Menyirih Dalam Pandangan Generasi Muda Karo

BAB IV MENYIRIH SEBAGAI PERILAKU

Perilaku menyirih telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat suku Karo, hal ini tampak dalam penggunaan sirih dan peruntukannya dalam beberapa upacara yang dilakukan, seperti upacara penghormatan, pertunangan, perkawinan, kematian, dan lain sebagainya. Penggunaan sirih dan kegiatan menyirih dalam setiap ritus kehidupan suku Karo memberikan gambaran yang erat bahwa sirih sangat memiliki nilai dalam kebudayaan Karo. Penjelasan bab ini mengarah pada kegiatan menyirih yang dilakukan oleh generasi muda Karo diluar dari kegiatan dengan nilai kebudayaan.

4.1. Menyirih Dalam Pandangan Generasi Muda Karo

Untuk mengetahui kegiatan menyirih dikalangan generasi muda Karo perlu diketahui sebelumnya mengenai pandangan mereka atas kegiatan menyirih yang dilakukan, seperti cara mereka melihat kegiatan menyirih dan pendapat orang diluar mereka atas kegiatan menyirih tersebut. Informan dilapangan bernama Ira br Ginting, 23 Tahun ketika ditanyakan mengenai kegiatan menyirih mengatakan : “menyirih membuat gigi bagus, juga mempererat hubungan dengan kawan … pada awalnya gak mau ikut menyirih karna malu kek seperti orang-orang tua tapi kemudian akhirnya ikut juga, lumayanlah buat ngisi waktu dan nambah kawan … juga biar nampak Karonya”. Pendapat ini setidaknya memberikan gambaran bahwa pada awalnya generasi muda atau anak gadis Karo tidak melakukan kegiatan menyirih, terutama 54 Universitas Sumatera Utara bagi mereka anak gadis Karo yang tinggal indekost di Kota Medan, hal ini disebabkan kegiatan menyirih umumnya dilakukan oleh orangtua ketika dalam kegiatan upacara adat. Perubahan pandangan atas kegiatan menyirih terjadi karena adanya dorongan pertemanan dengan dasar etnik yang sama Karo dan mengetahui beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari menyirih. Lia Depari, 22 Tahun mengatakan : “pada mula nya malu kalo mengaku menyirih sama kawan-kawan, takutnya diketawain tapi lama-lama ilang juga perasaan malu, karna banyak kawan waktu nyirih dan sesama Karo pulak” Pendapat ini didukung oleh Sinta Perangin-angin, 23 Tahun yang mengatakan bahwa : “awalnya malu tapi abis tu gak masalah lagi, lagian kita harus bangga dengan budaya sendiri … daripada susah pakek baju adat kemana-mana bagusan nyirih jadi nampak Karonya” Elly Sinuhaji, 23 Tahun mengatakan : “ aku menyirih karena takut gemuk. Kalo nyirih aku kan jadi jarang ngemil, agar orang tau aku orang Karo kan gak mesti aku tulis di bajuku “Aku kalak Karo” seperti yang di angkot-angkot itu ” Lain lagi dengan alasan Bulan br Barus, 24 Tahun yang mengatakan bahwa : “ada orang menunjukkan dia Karo, Batak, Kristen, Muslim dan lainnya menulis kata-kata yang berhubungan dengan itu dimobilnya, kek seperti aku kan gak punya mobil, cukup dengan makan sirih saja orang tau kok kalo aku orang Karo” Universitas Sumatera Utara Desi Sembiring, 19 Tahun berpendapat bahwa : “aku nyirih biar gak jajan lalap terus, uangku kan terbatas dibuat mamak. Aku beli sirih sebagai ganti jajanku, kubeli nanti 15.000 udah lengkap semua, tahan sampe 4 hari, sedangkan kalo jajan aku nanti gak cukup 15.000 satu hari, jadi kan untung aku makan sirih” Gadis Karo menyirih Sumber : Penulis Semua pendapat tersebut memberikan tanggapan atas perlakuan individu diluar kebudayaan Karo bahwa kegiatan menyirih adalah suatu kegiatan yang memiliki manfaat, dan kegiatan menyirih juga memberikan tambahan rasa kebanggan atas budaya Karo yang dimanifestasikan dalam kegiatan menyirih. Secara sederhana, kegiatan menyirih atau man belo yang dilakukan anak gadis suku Karo memiliki dua manfaat, yaitu manfaat secara kesehatan dan manfaat meningkatkan rasa bangga atas budaya Karo. Melalui kedua manfaat tersebut kegiatan menyirih terus dilakukan. Kegiatan menyirih juga dapat dibagi atas dua bagian besar kegiatan, yaitu kegiatan menyirih yang dilakukan secara berkelompok dan kegiatan menyirih yang dilakukan