“Man Belo” (Sebuah Etnografi Kegiatan Menyirih Sebagai Identitas Sosial Generasi Muda Karo di Kelurahan Titi Rantai, Kecamatan Medan Baru, Medan).

(1)

“MAN BELO”

(Sebuah Etnografi Kegiatan Menyirih Sebagai Identitas Generasi Muda Karo Di Kelurahan Titi Rantai, Kecamatan Medan Baru, Medan)

SKRIPSI SARJANA

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh:

040905052

Mediawati Br Ginting

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Nama : Mediawati Br Ginting Nim : 040905052

Departemen : Antropologi Sosial Judul : “Man Belo”

(Sebuah Etnografi Kegiatan Menyirih Sebagai Identitas Sosial Generasi Muda Karo di Kelurahan Titi Rantai, Kecamatan Medan Baru, Medan)

Medan, Desember 2011

Pembimbing Skripsi Ketua Departemen

(Dr. Fikarwin Zuska) (

NIP. 19621220 198903 1 005 NIP. 19621220 198903 1 005 Dr. Fikarwin Zuska)

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

NIP. 19680525 199203 1 002 (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)


(3)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN

“MAN BELO”

(Sebuah Etnografi Kegiatan Menyirih Sebagai Identitas Generasi Muda Karo Di Kelurahan Titi Rantai, Kecamatan Medan Baru, Medan)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, 21 Desember 2011


(4)

ABSTRAK

“MAN BELO”, Sebuah Etnografi Kegiatan Menyirih Sebagai Identitas Generasi Muda Karo Di Kelurahan Titi Rantai, Kecamatan Medan Baru, Medan (Mediawati Br Ginting, 2011). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 78 halaman, 8 daftar tabel, 3 daftar bagan, 30 daftar pustaka,11 gambar-gambar kegiatan serta perlengkapan menyirih, dan lampiran yang terdiri dari interview guide, dan daftar informan.

Menyirih adalah sesuatu kegiatan yang memiliki kaitan nilai dengan adat-budaya Karo, hal ini tampak dalam penggunaan sirih dan kegiatan menyirih yang dilakukan dalam konteks upacara, seperti pertunangan, perkawinan, perobatan dan lain sebagainya.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dan mendeskripsikan mengenai perilaku menyirih dikalangan generasi muda Karo yang dalam hal ini dilakoni oleh anak gadis Karo, pada satu sisi usaha deskripsi ini sebagai bentuk dokumentasi budaya dan pada sisi lain sebagai wujud eksistensi identitas etnik Karo.

Penelitian ini dilakukan di lingkungan 1, 2 dan 3 Kelurahan Titi Rantai, Kecamatan Medan Baru, Medan. Pemilihan lokasi didasarkan pada kenyataan bahwa lokasi tersebut merupakan tempat bagi perantauan generasi muda Karo di Kota Medan yang mengenyam pendidikan tinggi dan untuk melihat proses menunjukkan identitas etnik melalui menyirih.Proses pengamatan dan wawancara dilakukan untuk mendapatkan data penulisan.

Penelitian yang dilakukan bersifat kualitatif dengan pendekatan secara deskriptif yang bertujuan untuk mendapatkan informasi yang mendalam mengenai fokus penelitian, adapun informan penelitian ini mencakup generasi muda Karo dan masyarakat setempat.

Menyirih memberi gambaran mengenai hubungan perilaku yang didasarkan pada nilai adat-budaya Karo yang muncul sebagai bentuk identitas etnik dalam persaingan hidup dalam konteks kehidupan perkotaan yang kompleks.

Hasil penelitian mendapatkan data, bahwa menyirih memiliki aspek positif dari beberapa aspek, seperti aspek kesehatan, identitas sosial hingga pada pelestarian nilai budaya Karo yang dapat dikembangkan lebih lanjut.


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama saya mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan perlindungan-Nya, saya bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Man Belo”. Saya mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua saya, ayah A. Ginting dan ibu S. Tarigan. Terima kasih buat dukungan doa, semangat, serta materi yang diberikan kepada saya hingga sampai ke bangku perkuliahan. Saya sangat bangga memiliki orang tua seperti kalian, kegigihan kalianlah yang menjadi penyemangat hidupku sampai saya mampu menyelesaikan tugas akhir untuk program Sarjana. Hanya ini kado yang bias saya persembahkan untuk mamak dan bapak. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada kedua adikku yang saya sayangi yaitu Mikail Ginting dan Ronaldo Ginting kalianlah sumber inspirasiku. Tekad untuk menjadi teladan kepada adik-adik yang kusayangi membuat saya gigih menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga saya ucapkan kepada keluarga besar saya yang selalu memberikan motivasi hidup kepada saya dalam menjalankan perkuliahan saya. Pada kesempatan ini saya juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada : Prof. Dr. Badaruddin, M.Si sebagai dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Dr. Fikarwin Zuska, sebagai ketua departemen Antopologi FISIP USU sekaligus sebagai dosen pembimbing skripsi saya. Saya mengucapkan banyak terima kasih buat ilmu yang selama ini diberikan kepada saya. Berkat ilmu yang Bapak berikan saya dapat menyusun skripsi ini hingga selesai, berkat ajaran Bapak saya lebih memahami bagaimana caranya menjadi seorang penulis. Saya tidak bisa membalas semua kebaikan dan ilmu yang sudah Bapak berikan, hanya ucapan terima kasihlah yang bisa saya ucapkan.


(6)

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Agustrisno, M.SP. sebagai sekretaris departemen Antopologi FISIP USU sekaligus sebagai penguji, terima kasih buat didikannya selama saya melakukan kegiatan perkuliahan di departemen Antropologi. Terima kasih juga saya ucapkan kepada Bapak Nurman Ahmad, S.Sos, M.Soc selaku dosen penasehat akademik yang telah membimbing saya dari awal perkuliahan hingga akhir perkuliahan dan terima kasih juga saya ucapkan buat seluruh dosen dan staf Antropologi yang telah mendidik dan mengajar saya dalam perkuliahan selama ini.

Kepada seluruh informan saya ucapkan terima kasih buat waktu dan kesediaannya memberikan data yang saya butuhkan selama penelitian sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Terima kasih untuk bapak Winardi Ginting selaku Lurah Titi Rantai, kepala lingkungan serta masyarakat setempat yang telah membantu saya dalam mengumpulkan data.

Terima kasih untuk kak Sofi yang senantiasa mengingatkan saya dan memberikan dorongan biar tetap semangat. Terima kasih ya kak.

Terima kasih untuk suami tercinta Benny Sembiring, yang selama ini selalu sabar menghadapi saya. Berkat perhatian, kasih saying, cinta dan kesabarannya saya bisa kuat walaupun kadang harus menangis karena terus bertanya: kapan siapnya?? Terima kasih ya bang…

Terima kasih untuk kakakku mamak Nisa yang terus memberikan semangat, sehingga skripsi ini dapat selesai, dan untuk keluarga besar kami yang tidak dapat saya


(7)

sebutkan satu persatu, saya ucapkan terima kasih, untuk Nisa, Aldi, Agri, Bina dan Egi terima kasih karena selalu menjadi penyemangatku.

Terima kasih juga buat sahabat-sahabat saya, Anie (Zarel mom’s) Sembiring dan keluarga yang senantiasa mendukung saya dalam menyelesaikan skripsi ini, Adisa ginting, Gita Sarah, Minarwaty, Kak Dilli Timoria, Lelyta, Helen Tarigan, Veli Kesdam, Siwa Kumar, Bg Abu, Pagit Salsal, Arnov, serta teman-teman lainnya yang tidak bisa saya sebut namanya satu per satu, terima kasih buat warna-warni persahabatan yang telah kalian berikan selama ini.

Terima kasih juga untuk Itoku Allesandro Turnip dan Edaku Helen Lucen, yang selalu membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih to, eda untuk semua ketulusan yang kalian berikan terima kasih buat arahan dan semangatnya.

Terima kasih juga buat adik-adikku yang cerewet Lihung, Beben, Guru Salmen, yang terus memberikan semangat untukku. Terimakasih ya dek..

Medan, 21 Desember 2011

Penulis


(8)

RIWAYAT HIDUP

Mediawati Br Ginting, lahir pada tanggal 8 Februari 1986 di Kabanjahe Kecamatan Kabanjahe, Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. Beragama Kristen Protestan, anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda A. Ginting dan Ibunda S. Tarigan.

Pendidikan formal penulis: Sekolah Dasar Negeri Pengasinan Margahayu II Bekasi Timur tamat tahun 1998, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 Kabanjahe tamat tahun 2001, Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Kabanjahe tamat tahun 2004. Kemudian pada tahun 2004 mengikuti pendidikan di Universitas Sumatera Utara dengan program studi Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Pengalaman organisasi, saya pernah mengikuti organisasi UKM KMK FISIP USU pada tahun 2006 dan saya juga pernah menjadi anggota organisasi IMKA (Ikatan Mahasiswa Karo) pada tahun 2008. Pada tahun 2009 saya juga pernah menjadi penulis di Tabloid Sora Sirulo sekaligus menjabat sebagai bendahara.


(9)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini disusun untuk melihat dan mendeskripsikan mengenai perilaku menyirih dikalangan generasi muda Karo dalam proses menunjukkan atau mempertahankan identitas kelompoknya ditengah persaingan antar etnis yang dalam hal ini dilakoni oleh anak gadis Karo, dimana pada satu sisi usaha deskripsi ini adalah sebagai bentuk dokumentasi budaya dan pada sisi lain sebagai wujud eksistensi identitas etnik Karo. Di dalam skripsi ini akan dibahas mengenai “man belo” ataupun kegiatan menyirih dikalangan generasi muda Karo yang merantau ke Medan untuk melanjutkan pendidikan di tingkat universitas ataupun yang bekerja. Penelitian yang saya lakukan dalam mengetahui alasan mereka menyirih adalah dengan cara bergabung dan tinggal sementara waktu dengan kelompok tersebut. Makan sirih adalah bagian yang melengkapi struktur kebudayaan dan berkaitan erat dengan kebiasaan masyarakat Karo. Sirih pada masyarakat Karo merupakan lambang komunikasi dan kehormatan dan hampir disetiap upacara adat atau ritual masyarakat Karo menggunakan sirih.

Penelitian ini saya lakukan karena melihat orang yang memakan sirih semakin banyak saja, tidak hanya wanita dewasa dan nenek-nenek, tetapi mulai dari anak yang belum sekolah sampai anak yang sudah kuliah dan tinggal di perkotaan juga sudah makan sirih, bahkan bagi sebagian orang sirih sudah menjadi kebutuhan pokoknya. Akibat jauh dari kampung halaman dan sanak keluarga yang membuat orang-orang tersebut menyirih. Cara yang dibuat oleh setiap orang dalam menunjukkan identitas etniknya kepada masyarakat suku lain tentunya berbeda-beda. Generasi muda Karo yang menjadi sorotan karena ditengah perkembangan jaman yang semakin maju dimana Budaya Indonesia yang dulunya ramah-tamah, gotong royong dan sopan berganti


(10)

dengan budaya barat, seperti pergaulan bebas, gaya berpakaian yang ala barat, dan lain sebagainya, mereka malah memilih untuk menyirih.

Kegiatan menyirih tersebut memberi gambaran mengenai hubungan perilaku yang didasarkan pada nilai adat budaya Karo yang muncul sebagai bentuk identitas enik ditengah persaingan hidup dalam konteks kehidupan perkotaan yang beragam. Hal ini dapat dilihat dari pandangan masyarakat yang mengatakan bahwa orang yang menyirih itu pasti orang Karo, padahal tidak hanya orang Karo yang menyirih, bisa saja yang menyirih tersebut bukan dari kalangan etnis Karo, karena tidak hanya suku Karo saja yang menyirih.

