, di bibir pasifik membuat kota ini selalu dilihat sebagai peluang oleh pemerintah. Bitung terus menerus dijanjikan untuk berkembang melalui berbagai program seperti KABIMA, KAPET, dan terakhir KEK. Bitung sedianya menjadi KEK industri pengolahan berbasis perikanan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pada tahun 2014. Lokasi KEK Bitung berdekatan dengan pelabuhan yang telah ada dan akan diperbesar. Saat ini masih terdapat konflik terkait lahan KEK di Bitung. Masih ada warga yang tinggal di kawasan tersebut dan mendirikan pemukiman liar. Akses jalan ke lokasi KEK sudah dibuka, meski belum seluruhnya diaspal. Dari hasil peninjauan lapangan juga belum terlihat adanya pembangunan infrastruktur seperti kantor pengelola di kawasan ini. Secara umum masyarakat tidak resisten terhadap rencana KEK di kota ini karena mereka diberi pemahaman tentang kemajuan yang akan dihasilkan melalui pembangunan tersebut. Hal itu diungkapkan oleh Pendeta Petrus dalam FGD yang dilaksanakan di kantor Bappeda Bitung. Hal yang menjadi kekhawatiran masyarakat Bitung justru keseriusan 7 pemerintah dalam mengelola KEK untk kepentingan masyarakat Bitung itu sendiri. Berdasarkan temuan apangan di Bitung, diketahui bahwa potensi konflik antara penduduk asli dan pendatang pernah ada di kota ini. Hasil temuan lapangan di Bitung memperlihatkan kondisi masyarakat Bitung yang sebenarnya cukup siap dan tidak resisten terhadap KEK di wilayah itu. Adapun permasalahan yang masih menjadi hambatan adalah persoalan pembebasan lahan KEK. Potensi konflik lain di luar persoalan lahan berkaitan dengan konflik masyarakat asli dan pendatang. Hal ini belum dipikirkan secara serius oleh pemerintah, karena pemerintah Bitung tidak memiliki rencana pembangunan sosial. Untuk mengatasi masalah atau konflik yang muncul dalam masyarakat, serta melakukan sosialisasi KEK, pemerintah sangat mengandalkan institusi gereja, karena memang fungsi institusi ini sangat sentral dalam masyarakat Bitung, termasuk juga sebagai media penyaluran aspirasi masyarakat. Media massa di bitung disebut sebagai pemberi informasi saja, bukan penyalur aspirasi bagi masyarakat, karena hampir semua media di Bitung telah “di-APBD-kan”, sehingga independensinya diragukan.

4.4. Maloy: Political Will Pemerintah Daerah dan Keinginan Pemekaran Wilayah