secara perorangan. Pembagian dua jenis kegiatan menyirih ini Universitas Sumatera Utara dapat memberikan gambaran ketika kegiatan menyirih dilakukan secara berkelompok dengan asal suku yang sama. Terbentuknya kelompok dengan dasar kesamaan suku sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat : “Suatu kelompok adalah kesatuan individu yang diikat oleh sekurang-kurangnya 6 unsur, yaitu : 1. Sistem norma-norma yang mengatur tingkah laku warga kelompok, 2. Rasa kepribadian kelompok yang disadari semua warganya, 3. Interaksi yang intensif antar warga kelompok, 4. Sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antarwarga kelompok, 5. Pemimpin yang mengatur kegiatan-kegiatan kelompok, dan 6. Sistem hak dan kewajiban terhadap harta produktif, harta konsumtif, atau harta pusaka tertentu. Dengan demikian hubungan kekerabatan merupakan unsur pengikat bagi suatu kelompok kekerabatan 1999:109.” Definisi atas kelompok ini memberikan pandangan bahwa kegiatan menyirih yang dilakukan secara berkelompok memenuhi beberapa kriteria atas suatu kelompok sebagai kesatuan individu, yaitu rasa kepribadian yang disadari semua anggota kelompok, yang dalam hal ini kepribadian atas dasar pengetahuan budaya asal mereka yaitu budaya Karo. Rasa kepribadian atas kegiatan menyirih dalam budaya Karo menjadi benang merah yang mengikat tiap individu menjadi suatu kelompok menyirih. Kehidupan masyarakat modern dengan pola hidup terarah dan kompleks, tidak dipungkiri menimbulkan kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat, hal ini terjadi karena adanya persamaan tujuan atau senasib dari masing-masing individu. Menurut Soekanto kelompok-kelompok sosial tidak hanya terjadi pada orang-orang yang bekerja dalam segi ekonomi, politik dan budaya tetapi pada akhirnya mucul kelompok sosial yang dibentuk oleh sekelompok anak muda yang Universitas Sumatera Utara ternyata menjadi gaya hidup generasi muda 1990, selanjutnya Soekanto menambahkan bahwa : “Masa remaja dikatakan sebagai suatu masa yang berbahaya karena pada periode itu, seseorang meninggalkan tahap kehidupan anak-anak, untuk menuju ke tahap selanjutnya yaitu tahap kedewasaan. Masa ini dirasakan sebagai suatu krisis karena belum adanya pegangan, sedangkan kepribadiannya sedang mengalami pembentukan. Generasi muda sangat diperlukan belajar mengenai nilai dan norma-norma masyarakatnya. Pada masyarakat bersahaja hal itu tidak jadi masalah, karena anak memperoleh pendidikan dalam lingkungan kelompok kekerabatan” 1990. Pendapat tersebut secara sederhana diartikan bahwa proses transisi perubahan dari masa anak-anak ke masa dewasa dipengaruhi oleh gaya hidup yang menjadi acuan mereka, pada beberapa kasus tertentu, gaya hidup yang mempengaruhi proses transisi tersebut memiliki nilai negatif. Namun dalam penelitian ini gaya hidup yang terjadi justru melakukan sesuatu hal yang berdasar pada pengetahuan budaya, yaitu menyirih, sehingga terbentuk kepribadian yang berakar pada nilai budaya. Sesuai dengan konsepsi yang dikemukakan sebelumnya, hasil wawancara terhadap Veliama Br Ginting, 23 Tahun mengarah kepada hal tersebut : “menyirih bagi aku setidaknya kerjaan yang positif dibandingkan dengan kelakuan negatif seperti keluyuran tidak jelas dan narkoba”. Pendapat tersebut mengkonstruksikan kegiatan menyirih sebagai salah satu upaya menghindar dari kelakuan yang bernilai negatif di mata masyarakat pada umumnya, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kegiatan menyirih dilakukan secara berkelompok dan disertai oleh keinginan untuk berkumpul. Kesadaran anak gadis Karo dalam melakukan kegiatan menyirih merupakan suatu kesadaran perilaku yang dipicu oleh pemahaman atas nilai Universitas Sumatera Utara budaya Karo dan pemahaman atas manfaat yang dibentuk oleh kehidupan mereka ketika berhadapan dengan orang luar dalam konteks ini indekost sebagai mahasiswi di Kota Medan yang memiliki jarak dengan daerah asal kampung.

4.2. Man Belo dan Anak Gadis Karo