Perbincangan-perbincangan inilah yang membuat saya semakin tertarik meneliti generasi muda Karo yang menyirih. Dalam tulisan ini saya mengambil Kelurahan Titi Rantai yang menjadi tempat penelitian saya, khususnya pasar 1 dan pasar 2 karena daerah ini merupakan kawasan perantauan bagi generasi muda Karo yang sedang mengenyam pendidikan tinggi.

Kesimpulan yang saya ambil dari penelitian ini adalah bahwa generasi muda Karo memiliki motivasi melakukan kegiatan menyirih tidak saja untuk menunjukkan identitas etniknya saja, tetapi juga sebagai bentuk suatu usaha untuk mendekatkan atau mempererat hubungan antar kelompok, sebagai suatu usaha menjaga kesehatan gigi dan mengisi waktu luang, dan mereka juga menunjukkan bahwa menyirih lebih baik daripada merokok.


(11)

Saya berharap skripsi ini bisa menjadi salah satu referensi bagi kepentingan akademis yang ingin mengetahui bagaimana budaya menyirih dalam masyarakat Karo. Penulis berharap pembaca dapat memberikan kritik dan masukan agar skripsi ini bisa lebih baik dan sempurna. Atas kritik dan sarannya diucapkan terima kasih.

Medan, 21 Desember 2011

Penulis


(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... i

ABSTRAK ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR BAGAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 9

1.3. Lokasi Penelitian ... 9

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.5. Tinjauan Pustaka ... 10

1.6. Metode Penelitian ... 15

1.7. Analisis Data ... 18

BAB II LETAK DAN LOKASI PENELITIAN ... 20

2.1. Gambaran Umum ... 20


(13)

2.3. Jumlah Penduduk ... 22

2.4. Lokasi Penelitian ... 23

2.4.1. Lingkungan 1 ... 24

2.4.2. Lingkungan 2 ... 24

2.4.3. Lingkungan 3 ... 25

2.5. Suku Karo ... 26

2.5.1. Sistem Kekerabatan Karo ... 29

2.5.2. Gambaran Sistem Kepercayaan ... 34

BAB III MAN BELO ... 39

3.1. Sejarah Menyirih ... 39

3.2. Menyirih ... 41

3.3. Komposisi Menyirih ... 42

3.3.1. Sirih ... 42

3.3.2. Gambir ... 45

3.3.3. Kapur Sirih ... 45

3.3.4. Pinang ... 46

3.4. Menyirih Dalam Adat Karo ... 46


(14)

3.5.1. Sirih dalam Perobatan ... 49

3.5.2. Sirih Dalam Upacara Meninggal Dunia ... 50

3.5.3. Sirih Untuk Meramal ... 50

3.5.4. Sirih Sebagai Penghormatan ... 50

3.5.5. Merdang ... 51

3.5.6. Erpangir ... 51

3.5.7. Ngkuruk Emas ... 52

3.5.8. Muat Kertah ... 52

3.5.9. Ngembah Belo Selambar ... 52

BAB IV MENYIRIH SEBAGAI PERILAKU ... 54

4.1. Menyirih Dalam Pandangan Generasi Muda Karo ... 54

4.2. Man Belo dan Anak Gadis Karo ... 59

4.3. Man Belo Sebagai Identitas Etnik ... 61

4.4. Man Belo Sebagai Usaha Kesehatan ... 67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

5.1. Kesimpulan ... 70

5.2. Saran ... 72


(15)

INTERVIEW GUIDE DAFTAR INFORMAN


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Jumlah Penduduk Kelurahan Titi Rantai Tahun 2011…... .. 22

Tabel 2:Jumlah Penduduk Kelurahan Titi Rantai Tahun 2008……….. 22

Tabel 3 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ……….. 22

Tabel 4 : Tabel Penduduk Berdasarkan Suku……….. 23

Tabel 5 : Tabel Mata Pencaharian Penduduk……… 23

Tabel 6 : Tabel Sarana Ibadah ……… 23


(17)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 : Silsilah Etnis Karo……….. 29

Bagan 2 : Sistem Kekerabatan Pada Masyarakat Karo……… 31


(18)

ABSTRAK

“MAN BELO”, Sebuah Etnografi Kegiatan Menyirih Sebagai Identitas Generasi Muda Karo Di Kelurahan Titi Rantai, Kecamatan Medan Baru, Medan (Mediawati Br Ginting, 2011). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 78 halaman, 8 daftar tabel, 3 daftar bagan, 30 daftar pustaka,11 gambar-gambar kegiatan serta perlengkapan menyirih, dan lampiran yang terdiri dari interview guide, dan daftar informan.

Menyirih adalah sesuatu kegiatan yang memiliki kaitan nilai dengan adat-budaya Karo, hal ini tampak dalam penggunaan sirih dan kegiatan menyirih yang dilakukan dalam konteks upacara, seperti pertunangan, perkawinan, perobatan dan lain sebagainya.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dan mendeskripsikan mengenai perilaku menyirih dikalangan generasi muda Karo yang dalam hal ini dilakoni oleh anak gadis Karo, pada satu sisi usaha deskripsi ini sebagai bentuk dokumentasi budaya dan pada sisi lain sebagai wujud eksistensi identitas etnik Karo.

Penelitian ini dilakukan di lingkungan 1, 2 dan 3 Kelurahan Titi Rantai, Kecamatan Medan Baru, Medan. Pemilihan lokasi didasarkan pada kenyataan bahwa lokasi tersebut merupakan tempat bagi perantauan generasi muda Karo di Kota Medan yang mengenyam pendidikan tinggi dan untuk melihat proses menunjukkan identitas etnik melalui menyirih.Proses pengamatan dan wawancara dilakukan untuk mendapatkan data penulisan.

Penelitian yang dilakukan bersifat kualitatif dengan pendekatan secara deskriptif yang bertujuan untuk mendapatkan informasi yang mendalam mengenai fokus penelitian, adapun informan penelitian ini mencakup generasi muda Karo dan masyarakat setempat.

Menyirih memberi gambaran mengenai hubungan perilaku yang didasarkan pada nilai adat-budaya Karo yang muncul sebagai bentuk identitas etnik dalam persaingan hidup dalam konteks kehidupan perkotaan yang kompleks.

Hasil penelitian mendapatkan data, bahwa menyirih memiliki aspek positif dari beberapa aspek, seperti aspek kesehatan, identitas sosial hingga pada pelestarian nilai budaya Karo yang dapat dikembangkan lebih lanjut.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tulisan ini bertujuan mengkaji tentang identitas kelompok dalam proses globalisasi pada masyarakat Karo. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dalam berbagai hal, seperti keanekaragaman budaya, lingkungan alam, dan wilayah geografisnya. Suatu masyarakat dikatakan ada bilamana masyarakat itu dapat menunjukkan identitasnya yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Perbedaan itu dapat terwujud dalam bentuk bahasa, budaya dan adat istiadat, tatanan kehidupan dan ragam peralatan yang melekat pada komunitas tersebut. Hal ini juga sudah pasti dimiliki setiap suku bangsa yang beragam itu (Perangin-angin, 2004:121).

Globalisasi sering diperbincangkan oleh banyak orang, mulai dari para pakar ekonomi, sampai penjual iklan.1

Perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal abad ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antarbangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antarbangsa lebih mudah dilakukan,

Gaung globalisasi, sudah mulai terasa sejak akhir abad ke-20, yang telah membuat masyarakat dunia, termasuk bangsa Indonesia harus bersiap-siap menerima kenyataan masuknya pengaruh luar terhadap seluruh aspek penting kehidupan bangsa. Salah satu aspek yang terpengaruh adalah kebudayaan.


(20)

hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan. lebih lanjut Achmad Suparman2

1. Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.

menyatakan ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan ditandai dengan:

2. Penyebaran prinsip multikebudayaan, dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.

3. Berkembangnya turisme dan pariwisata.

4. Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.

5. Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain.

6. Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA.

7. Persaingan bebas dalam bidang ekonomi.

8. Meningkakan interaksi budaya antarnegara melalui perkembangan media massa.

Perubahan budaya yang terjadi di dalam masyarakat tradisional, yakni perubahan dari masyarakat tertutup menjadi masyarakat yang lebih terbuka, dari nilai-nilai yang bersifat homogen menuju pluralisme nilai dan norma sosial merupakan salah satu dampak dari adanya globalisasi. Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Pada era globalisasi saat ini, eksistensi atau keberadaan kesenian rakyat berada pada titik yang rendah dan mengalami berbagai tantangan dan tekanan-tekanan baik dari pengaruh luar maupun dari

2


(21)

dalam. Tekanan dari pengaruh luar terhadap kesenian rakyat ini dapat dilihat dari pengaruh berbagai karya-karya kesenian populer dan juga karya-karya kesenian yang lebih modern lagi yang dikenal dengan budaya populer. Seperti yang dikemukakan oleh Naisbitt (1988),3

Globalisasi mempunyai dampak yang besar terhadap budaya, dimana kontak budaya melalui media massa menyadarkan dan memberikan informasi tentang keberadaan nilai-nilai budaya lain yang berbeda dari yang dimiliki dan dikenal selama ini. Kesenian bangsa Indonesia yang memiliki kekuatan etnis dari berbagai macam daerah juga tidak dapat lepas dari pengaruh kontak budaya ini.

bahwa semakin kita menjadi universal, maka tindakan kita semakin menjadi kesukuan atau lebih terfokus pada faktor ‘kesukuan’ dan berpikir secara lokal, namun bertindak global, dimana kita harus berkonsentrasi kepada hal-hal yang bersifat lokal, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional.

4 Budaya Indonesia yang dulunya ramah-tamah, gotong royong dan sopan berganti dengan budaya barat, seperti pergaulan bebas, gaya berpakaian yang ala barat, dan lain sebagainya. Hal-hal seperti ini diakui oleh Pak Limbong, dia mengatakan bahwa di Tapanuli misalnya, sekitar duapuluh tahun yang lalu, anak-anak remajanya masih banyak yang berminat untuk belajar tari “tor-tor” dan “tagading” (alat musik batak), namun belakangan ini kegiatan tersebut sudah jarang dilakukan oleh generasi muda masyarakat Toba.

5

3

http://id.wikipedia.org/wiki/globalisasi.

Hampir setiap minggu dan dalam acara ritual kehidupan, remaja di sana selalu diundang pentas sebagai

pada tanggal 3 Mei 2011. 5


(22)

hiburan budaya yang meriah. Sehingga untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan-perubahan diperlukan pengembangan-pengembangan yang bersifat global namun tetap bercirikan kekuatan lokal atau etnis.

Terkait dengan kebudayaan, kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Atau kebudayaan juga dapat didefinisikan memiliki tiga wujud, yang mencakup gagasan atau ide, kelakuan dan hasil kelakuan (Koentjaraningrat, 1974:15), dimana hal-hal tersebut terwujud dalam salah satu kesenian tradisional kita.

Proses saling mempengaruhi adalah gejala yang wajar dalam interaksi antar masyarakat. Melalui interaksi dengan berbagai masyarakat lain, bangsa Indonesia ataupun kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami nusantara telah mengalami proses dipengaruhi dan mempengaruhi.6

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dalam berbagai hal, seperti keanekaragaman budaya, lingkungan alam, dan wilayah geografisnya. Keanekaragaman masyarakat Indonesia ini dapat dicerminkan pula dalam berbagai ekspresi upacara-upacara adat tradisional yang memang menjadi sarana sosialisasi bagi kebudayaan yang telah dimantapkan lewat pewarisan tradisi. Salah satu peralatan yang digunakan dalam menunjukkan identitasnya Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa itu kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubah. Perubahan yang terjadi saat ini berlangsung begitu cepat.


