Sejarah Menyirih MAN BELO

BAB III MAN BELO

3.1. Sejarah Menyirih

Dalam masyarakat karo dikenal dikenal dengan makan sirih atau bahasa karo disebut dengan man belo Hal semacam ini sudah menjadi tradisi bagi mereka. Unsur-unsur yang terdapat didalamnya yaitu terdiri atas daun sirih, pinang, kapur sirih, gambir dan tembakau. Kegiatan menyirih atau man belo tidak hanya orang tua saja tapi hal ini juga banyak digemari oleh kaum muda. Makan sirih atau man belo memiliki sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif yaitu dapat membuat gigi menjadi lebih kuat dan tidak gampang rapuh atau retak dan dapat mengobati sakit gigi. Sisi negatif yaitu dapat membuat seseorang menjadi ketagihan atau kecanduan. Tulisan Said 1987:1 menceritakan mengenai simbol dari menyirih berikut dengan bahan-bahan yang dipergunakan, bahan-bahan dalam menyirih juga dilekati berbagai makna yang ditilik dari sifat masing-masing bahan. Sirih, misalnya, dianggap mengajarkan sifat rendah diri dan memuliakan orang lain lantaran pohonnya bersifat memanjat, memerlukan sandaran pohon atau tempat lain, tetapi tidak sampai merusak sandarannya. Pohon pinang dianggap melambangkan keturunan orang baik-baik, tinggi secara adat dan lurus dalam budi pekerti, seperti penampilan pohonnya yang menjulang ke atas. Kapur yang putih dianggap mewakili niat hati bersih. Gambir yang pahit menandakan hati yang tabah menahan penderitaan. Sedangkan tembakau yang pahit juga dianggap mencerminkan sifat tabah dan rela berkorban untuk orang lain Said, 1987:1. 39 Universitas Sumatera Utara Gambaran dari Reid 1985:529-530 mengenai kebiasaan menyirih yang dipraktekkan di Nusaantara atau Indonesia mengatakan bahwa kebiasaan menyirih sendiri menurut perkiraan Anthony Reid dimulai sudah sejak lama. Buah pinang misalnya, yang dalam catatan para musafir Cina disebut pin-lang, konon telah dikonsumsi sebagai bagian dari bersirih pinang betel-chewing pada dua abad sebelum Masehi Reid,. Para pengelana Eropa juga banyak memberi kesaksian bahwa kebiasaan ini begitu meluas, baik di kalangan bangsawan maupun masyarakat biasa. Contohnya kesaksian Antonio Pigafetta Pigafetta via Reid, 1985:530 dan Reid, terj. 1992:49 yang melayari kawasan Nusantara pada warsa 1521. Ia menulis bahwa masyarakat Nusantara “secara terus menerus mengunyah buah yang mereka sebut areca pinang, yang menyerupai buah pir. ... dibungkus dengan daun sirih. Mereka semua melakukan itu, sebab itu dapat menyejukkan hati, dan jika mereka berhenti memakannya mereka akan mati,”. Di kalangan bangsawan, sirih pinang kerap disuguhkan ketika raja menjamu tamu-tamu asing. Pengalaman Augustin de Beaulieu yang mengunjungi Kesultanan Aceh antara 1620-1621 menunjukkan hal itu. Ia diterima dengan baik oleh Sultan Iskandar Muda dengan suguhan bejana besar dari emas yang penuh dengan sirih dalam Lombard, terj. 2007:199. Kebiasaan menyuguhkan perangkat sirih pinang kepada tamu, baik di kalangan bangsawan maupun rakyat biasa mengindikasikan bahwa kebiasaan ini memiliki fungsi sebagai alat pergaulan sosial. Menurut William Marsden, suguhan sirih pinang merupakan tanda penerimaan atau ramah- tamah dari tuan rumah. Orang Sumatra biasa menyuguhkan peralatan sirih pinang lengkap dan menghidangkannya kepada Universitas Sumatera Utara tamu. Bahkan jika ia bepergian, mereka akan tetap membawa peralatan menginang sebagai bekal dalam perjalanan Marsden, terj. 2008:257-258. Selain berfungsi sebagai alat pergaulan sosial, sirih pinang juga menjadi perangkat penting dalam berbagai aspek kehidupan budaya Karo. Hal ini dimungkinkan karena hakikat dari kebiasaan bersirih pinang menyimbolkan penghormatan dan persembahan kepada tamu, orang lain, atau bahkan arwah leluhur. Dalam kebudayaan pra-Islam, sirih pinang kerap digunakan sebagai sesajian kepada leluhur atau para dewa Al Mudra, 2006:2. Bahkan hingga kini, masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, masih menyajikan sirih pinang sebagai simbol penghormatan kepada arwah para leluhur dalam perayaan-perayaan adat http:koran.kompas.com.

3.2. Menyirih