(23)

adalah sirih. Sirih merupakan tanaman asli Indonesia yang tumbuh merambat atau bersandar pada batang pohon lain Tanaman merambat ini bisa mencapai tinggi 15 meter. Batang sirih berwarna coklat kehijauan,berbentuk bulat, beruas dan merupakan tempat keluarnya akar.7

Pada masyarakat Pak-pak misalnya, sirih digunakan dalam upacara perkawinan yaitu Merbayo. Sebutan lain dari upacara ini adalah Papuren Ibale Papuren Ibages. Papuren artinya sumpit yang berisi sirih, pinang, gambir, kapur sirih, dan tembakau yang disuguhkan kepada tamu sebagai tanda perkenalan. Papuren ibale artinya sumpit sirih yang diberikan kepada laki-laki yang dulunya sebelum masuk ke rumah harus tinggal di balai, sedangkan untuk perempuan langsung kerumah (bages) (Berutu dan Berutu, 2002:16).

Daunnya yang tunggal berbentuk jantung, berujung runcing, tumbuh berselang-seling, bertangkai, dan mengeluarkan bau yang sedap bila diremas. Sirih digunakan sebagai tanaman obat, yang juga sangat berperan dalam kehidupan dan berbagai upacara adat berbagai suku pada masyarakat Indonesia.

Demikian juga pada masyarakat Jawa, sirih juga digunakan dalam upacara adat perkawinan, yaitu pada saat “balangan sadak/gantalan” yaitu acara lempar sirih antara pengantin pria dan pengantin wanita. Saat pengantin wanita keluar dari kamar hias, pengantin pria berjalan menjemputnya sambil melemparkan sirih kepada pengantin wanita, kemudian pengantin wanita ganti melempar sirih, kemudian sekali lagi pengantin pria melempar sirih, dan dibalas oleh pengantin wanita. Makna dari lempar sirih ini adalah mengungkapkan perasaan pria bahwa dia sangat mencintai wanita itu, begitu juga dengan pengantin wanita yang sangat

7


(24)

mencintai pengantin pria tersebut. Saat lemparan sirih yang kedua, itu bermakna ungkapan keinginan bersama satu tujuan (Wahjono, 2000:250-252).

Seperti halnya pada masyarakat Karo, salah satu wujud kebudayaan itu ditunjukkan dengan makan sirih (man belo). Sirih ataupun belo pada masyarakat Karo sangatlah penting sehingga dalam upacara perkawinan etnik Karo ada istilah “maba belo selambar”. Pada masa lampau “belo” atau sirih digunakan masyarakat Karo sebagai bahan obat-obatan dan digunakan dalam peradatan.8

1. Maba belo selambar, adalah upacara meminang gadis. Tujuannya adalah untuk menanyakan kesedian si gadis, orang tua, sembuyak, anak beru, dan yang lainnya atas pinangan tersebut. Dalam acara maba belo selambar ini diawali dengan penyerahan kampil persentabin yang isinya adalah peralatan merokok (rokok dan korek api),dan peralatan makan sirih seperti sirih, buah mayang (pinang), gambir, kapur sirih dan tembakau.

Pemakaian sirih dalam beberapa upacara adat dan ritual masyarakat Karo, yaitu seperti:

2. Erkiker, adalah suatu tradisi wanita karo untuk memotong gigi bagian depan dengan cara mengkikirnya. Tujuan dari erkiker ini adalah untuk memperindah wajah dan merapikan bentuk gigi. Alat yang diperlukan dalam acara ini adalah kiker (gergaji kecil), air untuk kumur-kumur, belo kinapor (sirih), baja (getah pohon baja yang dibakar dan ditampung di besi), kapas, dan tikar tempat tidur.

3. Kacip-kacipi, adalah upacara sunat tradisional karo, yang dilakukan kepada anak yang telah mencapai usia akil balik. Alat-alat yang diperlukan

8

Lihat dalam Darwan Prinst (1996:81-178). Adat Karo. Medan: Kongres Kebudayaan Karo.


(25)

adalah alat kacip-kacipi yaitu bamboo, benang sebagai pengikat, dan belo penurungi.

4. Mesur-mesuri, adalah upacara tujuh bulanan bagi seorang wanita yang sedang hamil. Mesur-mesuri sering juga disebut dengan maba manok mbur. Alat-alat yang diperlukan adalah pinggan pasu, uis teba, belo cawir, ayam, dan amak cur.

5. Maba anak ku lau, adalah upacara membawa anak ke pemandian (pancuran ataupun sungai) yang diadakan setelah anak berumur 4 atau 7 hari.peralatan yang diperlukan adalah pundang, abu dapur, upih (pelepah pinang), daun sukat (daun keladi), page penuhuren, belo penurungi, uis kapal dan uis teba.

6. Dan lain-lain

Seperti yang sudah diketahui revitalisasi berarti menghidupkan kembali. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya.9

Berdasarkan penelitian sementara, sirih dulunya hanya digunakan dalam adat (upacara adat) saja, dan yang memakan sirih pun hanya orang yang sudah tua atau nenek-nenek. Seiring perkembangan jaman yang memakan sirih pun berubah. Tidak hanya nenek-nenek tetapi perempuan yang baru menikah juga sudah makan sirih. Dalam upacara-upacara tradisional seperti pesta perkawinan dan acara adat orang meninggal sirih sudah masuk dalam anggaran pengeluaran Pengertian revitalisasi ini secara umum adalah usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali.


(26)

pesta tersebut. Sirih dan perlengkapannya dibagi-bagikan oleh anak beru dari yang melakukan pesta kepada orang-orang yang hadir di jambur atau balai desa tersebut dan bahkan tempat ludah ataupun “perciduren” sudah masuk menjadi peralatan yang dibutuhkan di jambur dan menjadi tanggungan si pemilik jambur.

Sekitar tahun 1990-an orang yang memakan sirih semakin banyak saja, tidak hanya wanita dewasa dan nenek-nenek, tetapi mulai dari anak yang belum sekolah sampai anak yang sudah kuliah sudah makan sirih, bahkan bagi sebagian orang sirih sudah menjadi kebutuhan pokoknya. Tidak hanya yang memakan sirih yang berubah, tetapi yang menjual sirih pun telah berubah. Dulu yang menjual sirih hanya orang-orang tertentu saja yang disebut orang Karo dengan “perbunga rampe” yaitu orang yang biasanya menjual keperluan untuk upacara-upacara tradisional, rempah-rempah,kembang tujuh rupa, obat tradisional dan lain sebagainya. Tetapi belakangan ini yang menjual sirih semakin banyak sehingga sirih sangat mudah untuk ditemukan. Seperti di pasar Kabanjahe di setiap gerbang masuk ke pasar tersebut banyak berjejer penjual sirih, begitu juga yang peneliti lihat di pasar Kwala, pasar Melati, simpang Simalingkar, Simpang Selayang, dan Sempakata banyak berjejer penjual sirih. Tidak hanya dipasar yang menjual sirih, di kedai-kedai kecil disekitar daerah Padang Bulan juga ada dijual sirih.

Penulis sangat tertarik untuk meneliti ini karena anak- anak usia kuliah yang kost di Medan, khususnya generasi muda Karo, banyak sekali yang memakan sirih dan sudah memiliki kampil (tempat sirih) sendiri seperti nenek-nenek. Penulis pernah melakukan observasi singkat di tempat orang yang menjual sirih di pasar Kwala Medan selama ±2 jam, penulis mendapatkan gambaran bahwa hampir 80% yang membeli sirih itu adalah anak gadis dan anak kuliah, hal


(27)

itu menimbulkan pertanyaan, seperti hal apakah yang membuat mereka memakan sirih? Hal inilah yang mendorong penulis ingin mengetahui lebih jauh tentang orang-orang yang makan sirih.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana man belo pada masyarakat Karo. Rumusan masalah akan diuraikan dalam beberapa pertanyaan dibawah ini antara lain:

1. Sebenarnya apa yang membuat gadis-gadis Karo makan sirih? 2. Apakah manfaat atau fungsi memakan sirih/menyirih?

3. Bagaimana cara masyarakat Karo menunjukkan identitasnya?

1.3. Lokasi Penelitian.

Penelitian ini dilakukan di seputaran Padang Bulan, Medan dengan spesifik lokasi berada di Kelurahan Titi Rantai. Masyarakat Karo diberbagai daerah banyak yang memakan sirih, tetapi daerah ini merupakan salah satu daerah yang banyak tinggal masyarakat Karo yang memakan sirih terlebih-lebih generasi muda khususnya wanita.

1.4. Tujuan Dan Manfaat penelitian

Tujuan dari penelitian ini pada hakekatnya adalah untuk mengkaji mengenai perumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, yakni bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan kehidupan generasi muda Karo yang


(28)

memakan sirih dalam proses menunjukkan atau mempertahankan identitas kelompoknya. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperkaya atau menambah khasanah Antropologi mengenai masyarakat Karo.

1.5. Tinjauan Pustaka

Masyarakat adalah pendukung suatu kebudayaan, baik itu masyarakat kota maupun masyarakat pedesaan. Dalam kenyataan hidup bermasyarakat kebudayaan mempunyai arti yang penting dalam mempengaruhi perilaku dan cara berpikir para anggotanya. Seorang ahli Antropologi, yaitu Ralph Linton mengemukakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerjasama, sehingga mereka dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Parsudi Suparlan 1983:2).

Di Indonesia terdapat sejumlah masyarakat etnis yang telah lama menumbuhkan, memelihara, dan mengembangkan tradisi mereka masing-masing. Dengan bahasa dan perangkat-perangkat sistem budaya lainnya, masing-masing suku bangsa berupaya menjaga identitas etnis mereka, sehingga eksistensi mereka sebagai suatu masyarakat etnis tetap berlangsung (Mursal Esten, 1993:15)

Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama.10

Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis.


(29)

Salah satu yang mendorong terbentuknya identitas etnik adalah kesamaan-kesamaan sesama anggota etnik yang terbentuk melalui kesamaan-kesamaan proses belajar, kesamaan pengalaman, dan kesamaan latar belakang, yang membuat mereka memiliki kesamaan adat dan perilaku.11

Salah satu suku minoritas yang berjuang untuk mendapatkan pengakuan pada sekitar tahun 80-an adalah suku yang mendiami bagian selatan pulau Kalimantan. Secara tradisional, sebagian besar etnik group yang mendiami wilayah pulau yang luas ini disebut orang luar sebagai suku Dayak. Sebagian besar anggota masyarakat di wilayah Kalimantan tengah menganut kepercayaan Kaharingan.

Mereka merasa bahwa mereka adalah kelompok yang berbeda dengan kelompok lain karena dalam satu kelompok memiliki kesamaan-kesamaan yang besar, baik dalam hal bahasa, kebiasaan, adat istiadat, dan sebagainya.

12

Menurut Laker (dalam Taylor dan Moghaddam, 1994) dalam keadaan dimana individu ataupun kelompok merasa identitasnya sebagai anggota suatu kelompok kurang berharga maka akan muncul fenomena misidentification, yaitu upaya mengidentifikasi pada identitas atau kelompok lain yang dipandang lebih baik .

Melalui kepercayaan inilah, masyarakat Dayak yang tersebar di beberapa wilayah terpencil bergabung dalam suatu komunitas dan pada saat melaksanakan ritual keagamaan, orang-orang ini membentuk suatu kelompok.

13

11

http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=21228&jenis=Etnik.

Fenomena ini misalnya ditemukan pada anak-anak kulit hitam di Amerika yang justru menganggap rendah kelompoknya sendiri dan lebih senang mengidentifikasi pada kelompok kulit putih.

12

http://www.lestariweb.com/Indonesia/Kalimantan_People_Dayak.htm


(30)

Menurut Phinney dan Alipora (1990) identitas etnik adalah sebuah konstruksi yang kompleks yang mengandung sebuah komitmen dan rasa kepemilikan pada kelompok etnik, evaluasi positif pada kelompok, berminat didalam dan berpengetahuan tentang kelompok, dan turut serta terlibat dalam aktivitas sosial kelompok. Identitas itu berkaitan dengan masa lalu dan aspirasi masa depan yang berhubungan dengan etnisitas.14

Identitas etnik seseorang tidak berhenti ketika orang ditasbihkan sebagai anggota etnik tertentu melalui bukti darah. Akan tetapi identitas itu terbentuk melalui sosialisasi dalam keluarga dan masyarakat lingkungannya. Seorang yang terlahir sebagai etnis Karo misalnya, tidak akan merasa memiliki identitas etnis Karo apabila tidak ada sosialisasi identitas terhadapnya. Konsep kelompok ras didasarkan pada persamaan cirri fisik, maka konsep kelompok etnik didasarkan pada persamaan kebudayaan. Francis (1947) mengklasifikasikan kelompok etnik sebagai suatu bentuk Gemeinschaft yaitu kehidupan bersama yang intim dan pribadi, suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir yang ditandai dengan persamaan warisan kebudayaan dan ikatan batin diantara anggotanya (Kamanto Sunarto, 2000:149).

Jadi, identitas etnik akan membuat seseorang memiliki harapan akan masa depan yang berkait dengan etnisnya.

Saat terjadinya konflik antar etnis di Kalimantan yang melibatkan etnis Dayak dan etnik Madura berakibat memperkuat identitas etnis lain di daerah tersebut.15

14

http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=21228&jenis=Etnik

Banyak bangunan-bangunan, baik toko, rumah, dan semacamnya diberi

15


(31)

label milik orang Bugis, milik orang Jawa, milik orang Minang dan sebagainya untuk menghindari sasaran penghancuran.

Man belo dalam penelitian ini maksudnya adalah bahwa masyarakat Karo ingin menunjukkan identitasnya ataupun mempertahankan identitasnya diantara suku-suku yang lain.16

Man belo selain sebagai suatu proses identitas sosial bagi generasi muda etnik Karo, juga sebagai suatu proses revitalisasi atau penguatan kembali nilai-nilai tradisi dalam kancah kehidupan yang kompleks, hal ini dikatakan Guyette sebagai :

Menurut kamus bahasa Indonesia, sirih adalah tumbuhan merambat di pohon lain, daunnya berasa agak pedas, dan biasa dikunyah bersama dengan pinang, kapur, dan gambir sebagai makanan yang dapat mengakibatkan ketagihan (kecanduan) dan sebagai penguat gigi.

“Cultural revitalization means making traditions a more vital part of community life. In this context cultural revitalization involves increasing the level of practice of tradition or recovering a tradition when it's practice has declined in recent years. Generally, members of a tribe or community must still retain adequate knowledge for cultural revitalization to occur . . . (1996).”

Secara bebas, pendapat Guyete tersebut menitikberatkan pada proses revitalisasi kebudayaan sebagai bagian penting dalam kehidupan komunitas. Revitalisasi juga dapat meningkatkan pemahaman terhadap nilai-nilai tradisi dalam kehidupan.

Wijayakusuma (1992) mengatakan bahwa sirih sudah dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sejak lama. Tanaman ini banyak ditanam orang di pekarangan, batangnya berwarna hijau kecokelatan, permukaan kulit 16


(32)

kasar dan berkerut-kerut, mempunyai nodule atau ruas yang besar sebagai tempat keluarnya akar.17

Daun sirih disamping untuk keperluan ramuan obat-obatan juga masih sering digunakan oleh ibu-ibu generasi tua untuk kelengkapan ‘nginang’ (Jawa). Biasanya kelengkapan untuk ‘nginang’ tersebut adalah daun sirih, kapur sirih, pinang, gambir, dan kapulaga. Begitu juga dengan masyarakat Karo, bahwa sirih tidak hanya digunakan sebagai keperluan ramuan obat saja, tetapi digunakan juga untuk ‘nginang’ yang disebut orang karo dengan man belo ataupun nontil. Biasanya kelengkapan nontil ini adalah sirih, kapur sirih, gambir, pinang dan tembakau.

Sirih tumbuh memanjat dan bersandar pada batang lain dan tingginya mencapai puluhan meter, daunnya tebal, tumbuh berseling, bertangkai, dan berbentuk jantung dengan ujung daun meruncing, sedangkan batang pohonnya berwarna hijau tembelek atau hijau agak kecoklatan dan akan mengeluarkan bau aromatik bila diremas. Makan sirih adalah bagian yang melengkapi struktur kebudayaan dan biasanya berkaitan erat dengan kebiasaan yang terdapat pada masyarakat di daerah tertentu yang dilakukan oleh berbagai suku di Indonesia seperti Karo, Batak, Simalungun, Aceh, Nias, Jawa, dan yang lain-lain.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hanindita Ratna Asti pada suku Bayan di Lombok Utara, daun sirih diibaratkan kulit manusia, membungkus tulang yang putih yaitu kapur, dan daging yang diwakili oleh buah pinang, kemudian menjadi air yang merah yang berarti darah.18

Daun sirih memiliki sifat alami sebagai antiseptik atau membunuh kuman. Mungkin pada zaman dahulu,

18


(33)

nyirih memang digunakan untuk membersihkan mulut sebelum mengenal sikat dan pasta gigi.

Nyirih atau memakan sirih juga berguna untuk mempererat hubungan antar pihak yang menyirih, demikian juga halnya dengan masyarakat Karo yang memakan sirih untuk mempererat hubungan satu sama lain serta sebagai tanda penghormatan atau tanda kesopanan bila memakan sirih bersama-sama.

1.6. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif.19

“A system of beliefs held in common by members of a collectivity…which is oriented to the evaluative integration of the collectivity, by interpretation of the empirical nature of the collectivity and of the situation in which it is placed, the processes by which it developed to its given state, the goals to which its members are collectively oriented, and their relation to the future course of events (dalam Clifford Geertz, 1973:251).”

Seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1989:29) mengatakan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi atau persebaran suatu gejala atau frekuensi hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lain. Untuk menguatkan penjelasan sebelumnya mengenai sistem simbol yang berlaku dalam hubungan-hubungan yang tercipta, Talcott Parson mengatakan :

“Suatu sistem dari kepercayaan disimpan umum oleh anggota dari suatu keseluruhan…yang mana hal sistem kepercayaan diorientasikan kepengintegrasian yang evaluatif dari keseluruhan, dengan penafsiran dari sifat empiris dari keseluruhan 19

Metodologi kualitatif didefenisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati ( bogdan dan Taylor, 1975:5 dalam Lexy J. Moleong, 2006:4).


(34)

tentang situasi dimana hal tersebut ditempatkan, proses pengembangan status yang diberi, keberhasilan bagi anggotanya yang mana adalah secara bersama- diorientasikan, dan hubungan mereka kepada kelakuan peristiwa yang masa depan.”

Sistem simbol yang didefinisikan diatas juga didukung oleh proses penggambaran mengenai kebudayaan yang menjadi tujuan penulisan ini, Goodenough mengatakannya sebagai :

“When I speak of describing a culture, then formulating a set of standards that will meet this critical test is what I have in mind. There are many other things, too, that we anthropologists wish to know and try to describe. We have often reffered to these other things as culture, also consequently (1970:101).”

“Ketika berbicara tentang menguraikan suatu budaya, kemudian merumuskan satu standar yang akan dihadapkan pada test kritis hal ini bertujuan sebagai proses dari menguraikan suatu budaya. Ada banyak hal lain, juga yang terkait dengan hal tersebut, maka kita sebagai antropolog ingin mengetahui dan berusaha untuk menguraikan budaya tersebut. Kita sering masuk ke berbagai hal lain dari perihal budaya, hal ini merupakan konsekwensi dari menguraikan suatu budaya.”

Adapun teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian dalam pencarian data-data di lapangan anatara lain:

1. Teknik Observasi

Teknik observasi ini dilakukan peneliti untuk mengamati dan melihat secara langsung dengan dekat kehidupan generasi muda (laki-laki dan wanita) masyarakat Karo yang memakan sirih yang ada di Kelurahan Titi Rante, Medan.20

20

Observasi atau pengamatan berguna untuk mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan dan sebagainya. Pengamatan memungkinkan peneliti untuk melihat dunia sebagaimana yang dilihat oleh subjek penelitian, hidup pada saat itu; pengamatan memungkinkan peneliti merasakan apa yang dirasakan subjek sehingga memungkinkan juga peneliti sebagai sumber data; pengamatan memungkinkan pembentukan pengetahuan yang diketahui bersama, baik dari pihaknya maupun dari pihak subjek (Moleong 2000:126).


(35)

menjalin kerjasama yang baik dengan para informannya. Untuk mengumpulkan data yang akurat, peneliti akan tinggal di lingkungan orang yang memakan sirih dan ditempat penjual sirih.Untuk membantu peneliti dalam data lebih kongkrit, peneliti akan mendokumentasikannya menggunakan alat berupa kamera.

2. Tehnik Wawancara

Tehnik wawancara merupakan salah satu bagian terpenting dalam penelitian ini. Wawancara yang akan dilakukan adalah wawancara mendalam atau depth interview dan wawancara bebas, dimana pertanyaan akan difokuskan kepada pertanyaan penelitian yang sebelumnya telah disusun ke dalam daftar interview guide dengan tujuan agar pertanyaan yang disampaikan tetap fokus pada perumusan masalah. Wawancara mendalam juga dilakukan untuk memperoleh data tentang bagaimana proses makan sirih, apa alasan mereka memakan sirih, bagaimana cara hidup (life style) mereka, dan lain sebagainya.

Dalam penelitian ini, informannya terbagi dalam tiga bagian, yaitu : informan pangkal, informan kunci, dan informan biasa. Dalam penelitian ini yang menjadi informan pangkal adalah anak muda yang melakukan kegiatan menyirih, sedangkan untuk informan kunci adalah informan yang mengetahui mengenai masalah yang diteliti yaitu individu yang memakan sirih tersebut dan untuk menambah data penelitian, pengetua dan tokoh adat etnik Karo juga menjadi informan kunci penelitian, hal ini untuk memberikan gambaran mengenai penggunaan sirih pada masyarakat Karo pada waktu lalu dan sejarahnya. Informan biasa adalah orang atau masyarakat yang dimintai informasi untuk melengkapi data yang ada. Informannya adalah masyarakat dan generasi muda Karo di kelurahan Titi Rantai, Medan.


(36)

Informan kunci penelitian yang difokuskan pada anak muda merupakan suatu kategorisasi yang terikat pada tingkat umur 18–24 Tahun atau generasi muda yang mengenyam pendidikan perguruan tinggi, selain itu anak muda yang menjadi informan kunci juga terfokus pada kaum wanita dalam rentang usia 18-24 Tahun, walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk memasukkan kaum laki-laki dalam rentang usia 18-24 Tahun sebagai informan penelitian. Namun dalam penelitian ini kaum laki-laki termasuk dalam kategori informan biasa.

Dalam kegiatan wawancara, jika memang memungkinkan dan disetujui oleh informan, peneliti akan menggunakan “tape recorder” (alat perekam) dan catatan lapangan untuk mempermudah penyimpanan semua informasi yang diberikan oleh informan. Selain itu, peneliti juga akan menggunakan panduan wawancara yang telah disusun sebelum melakukan penelitian lapangan yang secara umum berisi tentang hal-hal yang ada dalam masalah penelitian, antara lain, bagaimana anda menjalin hubungan dengan masyarakat yang berbeda suku dengan anda, menurut pengetahuan dan pengertian anda apa yang melatarbelakangi masyarakat memilih makan sirih, dan lain sebagainya.

Untuk melengkapi dan menyempurnakan data yang diperoleh dari hasil observasi, dan wawancara, peneliti juga akan mencari data yang berkaitan dengan masalah identitas kelompok khususnya yang didapat dari koran, buku, majalah, jurnal, artikel, skripsi dan lainnya.

1.7. Analisis Data

Analisis merupakan proses mengatur urutkan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar (Patton dalam moleong,


(37)

2002: 103). Data yang didapatkan akan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan ilmu Antropologi sebagai tolak ukurnya. Data yang terkumpul yang berasal dari wawancara dengan informan serta hasil observasi akan diperiksa kembali kelengkapannya, apakah semua data sudah lengkap dan dapat menjawab pertanyaan penelitian. Langkah selanjutnya adalah mengkategorikan data tersebut berdasarkan fokus pertanyaan penelitian, kemudian diurutkan hingga menjadi suatu susunan atau rangkaian yang saling berhubungan dan sistematis. Kemudian hasil analisis akan disusun sedemikin rupa sehingga layak disebut sebagai suatu karya ilmiah. Terakhir adalah membuat kesimpulan yang berisi inti atau rangkuman.


(38)

BAB II

LETAK DAN LOKASI PENELITIAN

Dalam suatu penelitian yang dilakukan, perlu diketahui letak dan lokasi penelitian sehingga terdapat hubungan yang jelas diantara objek yang diteliti dengan kondisi lingkungan dimana objek tersebut berinteraksi atau berhubungan.

Penelitian yang dilakukan ini terletak di Kelurahan Titi Rantai, Kecamatan Medan Baru, Kotamadya Medan, tepatnya di lingkungan 1, lingkungan 2 dan lingkungan 3 Kelurahan Titi Rantai. Sebagai gambaran umum letak dan lokasi penelitian, maka akan dijelaskan sebagai berikut.

2.1. Gambaran Umum

Kelurahan Titi Rantai yang menjadi lokasi penelitian berada dibawah wewenang Kecamatan Medan Baru, adapun letak lokasi penelitian di Kelurahan Titi Rantai terdapat di lingkungan 1 , lingkungan 2 dan lingkungan 3.

Kelurahan Titi Rantai berada di kawasan Padang Bulan, Medan yang berdekatan dengan Universitas Sumatera Utara. Kedekatan ini menyebabkan Kelurahan Titi Rantai menjadi wilayah tempat tinggal (sementara) bagi mahasiswa yang menimba ilmu di Universitas Sumatera Utara. Selain itu Kelurahan Titi Rantai termasuk dalam lingkup kehidupan kota yang kompleks dengan beragam bentuk kehidupan dan suku yang berdiam di wilayah tersebut. Keberagaman bentuk kehidupan dan suku tersebut menjadi aspek yang menarik dalam penelitian ini.


(39)

2.2. Batas Wilayah

Luas Kelurahan Titi Rantai adalah 106 Ha dan terbagi menjadi 10 lingkungan yang tersebar, adapun batas wilayah Kelurahan Titi Rantai, adalah :

Utara : Kelurahan Padang Bulan

Selatan : Kelurahan Beringin, Kecamatan Medan Selayang Barat : Kelurahan PB. Selayang II Kecamatan Medan Selayang Timur : Kelurahan Polonia, Kecamatan Medan Polonia

Berdasarkan batas wilayah tersebut, Kelurahan Titi Rantai merupakan daerah yang diapit oleh dua Kecamatan, yaitu Kecamatan Medan Selayang dan Medan Polonia.

Peta Lokasi Penelitian


(40)

2.3. Jumlah Penduduk

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kelurahan Titi Rantai, jumlah penduduk yang tersebar di 10 lingkungan adalah 12.008 Jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 5.346 Jiwa dan perempuan sebanyak 6.662 Jiwa. Perbandingan antara data kependudukan Kelurahan tahun 2011 dan 2008 menunjukkan berkurangnya jumlah penduduk Kelurahan Titi Rantai

Tabel Jumlah Penduduk Kelurahan Titi Rantai/2011

Penduduk Jumlah

Laki-laki 5.346 Jiwa

Perempuan 6.662 Jiwa

Jumlah 12.008 Jiwa Data diolah oleh Penulis

(Sumber : Kelurahan Titi Rantai, November 2011)

Tabel Jumlah Penduduk Kelurahan Titi Rantai/2008

Penduduk Jumlah

Laki-laki 5.779 Jiwa

Perempuan 5.877 Jiwa

Jumlah 11.656 Jiwa Data diolah oleh Penulis

(Sumber : Kecamatan Medan Baru dalam angka, 2008)

Tabel Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

Agama Jumlah

Islam 850 Jiwa

Kristen Protestan 750 Jiwa

Kristen Katolik 650 Jiwa

Hindu 298 Jiwa

Budha 675 Jiwa

Data diolah oleh Penulis


(41)

Tabel Penduduk Berdasarkan Suku

Suku Jumlah

Jawa 701 Jiwa

Batak 8507 Jiwa

Mandailing 87 Jiwa

Minang 132 Jiwa

Dan lain lain 2153 Jiwa

Data diolah oleh Penulis

(Sumber : Kecamatan Medan Baru dalam angka, 2008)

Tabel Mata Pencaharian

Mata Pencaharian Jumlah

Pegawai Negeri Sipil 836 Jiwa

Swasta 540 Jiwa

TNI/Polri 96 Jiwa

Petani 54 Jiwa

Pedagang 393 Jiwa

Pensiunan 158 Jiwa

Data diolah oleh Penulis

(Sumber : Kecamatan Medan Baru dalam angka, 2008)

Tabel Sarana Ibadah

Sarana Ibadah Jumlah

Mesjid 3 Unit

Langgar 1 Unit

Gereja 6 Unit

Data diolah oleh Penulis

(Sumber : Kecamatan Medan Baru dalam angka, 2008)

2.4. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, lokasi penelitian terdapat di lingkungan 1, lingkungan 2 dan lingkungan 3 Kelurahan Titi Rantai. Pemilihan lokasi ini didasarkan karena terdapat kelompok-kelompok individu berlatar belakang etnik Karo yang melakukan kegiatan man belo atau menyirih yang menjadi fokus penelitian.


(42)

2.4.1. Lingkungan 1

Jumlah penduduk lingkungan 1 Kelurahan Titi Rantai berjumlah 677 Jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 328 Jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 349 Jiwa. Data ini diperoleh dari Kepala Lingkungan 1 Kelurahan Titi Rantai, yaitu Bapak Rela Perangin-angin.

Komposisi masyarakat berdasarkan etnik di lingkungan 1 tersebar pada beberapa etnik, yaitu :

Tabel

Persentase jumlah penduduk lingkungan 1

Suku Jumlah

Karo 40.00%

Jawa 20.00%

Toba 20.00%

Campuran 20.00%

Jumlah 100.00%

Data diolah oleh Penulis

(sumber : Kepala Lingkungan 1 Kelurahan Titi Rantai, November 2011)

Berdasarkan persentase jumlah penduduk lingkungan 1 Kelurahan Titi Rantai, tingkat pendidikan di lingkungan 1 didominasi oleh lulusan perguruan tinggi (PT) dan kemudian tingkat pendidikan sekolah menengah atas (SMA). Sebaran tingkat pendidikan ini memberi gambaran singkat tingkat perolehan pendidikan di lingkungan 1 Kelurahan Titi Rantai.

2.4.2. Lingkungan 2

Jumlah penduduk lingkungan 2 Kelurahan Titi Rantai sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Lingkungan 2 Kelurahan Titi Rantai Bapak Darisno Bangun adalah 115 kepala keluarga (KK) dengan perincian 242 laki-laki dan 222 perempuan. Pada kenyataannya jumlah penduduk di lingkungan 2 melebihi dari


(43)

jumlah yang dijelaskan, hal ini dikarenakan penduduk yang merupakan anak kost tidak termasuk dalam proses pendataan penduduk.

Etnik Karo adalah etnik mayoritas dalam komposisi penduduk lingkungan 2 Kelurahan Titi Rantai, dengan dominasi mata pencaharian sebagai pegawai swasta dan pegawai negeri sipil (PNS) dan dengan persebaran agama, Kristen sebanyak 74 kepala keluarga, Katolik 3 kepala keluarga dan Islam sebanyak 8 kepala keluarga.

Tingkat pendidikan di lingkungan 2 Kelurahan Titi Rantai didominasi tingkat pendidikan perguruan tinggi dan tingkat pendidikan terendah adalah tamatan sekolah dasar.

Kawasan lingkungan 2 terdapat dua fasilitas ibadah, yaitu 1 Gereja GKPS dan 1 Mesjid, selain itu terdapat taman kanak-kanak (TK) yang difasilitasi oleh pengurus Mesjid. Selain itu terdapat 1 kantor Koramil (komando rayon militer) dan 1 unit panti asuhan.

2.4.3. Lingkungan 3

Daerah lingkungan 3 Kelurahan Titi Rantai dipimpin oleh Mitra Perangin-angin sebagai kepala lingkungan, kawasan lingkungan 3 Kelurahan Titi Rantai mencakup beberapa fasilitas penting, yaitu bank, fasilitas ibadah Gereja GBKP, sekolah dasar negeri dan kantor Kecamatan Medan Baru.

Penduduk lingkungan 3 Kelurahan Titi Rantai berdasarkan mata pencaharian, didominasi kegiatan wiraswasta dan sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Etnik mayoritas yang menjadi masyarakat lingkungan 3 adalah etnik Karo sebanyak 70%, kemudian Batak sebanyak 20% dan lainnya sebanyak 10%.


(44)

2.5. Suku Karo

Penelitian yang dilakukan menitikberatkan perhatian pada kegiatan man belo atau menyirih yang dilakukan oleh generasi muda suku Karo, untuk mendapatkan gambaran awal mengenai kegiatan tersebut maka diperlukan deskripsi singkat mengenai sejarah asal-muasal suku Karo agar terdapat korelasi yang erat antara suku Karo dan kegiatan man belo dalam kerangka berfikir suku Karo.

Berbicara mengenai bagaimana dan dari mana sebenarnya asal mula terbentuknya suku Karo, hingga saat ini kelihatannya masih perlu dikaji lebih dalam. Banyak pendapat yang disampaikan oleh para ahli dan tokoh, tetapi masih dalam perkiraan menurut legenda dan silsilah cerita lisan.

Di dalam buku Leluhur, Marga-marga Batak Dalam Sejarah, Silsilah dan Legenda, Drs. Richard Sinaga menulis bahwa semua etnis Batak berasal dari keturunan si Raja Batak yang merupakan cikal-bakal suku Batak dan kemudian berkembang menjadi suku Batak dan kemudian berkembang menjadi sub etnis, yaitu: Toba, Karo, Mandailing, Simalungun, Pakpak dan Angkola, bahkan etnis Nias juga disebut-sebut memiliki keterkaitan dengan Batak, sekalipun bahasa suku Nias sangat jauh berbeda dari bahasa etnis batak lainnya.

Menurut silsilahnya, si Raja Batak memiliki tiga orang anak yakni Guru Tateambulan, Raja Isumbaon, dan Toga Laut. Dari Guru Tateambulan kemudian pada generasi IV lahir keturunannya yang merupakan lima induk marga Batak Toba yakni: Lontung, Borbor, Naiambaton, Nairasaon, dan Naisuanon. Sedangkan dari Raja Isumbaon lahir tiga orang keturunannya yakni: Tuan Sorimangaraja, Raja Asi-asi, dan Sangkar Somalindang. Konon dua orang anak


(45)

laki-laki Raja Isumbaon yaitu Raja Asi-asi dan Sangkar Somalindang pergi merantau ke Dairi dan kemudian ke Tanah Karo. Diperkirakan salah satu dari mereka atau salah satu dari generasi mereka itulah bernama Nini Karo yangmenjadi leluhur Batak Karo. Tetapi tidak disebutkan dari generasi keberapa Nini Karo lahir.

Sementara itu, Bapak Kol. (Purn) Sempa Sitepu dalam buku Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia menuliskan secara tegas etnis Karo bukan berasal dari si Raja Batak. Ia mengemukakan silsilah etnis Karo yang diperoleh dari cerita lisan secara turun temurun dan sampai kepada beliau yang didengar sendiri dari kakeknya yang lahir sekitar tahun 1838. Menurutnya, leluhur etnis Karo berasal dari India Selatan berbatasan dengan Myanmar. Seorang Maha Raja berangkat dengan rombongan yang terdiri dari anak, istri (dayang-dayang), pengawal, prajurit, beserta harta dan hewan peliharaannya. Ia bermaksud mencari tempat baru yang subur dan mendirikan kerajaan baru. Tidak disebutkan kapan peristiwa itu terjadi, namun dikatakan seorang pengawalnya yang sakti bernama si Karo, yang kemudian kawin dengan salah satu putri Maha Raja yang bernama Miansari. Didalam perjalanan mereka diterpa angin ribut dan rombongan ini menjadi terpencar dan akibatnya ada yang terdampar dipulau (Berhala). Dalam peristiwa itulah si Karo dan Miansari berpisah dari rombongan yang terdiri dari tujuh orang. Menggunakan rakit kemudian rombongann sampai disebuah pulau yang diberi nama “Perbulawanen” yang berarti “perjuangan” yang sekarang dikenal sebagai daerah Belawan. Dari sana mereka terus menelusuri sungai Deli dan Babura dan akhirnya sampai disebuah gua Umang di Sembahe. Setelah beberapa waktu mereka tinggal didataran tinggi itu dan merasa cocok akhirnya


(46)

mereka memutuskan untuk tinggal disana. Dan dari sanalah asal mula perkampungan didataran tinggi Karo.Dari perkawinan si Karo (nenek moyang Karo) dengan Miansari lahir tujuh orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya perempuan, yaitu: Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya lahir anak ketujuh seorang laki-laki diberi nama Meherga yang berarti berharga atau mehaga (penting) sebagai penerus. Dari sanalah akhirnya lahir Merga bagi orang Karo yang berasal dari ayah (patrilineal) sedangkan bagi anak perempuan disebut Beru berasal dari kata diberu yang berarti perempuan.

Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama Cimata. Tarlon merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini Karo). Dari Merga dan Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki yang namanya merupakan lima induk merga etnis Karo, yaitu:

• Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo) telah tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama leluhurnya tidak hilang.

• Ginting, anak kedua.

Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan yang paling hitam diantara saudaranya.

Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir angin berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung).


(47)

Pada perkembangannya, keturunan merga membentuk sub-sub merga yang baru sehingga terdapat banyak merga-merga pada etnis Karo. Sub-sub merga ini berkembang akibat migrasinya para keturunan Nini Karo kedaerah lain, sebab kampung mula-mula semakin lama semakin padat, dan akibat terjadi perkawinan dengan etnis lain dari daerah lain.

2.5.1. Sistem Kekerabatan Karo

Setiap masyarakat memiliki suatu sistem kemasyarakatan yang mana sistem tersebut berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat tersebut. Tatanan kehidupan bermasyarakat didalam masyarakat Karo yang paling utama adalah suatu sistem yang dikenal dengan Merga Silima. Merga berasal dari kata meherga (mahal), merga ini menunjukkan identitas dan sekaligus penentuan sistem kekerabatan orang Karo. Menurut keputusan Kongres Budaya Karo tahun 1995 di


(48)

Berastagi, salah satu keputusan yang diambil adalah merga-merga yang terdapat dalam Merga Silima adalah: Ginting, Karo-karo, Tarigan, Sembiring, dan Perangin-angin.

Sementara Sub Merga dipakai dibelakang Merga, sehingga tidak terjadi kerancuan mengenai pemakaian Merga dan Sub Merga tersebut. Berikut akan disajikan Merga dan pembagiannya21

1. Ginting: Pase, Munthe, Manik, Sinusinga, Seragih, Sini Suka, Babo, Sugihen, Guru Patih, Suka, Beras, Bukit, Garamat, Ajar Tambun, Jadi Bata, Jawak, Tumangger, Capah.

:

2. Karo-karo: Purba, Ketaren, Sinukaban, Karo-karo Sekali, Sinuraya/ Sinuhaji, Jong/ Kemit, Samura, Bukit, Sinulingga, Kaban, Kacaribu, Surbakti, Sitepu, Barus, Manik.

3. Tarigan: Tua, Bondong, Jampang, Gersang, Cingkes, Gana- gana, Peken, Tambak, Purba, Sibero, Silangit, Kerendam, Tegur, Tambun, Sahing. 4. Sembiring:Kembaren, Keloko, Sinulaki, Sinupayung, Brahmana, Guru

Kinayan, Colia, Muham, Pandia, Keling, Depari, Bunuaji, Milala, Pelawi, Sinukapor, Tekang.

5. Perangin-angin:Sukatendel, Kuta Buloh, Jombor Beringen, Jenabun, Kacinambun, Peranginangin Bangun, Keliat, Beliter, Mano, Pinem, Sebayang, Laksa, Penggarun, Uwir, Sinurat, Pincawan, Singarimbun, Limbeng, Prasi.

Dalam perkembangan lebih lanjut, maka merga itu berperan dalam menentukan hubungan kekerabatan antara masyarakat Karo. Garis keturunan yang

21


(49)

berlaku pada masyarakat Karo adalah Patrilineal (garis keturunan ayah). Oleh karena itu setiap orang Karo, pria maupun wanita mempunyai merga menurut merga ayahnya sedangkan untuk perempuan merga ayah ini disebut beru. Bagi masyarakat Karo, hubungan garis keturunan ini dikenal dengan sebutan tutur. Tutur adalah penarikan garis keturunan (lineage) baik dari keturunan ayah (patrilineal) maupun dari garis keturunan ibu (matrilineal) yang memiliki enam lapis, seperti yang terlihat dalam bagan berikut.

Bagan Sistem Kekerabatan Pada Masyarakat Karo dikutip dari buku : Adat Karo, Hal 15,Darwan Prinst.

Keterangan : O = Pria X = Wanita


(50)

Penjelasan :

Merga/ Beru adalah nama keluarga yang diberikan (diwariskan) bagi seseorang dari nama keluarga ayahnya secara turun temurun khususnya anak laki-laki. Sedangkan bagi anak perempuan merga ayahnya tidak diwariskan bagi anaknya kemudian. Merga/ Beru anaknya berasal dari nama keluarga suaminya kelak.

1. Bere-bere adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari beru ibunya. 2. Binuang adalah nama keluarga yang diwarisi seorang suku Karo dari bere-

bere ayahnya. Dengan kata lain binuang merupakan beru dari nenek (orang tua ayah).

3. Kempu (perkempun) adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari bere-bere ibu. Dengan kata lain kempu (perkempun) berasal dari beru nenek (ibu dari ibu) yang dikenal juga sebagai Puang Kalimbubu dalam peradatan dalam masyarakat Karo.

4. Kampah adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang yang berasal dari beru yang dimiliki oleh nenek buyut (nenek dari ayah).

5. Soler adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang beru empong (nenek dari ibu).

Dewasa ini dalam pergaulan sehari-hari yang umum dipergunakan biasanya hingga lapis kedua yaitu bere-bere. Sedangkan untuk lapisan tiga hingga enam biasa diperlukan dalam suatu upacara adat seperti perkawinan, masuk rumah baru, atau pada peristiwa kematian dan acara adat lainnya.


(51)

Setelah sistem kekerabatan dapat ditentukan dengan seorang Karo lainnya melalui ertutur ini, maka jalinan hubungan kekerabatan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga ikatan yang dikenal dengan istilah Rakut Si Telu (ikatan yang tiga).

Suku Karo adalah suku yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas.

Dalam buku Adat Karo, Darwan Prints menjelaskan sejarah etnis Karo dengan membaginya dalam 3 zaman yaitu Pra sejarah, zaman Hindu-Budha dan kerajaan Haru. Namun kelompok hanya akan memaparkan jaman Pra sejarah dan Hindu Budha, karena untuk keberadaan kerajaan Haru masih menjadi diskusi kapankah kerajaan ini muncul.

Etnis Karo merupakan percampuran dari ras Proto Melayu dengan ras Negroid (negrito). Percampuran ini disebut umang. Hal ini terungkap dalam legenda Raja Aji Nembah yang menikah dengan putri umang. Umang tinggal


(52)

dalam gua dan sampai sekarang masih dapat dilihat bekas-bekas kehidupan umang di beberapa tempat. Pada abad 1 Masehi terjadi migrasi orang India Selatan yang beragama Hindu ke Indonesia termasuk ke Sumatera. Mereka memperkenalkan aksara Sansekerta dan Pallawa dan agama Hindu. Pengaruh mereka masih tampak dalam kepercayaan Karo. Beberapa diantaranya adalah Perwujudan Tuhan dalam tiga bentuk. Pada abad ke 5 M terjadi pula gelombang migrasi india yang memperkenalkan agama Budha dan tulisan Nagari. TL. Sinar menyatakan bahwa Tulisan Nagari akan menjadi cikal aksara Batak, Melayu, dan Jawa kuno .

Dari sejarah ini diketahui bahwa suku Karo berasal dari percampuran proto Melayu dan Negroid yang kemudian disebut umang. Suku Karo mengalami banyak gelombang migrasi. Yang pertama adalah migrasi India-Hindu yang menganut agama Hindu dan gelombang kedua adalah India-Budha yang memperkenalkan agama Budha. Maka tidak heran bila sistem kepercayaan dan sistem masyarakat dipengaruhi oleh Hindu dan Budha.

2.5.2. Gambaran Sistem Kepercayaan

Sebelum kedatangan penjajah Tanah Karo sudah memiliki tingkat peradaban yang cukup tinggi, hal ini terbukti dari :

− Adanya kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa − Mempunyai aksara atau tulisan sendiri,

− Mempunyai bahasa sendiri

− Menghasilkan karya seni dari Emas dan Perak − Memiliki adat-istiadat sendiri


(53)

Namun penjajah datang dan melihat bahwa suku Karo merupakan suku bangsa primitif dan seolah mau memanusiakan mereka dari kegelapan. Sebutan Perbegu diberikan penjajah melalui gereja, kepada orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat Karo sendiri tidak memberi nama apapun terhadap kepercayaannya itu. Padahal, perbegu itu dimaknai sebagai orang yang percaya/memiliki setan. Stigma suku Karo yang adalah perbegu juga menjadi patokan dasar misi Islam. Banyak yang tidak setuju dengan penamaan perbegu yang diberikan penjajah. Pada tahun 1946 masyarakat Karo melalui ketua adatnya memberikan nama Agama Pemena kepada sistem kepercayaan itu, pergantian dilakukan setelah 1 tahun Indonesia merdeka dari penjajah.

Etnis Karo percaya kepada :

1. Dibata Datas, Dibata Datas disebut juga Guru Batara, yang memiliki kekuasaan dunia atas (angkasa).

2. Dibata Tengah, Dibata Tengah disebut juga Tuhan Padukah ni Aji, Dibata inilah yang menguasai dan memerintah di bagian dunia kita ini.

3. Dibata Teruh, Dibata Teruh juga disebut Tuhan Banua Koling. Dibata inilah yang memerintah di bumi bagian bawah bumi.

Selain itu, ada dua unsur kekuatan yang diyakini yaitu sinar mataniari (sinar matahari) dan si Beru Dayang. Sinar Mataniari inilah yang memberi penerangan. Tempatnya ada di matahari terbit dan matahari terbenam. Dia mengikuti perjalanan matahari dan menjadi penghubung antara ketiga Dibata. Siberu dayang adalah seorang perempuan yang bertempat tinggal dibulan. Si beru


(54)

dayang sering kelihatan pada pelangi. Ia bertugas membuat dunia tengah tetap kuat dan tidak diterbangkan angin topan.

Manusia dalam kepercayaan masyarakat Karo terdiri dari : 1. Tendi (jiwa)

2. Begu (Roh orang yang sudah meninggal, Hantu) 3. Tubuh

Ketika seseorang meninggal maka tendi akan hilang dan tubuhnya akan hancur namun begu tetap ada. Tendi dengan aku seseorang merupakan kesatuan yang utuh. Ketika tendi berpisah dari aku maka seseorang akan sakit. Pengobatan dilakukan dengan mengadakan pemanggilan tendi. Jika tendi tidak kembali maka yang terjadi adalah kematian.

Terkait dengan Dibata, Bagi mereka Dibata adalah tendi (jiwa) yang dapat hadir di mana saja, kekuasaannya meliputi segalanya dan dianggap sebagai sumber segalanya. Hal ini sesuai dengan keyakinan orang-orang Karo yang sangat dekat dengan suatu bentuk kepercayaan atau keyakinan terhadap tendi, yaitu suatu kehidupan jiwa yang keberadaannya dibayangkan sama dengan roh-roh gaib.

Orang Karo meyakini bahwa alam semesta diisi oleh sekumpulan tendi. Setiap titik dalam "kosmos" mengandung tendi. Kesatuan dari keseluruhan tendi yang mencakup segalanya ini disebut Dibata, sebagai kesatuan totalitas dari "kosmos" (alam semesta). Setiap manusia dianggap sebagai "mikro-kosmos" (semesta kecil) yang merupakan kesatuan bersama dari kula (tubuh), tendi (jiwa), pusuh peraten (perasaan), kesah (nafas), dan ukur (pikiran). Setiap bagian berhubungan satu sama lain. Kesatuan ini disebut sebagai `keseimbangan dalam manusia'. Hubungan yang kacau atau tidak beres antara satu sama lain dapat


(55)

menyebabkan berbagai bentuk kerugian seperti sakit, malapetaka, dan akhirnya kematian

Secara horizontal, alam semesta dibagi ke dalam delapan penjuru mata angin: purba (timur), aguni (tenggara), daksina (selatan), nariti (barat daya), pustima (barat), mangabia (barat laut), butara (utara), irisen (timur laut). Penjuru mata angin ini disebut desa si waluh (delapan arah), berasal dari kata desa yang berarti arah dan si waluh yang berarti delapan. Penjuru mata angin ini dapat dibedakan atas dua sifat yang berbeda, yaitu desa ngeluh (arah hidup) dan desa mate (arah mati). Desa-desa yang digolongkan sebagai arah hidup adalah; timur, selatan, barat dan utara. Selain itu digolongkan sebagai arah mati. Penggolongan kepada arah hidup dan arah mati didasarkan kepada pemikiran bahwa desa-desa timur, selatan, barat dan utara dikuasai oleh roh penolong yang memberikan kebahagiaan kepada manusia. Sebaliknya pada arah mati terdapat mahluk-mahluk gaib yang jahat dan suka mencelakakan manusia. Sesuai dengan dengan pendapat dan pemikiran ini, posisi arah rumah dan areal pemakaman penduduk suatu desa (Desa Kidupen) mengikuti arah hidup. Posisi rumah pribadi mayoritas menghadap ke arah utara dan selatan. Sedangkan posisi rumah-rumah adat mayoritas menghadap ke arah timur dan barat. Sementara itu, areal persawahan dan perladangan mayoritas di arah utara, selatan dan barat.

Orang Karo meyakini bahwa alam sekitar diri manusia sendiri dianggap sebagai "makro-kosmos". Alam sekitar ini digolongkan ke dalam beberapa inti kehidupan yang masing-masing dikuasai oleh nini beraspati (nini = nenek), yaitu; 1. beraspati taneh (inti kehidupan tanah)


(56)

3. beraspati kerangen (inti kehidupan hutan), 4. beraspati kabang (inti kehidupan udara).

Dalam ornamen Karo, nini beraspati ini dilambangkan dengan gambar cecak putih (disebut perenget-renget) yang dianggap sebagai pelindung manusia. Beraspati, oleh penganut pemena atau guru khususnya dibagi lagi ke dalam beberapa jenis lingkungan alam atau tempat dan keadaan. Beraspati lau (inti kehidupan air) misalnya, dibedakan lagi atas sampuren (air terjun), lau sirang (sungai yang bercabang), tapin (tempat mandi di sungai) dan lain-lain. Beraspati rumah (inti kehidupan rumah) dibagi lagi atas bubungen (bubungan), pintun (pintu), redan (tangga), palas (palas), daliken (tungku dapur), para (tempat menyimpan alat-alat masakdi atas tungku dapur) dan lain-lain. Beraspati taneh dibedakan atas kerangan (hutan), deleng (gunung), uruk (bukit), kendit (tanah datar), embang (jurang), lingling (tebing), mbal-mbal (padang rumput). Ini yang menjadi dasar setiap guru di Karo akan selalu mengadakan persentabin (mohon ijin) kepada nini beraspati sebelum melakukan upacara ritual, tergantung dalam konteks mana upacara akan dilakukan, apakah kepada beraspati taneh, beraspati air, beraspati kerangen atau beraspati kabang dan kadang-kadang para guru menggabungkan beberapa beraspati yang dianggap penting dapat membantu kesuksesan suatu upacara ritual yang mereka adakan dalam praktek hidup sehari-hari.


(57)

BAB III MAN BELO

3.1. Sejarah Menyirih

Dalam masyarakat karo dikenal dikenal dengan makan sirih atau bahasa karo disebut dengan man belo Hal semacam ini sudah menjadi tradisi bagi mereka. Unsur-unsur yang terdapat didalamnya yaitu terdiri atas daun sirih, pinang, kapur sirih, gambir dan tembakau.

Kegiatan menyirih atau man belo tidak hanya orang tua saja tapi hal ini juga banyak digemari oleh kaum muda. Makan sirih atau man belo memiliki sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif yaitu dapat membuat gigi menjadi lebih kuat dan tidak gampang rapuh atau retak dan dapat mengobati sakit gigi. Sisi negatif yaitu dapat membuat seseorang menjadi ketagihan atau kecanduan.

Tulisan Said (1987:1) menceritakan mengenai simbol dari menyirih berikut dengan bahan-bahan yang dipergunakan, bahan-bahan dalam menyirih juga dilekati berbagai makna yang ditilik dari sifat masing-masing bahan. Sirih, misalnya, dianggap mengajarkan sifat rendah diri dan memuliakan orang lain lantaran pohonnya bersifat memanjat, memerlukan sandaran pohon atau tempat lain, tetapi tidak sampai merusak sandarannya. Pohon pinang dianggap melambangkan keturunan orang baik-baik, tinggi secara adat dan lurus dalam budi pekerti, seperti penampilan pohonnya yang menjulang ke atas. Kapur yang putih dianggap mewakili niat hati bersih. Gambir yang pahit menandakan hati yang tabah menahan penderitaan. Sedangkan tembakau yang pahit juga dianggap mencerminkan sifat tabah dan rela berkorban untuk orang lain (Said, 1987:1).


(58)

Gambaran dari Reid ( 1985:529-530) mengenai kebiasaan menyirih yang dipraktekkan di Nusaantara atau Indonesia mengatakan bahwa kebiasaan menyirih sendiri menurut perkiraan Anthony Reid dimulai sudah sejak lama. Buah pinang misalnya, yang dalam catatan para musafir Cina disebut pin-lang, konon telah dikonsumsi sebagai bagian dari bersirih pinang (betel-chewing) pada dua abad sebelum Masehi (Reid,). Para pengelana Eropa juga banyak memberi kesaksian bahwa kebiasaan ini begitu meluas, baik di kalangan bangsawan maupun masyarakat biasa. Contohnya kesaksian Antonio Pigafetta (Pigafetta via Reid, 1985:530 dan Reid, terj. 1992:49) yang melayari kawasan Nusantara pada warsa 1521. Ia menulis bahwa masyarakat Nusantara

“secara terus menerus mengunyah buah yang mereka sebut areca (pinang), yang menyerupai buah pir. ... dibungkus dengan daun (sirih). Mereka semua melakukan itu, sebab itu dapat menyejukkan hati, dan jika mereka berhenti memakannya mereka akan mati,”.

Di kalangan bangsawan, sirih pinang kerap disuguhkan ketika raja menjamu tamu-tamu asing. Pengalaman Augustin de Beaulieu yang mengunjungi Kesultanan Aceh antara 1620-1621 menunjukkan hal itu. Ia diterima dengan baik oleh Sultan Iskandar Muda dengan suguhan bejana besar dari emas yang penuh dengan sirih (dalam Lombard, terj. 2007:199). Kebiasaan menyuguhkan perangkat sirih pinang kepada tamu, baik di kalangan bangsawan maupun rakyat biasa mengindikasikan bahwa kebiasaan ini memiliki fungsi sebagai alat pergaulan sosial. Menurut William Marsden, suguhan sirih pinang merupakan tanda penerimaan atau ramah- tamah dari tuan rumah. Orang Sumatra biasa menyuguhkan peralatan sirih pinang lengkap dan menghidangkannya kepada


(59)

tamu. Bahkan jika ia bepergian, mereka akan tetap membawa peralatan menginang sebagai bekal dalam perjalanan (Marsden, terj. 2008:257-258).

Selain berfungsi sebagai alat pergaulan sosial, sirih pinang juga menjadi perangkat penting dalam berbagai aspek kehidupan budaya Karo. Hal ini dimungkinkan karena hakikat dari kebiasaan bersirih pinang menyimbolkan penghormatan dan persembahan kepada tamu, orang lain, atau bahkan arwah leluhur. Dalam kebudayaan pra-Islam, sirih pinang kerap digunakan sebagai sesajian kepada leluhur atau para dewa (Al Mudra, 2006:2). Bahkan hingga kini, masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, masih menyajikan sirih pinang sebagai simbol penghormatan kepada arwah para leluhur dalam perayaan-perayaan adat (http://koran.kompas.com).

3.2. Menyirih

Menyirih merupakan suatu kebiasaan yang populer di Asia, terutama di India, Sri Lanka, Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik dan China.Menurut catatan sejarah, nenek moyang di Asia Pasifik, Asia Selatan, dan Asia Tenggara menyirih secara sosial diterima di seluruh lapisan masyarakat termasuk wanita dan sebagian anak- anak. Kebiasaan menyirih ini telah diketahui dan dilaporkan dari beberapa negara seperti Bangladesh, Thailand, Kamboja, Sri Lanka, Pakistan, Malaysia, Indonesia, Cina, Papua Nugini, beberapa pulau di Pasifik, dan populasi yang bermigrasi ke tempat-tempat seperti Afrika Selatan, Afrika Timur, Eropa, Amerika Utara dan Australia.

Pada beberapa negara, tembakau umumnya digunakan bersamaan dengan campuran sirih. Literatur mengenai kebiasaan menyirih sudah ada di India sekitar


(60)

2000 tahun yang lalu dan diperkirakan lebih kurang 200-600 juta orang mempunyai kebiasaan ini. Sedangkan tembakau baru dikenal pada tahun 16 Masehi. Di Indonesia, campuran sirih dikunyah terlebih dahulu dan kemudian potongan tembakau yang besar digunakan untuk membersihkan gigi, kemudian dibiarkan di dalam mulut.

Kebiasaan menyirih juga terdapat di Indonesia dan telah lama diketahui serta telah dilakukan beberapa penelitian mengenai kebiasaan menyirih di Indonesia. Pada mulanya menyirih digunakan sebagai suguhan kehormatan untuk orang-orang atau tamu-tamu yang dihormati, pada suatu acara pertemuan atau pesta perkawinan. Dalam perkembangannya budaya menyirih menjadi kebiasaan untuk dinikmati di saat santai.

3.3. Komposisi Menyirih 3.3.1. Sirih

Tradisi makan sirih merupakan warisan budaya silam, melebihi 3000 tahun yang lalu atau zaman Neolitik dan meluas ke Asia Tenggara sampai sekarang ini. Sirih disukai oleh berbagai golongan masyarakat. Pelayar terkenal Marcopollo di abad 13 telah menulis dalam catatannya bahwa terdapat segumpal tembakau didalam masyarakat India, pernyataan ini dijelaskan oleh penjelajah terdahulu, seperti Ibnu Batuta dan Vasco Da Gamma yang menyatakan kebiasaan makan sirih juga terdapat pada masyarakat sebelah timur. Kini sirih menjadi terkenal pada masyarakat Melayu, selain dimakan oleh masyarakat juga dijadikan simbol adat istiadat pada beberapa adat masyarakat tersebut, misalnya pada adat perkawinan.


(61)

Bahan dan Perlengkapan Menyirih Suku Karo serta raga dayang (keranjang khas Karo) Sumber : Penulis

Sirih adalah sejenis tumbuhan yang terdapat di Malaysia juga dikawasan tropika asia, Madagaskar, timur afrika dan hindia barat. Sirih yang terdapat disemenanjung Malaysia terdiri dari 4 jenis, yaitu : sirih Melayu, sirih Cina, sirih Keling dan sirih Udang.

Nama ilmiah dari sirih adalah Piper betle Linn dalam keluarga Piperaceae. Nama Betle adalah dari bahasa Portugis-Betle, berasal sebelumnya dari bahasa Malayalam di negeri Malabar yang disebut Vettila. Dalam bahasa Hindi lebih dikenal Pan atau Paan dan dalam bahasa Sansekerta disebut sebagai Tambula.


(62)

Dalam bahasa Sinhala Sri Langka disebut Bulat. Bahasa Thai disebut sebagai Plu (www.indomedia.com, 2007).

Sifat tumbuhan sirih adalah sejenis pepohonan yang menjalar dan merambat pada batang pohon sekelilingnya. Bentuk daunnya agak membujur. Daun-daun sirih yang subur berukuran antara 8 cm s/d 12 cm. Lebar daun 10 – 15 cm. Panjang sirih sesuai umurnya, ditanam diatas tanah gembur yang tidak terlalu lembab dan memerlukan cuaca tropis, agar tumbuh subur diperlukan jumlah air yang mencukupi.

Rasa sirih disebabkan oleh minyak uap yang mengandung fenol dan bahan- bahan yang menyebabkannya pedas. Bahan-bahan yang terdapat dalam daun sirih adalah kalsium nitrat sedikit gula dan tannin (www.indomedia.com, 2007).

Faktor-faktor yang menentukan enak atau tidaknya daun sirih adalah jenis sirih itu, umurnya dan kecukupan cahaya matahari serta keadaan daun-daunnya. Sirih hutan tidak boleh dimakan, selain daunnya yang keras, rasanya juga tidak enak. Ia tumbuh dipohon yang terdapat di hutan hujan tropika. Daun-daunnya berukuran kecil yang sering dibuat obat dan penawar oleh Dukun. Sirih bertemu urat adalah yang paling sering menjadi pilihan pada ibu Bidan dalam ilmu perobatan tradisional. Pada masa kini kegunaan sirih masih penting bagi masyarakat Melayu walaupun jumlah orang yang memakannya mulai berkurang (www.indomedia.com, 2007).

Makan sirih mulai dilakukan masyarakat di China dan India, lalu menyebar ke benua Asia termasuk Indonesia. Komposisi utama dari menyirih adalah buah pinang, kapur sirih, gambir, dan sebagai bahan tambahan adalah kapulaga, cengkeh, kayu manis dan tembakau. "Kegiatan makan sirih memiliki


(63)

efek terhadap gigi, gingiva atau gusi, dan mukosa mulut. Dan efek tersebut membawa dampak yang positif maupun negatif”. Efek baiknya makan sirih terhadap gigi di antaranya untuk menghambat proses pembentukan karies. Sedangkan efek negatif adalah bisa menyebabkan penyakit periodontal yaitu penyakit inflamasi kronik rongga mulut yang umum dijumpai dan pada mukosa

mulut

Sirih dan Campuran Sumber : Penulis

3.3.2. Gambir

Gambir adalah sejenis getah yang dikeringkan yang berasal dari ekstrak remasan daun dan ranting tumbuhan bernama Uncaria gambir. Kandungan penting gambir adalah catechin satu bahan alami yang bersifat anti-oksidan. Kegunaan gambir yang utama di Nusantara adalah dikenal luas sebagai salah satu komponen menyirih. Dari Sumatera sampai Papua diperkirakan sudah 2.500 tahun lalu mengenal gambir dengan kegunaan untuk menyirih (Wikipedia, 2011).

3.3.3. Kapur Sirih

Kapur sirih yaitu satu bentuk pasta yang dibuat dari menggiling atau menghancurkan cangkang kerang dan membuatnya menjadi pasta.


(1)

Penguasaan atas kemampuan budaya tradisi menjadi modal penting dalam menunjukkan identitas etnik dalam kehidupan, hal ini bertujuan mendapatkan kekuatan posisi tawar (bargaining power) yang seimbang dalam kehidupan.

Pemahaman masyarakat atas menyirih juga memerlukan adanya pendekatan yang menyeluruh, sehingga prasangka dan anggapan masyarakat terhadap menyirih dapat sejalan dengan nilai adat-budaya Karo, peningkatan pemahaman tersebut dilakukan untuk menghindari adanya stigma yang negatif terdapat menyirih yang berakibat terjadinya persinggungan budaya yang mengarah kepada konflik.

Pemahaman masyarakat yang baik atas menyirih dengan nilai adat-budaya Karo dapat memberikan persinggungan budaya (cross-culture) yang berjalan dengan positif dalam kehidupan masyarakat, dalam hal ini untuk mendukung kehidupan Kota Medan yang multikultural.

Menyirih dan kegiatan dengan nilai budaya lainnya dapat menjadi suatu bentuk usaha menghadirkan suasana “kampung halaman” bagi generasi muda Karo di Kota Medan dan juga sebagai suatu proses menjaga kelangsungan budaya dalam perkembangan zaman dan waktu.


(2)

DAFTAR PUSTAKA Al Mudra, Mahyudin.

2006 Tepak Sirih. Yogyakarta: Balai Kajian dan

Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM).

Berutu, Tandak dan Lister Berutu

2002 Adat & Tata Cara Perkawinan Masyarakat Pakpak. Medan: Kerjasama Yayasan Cimatama dengan Penerbit Monora.

Esten, Mursal

1993 Minangkabau: Tradisi dan Perubahan.

Padang:Angkasa Raya. Geertz, Clifford

1973 The Intepretation of Cultures: Basic Books Inc.

Goodenough, Ward. E

1970 Describing and Comparison in Cultural Anthropology: Cambridge University Press. Guyette, Susan

1996 Planning For Balance Development: ---. Koentjaraningrat

1974 Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta:PT. Gramedia

1989 Metode-Metode Penelitian Masyarakat.


(3)

1990 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Moleong, Lexy. J

2006 Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Marsden, William

2008 Sejarah Sumatra. Jakarta: Komunitas Bambu (terjemahan cet-1).

Prinst, Darwan

1996 Adat Karo. Medan: Kongres Kebudayaan Karo.

Perangin-angin, Martin L.

2004 Orang Karo Diantara Orang Batak. Jakarta: Sora Mido.

Reid, Anthony

1985 From Betel-Chewing to Tobacco-Smoking in Indonesia, The Journal of Asia 44, No. 3 (May, 1985).an Studies, Vol.

Said, Norhayati Mohd

1987 Sirih Pinang: Lambang Daun Budi

Masyarakat Melayu, dalam Sirih Pinang:

Kumpulan Esai, hlm. 1-3. Kuala Lumpur:


(4)

Suparlan, Parsudi

1983 Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya: Perspektif Antropologi Budaya. Diktat. Sunarto, Kamanto

2000 Pengantar Sosiologi. Jakarta:LP. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Spradley, James P.

1997 Metode Etnografi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya

Taylor, D.M. & Moghaddam, F.M

1994 Theories of Intergroup Relations. London: Praeger.

Wahjono, Parwatri

2000 Naskah Sebagai Sumber Pengetahuan

Budaya (kumpulan makalah symposium internasional pernaskahan nusantara II 1998): Upacara Adat Pengantin Jawa. Pekan Baru : UNRI-Press.

Situs Internet/ Website:

tanggal 3 Mei 2011

(http://id.wikipedia.org/wiki/Sirih). Diakses tanggal 27 April 2011

tanggal 5 Mei 2011.


(5)

tanggal 5 Mei 2011.

(http://irmarahmalita.blogspot.com/2010/10/identitas-etnis-dalam-persektif-teori.html). Diakses tanggal 5 Mei 2011.

Diakses tanggal 27 April 2011.

diunduh tanggal 10 Oktober 2011

Interview Guide :

1. Apa alasan melakukan kegiatan menyirih ?

2. Apakah menyirih dilakukan secara individual ? Atau secara kelompok (komunal) ?

3. Kalau secara individual, darimana pengetahuan menyirih didapat ? 4. Kalau secara kelompok (komunal), darimana pengetahuan

menyirih didapat ?

5. Bagaimana teman atau orang disekeliling anda melihat kegiatan menyirih ?

6. Adakah pandangan negatif atas menyirih ? 7. Apa manfaat dari menyirih ?

8. Apakah menyirih menunjukkan identitas sebagai etnik Karo ? 9. Kapan waktu menyirih yang anda lakukan ?

10. Berapa jumlah anggota kelompok menyirih ? 11. Darimana anda mendapat bahan-bahan menyirih ? 12. Darimana anda belajar cara menyirih ?


(6)

Daftar Informan

Nama Umur Pekerjaan Alamat

Ira Br Ginting 23 Tahun Mahasiswi Jalan Terompet Pasar 1

Lia Depari 22 Tahun Mahasiswi Jalan Marakas Pasar 2

Sinta Perangin-angin

23 Tahun Mahasiswi Jalan Jamin Ginting Pasar 1` Elly Sinuhaji 23 Tahun Mahasiswi Jalan Harmonika

Pasar 2 Bulan br Barus 24 Tahun Mahasiswi Jalan Jamin

Ginting, Pasar 1 Veliama br Ginting 23 Tahun Perawat Jalan Rebab, Pasar

2

Desi Sembiring 19 Tahun Mahasiswi Jalan Terompet, Pasar 1

Cristiani Bangun 24 Tahun Mahasiswi Jalan Jamin Ginting Pasar 1` Putri Sebayang 23 Tahun Mahasiswi Jalan Harmonika

Pasar 2

Erika Sitepu 21 Tahun Mahasiswi Jalan Rebab, Pasar 2

Melly br Sembiring

22 Tahun Mahasiswi Jalan Terompet, Pasar 1

Sriulina Bangun 19 Tahun Mahasiswi Jalan Rebab, Pasar 2

Sabrina br Ginting 24 Tahun Perawat Jalan Jamin Ginting Pasar 2 Rela

Perangin-angin

54 Tahun Kepala Lingkungan 1

Jalan Jamin Ginting, Pasar 1 Darisno Bangun 41 Tahun Kepala

Lingkungan

Jalan Harmonika, Pasar 2

Mitra Perangin-angin

41 Tahun Depan kantor

Camat Medan Baru